• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pencahayaan merupakan parameter yang sangat penting dalam pendisainan dan perakitan suatu FBR. Meski demikian parameter ini sangat sulit ditentukan kisaran yang paling ideal untuk peruntukan suatu FBR. Pencahayaan bisa diterapkan secara terus menerus sepanjang hari atau berdasarkan periode tertentu (light-dark cycles) tergantung dari biologi spesies yang dibiakkan dalam FBR. Beberapa alga ada yang menyukai pencahayaan yang terbatas, ada pula yang bersifat phototrophs yang memerlukan intensitas pencahayaan yang tinggi dan terus menerus. Secara umum, mikroalga bersifat phototroph sehingga tingginya tingkat pencahayaan akan meningkatkan growth rate nya (Acien 2000). Tabel 9 memperlihatkan hasil kajian para peneliti berkaitan dengan intensitas cahaya dalam fotobioreaktor yang digunakan.

Tabel 9 Peneliti dan aplikasi penggunaan cahaya dalam FBR

No Peneliti Intensitas cahaya yg

digunakan

Keterangan

1 Wu et al. 2002 250 uE.m-2 s-1 luar ruangan

2 Minoo et al. 1991 1-2 mW/cm2 luar ruangan

3 Acien 2000 185 uE.m-2 s-1 luar ruangan

4 Doucha 2005 300-380 W.m-2 luar ruangan

Cahaya merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk mikroalga untuk melakukan fotosintesis. Lewis (1967) dalam Paramita (2008) menyatakan bahwa siklus hidup Chlorella sp yang optimum berlangsung pada intensitas cahaya 400-2500 lux.

Pemeliharaan mikroalga di laboratorium biasanya memakai lampu fluoresen yang memiliki keunggulan antara lain hemat energi karena seluruh energi listrik diubah menjadi energi cahaya, tidak menghasilkan panas yang tinggi sehingga dapat mempengaruhi kultur miktoalga (Paramita 2008). Intensitas cahaya dalam lampu flouresen sebesar 40 Watt = 4000 lux. Intensitas cahaya yang tinggi dapat menyebabkan pertumbuhan sel yang pesat pada awal pertumbuhan, tetapi kemudian sel mati (Paramita 2008).

Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintetis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Kebutuhan akan cahaya bervariasi tergantung kedalaman kultur dan kepadatannya. Intensitas cahaya yang terlalu tinggi dapat menyebabkan fotoinbihisi dan pemanasan. Intensitas cahaya 1000 lux cocok untuk kultur dalam Erlenmeyer, sedangkan intensitas 5000-10000 lux untuk volume yang lebih besar.

2.4.2 Sirkulasi Media dan Gas dalam FBR

Sirkulasi media dan gas juga merupakan parameter penting yang dipertimbangkan dalam perakitan FBR. Fungsi utama sirkulasi dalam FBR antara lain (Merchuk 2000):

a. menjaga sel mikroalga selalu dalam kondisi suspended

b. mengurangi stratifikasi suhu yang tinggi c. membantu distribusi nutrien

d. meningkatkan perpindahan gas/menambah permukaan reaksi antara gas dan media

e. mengurangi mutual shading dan photoinhibition

Beberapa variasi sirkulasi media yang sering diaplikasikan dalam FBR antara lain (Vunjak et al. 2005):

a. menggunakan stirerred-tank

b. bubling udara secara langsung

c. bubling udara secara tidak langsung dengan airlift sistem d. static mixer

Sirkulasi yang kita berikan dalam FBR harus disesuaikan dengan kemampuan adaptasi mikroalga yang kita pelihara. Tingginya kecepatan bubling udara dalam FBR akan menyebabkan stress pada mikroalga. Oleh karena itu kecepatan bubling udara ini harus ditentukan seoptimal mungkin bagi kehidupan mikroalga. Beberapa pengalaman peneliti dalam penerapan kecepatan bubling dalam FBR disajikan dalam Tabel 10.

Tabel 10 Peneliti dan penerapan kecepatan bubling dalam FBR

No Peneliti Kecepatan bubling udara Keterangan

1 Contreras et al. 1998 V=0.055 m.s-1 luar ruangan

2 Ugwu et al. 2002 kLa=0.02 s-1 luar ruangan

3 Merchuk 2000 V=0.02 m.s-1 luar ruangan

4 Zhang et al. 1999 V=0.024 m.s-1 luar ruangan

5 Acien 2000 V=0.25 m.s-1 luar ruangan

6 Camacho 1999 V=0.16 m.s-1 luar ruangan

Aplikasi injeksi gas CO2 dalam FBR sering dilakukan dalam upaya selain untuk

meningkatkan produktivitas FBR juga dalam rangka misi lingkungan yakni mengurangi gas CO2. Prinsip utama yang harus diperhatikan dalam injeksi gas tersebut adalah

mengusahakan agar proses injeksi yang dilakukan tidak menurunkan pH media, untuk itu strategi yang harus dilakukan adalah meningkatkan kegiatan mengontrol pH media dalam FBR.

2.4.3 Suhu

Suhu dapat berpengaruh secara langsung terhadap metabolism sel. Suhu minimum yang diperlukan Chlorella sp untuk tumbuh adalah 5oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 20–35oC. Jika suhu di bawah 5oC maka pertumbuhan akan terhambat dan menurunkan kelarutan karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2) serta akan menggeser

keseimbangan reaksi respirasi dan fotosintesis. Sedangkan jika suhu kultur diatas 35oC akan menyebabkan kematian sel (McVey 1993 dalam Paramita 2008).

Menurut Reynolds (1990) suhu optimal bagi pertumbuhan mikroalga adalah 25- 40oC. Suhu mempengaruhi proses-proses fisika, kimia dan biologi yang berlangsung dalam sel mikroalga. Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktivitas molekul, meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Enzim- enzim yang bekerja dalam proses fotosintesis hanya dapat bekerja pada suhu optimalnya. Umumnya laju fotosintensis meningkat seiring dengan meningkatnya suhu hingga batas toleransi enzim. Selain gas CO2 dan O2, pH dan suhu adalah parameter

penting yang harus selalu diukur dan dikontrol selama pembiakan dalam FBR berlangsung. Banyak metode yang digunakan dalam mengontrol dinamika parameter pH dan suhu, baik yang automatic maupun manual. (Tubalawoni 2001).

2.4.4 Derajat Keasaman (pH)

Rentang pH yang baik untuk pertumbuhan mikroalga adalah 6-9. Menurut Salisbury (1992) dalam Paramita (2008), perubahan pH medium dapat menyebabkan perubahan kelarutan ion ion misalnya garam-garam besi (Fe), seng (Zn), mangan (Mn), dan kalsium (Ca) menjadi sukar larut sehingga menyebabkan terhambatnya proses fotosintesis. McVey (1993) dalam Paramita (2008) berpendapat bahwa pH juga berkaitan erat dengan karbondioksida dan alkalinitas. Semakin tinggi pH maka semakin tinggi pula nilai alkalinitas dan semakin rendah kadar karbondioksida (CO2) bebas

padahal kebutuhan organisme produsen akan karbondioksida (CO2) cukup tinggi untuk

melakukan proses fotosintetis. 2.4.5 Nutrien

Pertumbuhan suatu jenis mikroalga sangat erat kaitannya dengan faktor ketersediaan unsur hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yaitu, hara makro dan mikro. Pada kultur mikroalga sangat dibutuhkan berbagai senyawa anorganik baik hara makro yaitu Nitrogen (N), fosfor (P), sulfur (S), kalium (Cl), natrium (Na), kalsium (Ca) dan karbon (c) maupun unsur hara mikro yaitu besi (Fe), mangan (Mn), seng (Zn) iodium (I), boron (Br), silicon (Si), tembaga (Cu), molybdenum (Mo), dan kobalt (Co). Setiap unsur hara memiliki fungsi fungsi khusus yang tercermin pada pertumbuhan dan kepadatan yang dicapai, tanpa mengesampingkan pengaruh kondisi lingkungan. Unsur nitrogen (N), fosfor (P), dan sulfur (S) penting untuk pembentukan protein, sedangkan kalium (Cl) berfungsi sebagai metabolism karbohidrat. Besi (Fe) dan natrium (Na) berperan untuk pembentukan klorofil, kemudian silicon (Si) dan kalsium (Ca) merupakan bahan untuk pembentukan dinding sel. Vitamin B12 banyak digunakan untuk memacu pertumbuhan melalui rangsangan fotosintetik (Isnansetyo et al. 1995).

Di daerah yang mengalami pencemaran bahan organik, ketersediaan unsur hara tersedia dalam jumlah yang sangat tinggi yang jika disuplai oleh kesesuaian beberapa faktor fisik perairan seperti ketersediaan cahaya dan dinamika air, dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan berlebihan mikroalga. Kejadian ini disebut dengan blooming

phytoplankton. Daerah yang mengalami proses penyuburan berlebih ini disebut sebagai daerah yang mengalami proses eutrofikasi.

Dampak lanjutan dari proses eutrofikasi ini berupa: (1) deplesi oksigen (2) kematian ikan secara massal dan biota air karena deplesi oksigen dan racun (3)

blooming algae yang beracun (toxic algae). Di beberapa daerah di Indonesia, kematian biota laut yang diakibatkan oleh blooming phytoplankton telah sering terjadi seperti di daerah Teluk Jakarta (Adnan 1994, Damar 2003).

Dokumen terkait