• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN BIDANG PERTAHANAN

5.2. Faktor Sosial Budaya

Wilayah Kabupaten Belu dibagi menjadi dua wilayah berdasar-kan karakteristik sosial budayanya, yaitu meliputi perbedaan adat perkawinan, bercocok tanam, adat-istiadat kematian, dan adat dalam membuat rumah. Masyarakat Belu Utara memiliki adat-istiadat perkawinan patrilinial yang sangat ketat, yaitu laki-laki wajib membayar sejumlah belis (mas kawin) kepada keluarga perempuan agar dapat membawa anak gadis dari keluarga perempuan ke keluarga laki-laki. Sedangkan masyarakat Belu Selatan memiliki adat-istiadat matrilinial,yaitu garis keturunan dan harta benda diatur berdasarkan garis keturunan ibu. Perempuan menguasai dan mengatur harta kekayaan keluarga.

Karakteristik sosial budaya juga dapat memengaruhi pola perkampungan masyarakat Kabupaten Belu atau masyarakat Timor. Pola perkampungan asli masyarakat Timor adalah se-buah kelompok padat dari rumah-rumah dan terdapat beberapa kandang ternak sapi berpagar di sekelilingnya. Selain itu, pola perkampungan berkembang karena perkembangan situasi keamanan pada masa lalu, yaitu masyarakat membangun per-kampungan atau desa di atas puncak gunung karang dan

dike-lilingi dinding batu atau semak berduri. Desa tersebut didiami kelompok kerabat dengan seorang kepala dan sekitar 50-60 orang. Ketika jumlahnya terlalu besar, maka sebagian dari mereka berpisah (membentuk cluster permukiman). Sedangkan pola perkampungan baru adalah pola perkampungan radial (memanjang sepanjang jalan). Selain itu, kondisi sosial budaya masyarakat sangat terkait dengan tradisi, adat-istiadat, pola, dan pandangan hidup terhadap kemajuan.

Karakteristik kebudayaan daerah Kabupaten Belu juga banyak dipengaruhi oleh budaya suku-suku bangsa lain di Indonesia, seperti pengaruh suku Jawa, Bugis Makassar, Ambon, serta pengaruh bangsa asing seperti Portugis dan Belanda pada zaman dahulu yang masuk melalui jalur perdagangan dan politik. Kesemuanya itu menciptakan keanekaragaman budaya yang dimiliki masyarakat Kabupaten Belu, seperti tampak dalam bahasa, sistem pemerintahan (dahulu), sistem religi, dan unsur-unsur budaya lainnya. Walaupun demikian, masyarakat Kabu-paten Belu masih menampakkan ketradisionalannya sebagai ciri khas yang tidak dimiliki oleh suku-suku di daerah lain.

Masyarakat Belu pada dasarnya memiliki sifat yang taat, utuh, setia, dinamis, dan patuh. Keinginan untuk maju cukup besar, namun bersifat “tertutup” karena masih dipengaruhi oleh tradisi dan kebiasaan-kebiasaan lama. Mereka sukar untuk me-nyampaikan permasalahannya kepada siapa saja yang tidak atau belum dikenal.

Dari aspek etnik yang berarti kesukuan atau suku bangsa, menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan ciri kesukuan suatu kelompok masyarakat, seperti sebarannya, tipe manusia-nya, cara hidup, dan corak budaya yang dimiliki. Berdasarkan

pengertian etnik tersebut, suku-suku yang terdapat di Kabupaten Belu adalah Tetun, Kemak,dan Marae. Sebagian besar suku di Kabupaten Belu umumnya menganut genealogis teritorial. Me-reka percaya bahwa seluruh warga suku sebenarnya merupakan satu asal keturunan, yang memiliki budaya, bahasa, dan wilayah adat tertentu.

Karakteristik sosial budaya masyarakat secara lebih rinci meliputi aspek adat kebiasaan, sistem kekeluargaan, bahasa yang dipergunakan sehari-hari, cara berpakaian, upacara adat, ting-kah laku, dan lain-lain.

Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh sebagian masya-rakat Kabupaten Belu berbeda-beda sesuai dengan dari suku mana dia berasal, yakni bahasa Tetun, Buna,dan Kemak. Tetapi, dikarenakan masyarakat Belu dewasa ini berasal dari berbagai daerah, ditambah dengan masuknya eks pengungsi Timor-Timur, maka bahasa yang digunakan pun semakin beragam bergantung dari mana dia berasal.

Masyarakat Belu memiliki budaya dan adat-istiadat yang turun-temurun dan diupayakan agar tetap lestari. Berdasarkan legendanya, adat asli Belu berasal dari dalam tanah atau leluhur yang disebut-sebut berasal dari “Sina Mutin Malaka”. Berdasar-kan penelitian para antropolog, di Kabupaten Belu ditemuBerdasar-kan penduduk asli Timor yang disebut “Melus” (Ema Melu), yang karena terdesak oleh para pendatang, mereka melakukan hijrah ke daerah lain yang kini tidak jelas keberadaannya.

Disebutkan bahwa suku yang merupakan pendatang adalah suku “Tetun” sebagai suku yang terbesar dengan daerah sebe-rangannya di Belu Utara. Selain itu, ada kelompok suku-suku kecil seperti Buna dan Tau yang tinggal di Kecamatan Lamaknen

dengan penyebaran yang tidak merata.Dikenal pula suku Kemak yang mendiami daerah perbatasan Kecamatan Lamaknen sam-pai ke pantai Utara. Suku Tetun merupakan suku yang paling banyak jumlah penduduknya di Kabupaten Belu. Suku ini tersebar di Belu bagian Selatan. Suku Buna (Marae) merupakan suku besar kedua di Kabupaten Belu yang banyak mendiami Belu bagian Utara. Terdapat pula suku Kemak yang mayoritas berprofesi sebagai petani, dan suku Dawan yang merupakan kelompok suku terkecil di Kabupaten Belu, karena suku ini adalah suku pendatang dari TTU dan TTS, yang umumnya men-diami wilayah perbatasan dengan Kabupaten TTU dan TTS.

Penduduk Kabupaten Belu merupakan masyarakat yang terbagi ke dalam 4 (empat) subetnik besar, yaitu Ema Tetun, Ema Kemak, Ema Bunak, dan Ema Dawan Manlea. Keempat subetnik tersebut menempati lokasi dengan karakteristik tertentu sesuai dengan kekhasannya. Sebagian besar penduduk tersebut beragama Kristen Katolik. Masing-masing etnik memiliki perbedaan dan persamaan bahasa dan praktek budaya, namun hal tersebut tetap membuat kerukunan di antaranya tetap berjalan.

Masyakarat Belu mengenal klasifikasi masyarakat ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:

1. Golongan pertama adalah Dasi, yakni golongan bangsawan yang menempati lapisan terpusat. Golongan inilah yang akan memangku jabatan kepemerintahan secara turun-temurun (pemimpin disebut Loro atau Liurai atau Na’i). 2. Golongan kedua adalah Renu, yakni golongan rakyat jelata

3. Golongan ketiga adalah Ata atau Klason, yakni golongan hamba sahaya. Golongan ini merupakan tawanan perang yang dijadikan budak untuk melayani kebutuhan golongan

Renu atau Dasi.

Kondisi sosial kependudukan masyarakat Kabupaten Belu ditunjukkan dengan kondisi masih tingginya angka kemiskinan, yakni sebanyak sekitar 80% KK. Selain itu, masih rendahnya pendapatan per kapita penduduk, yaitu sebesar Rp 1,8 juta (2008). Sedangkan pendapatan per kapita penduduk Provinsi NTT se-be sar Rp 2,2 juta dan nasional sese-besar Rp 4,1 juta.

Kalau masalah antarwarga, cukup diselesaikan secara keke-luargaan atau adat. Tetapi kalau sudah melanggar hukum,

di-serah kan kepada aparat yang berwenang.16

Terkait masalah kriminalitas, polisi yang menangani. Sedang-kan masalah yang menggangu kedaulatan, ditangani TNI. Pemda jarang menuntaskan. Kalau ada permasalahan di antara warga, biasanya terlebih dahulu dituntaskan secara kekeluargaan atau adat oleh para tokoh masyarakat. Tetapi saat ini masalah di garis batas tidak terlalu mengkhawatirkan, mengingat

masya-rakatnya banyak yang telah sadar hukum.17

Kalau ada masalah di perbatasan, biasanya ditangani aparat kepolisian dan TNI. Tetapi saat ini masalah diperbatasan dapat

dikatakan aman dan tidak banyak masalah.18

16 Hasil wawancara dengan Bupati Belu di Kantor Bupati di Kota Atambua pada 9 Juni 2011.

17 Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Sosial Budaya Bappeda Kabupaten Belu di Kantor Bappeda di Kota Atambua pada 11 Juni 2011.

18 Hasil wawancara dengan Kepala Bidang Keamanan, Ekonomi, dan Sosial Budaya Badan Kesbangpol Linmas di Kantor Kesbang Linmas di Kota Atambua pada 10 Juni 2011.

Pemda pernah ada masalah ketika membuat perda tentang pungutan kepada kendaraan yang berasal dari Timor Leste. Perda

itu dicabut kembali, karena desakan Kementerian Luar Negeri.19