• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 LANDASAN TEORI

2.1.2 Tinjauan Umum ISPA

2.1.2.6 Faktor yang Mempengaruhi ISPA

Banyak faktor yang berperan dalam kejadina ISPA baik itu fakor intrinsik maupun faktor ekstrinsik. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

2.1.2.6.1. Faktor Intrinsik

Faktor intrinsik merupakan faktor yang berasal dari dalam tubuh balitayang memberikan pengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA pada balita. Faktor intrinsic adalah faktor yang meningkatkan kerentanan (suscepbility) penjamu terhadap kuman penyebab faktor ini terdiri dari status gizi balita, status imunisasi balita, riwayat BBLR, dan umur balita.

a. Status imunisasi

Imunisasi adalah salah satu bentuk intervensi kesehatan yang efektif dalam upaya penurunan angka kematian bayi dan balita. Imun merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga ketika bayi terpajan antigen yang serupa tidak terjadi penyakit . pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya penyakit tertentu atau imunisasi adalah suatu upaya untuk mendapatkan kekebalan terhadap suatu penyakit dengan cara memasukkan kuman atau produk kuman yang sudah dilemahkan atau dimatikan kedalam tubuh. Memasukkan kuman atau bibit penyakit tersebut diharapkan tubuh dapat menghasilkan zat anti yang digunakan tubuh untuk melawan kuman atau bibit penyakit yang menyerang tubuh (Ranuh. I.G.N, 2005:7 dalam penelitian Rahyuni, 2009)

b. Riwayat BBLR

Berat badan lahir menetukan pertumbuhan, perkembangan fisik dan mental pada masa balita. Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai resiko kematian yang lebih besar dibandingkan dengan berat badan lahir normal, terutama pada bulan pertama kelahiran karena pembentukan zat anti

kekebalan kurang sempurna sehingga lebih mudah terkena penyakit infeksi, terutama pneumonia dan sakit saluran pernapasan. Menurut Almatsier, apabila daya tahan terhadap tekanan atau stress menurun, maka sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga mudah terserang infeksi. Pada hal ini dapat mengakibatkan kematian (Almatsier, 2003:11).

c. Umur balita

Bayi umur <1 tahun mempunyai risiko lebih tinggi terhadap ISPA dan bayi umur <2 tahun lebih tinggi risikonya terhadap pneumonia. Hal ini kerena imuniatas anak umur kurang dari 2 tahun belum baik dan lumen saluran napasnya masih relatif sempit. Menurut soetjiningsih, dalam tumbuh kembang anak umur yang paling rawan adalah masa balita oleh karena pada masa tersebut anak mudah sakit dan terjadi kurang gizi (Soetjiningsih, 1995:6 dalam penelitian Rahyuni, 2009).

d. Status gizi

Status gizi merupakan ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2002). Selain itu status gizi juga dapat diartikan sebagai keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi seta penggunaan zat-zat tersebut. Status gizi pada balita dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain sosial ekonomi rendah (kemiskinan), pola asuh yang tidak memadahi (pengetahuan dan ketrampilan ibu mengenai gizi masih rendah), sanitasi dan pelayanan kesehatan dasar yang kurang memadahi. Balita dengan gizi buruk atau kurang (malnutrisi) akan lebih mudah terkena penyakit infeksi dibandingkan

dengan balita dengan gizi baik, hal ini disebabkan karena gizi kurang berhubungan positif terhadap daya tahan tubuh (Arisman, 2004).

Untuk mengetahui status gizi pada balita salah satunya dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS). KMS untuk balita adalah alat yang sederhana dan murah, yang dapat digunakan untuk memantau kesehatan dan pertumbuhan balita. KMS berisi catatan penting tentang pertumbuhan, perkembangan anak, imunisasi, penanggulangan diare, pemberian kapsul vitamin A, kondisi kesehatan anak, pemberian ASI eksklusif dan Makanan Pendamping ASI, pemberian makanan anak dan rujukan ke Puskesmas/ Rumah Sakit. KMS juga berisi pesan-pesan penyuluhan kesehatan dan gizi bagi orang tua balita tentang kesehatan anaknya (Depkes RI, 2000).

2.1.2.6.2. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh, biasanya disebut sebagai faktor lingkungan. Faktor ekstrinsik merupakan faktor risiko yang dapat meningkatkan pemaparan (exposure) dari penjamu terhadap kuman penyebab yang terdiri atas 3 unsur yaitu biologi, fisik, sosial ekonomi yang meliputi kondisi fisik rumah, jenis bahan bakar, ventilasi, kepadatan hunian, care seeking, polusi asap dapur, lokasi dapur, pendidikan ibu, pekerjaan orang tua, dan penghasilan kelurga.

Selain faktor kondisi fisik lingkungan rumah dan praktek perilaku hidup bersih dan sehat, ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Faktor tersebut antara lain:

a. Status ekonomi

Status ekonomi sulit untuk dibatasi. Hubungan dengan kesehatan juga kurang nyata. Namun yang jelas adalah kemiskinan erat hubungannya dengan penyakit, hanya sulit dianalisa yang mana sebab dan yang mana akibat (Slamet, Juli Soemirat, 1999:88 dalam penelitian Rahyuni 2009). Status ekonomi menentuka kualitas makanan, kepadatan hunian, gizi, taraf pendidikan, fasilitas air besih, sanitasi, kesehatan, dst.

b. Pendidikan

Pendidikan adalah proses seseorang mengembangkan kemampuan, sikap, dan bentuk tingkah laku lainnya dalam masyarakat ia hidup, proses sosial, dan dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang terpilih dan terkontrol (khususnya yang datang dari sekolah), sehingga ia dapat memperoleh atau mengalami perkembangan kemampuan sosial dan kemampuan individu yang optimal (Munib, Achmad dkk., 2004:33 dalam penelitian Rahyuni, 2009). Kualitas pendidikan berbanding lurus dengan pencegahan penyakit. Informasi yang diperoleh tentang kesehatan, pembatasan kelahiran, kebiasaan yang menunjang kesehatan (Slamet, Juli Soemirat, 1999:89 dalam penelitian Rahyuni 2009).

Pendidikan terbagi dalam ruang lingkup yang meliputi pendidikan formal, informal dan non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang mempunyai bentuk dan organisasi tertentu, seperti terdapat di sekolah, atau universitas. Pendidikan informal adalah pendidikan yang diperoleh seseorang di rumah dalam bentuk lingkukangan keluarga. Pendidikan ini berlangsung tanpa pendidik, tanpa suatu program yang harus diselesaikan dalam jangka waktu tertentu, dan tanpa

evaluasi yang formal dalam bentuk ujian (Kusumo, Kunaryo Hadi, 1996:25 dalam penelitian Rahyuni, 2009).

c. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang terpenting dalam membentuk tidakan seseorang (Notoatmodjo, Soekidjo, 2003:121).

d. Perilaku

Perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan dari pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi, dan sebagainya dari orang tua masyarakat yang bersangkutan. Disamping itu ketersediaan fasilitas kesehatan dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terjadinya perilaku (Notoatmodjo, Soekidjo, 2003:165).

Dokumen terkait