• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Faktor Penyebab Kebakaran Hutan di Indonesia

Menurut Syaufina (2008) kebakaran hutan dan lahan yang dapat terjadi secara alami antara lain disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya petir, letusan gunung berapi, atau batu bara yang terbakar. Hal tersebut didukung oleh kondisi iklim dan jenis bahan bakar hutan yang memungkinkan untuk terbakar misalnya kelembaban yang rendah.

Indonesia merupakan negara tropis yang jarang mengalami kejadian kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Petir yang terjadi di Indonesia hampir tidak mungkin menyebabkan terjadinya kebakaran karena selalu bersamaan dengan terjadinya hujan. Akibatnya hasil dari percikan api dari petir tersebut mengenai bahan bakar, sehingga tidak dapat berkembang dan menjalar kebagian yang lebih luas.

Batu bara yang terbakar dan tetap membara juga dapat menjadi pemicu terjadinya kebakaran. Biasanya batu bara tersebut terdeposisi di bawah permukaan tanah. Pada saat kondisi cuaca kering, akan menyebabkan terjadinya penyalaan dan dapat membakar bahan bakar yang berada di atasnya. Menurut Sahardjo (2003) belakangan ini yang semakin populer dijadikan kambing hitam sumber api adalah disebabkan oleh gesekan kayu atau ranting pada waktu terjadi tiupan angin. Namun dari hasil pengamatan di laboratorium menunjukkan bahwa hal tersebut mustahil terjadi, bahkan sulit dipercaya.

Bahan bakar hutan (Forest fuel) didefinisikan oleh FAO/IUFRO sebagai segala sesuatu bahan atau campuran yang dapat dibakar dan bahan yang dapat menyala (Chandler et al. 1983). Bahan bakar bersama cuaca dan topografi merupakan tiga faktor yang umum dalam mempengaruhi perilaku kebakaran liar. Dari ketiga faktor tersebut bentuk topografi dan kondisi cuaca adalah faktor yang sedikit sekali dapat dipengaruhi oleh manusia. Bahan bakar yang berupa biomass hidup atau mati per unit luas merupakan besarnya jumlah energi tersimpan yang menentukan karakteristik kebakaran potensial di lapangan (Whelan 1995). Susunan bahan bakar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kebakaran hutan.

Iklim pada masing-masing wilayah geografi menentukan tipe bahan bakar dan panjangnya musim kebakaran atau waktu dalam setahun dimana sering terjadi kebakaran. Pola lamanya dan intensitas dari musim kebakaran dari suatu daerah tertentu merupakan fungsi utama dari iklim tetapi sangat dipengaruhi oleh sifat bahan bakar hutan. Pola cuaca kebakaran hutan yang bersifat tahunan, berulang maupun musiman mencerminkan bahan bakar cuaca, musim kebakaran yang parah juga dihubungkan dengan musim kering yang berskala dalam cenderung untuk terjadi dalam suatu siklus (Brown & Davis 1973).

Menurut Fuller (1991) cuaca mempengaruhi bagaimana, dimana dan kapan kebakaran hutan dapat terjadi, pengendali kebakaran menyebutnya sebagai cuaca kebakaran (fire weather) yaitu sifat-sifat cuaca yang mempengaruhi terjadinya kebakaran. Seperti cuaca panas yang kering disertai dengan angin ribut, badai dan petir yang akan menyebabkan kebakaran. Perbedaan pemanasan matahari pada permukaan bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran. Penyinaran matahari selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari tekanan tinggi ke tekanan rendah.

2.3.2 Faktor Manusia

Lebih dari 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan gambut adalah akibat ulah manusia, baik yang disengaja maupun tidak disengaja melakukan

pembakaran ataupun akibat kelalaian dalam menggunakan api. Hal ini didukung oleh kondisi-kondisi tertentu yang membuat rawan terjadinya kebakaran seperti gejala El-Nino, kondisi fisik hutan yang terdegradasi dan rendahnya kondisi sosial ekonomi (Tacooni 2003).

Faktor sosial ekonomi dari aktivitas masyarakat di sekitar hutan berpengaruh terhadap kebakaran hutan dengan korelasi positif adalah pengeluaran rumah tangga dan kegiatan masyarakat didalam kawasan hutan. Makin tinggi jumlah pengeluaran rumah tangga akibat tidak diimbangi dengan jumlah pendapatan (defisit) ternyata peluang kebakaran hutan akan meningkat (Soewarso 2003).

Keterkaitan masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama, hal ini disebabkan bahwa hutan memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. Adanya hutan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal: pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan sehingga upah yang mereka terima tergolong lumayan. Karena tingkat kemampuan sumberdaya hutan untuk berganti sangatlah terbatas, maka didalam pemanfaatannya juga memperhatikan batas-batas tersebut. Dengan meningkatnya jumlah penduduk, kurangnya lapangan pekerjaan dan banyaknya perusahaan maka eksploitasi sumberdaya hutan juga akan semakin besar.

Bagi masyarakat yang tinggal disekitar hutan memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan, kebiasaan yang dilakukan atau budaya hutan yang tumbuh dan berkembang seiring dengan tumbuhnya sistem sosial masyarakat, akan mengalami pergeseran dengan hilangnya sejumlah hasil hutan. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan lindung, hutan produksi dan lahan lainnya.

Penyebab struktural, umumnya berawal dari suatu konflik antara para pemilik modal industri perkayuan maupun pertambangan, dengan penduduk asli yang merasa kepemilikan tradisional (adat) mereka atas lahan, hutan dan tanah

dikuasai oleh para investor yang diberi pengesahan melalui hukum positif negara. Akibatnya kekesalan masyarakat dilampiaskan dengan melakukan pembakaran demi mempertahankan lahan yang telah mereka miliki secara turun temurun. Disini kemiskinan dan ketidakadilan menjadi pemicu kebakaran hutan dan masyarakat tidak akan mau berpartisipasi untuk memadamkannya.

PFFSEA (2003) menyatakan bahwa ada berbagai aktivitas masyarakat tradisional yang menggunakan metode pembakaran dalam proses penyiapan lahannya. Seperti sistem budidaya pada sonor (padi ditanam pada lahan-lahan gambut yang kemudian sengaja dibakar pada musim kemarau). Demikian juga pembukaan lahan oleh petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan membakar.

Menurut Sahardjo (2003) sumber api disebabkan oleh adanya konflik sosial dan operasi pembalakan diantaranya adalah:

• Status kepemilikan lahan garapan

• Pekerja lapangan yang tidak dibayar penuh upahnya

• Kontraktor pelaksana memperdayai pekerja

• Manipulasi oleh pihak pelaksana pembangunan hutan

• Hubungan yang tidak harmonis antara penduduk dengan pihak perusahaan

• Pembukaan lahan dengan menggunakan api yang tidak terkontrol

• Api unggun

• Pembakaran sisa-sisa pohon, cabang/ranting, daun

• Iseng (motif tidak jelas)

Puntung rokok sering dinyatakan sebagai penyebab kebakaran hutan sekaligus dijadikan sebagai alasan utama dan paling mudah dalam laporan kejadian kebakaran. Syaufina (2008) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya kebakaran hutan yaitu:

- Pembakaran untuk pembukaan kebun - Loncatan api dari kebun/hutan

- Orang memancing ikan atau pencari kodok - Sabotase

- Membakar hutan karena jalan menuju ladang/kebun mereka rusak - Ketidaksengajaan pekerja HTI

Menurut Syaufina (2008) pembakaran dengan menggunakan puntung rokok sebagai sumber panas ternyata tidak mengakibatkan gambut terbakar, bahkan pada serasah atau alang-alang yang terdapat di atasnya. Hal tersebut terjadi disebabkan panas puntung rokok tidak cukup mengakibatkan terjadinya kebakaran.

Dokumen terkait