• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KONFLIK VERTIKAL GERAKAN ACEH MERDEKA

B. Faktor Penyebab Konflik Vertikal di Aceh…

Konflik Aceh merupakan salah satu konflik laten yang tunasnya telah tumbuh sejak masa-masa awal kemerdekaan dengan berbagai faktor penyebabnya seperti konflik yang terjadi di Aceh bukan baru kemarin terjadi. Konflik Aceh telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah, dari masa ke masa, konflik yang terjadi di Aceh berbeda dengan latar belakang penyebabnya. Sesungguhnya faktor yang melatar belakangi rakyat Aceh bergerak adalah karena mereka merasa posisinya terancam, baik dalam sektor ekonomi maupun politik, sebagai akibat kebijakan sentralistik pemerintah RI.81

Mencermati konflik di Aceh, mengharuskan pemerintah untuk memilah lebih jeli berbagai faktor yang melatarbelakanginya, agar di temukan suatu solusi yang

      

80

Nazaruddin Syamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik. Kasus Darul Islam Aceh,

(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990), h. 1.

81

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 49-50.

tepat bagi penyelesaiannya. Ketidaksederhanaan konflik yang ada di Aceh menuntut kehati-hatian dan proses kesabaran untuk menanganinya. konflik Aceh tidak bisa di urai dan di selesaikan dalam waktu secara singkat. Pendekatan militer sebagaimana yang telah di terapkan sejak tahun 1970-an di Aceh hingga sekarang bukan merupakan jalan yang tepat bagi pemecahan konflik Aceh.82

Pemahaman tentang faktor-faktor penyebab munculnya konflik di Aceh akan mempermudah dalam upaya mencari solusi yang tepat untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Pada masa Orde Baru kebijakan pemerintah di tekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset-aset sumber daya alam di Aceh di eksploitasi dalam konteks pembangunan ini.83

Dalam bidang ekonomi, masalah ekspolitasi ekonomi menjadi akar konflik yang patut di cermati. Aceh yang kaya akan sumber daya alam namun amat di sayangkan masyarakat Aceh tidak di libatkan dalam proses perencanaan, pengolahan, dan distribusi hasil dan potensi sumber daya alam daerah mereka.84 Secara struktural, sebagai contoh pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, pada tahun 1971, tepatnya di Lhoksumawe, ibukota Aceh Utara di temukan cadangan gas alam dalam jumlah yang cukup besar dan tahun 1974 mulai di bangun pabrik Liquefied Natural Gas (LNG). Kemudian sejak tahun 1977 sudah di pasarkan secara komersial dan

      

82

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh : Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 13.

83

Ibid

84

menjadikan Aceh sebagai kawasan industri yang strategis. Namun kondisi fisik daerah yang ada di sekitar kawasan industri cenderung tidak berubah, dan keadaannya masih seperti daerah ini belum menjadi kawasan industri. 85

Arti strategis tersebut bertambah dengan berdirinya beberapa perusahaan besar, antara lain PT. Pupuk Asean, Asean Aceh Fertilizer (AAF) yang berdiri pada tahun 1981. Pada tahun 1982 hingga tahun 1985 di bangun pula PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) serta pabrik kertas PT. Kertas Kraft Aceh (KAA) serta sebuah MNC, yakni Mobil Oil. Sejak itu Aceh mulai berkenalan dengan industri-industri besar. Wilayah Aceh Utara kemudian di kemas dalam satu wilayah industri yang di namakan Zona Industri Lhokseumawe (ZILS).86

Ekonomi Aceh Mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup baik. Namun amat di sayangkan, tingkat pertumbuhan yang cukup fantastik itu tidak memberikan pengaruh yang positif bagi kesejahteraan penduduk setempat bahkan kehidupan masyarakat yang hidup di kawasan industri menunjukan ketidakberdayaan penduduk setempat dalam beradaptasi dengan lingkungan yang berubah begitu cepat.87

Kemiskinan yang begitu mencolok hadir di antara masyarakat Aceh dan sekaligus menunjukan ketidakberdayaan masyarakat Aceh melawan arus

      

85

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 50.

86

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 52.

87

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 50.

industrialisasi yang telah merubah struktur kehidupan sosial mereka. Kekayaan daerah terserap ke pemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari propinsi-propinsi lain. Pembangunan sarana dan prasarana yang ada di sana pun masih kurang memadai.88

Perkenalan masyarakat Aceh dengan industri besar sungguh merupakan semacam “Revolusi”. Sayangnya pemerintah dan rakyat Aceh tampaknya belum siap untuk terlibat dalam revolusi tersebut. Secara umum, struktur ekonomi di kabupaten Aceh terbagi atas dua struktur, yaitu bagian industri (Aceh Besar, Aceh Utara, dan Aceh Timur) dengan sisanya di dominasi struktur ekonomi pertanian. Beberapa tempat seperti Pidie ada juga bagian yang merupakan daerah pertanian. Penemuan sumber daya alam ini, memberikan harapan baru bagi pemerintah Aceh maupun masyarakatnya. Namun, sejak di eksplorasi kekayaan alam dilakukan, pemerintah melakukan penggusuran besar-besaran tanah rakyat yang akan di gunakan untuk membangun industri gas alam dan minyak bumi.89

Aceh yang mengandung kekayaan alam yang berlimpah tetapi tidak mampu membuat rakyat mereka sejahtera, maka menjadi sia-sia untuk mengharapkan loyalitas mereka kepada bangsa dan negara. Apa yang terjadi di Aceh Utara, misalnya, dengan ladang gas dan pupuk yang begitu besar, tetapi di belakang

pabrik-      

88

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam :Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, h. 31.

89

pabrik itu tinggal masyarakat dengan perumahan yang kumuh, mata pencaharian yang tidak menentu, harga barang yang selangit, maka berbicara tentang nasionalisme kepada mereka, berbicara kepada mereka bahwa bumi, air, dan segala yang terkandung di dalamnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, hanya menjadi bahan tertawaan.90

Industrialisasi ini, memberikan denyut kekayaan ekonomi yang luar biasa terutama dari migas, pada 1984. Namun demikian, hadirnya wilayah industri ini, bukanlah tanpa meninggalkan masalah seperti:

• Ketidakpuasan dalam hal ganti rugi tanah yang di gunakan dalam membangun industri.

• Sebagian masyarakat di takut-takuti dan di teror untuk menyerahkan tanah dan menggunakan pihak militer dalam aksi-aksi teror dan kekerasan baik fisik maupun nonfisik.

• Penduduk asli Aceh yang sudah tergusur tanahnya di tempatkan di lokasi-lokasi penampungan yang jauh dari desa asal mereka dan jauh dari mata pencaharian mereka semula.

• Eksploitasi Pusat dan Daerah, salah satu masalah lainnya pemicu keinginan rakyat Aceh ingin merdeka adalah adanya indikasi eksploitasi pemerintahan pusat atas kekayaan alam Aceh yang terlalu besar.

      

90

Abdul Djunaidi, Pengantar Diskusi dalam Kongres Kebudayaan V, yang diselenggarakan di Bukit Tinggi pada tanggal 20-23 Oktober 2003.

• Fakta bahwa suku bangsa Aceh menempati 2/3 wilayah Nanggroe Aceh Darussalam hampir menyeluruh di kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Utara, sebagian Aceh Selatan dan Kabupaten Aceh Barat.91

Faktor ekonomi inilah yang berwujud adanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Karena Sistem sentarlistik Orde Baru telah membuat posisi tawar-menawar yang lemah bagi daerah dan memberikan alokasi sumber-sumber kekuasaan yang terlalu besar ke pusat dan tidak menempatkan daerah dalam posisi yang sejajar dalam sistem politik. Aceh hanya menjadi subordinat dari pusat yang melayani kepentingan pusat saja, dan akibatnya menimbulkan eksploitasi secara sistemik, yaitu eksploitasi politik dan ekonomi. Aceh tidak diberikan tempat yang seharusnya, apalagi dalam penerapan keistimewaan itu tidak di berikan oleh pemerintah pusat.92

Pada era Orde Baru ini justru merekayasa bentuk negara kesatuan yang sentralistik yang pada akhirnya, ketika pusat rapuh dan lemah kekuasaannya dan pada akhirnya daerah berani untuk memberontak dan meminta perimbangan kekuasaan politik dan ekonomi yang adil. Oleh karena itu, masalah utama dalam hubungan

      

91

Tempo, 30 Juni 1990. 92

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam :Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas Konflik-Konflik Lokal di Aceh, Maluku, Papua, dan Riau, h. 56.

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah seperti masalah sistem politik yang sentralistik dan represif.93

Dalam menghadapi suasana politik rakyat yang menyebabkan elite penguasa dan serdadu teralienasi (terasingkan), maka elite penguasa mengkambing hitamkan setiap organisasi perjuangan sebagai common enemy. Kebijakan politik pada masa Orde Baru sangat militer-politik kekerasan adalah politik menjaga stabilitas keamanan negara. Sebenarnya hal yang paling mendasar di dalam penetapan Aceh sebagai daerah perang, dengan status darurat militer adalah pengambil alihan kekuasaan dari penguasa sipil ke penguasa militer. Hal inilah yang menjadi sumber konflik internal. Hirarki kekuasaan yang militeristik tersebut terkomando dari pemerintahan pusat. Struktur pemerintahan sepenuhnya di dominasi oleh militer.94

C. Reaksi Pemerintah Indonesia Terhadap Awal Gerakan Aceh Merdeka

Sejak awal proklamasi GAM melakukan secara diam-diam. Gerakan ini mempunyai alasan yang kuat karena ketidaksiapan pihak GAM untuk langsung berhadapan dengan pihak penguasa, baik lokal maupun pusat seperti yang sudah di jelaskan pada bab sebelumnya. Gerakan ini terungkap karena ada beberapa perusahaan besar yang beroperasi di Aceh, yang dikirimi surat berisikan kewajiban mereka membayar pajak kepada GAM, akan tetapi perusahaan-perusahaan tersebut

      

93

Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekah: Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, (Jakarta: UI Press, 1999), h. 1.

94

tidak memberikan dana seperti yang di inginkan GAM. Dengan demikian, keberadaan dan aktifitas gerakan ini mulai tercium oleh pemerintah Indonesia. Namun dalam referensi lain mengatakan bahwa pemerintah telah mencium tentang gerakan keberadaan suatu gerakan tesebut sejak tahun 1974, meski pada waktu itu belum di ketahui nama gerakan ini, Gubernur Aceh pada saat itu memerintahkan kepada Direktorat Sosial Politik Aceh untuk memperhatikan segala gerak-gerik dari Hasan Tiro. Kemudian pada tahun 1975 dalam laporannya, kepolisian Daerah Istimewa Aceh yang sekarang bernama Nanggroe Aceh Darussalam juga memberitahukan tentang adanya gerakan DI/TII gaya baru Aceh.95

Aparat setempat pun berusaha memperkecil dan memotong berkembangnya GAM dengan menggelar sebuah operasi pemulihan keamanan dengan sandi Operasional Nanggala. Orang-orang yang terlibat dengan GAM di himbau untuk segera kembali dalam pangkuan ibu pertiwi. Pandangan yang skeptis ini kiranya dapat dinetralkan bila di hadapkan pada kenyataan bahwa Hasan Tiro merupakan pimpinan GAM dan kalaupun pada saat itu belum di ketahui apa nama gerakannya, paling tidak dalam gerakan pemerintah keadaan Hasan Tiro berpeluang besar atau ada kaitannya dengan gerakan anti pemerintah.96

Dari yang uraikan di atas, kemungkinan besar pemerintah telah mengetahui adanya ancaman terhadap integrasi bangsa dari daerah Aceh, namun hal ini baru di ketahui bahwa gerakan ini di motori oleh GAM pada tahun 1977. Namun pemerintah

      

95

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 79-80. 96

tidak mengetahui tentang adanya deklarasi kemerdekaan yang dilakukan GAM pada tahun 1976, kerena memang kegiatan yang di lakukan oleh gerakan tersebut secara sembunyi-sembunyi.

Menurut pandangan pemerintahan pusat, GAM merupakan sebuah gerakan separatis. Oleh karena itu, Gerakan ini harus di tumpas sampai keakar-akarnya. Gencarnya usaha pemerintah untuk menumpas GAM, gerakan ini semakin lama semakin sempit. Dalam upaya menumpas GAM, pemerintah Indonesia menerapkan dua strategi utama. Yaitu, pertama: represif militer, Operasi-operasi militer dilancarkan dengan sangat intensif mulai dari operasi intelijen sampai kepada operasi tempur, dan yang kedua: represif politis, ini di wujudkan dengan mengisolasi gerakan tersebut melalui rekayasa opini publik, bahwa GAM hanya merupakan sekelompok teroris. Salah satu indikatornya, pemerintah (termasuk TNI) tidak pernah menggunakan nama GAM namun GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan Tiro). Upaya politis yang kedua adalah melancarkan perang terhadap masyarakat, terutama mereka yang di perkirakan berada di sekitar basis GAM.97

Operasi militer di lancarkan di empat lokasi, yaitu: Pidie, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tengah. Fokus utama operasi terkonsentrasi di dua titik yaitu Aceh Pidie dan Aceh Utara. Pidie di jadikan fokus karena disini pusat pergerakan Hasan Tiro sehingga hampir di pastikan di daerah inilah pusat kekuatan dari GAM,

      

97

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh : Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaian, h. 34-35.

sedangkan Aceh Utara terdapat kelompok Muchtar Hasbi dan terdapat proyek vital seperti pabrik Liquefied Natural Gas (LNG) Arun.98

Dalam operasi, kemudian diterapkan pola blokade berlapis. Lapis pertama, merupakan daerah terkhir. Pasukan yang di kerahkan untuk menumpas GAM, selain dari pasukan organik setempat juga di datangkan pasukan Sandhi Yudha (Kopassus), Kostrad dan Siliwangi. Kemudian untuk mencegah terjadinya kejenuhan, pasukan ini di ganti setiap 8 bulan.99

Dari dua strategi yang di terapkan untuk menghancurkan GAM, pemerintah sebisa mungkin berusaha memobilisir masyarakat untuk berpartisipasi. Cara lainnya adalah dengan melakukan penangkapan ataupun membujuk keluarga GAM untuk menasehati saudara, suami, ataupun anaknya agar menghentikan pemberontakan. Pemerintah juga menyebarkan pamflet yang memuat foto tokoh-tokoh GAM. Cara lain untuk menggentarkan hati musuh adalah dengan memobilisir massa di kampung-kampung untuk melakukan apel bersama dan mengikrarkan kesetiaannya kepada NKRI.100

Ada beberapa faktor yang menyebabkan kekalahan GAM dalam perjuangan mewujudkan Negara Aceh Sumatra yaitu:

      

98

Ibid

99

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 81. 100

• Persiapan GAM yang relatif singkat, baik dalam hal persenjataan, latihan kemiliteran, maupun strategi yang di lakukan.

• Pimpinan GAM yang tidak popular dan bahkan kurang di kenal oleh banyak kalangan rakyat Aceh, terutama pimpinan gerakan ini yaitu Hasan Tiro.

• GAM tidak memiliki dukungan massa yang massiv.

• Landasan maupun tujuan perjuangan gerakan ini tidak di kaitkan dengan sentiment keagamaan, yang dalam hal ini Islam dan gerakannya menjadi tidak popular di kalangan masyarakat Aceh. Sehingga walaupun terdapat beberapa ulama yang pernah terlibat dalam perjuangan Darul Islam atau di sebut dengan DI/TII Aceh, seperti Tengku Ilyas Leube, membuat rakyat tidak menarik padanya.

• Hasan Tiro melakukan pemberontakan ketika Orde Baru berada pada titik yang sangat kuat sekali sebagai sebuah pemerintahan. Stabilitas politik dan ekonomi berada pada posisi yang baik.

Dari uraian yang sudah di paparkan di atas sudah cukup jelas di kemukakan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia terhadap GAM adalah tidak mentolerir adanya gerakan tersebut. Segala tindakan yang sudah di lakukan bertujuan untuk memberantas GAM. Akibat operasi-operasi militer yang cukup represif, GAM mengalami kesulitan untuk mengembangkan diri, mengalami kesulitan dalam melakukan konsolidasi dan koordinasi gerakan, mengalami kesulitan bahan makanan akibat terputusnya suplay dari masyrakat sebagai salah satu keberhasilan dari pemblokadean yang di lakukan oleh TNI, gerakan ini kehilangan banyak tokoh

utamanya karena tertembus peluru aparat, tertangkap atau terpaksa melarikan diri keluar negri.101

Tekanan demi tekanan yang datang, pada akhirnya menyebabkan GAM harus hilang dari NKRI selama beberapa waktu, untuk kemudian pada tahun 1989 kembali beraksi. Harus pula diakui bahwa GAM pada fase pertama memang tidak dapat berkembang dengan baik. Gerakan ini belum berhasil mencapai tujuannya dalam arti ingin menjadikan Aceh sebagai sebuah Negara merdeka. Namun GAM berhasil dalam mengubah kesadaran politik masyarakat Aceh untuk bergerak, akar-akar ideologinya tertanam dengan baik.

D. Dampak Konflik Vertikal di Aceh Terhadap Kondisi sosialnya

Konflik kekerasan yang berkepanjangan selama hampir tiga puluh tahun ini telah menghancurkan seluruh sendi kehidupan masyarakat Aceh. Yang mengakibatkan puluhan ribu orang menjadi korban kekerasan, hancurnya dunia pendidikan, hilangnya kesempatan kerja, aktivitas ekonomi rakyat tidak berjalan dan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan. Hal ini yang terjadi pada hakikatnya telah menimbulkan luka psikologis yang di derita oleh rakyat Aceh, baik sebagai individu, kelompok, maupun sebagai komunitas dari suatu wilayah yang secara geo-etnopolitik di kenal oleh Aceh atau Nanggroe Aceh Darussalam.102

      

101

Otto Syamsudin Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh: Sebuah Sketsa Sosiologi-Politik, h. 82. 102

Thung Ju Lan, dkk., penyelesaian konflik di Aceh: Aceh dalam proses rekontruksi dan rekonsiliasi, (Jakarta : Riset Kompetitif Pembangunan Iptek Sub Program Ottonomi Daerah Konflik dan Daya Saing LIPI, 2005), h. 181.

Pendekatan pada masa Orde Baru masih menyisakan trauma di kalangan masyarakat Aceh. Permusuhan dan rasa sakit pada masa lalu tersebut pada umumnya akan selalu membekas terhadap ingatan rakyat Aceh. Perasaan terancam dan rasa saling curiga juga dirasakan oleh masyarakat. Dimana selama konflik ,mereka tidak aman dalam melakukan segala bentuk kegiatan sosial kemasyarakatan.103

Dampak konflik Aceh masih terasa sampai sekarang. Dampak langsung yang dapat kita saksikan pada ratusan bahkan ribuan korban konflik terutama bagi anak-anak, perempuan, dan para janda yang berada di barak-barak pengungsian yang menderita fisik maupun psikis. Dampak langsung juga dapat kita lihat Fenomena aktor konflik yang pernah terlibat perang. Dampak tak langsung dari konflik adalah akibat yang tidak dapat dilihat dengan kasat mata dalam mewujudkan berbagai bentuk gejala sosial. Tekanan yang dihadapi oleh korban konflik di Aceh bertambah dengan bencana tsunami tahun 2004 lalu.104

Masalah yang semakin menumpuk dari persoalan kebutuhan dasar, pendidikan hingga psikologis. Jangankan untuk pemulihan psikologis, ekonomi saja mereka tidak mendapatkan apa-apa. Muncul ironi, Musibah tsunami mendatangkan rahmat bagi orang rakyat Aceh. Program rehabilitasi Aceh sekarang tampaknya tidak sungguh-sungguh diarahkan untuk menjamin bahwa para korban tersebut memperoleh prioriotas pemberdayaan dari proyek-proyek rehabilitasi. Banyak

      

103

Ibid

104

kontraktor yang tidak mau memakai sumber daya lokal dengan alasan di samping harus bayar mahal, juga alasan kualitas kerjanya kurang bagus.105

Munculnya NGO atau LSM internasional pasca tsunami telah ikut membawa kompleksitas tersendiri bagi proses-proses pembangunan perdamaian berkelanjutan di Aceh. Masyarakat korban konflik ataupun korban tsunami makin terbiasa dengan bantuan dan Charity. Akibatnya, tawaran-tawaran pemberdayaan yang tidak menyertakan bantuan material cenderung diabaikan. Namun, kurangnya konsolidasi antara LSM pendampingan korban pengungsi terhadap konstruk mental ini akan menjadi kendala tersendiri untuk membangun kemandirian korban pengungsi untuk kembali hidup normal di tengah-tengah masyarakat.106

Dampak konflik ini tentu membawa kerugian besar bagi kehidupan bangsa Indonesia, dan memiliki dampak yang serius terhadap masalah kemanusiaan dan mendapat perhatian internasional. Konflik yang terjadi jelas berdampak pada kerugian yang dialami masyarakat di berbagai bidang kehidupan, oleh karena itu sudah seharusnya konflik harus segera di akhiri dengan berbagai pendekatan tanpa harus dengan tanpa kekerasan.107

      

105

Ibid 106

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 55.

107

Syamsul Hadi, dkk., Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional, h. 56.

BAB IV

REKONSILIASI KONFLIK VERTIKAL DI ACEH

A. Upaya Penyelesaian Konflik Aceh dengan Pemerintahan Pusat

Rekonsiliasi adalah tuntutan yang tidak terhindarkan dari fakta terdapat banyak kasus besar menyangkut tindakan pelanggaran HAM yang berat di masa lalu yang sulit terungkap dan dimintakan pertanggungjawaban. Rekonsiliasi juga merupakan langkah alternatif yang mungkin diambil dalam menghadapi banyaknya fenomena pertikaian seperti di daerah Aceh ini. Langkah ke arah itu tentu saja harus didahului oleh sebuah pengungkapan fakta-fakta dan kebenaran yang sejelas-jelasnya sebagai syarat mutlak adanya rekonsiliasi.108

Konflik dan kekerasan di Aceh yang semakin berlarut-larut membuktikan strategi yang di gunakan pemerintah tidak berhasil. Peranan pemerintah pusat dapat menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan cara, pendekatan dan strategi yang tepat. Tentang peran pemerintahan pusat dalam konflik Aceh tidak hanya menghentikan konflik, tetapi juga harus mengisi suasana awal pasca konflik menjadi suatu keadaan damai yang berkelanjutan.109

      

108

Aceh Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, (Jakarta: Kontras, 2006), h. 154.

109

Dalam kerangka penyelesaian masalah Aceh, pemerintah pusat seringkali melakukan kebijakan militeristik yang represif, ini membuat rakyat Aceh sangat menderita, mereka hidup dalam kemiskinan, kebingungan, ketakutan, merasa tertekan dalam berbagai aspek, namun pemerintah pusat kembali menggelar operasi-operasi militer setelah di cabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie yaitu pada tanggal 8 Agustus 1998.110

Langkah-langkah pemerintahan Presiden Habibie dalam penyelesaian konflik Aceh, sebenarnya sudah mencoba untuk lebih mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun beliau tidak memiliki kontrol penuh atas polisi dan militer, yang kala itu secara personal berada di tangan Jenderal Wiranto. Akan tetapi, pendekatan tersebut di laksanakan setengah hati. Maka menambah kecewa masyarakat Aceh kepada pemerintah pusat.111

Angin segar baru berhembus pada awal 2000, ketika Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid diharapkan adanya langkah-langkah pemerintah yang berorientasi kepada penyelesaian konflik Aceh, Presiden Abdurrahman Wahid mencoba melakukan

      

110

Riza Sihbudi, dkk., Bara dalam Sekam :Identifikasi akan Masalah dan Solusi atas

Dokumen terkait