• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Kecerdasan Emosional

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain: a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri individu untuk menanggapi lingkungan sekitar. Yang termasuk ke dalam faktor internal adalah faktor neurologis dan mekanisme

kerja otak. Goleman (2002) menguraikan tentang bagaimana otak manusia itu tumbuh sebagai berikut:

1) Pertumbuhan dimulai dari batang otak untuk mengatur fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernapas dan metabolisme otak lain serta mengendalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang sama. Otak ini telah diprogram untuk menjaga agar tubuh berfungsi sebagaimana mestinya dan bereaksi dengan cara yang tidak membahayakan kelangsungan hidup.

2) Kemudian lobus olfaktori sebagai tempat tumbuhnya pusat emosi primitif

3) Sistem limbik yang menambah emosi dan mempertajam pembelajaran dan ingatan. Bila seseorang sedang dikuasai oleh hasrat atau amarah, jatuh cinta atau ketakutan maka sistem limbik inilah yang sedang bekerja.

4) Rhinencephalon atau “otak hidung” yaitu bagian saluran limbik dan dasar rudimeter neokorteks yakni otak yang berpikir terdiri dari hippocampus dan amigdala. Hippocampus dan amigdala merupakan dua bagian penting “otak hidung” primitif yang dalam evolusi memunculkan korteks serta kemudian neokorteks. Hingga saat ini, kedua struktur limbik itu melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan pembelajaran otak. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah emosional. Apabila amigdala dipisahkan dari bagian otak

lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang amat mencolok dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa yang disebut kebutaan afektif. Amigdala berfungsi sebagai semacam gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna emosional itu sendiri hidup tanpa makna pribadi sama sekali. Semua nafsu dan perasaan kasih sayang terikat pada amigdala. Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruhnya pada neokorteks merupakan inti kecerdasan emosional. Neokorteks sebagai otak berpikir yang menumbuhkan perasaan tentang seni, ide, simbol, dan khayalan serta menambah nuansa pada kehidupan emosional.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar individu yang mempengaruhi/mengubah kecerdasan emosional individu. Faktor-faktor itu diantaranya adalah keluarga, pendidikan, budaya dan jenis kelamin.

Shapiro (2001) mengemukakan bahwa keluarga adalah salah satu tempat pendidikan dalam pembelajaran emosional. Kagan (dalam Shapiro, 1998) mengatakan bahwa secara harafiah perkembangan otak seseorang dapat berubah jika orang tua mau membantu mereka dalam mengatasi suatu masalah. Goleman (1999) mengatakan bahwa pembelajaran emosi yang diberikan orang tua pada anak memiliki pengaruh besar terhadap

temperamen anak. Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui hal-hal yang diucapkan oleh orang tua secara langsung pada anaknya melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan sewaktu menangani perasaannya sendiri.

Secara garis besar pola asuh orang tua kepada anak dapat digolongkan menjadi 3 yaitu otoriter, permisif dan otoritatif. Orangtua otoriter memberlakukan peraturan yang ketat dan menuntut anaknya untuk menaati segala peraturan yang ada. Pada prinsipnya membatasi ruang kehidupan anak. Orang tua tidak memberi kesempatan kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri. Jika anak menolak atau tidak patuh pada perintah ataupun aturan yang ditetapkan oleh orang tua, maka mereka akan mendapatkan hukuman. Akan tetapi jika anak mematuhi perintah orang tua, maka mereka tidak akan mendapat penghargaan atau pujian dari orang tuanya. Orang tua tidak pernah mengekspresikan perasaannya di depan anak dan cenderung mengutamakan kedudukannya sebagai orang tua. Dengan kondisi demikian, anak tidak pernah belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri, bagaimana orang lain menanggapi perasaannya serta belajar mengungkapkan harapan dan rasa takut atau dengan kata lain pembelajaran emosi tidak didapatkan dengan pola asuh orang tua yang demikian. Akhirnya dengan siapapun mereka berhadapan, mereka akan selalu menempatkan diri mereka lebih rendah

daripada orang lain, suka tergantung pada orang lain dan mudah mengalami kekecewaaan.

Orangtua permisif membesarkan anak tanpa adanya batasan/aturan yang mengikat sehingga terkesan bebas. Akhirnya anak menjadi terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu dengan cara yang mudah dan cepat. Jika ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya, anak akan mudah kecewa dan marah. Selain itu anak tidak akan belajar berpikir tentang perasaan dan pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi karena orang tua tidak pernah memberi contoh tentang pembelajaran emosi secara langsung. Pola asuh seperti ini tidak membantu anak mencerdaskan emosinya.

Orangtua otoritatif menghargai kemandirian anak-anaknya namun juga menuntut mereka untuk memenuhi tanggung jawab kepada keluarga, teman, maupun masyarakat. Selain itu orang tua otoritatif bersikap empati untuk menghibur tanpa memperbesar kesedihan/kecemasan serta menetapkan batas-batas yang tegas dan mewajibkan sikap patuh akan membuat anak belajar untuk mengatasi dan menghadapi emosi tersebut. Sikap orang tua yang demikian akan mengembangkan kecerdasan emosional pada anak.

Faktor pendidikan memiliki peranan yang penting dalam mendukung perkembangan kecerdasan emosional. Menurut Gie (dalam Pertiwi 1997), pendidikan dapat diperoleh melalui

pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal merupakan program kelembagaan pendidikan yang ditentukan oleh pihak yang berwenang yang layak diberikan oleh sekolah, institut, sekolah tinggi, dan universitas yang dibentuk untuk tujuan tunggal serta memberikan pengajaran dalam suatu cara yang tertib, terencana, dan sistematik. Melalui sistem pendidikan yang berada dalam institusi resmi ini maka potensi kecerdasan emosional dapat dikembangkan.

Pendidikan informal diberikan di luar sistem pendidikan yang tersusun formal, misalnya dalam keluarga dan kelompok-kelompok lainnya. Tumbuhnya kecerdasan emosional seseorang dapat terjadi karena adanya peran pada masing-masing anggota keluarga yang ada.

Pendidikan nonformal merupakan pendidikan dan pelatihan non sekolah yang tersusun sistematik, biasanya untuk jangka waktu pendek yang selama jangka waktu itu badan yang mendidik mengusahakan suatu perubahan perilaku khususnya pada sekelompok orang yang dituju. Misalnya program pelatihan

outbound dan seminar. Melalui kegiatan-kegiatan semacam itu

maka kemampuan seseorang dalam mengelola diri, khususnya pengelolaan diri ke dalam jalur emosi akan terbentuk sehingga seseorang akan memiliki kecerdasan emosional.

Faktor yang turut mempengaruhi kecerdasan emosional adalah faktor budaya dan jenis kelamin. Latar belakang budaya dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam mengungkapkan emosi. Perbedaan terkadang nampak pada bentuk respon seseorang terhadap stimulus tertentu sebagaimana yang biasa diberikan oleh masyarakat/lingkungan yang melatarbelakanginya. Menurut Gottman dan De Claire (1997), pengaruh budaya semacam itu tidak mengganggu kemampuan seseorang untuk merasa, sehingga orang dari semua latar belakang budaya memiliki kemampuan untuk peka terhadap perasaan mereka masing-masing. Faktor jenis kelamin dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam mengungkapkan emosi yaitu terdapat perbedaan cara mengungkapkan emosi antara laki-laki dan perempuan.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu: faktor internal yang berasal dari dalam diri individu untuk menanggapi lingkungan sekitar serta faktor eksternal yang meliputi keluarga, pendidikan, budaya dan jenis kelamin.

Dokumen terkait