PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
NOVI TRI ASTARINI 029114019
JURUSAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si.
I Asked JESUS, “How much do you love me ? “
“This much “ he answered,
An he stretched out his arms and died.
JANGANLAH MEMBIARKAN MATAMU TIDUR, DAN KELOPAK
MATAMU MENGANTUK; LEPASKANLAH DIRIMU SEPERTI
KIJANG DARI PADA TANGKAPAN, SEPERTI BURUNG DARI
Ketika aku mohon kepada-Nya KEKUATAN..
Dia memberikan KESULITAN agar aku menjadi kuat.
Ketika aku mohon kepada-Nya KEBIJAKSANAAN..
Dia memberiku MASALAH untuk kupecahkan.
Ketika aku mohon kepada-Nya KEBERANIAN..
Dia memberiku KONDISI BAHAYA untuk kuatasi.
Ketika aku mohon kepada-Nya SEBUAH CINTA..
Dia memberiku ORANG BERMASALAH untuk kutolong.
Ketika aku mohon kepada-Nya BANTUAN..
Dia memberiku KESEMPATAN untuk kugunakan.
Aku tidak pernah menerima apa yang KUMINTA..
Tetapi aku menerima apa yang KUBUTUHKAN.
Kupersembahkan karya kecil ini untuk :
9 Yesus Kristus sumber hidup dan pengharapanku..
Kekuatan dan kasihku… Love Jesus..
9 Bunda Maria, Bunda Allah…Inspirasi hidupku. Saat aku
sedih dan lemah, Engkau selalu merangkulku.
Trimakasih Bunda…
9
Bapak & Ibu, cinta terhebat dalam hidupku…
9
Kakak-kakakku serta keponakan-keponakanku yang
kukasihi…
9
Menda, sandaran & cahaya hatiku…
9
Om Fred Ataboe, penolongku…
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta,
Penulis
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Novi Tri Astarini
Nomor Mahasiswa : 029114019
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak umtuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 19 Februari 2008
Yang menyatakan
ABSTRAK
PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR
Novi Tri Astarini 029114019 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator. Meditator adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar untuk melakukan meditasi sedangkan non meditator adalah orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar untuk melakukan meditasi. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi daripada kecerdasan emosional non meditator.
Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 50 meditator dan 50 non meditator, Data diperoleh dengan menggunakan skala kecerdasan emosional. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,937. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t independent, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara melihat distribusi t terhadap signifikansinya.
Dari perhitungan menunjukkan nilai t sebesar 12,643, dengan sig. 0,000 (kurang dari 0,01). Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini diterima. Artinya ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi daripada non meditator.
ABSTRACT
THE EMOTIONAL INTELLIGENT DIFFERENTIATION BETWEEN MEDITATOR AND NON-MEDITATOR
Novi Tri Astarini 029114019 Faculty of Psychology Sanata Dharma University
Yogyakarta
The purpose of this comparative study is to find out the emotional intelligent differentiation between meditator and non-meditator. Meditators were people who had the desire to consciously meditate while non meditators did not have the desire to carry out meditation. The hypothesis of the study claimed that there is a differentiation between meditator and non-meditator; the emotional intelligent of meditator is higher than the emotional intelligent of non-meditator.
The subject of this research was consisted of 50 meditators and 50 non-meditators. The data was collected using emotional intelligent scale. The discrimination capacity scale used ≥ 0.3 as the limit point with the reliability coefficient of 0.937. Data of this research was analyzed using independent t-test. In this stage, the hypothesis was proved by observing the distribution of t towards its signification.
The result of the study showed that the value of t is 12.643 with sig. 0.000 (less that 0.01). Finally, this was proved that the hypothesis of this study was accepted that there is a differentiation between meditator and non-meditator; the emotional intelligent of meditator is higher than the emotional intelligent of non-meditator.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hidup,
berkat, karunia, kasih serta tuntunan yang tiada akhir kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi ini merupakan penelitian
mengenai perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma.
Penulis menyadari akan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penulis
sehingga dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaian
penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu, tak lupa kiranya penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhanku “Yesus Kristus” yang begitu mengasihiku dan mencintaiku.
Terima kasih Yesus karena Engkau tidak pernah meninggalkanku dan
selalu peduli padaku..Thanks GOD..
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universita Sanata Dharma.
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi selaku Kepala Program Studi
Psikologi.
4. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku dosen pembimbing akademik.
Terimakasih atas bimbingan dan suportnya selama saya menjadi
5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi selaku dosen pembimbing
akademik pengganti. Terima kasih.
6. Ibu M.M. Nimas Eki, S.Psi selaku dosen pembimbing skripsi.
Terimakasih atas waktu, tenaga, perhatian, arahan serta semangat yang
tidak henti-hentinya ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
7. Ibu Agnes Indar E,. S. Psi dan bapak Y. Heri Widodo, S.Psi selaku
dosen penguji.
8. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
9. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji serta Mas Doni yang telah
membantu banyak hal dan meluangkan waktu untuk memberikan
kemudahan dan kenyamanan selama penulis belajar di fakultas psikologi
ini.
10.Pak Gie yang selalu memberikan kehangatan lewat senyuman yang
datang dari dalam hati serta pelayanan yang tiada akhir selama penulis
belajar di fakultas psikologi ini.
11.Bapak, ibu serta teman-teman semua yang telah bersedia membantu
penulis mengisi angket untuk penelitian ini.Terima kasih..
12.Bapak & Ibu yang selalu mencintaiku tanpa akhir Terima kasih atas
kasih sayang, pengorbanan, tenaga, dukungan, ciuman, belaian, pelukan,
semangat, omelan dan doa yang luar biasa begitu hebatnya untuk diriku.
13.Kakak-kakakku yang terkasih, “Mz Kun, Mbk Menik+Mz Dal, Mbk
Arum+Mz Iwan “. Terimakasih selalu menyayangiku, mendoakanku,
membuat hidupku menjadi lebih berarti, everything..
14.Keponakan-keponakan kecilku yang tersayang, “kakak (okta), putri
(iput), tia, dea, via n sekar”. Selalu mensuport, mendoakan, mencintai,
yang selalu ngangenin, membuat heboh n’ jahil..Opic sayang kalian
semua..Miss U ☺
15.Schatz, Mendaku....”W. Danang H.”.Waoooow…Klo dibuat novel, pasti
akan ada serinya,hehehe. Perjalanan yang panjang n penuh dengan
surprise maupun deraian telah kita lewati. “Cinta tidak memberikan
apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa-apapun kecuali dirinya
sendiri”. Kamu begitu indah buatku…LoVe U Schatz ☻
16.Keluarga besar Joyosudarmo yang selalu mengalirkan kehangatan n
panjatan doanya untuk aku..
17.Om Fred Atabue dan keluarga, terimakasih atas uluran kasih untukku.
18.Bapak alm. Sriyanto beserta ibu Sriyanto. Terimakasih atas doa, kasih
sayang, cinta, nasehat yang selalu mengalir untuk aku, terlebih telah
menerima Novi apa adanya menjadi bagian keluarga baru. Terimakasih
juga untuk Mas Sukir& Mbak Ani (atas supportnya), Mas
Hendrik&Mbak Lisa, Mbak Asti, Mas Yoyok&Mbak Duma (atas
nasehat n supportnya), Dido (atas bantuan n ejekannya,hehehe), Andika
(bantuan, keikhlasan n story tellingnya) serta Okta, Bram n Gaby yang
19.Gabor, Anis & Angik, sahabat kecilku n kurcaci-kurcaciku yang selalu
ada n selamanya di hatiku..Makasih ya, jadi sahabat terhebat buatku.
20. Tumpahan kebahagiaan n kesedihanku “Thea, Adjenk n
Mitha”..Terimakasih untuk keceriaan dan persahabatan kita. Kalian telah
memberikan banyak warna kehidupan untukku.. Luv U Girls ☺
21.Sahabat-sahabat segerilyaku, “Fista, Trisa, Ntrie, Tanti, Ucik
Kecil,Yakyuk, Lita, Wiwin, Astria”. Makasih atas pelukan yang hangat,
nasehat n kejadian-kejadian tak terduga untuk aku. Terutama telah
menemani n mau kurepotkan selama kuliah ini. Akhirnya aku bisa naek
motor juga khan??? Hihihihi…….☻ MIZZ U All
22.Teman-teman Psikologi 2002: Wedha, Elvin, Laura, Mas Adi, Suko,
Wawan, Donat, Ina, Lisna, Dewi, Pitha, Doni, Si Y, Vincent, Obeth, dan
masih banyak lagi yang ga bisa aku sebutin satu-satu. Makasih atas
kebersamaan dan kebahagiaan yang indah.
23.Mas Uki Sadewa, partner n guru besarku. Pelajaran indah n bermakna
banyak aku dapet dari mas. Makasih atas semuanya terlebih atas doa
yang tak pernah surut. Aku akan selalu ingat, “Cintai dengan tulus dan
kasih”..GBU
24.Keluarga kecilku “Asta Mistika”: Thea, Wedha (atas kasih n doa yang
selalu mengalir untukku), Adjenk, Wiwin, Aning, Asih, Mas Nano, Mas
Rusman n Mas Bud. Makasih untuk kerjasama n kebersamaannya…☺
25.Teman-teman KKN “Destan Crew” : Santi, Erry, Riri, Windhu, Maria,
Suneo, Iman, Ledu n Ien. Ketemu yuk n membentuk kekacauan
lagi,hehehe.Bahagianya 1 bulan bersama kalian. GBU All.
26.Tina Toon, makasih atas les privat SPSS untukku. Privat lagi ya, hehehe.
27.Fika, atas peminjaman bukunya. Berguna banget loh..Miss U.
28.Mas Beni,,,, Lama banget ya monitornya??? Maaaap n makasih
bangettttttt ya ☺ Mau minta apa neh?????
29.Anggota ”Djemari”, mz Ita, mz Dodi n Neneng yang selalu kurepotkan
dan terlebih mau memberikan aku diskon. Huaaaaa.... Matur nuwun
sanget.
30.Last but not least… “Pelita Hati”, yang datang dan pergi dalam
kehidupanku dan ikut menyumbang goresan tintanya untukku. Makasih
n Tuhan memberkati.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang
membangun untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini. Mohon maaf bila
terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penjelasan.
Yogyakarta, November 2007
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN MOTTO ... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT... x
KATA PENGANTAR ... xi
DAFTAR ISI... xvi
DAFTAR LAMPIRAN... xix
DAFTAR GAMBAR ... xx
DAFTAR TABEL... xxi
BAB I. PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II. LANDASAN TEORI ... 8
1. Pengertian Emosi ... 8
2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 9
3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 10
4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 17
B. Meditasi... 18
1. Pengertian Meditasi... 18
2. Meditator dan Non Meditator ... 20
3. Bentuk dan Proses Meditasi ... 21
C. Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator ... 25
D. Hipotesis... 29
E. Skema Kecerdasan Emosional ... 30
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31
A. Jenis Penelitian... 31
B. Identifikasi Variabel... 31
1. Variabel Bebas ... 31
2. Variabel Tergantung... 31
C. Definisi Operasional ... 31
1. Kecerdasan Emosional ... 31
2. Meditasi... 33
D. Subjek Penelitian... 34
E. Metode Pengumpulan Data ... 34
1. Validitas ... 37
2. Daya Beda Item... 38
3. Reliabilitas ... 40
G. Prosedur Penelitian ... 40
H. Teknik Analisis Data... 41
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43
A. Pelaksanaan Penelitian ... 43
B. Hasil Penelitian ... 44
1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 44
2. Hasil Analisis Data... 44
a. Deskripsi Data... 44
b. Hasil Uji Asumsi ... 45
1) Uji Normalitas... 45
2) Uji Homogenitas ... 46
c. Uji Hipotesis ... 46
C. Pembahasan... 47
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 53
A. Kesimpulan ... 53
B. Saran... 53
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skala Penelitian ... 67
Lampiran 2. Data Penelitian... 87
Lampiran 3. Reliabilitas ... 103
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Bagan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba ... 34
Tabel 2 Spesifikasi Item Penelitian... 39
Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian ... 43
Tabel 4 Usia Subjek Penelitian ... 43
Tabel 5 Hasil Analisis ... 44
Tabel 6 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov... 44
Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas... 45
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rentang kehidupan, setiap individu melalui tahapan-tahapan dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap tahap perkembangan, individu
selalu melakukan penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan
harapan-harapan sosial baru. Individu diharapkan memainkan peran baru, seperti peran
suami/istri, orang tua serta pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap baru,
keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Oleh
karena itu penyesuaian diri merupakan hal yang dianggap khusus dan sulit dari
rentang hidup seseorang karena individu diharapkan mengadakan penyesuaian diri
secara mandiri.
Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri karena tuntutan yang semakin besar, adanya harapan untuk
mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab serta kemandirian emosional
(Hurlock, 1980). Oleh karena itu, individu diharapkan dapat menghadapi
permasalahan secara lebih bijak. Namun, keadaan emosi yang cenderung tidak
stabil dan kekurangsiapan menerima setiap perubahan yang terjadi pada diri
seringkali membuat individu merasa tertekan. Keadaan yang labil ini dapat
menyebabkan timbulnya masalah dan gangguan seperti masalah yang timbul
dalam lingkungan pekerjaan, pendidikan, keluarga, hubungan bersosialisasi
Dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain, individu hendaknya memahami dan memiliki apa yang
disebut kecerdasan emosional. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosional
adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan
baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain.
Penelitian Daniel Goleman dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa
kecerdasan emosional lebih banyak berperan dalam menentukan keberhasilan
seseorang, sedangkan intelegensi hanya menduduki posisi kedua setelah
kecerdasan emosional. Penelitian ini juga sekaligus menumbangkan kepercayaan
selama ini dimana IQ-lah yang paling penting dalam menentukan kesuksesan
seseorang. Ternyata kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam
keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Kecerdasan emosional menuntut orang
untuk dapat memahami keberadaan dirinya, dimana dan pada situasi bagaimana ia
berada (www.google.com).
Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali
dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan
sosial. Ketrampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional antara lain
kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina
hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim,
membentuk citra diri positif, memotivasi dan memberi inspirasi dan sebagainya
Kecerdasan emosional seseorang terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana
individu mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu
mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri
dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan, dan mampu mengungkapkan
reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan
orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (www.e-psikologi.com).
Salah satu upaya individu untuk mengendalikan diri dengan baik dalam
rangka meningkatkan kecerdasan emosional adalah dengan melakukan suatu
bentuk terapi yang ditawarkan oleh psikologi timur yaitu meditasi. Meditasi
adalah suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan dan mencapai keadaan
relaksasi yang dapat memperlambat gelombang otak individu dan membawa
kesadaran yang lebih dalam (Too, dalam Widiana, 1996). Meditasi sebagai suatu
seni untuk menentramkan batin merupakan suatu ilmu yang sudah “kuno” yang
berakar lebih dari 3000 tahun yang silam pada peradaban awal di lembah Sungai
Indus yang sekarang dikenal sebagai India (Dhyanasukha, 1990). Hal ini
dibuktikan dengan ditemukannya patung-patung keramik yang dibuat kurang
lebih 5000 tahun yang silam. Patung-patung yang melukiskan para Yogi yang
sedang bermeditasi itu telah ditemukan utuh selama penggalian-penggalian
peradaban Dravida di Mahenjo Daro di cekungan Sungai Indus (Hall, 1999).
Awalnya meditasi hanya dilakukan oleh orang yang telah berusia lanjut
dimana orang lanjut usia dianggap sudah tidak memikirkan masalah duniawi
(Suryani, 1996). Namun seiring dengan perkembangan jaman yang serba modern
banyak, serba lebih dari yang lain yang pada akhirnya menimbulkan dampak yang
kurang baik bagi keadaan batin dan ketenangan hidup, maka banyak orang yang
hidup dalam keadaan tegang, penuh kekhawatiran, tidak bisa tidur dan akhirnya
mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti sakit lambung, tekanan darah
tinggi, sakit jantung, dsb (Dhyanasukha, 1990). Oleh karena itu, untuk mengatasi
efek dari tekanan-tekanan hidup itu diperlukan suatu metode untuk menjaga
ketenangan dan ketentraman batin yaitu dengan melakukan meditasi. Disinilah
perkembangan meditasi kian merebak di kalangan awam. Awam mulai
mempelajari seni meditasi yang telah dipercaya sejak jaman dulu dapat membantu
untuk mengatasi tekanan-tekanan mental tersebut.
Meditasi merupakan suatu aktivitas menentramkan batin yang jauh lebih
baik bila dibandingkan dengan obat penenang dan obat-obat tidur yang pada
umumnya mengakibatkan ketergantungan (Wulandari, 2002). Di samping itu
meditasi yang dilakukan dengan benar akan membuat meditator (orang yang
mengikuti meditasi) hidup lebih wajar, toleran, tangguh dan lebih tabah dalam
menjalani kehidupannya (Dhyanasukha, 1990). Meditasi merupakan aktivitas
yang membuat meditator mengalami keadaan istirahat yang dalam dan sangat
rileks yang biasanya dialami pada orang ketika tidur nyenyak. Keadaan ini
memberikan kesempatan pada syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya
kembali. Susunan syaraf yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh
sistem yang berada dalam tubuh (Soegoro, 2002). Dengan keadaan yang normal
tersebut maka dimungkinkan meditator tersebut untuk mengalami perkembangan
Riset-riset psikologis menemukan bahwa banyak manfaat yang diperoleh
lewat latihan meditasi yaitu berhasil menangani masalah klinis diantaranya
insomnia, kecemasan, phobia, hipertensi (Widiana, 1996), membangkitkan
tanggung jawab pribadi serta membangkitkan personal insight (Shapiro, 1994).
Meditasi juga mempunyai potensi psikoterapeutik yang berkaitan dengan
pengalaman mistik dan proses yang mendatangkan penyembuhan. Di sisi lain
meditasi bermanfaat sebagai kontrol dalam proses berpikir, meningkatkan sikap
penuh perhatian dan kemampuan pengendalian emosi dan kemarahan (Fontana,
dalam Widiana, 1996). Setiap kali latihan meditasi dilakukan, seseorang akan
berusaha mengenali proses mental yang muncul seperti perasaan gelisah, cemas,
marah, senang, gembira, dll. Latihan yang terus menerus akan membawa individu
pada kebiasaan yang baik yaitu selalu mengenal bentuk emosi yang muncul
sehingga kontrol diri menjadi meningkat (Soegoro, 2002).
Kemampuan untuk mengontrol emosi yang diperoleh dari proses meditasi
ini berkaitan erat dengan kecerdasan emosional dimana kemampuan tersebut
merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosional. Oleh karena itu dapat
dilihat bahwa meditasi merupakan salah satu upaya untuk menunjang individu
meningkatkan kecerdasan emosional. Akan tetapi peneliti belum menemukan
adanya penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ataupun dengan
meditasi. Penelitian atau jurnal yang telah dilakukan selama ini berkaitan dengan
kecerdasan emosional adalah agresivitas remaja dengan kecerdasan emosional
(Djuwarijah, 2002), pelatihan emotional literacy dengan kecerdasan emosional
kecerdasan emosional (Aryaguna, 2001), dan pola permainan sosial dengan
kecerdasan emosional (Hartini, 2004). Sedangkan penelitian atau jurnal yang
berkaitan dengan meditasi adalah meditasi dan sikap kreatif (Ndoen, 1999),
pengembangan kepribadian melalui olah rasa (Nanik, 1999), dan kebermaknaan
hidup meditator (Widiana, 1996). Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk
melakukan penelitian ini.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan
permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah ada perbedaan kecerdasan
emosional antara meditator dan non meditator.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini mampu menambah pemahaman dan memberikan
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Meditator
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
meditator tentang pentingnya meditasi dalam meningkatkan kecerdasan
emosional sehingga meditator dapat lebih mengintensifkan latihan
meditasi.
b. Bagi Non Meditator
Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada
non meditator bahwa ada alternatif lain dalam upaya meningkatkan
kecerdasan emosional yaitu melakukan meditasi.
c. Bagi Pembaca
Peneliti berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca untuk
menambah atau memberikan wacana atau informasi tentang perbedaan
kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi
serta referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian baru
BAB II DASAR TEORI
A. KECERDASAN EMOSIONAL 1. Pengertian Emosi
Dari akar katanya, emosi berasal dari kata kerja bahasa latin
“movere” yang berarti mengerakkan atau bergerak, ditambah awalan “e”
untuk memberi arti bergerak menjauh. Hal ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman,
1997).
Emosi adalah perasaan yang dialami oleh seseorang (Albin, 1986).
Albin menambahkan pula bahwa emosi dapat merangsang pikiran baru,
khayalan baru dan tingkah laku baru. Namun Djuwarijah (2002)
menjelaskan bahwa emosi merupakan kondisi kejiwaan yang jauh lebih
intens daripada perasaan dan dapat menyebabkan hubungan individu
dengan lingkungan menjadi terganggu.
Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan pengertian emosi yang
dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penerapan “gerakan” baik
secara metafora maupun harafiah untuk mengeluarkan emosi. Goleman
(1997) menambahkan bahwa semua emosi adalah dorongan untuk
bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah
Menurut Goleman (2002), emosi merujuk pada suatu perasaan dan
pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan
serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan
bahwa emosi merupakan perasaan yang dialami seseorang yang dapat
merangsang munculnya pikiran baru, khayalan baru serta tingkah laku
baru.
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah
kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,
ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan
menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa (www.e-psikologi.com). Selanjutnya, Goleman (1999) juga mengungkapkan kecerdasan
emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan
orang lain.
Howard Gardner (dalam Goleman, 1995) mengartikan kecerdasan
emosional sebagai kemampuan yang bersifat “pribadi” yang meliputi
kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan
antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain: apa yang
bahu-membahu dengan mereka. Sedangkan yang dimaksud kecerdasan
intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, akan tetapi terarah dalam
diri.
Tokoh lain yang mengemukakan pendapatnya adalah Salovey dan
Mayer (dalam Goleman, 1999) menyatakan bahwa kecerdasan emosional
adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan
orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu
pikiran dan tindakan.
Sementara Howes dan Herald (dalam Goleman, 1999) mengatakan
pada intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat
seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.
Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
sendiri dan orang lain, memotivasi diri serta mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:
a. Faktor internal
Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri
individu untuk menanggapi lingkungan sekitar. Yang termasuk ke
kerja otak. Goleman (2002) menguraikan tentang bagaimana otak
manusia itu tumbuh sebagai berikut:
1) Pertumbuhan dimulai dari batang otak untuk mengatur
fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernapas dan metabolisme otak
lain serta mengendalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang
sama. Otak ini telah diprogram untuk menjaga agar tubuh
berfungsi sebagaimana mestinya dan bereaksi dengan cara yang
tidak membahayakan kelangsungan hidup.
2) Kemudian lobus olfaktori sebagai tempat tumbuhnya pusat
emosi primitif
3) Sistem limbik yang menambah emosi dan mempertajam
pembelajaran dan ingatan. Bila seseorang sedang dikuasai oleh
hasrat atau amarah, jatuh cinta atau ketakutan maka sistem
limbik inilah yang sedang bekerja.
4) Rhinencephalon atau “otak hidung” yaitu bagian saluran limbik
dan dasar rudimeter neokorteks yakni otak yang berpikir terdiri
dari hippocampus dan amigdala. Hippocampus dan amigdala
merupakan dua bagian penting “otak hidung” primitif yang
dalam evolusi memunculkan korteks serta kemudian
neokorteks. Hingga saat ini, kedua struktur limbik itu
melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan
pembelajaran otak. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah
lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang amat mencolok
dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa yang
disebut kebutaan afektif. Amigdala berfungsi sebagai semacam
gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna
emosional itu sendiri hidup tanpa makna pribadi sama sekali.
Semua nafsu dan perasaan kasih sayang terikat pada amigdala.
Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruhnya pada neokorteks
merupakan inti kecerdasan emosional. Neokorteks sebagai otak
berpikir yang menumbuhkan perasaan tentang seni, ide, simbol,
dan khayalan serta menambah nuansa pada kehidupan
emosional.
b. Faktor Eksternal
Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar
individu yang mempengaruhi/mengubah kecerdasan emosional
individu. Faktor-faktor itu diantaranya adalah keluarga,
pendidikan, budaya dan jenis kelamin.
Shapiro (2001) mengemukakan bahwa keluarga adalah
salah satu tempat pendidikan dalam pembelajaran emosional.
Kagan (dalam Shapiro, 1998) mengatakan bahwa secara harafiah
perkembangan otak seseorang dapat berubah jika orang tua mau
membantu mereka dalam mengatasi suatu masalah. Goleman
(1999) mengatakan bahwa pembelajaran emosi yang diberikan
temperamen anak. Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui
hal-hal yang diucapkan oleh orang tua secara langsung pada
anaknya melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka
berikan sewaktu menangani perasaannya sendiri.
Secara garis besar pola asuh orang tua kepada anak dapat
digolongkan menjadi 3 yaitu otoriter, permisif dan otoritatif.
Orangtua otoriter memberlakukan peraturan yang ketat dan
menuntut anaknya untuk menaati segala peraturan yang ada. Pada
prinsipnya membatasi ruang kehidupan anak. Orang tua tidak
memberi kesempatan kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri.
Jika anak menolak atau tidak patuh pada perintah ataupun aturan
yang ditetapkan oleh orang tua, maka mereka akan mendapatkan
hukuman. Akan tetapi jika anak mematuhi perintah orang tua,
maka mereka tidak akan mendapat penghargaan atau pujian dari
orang tuanya. Orang tua tidak pernah mengekspresikan
perasaannya di depan anak dan cenderung mengutamakan
kedudukannya sebagai orang tua. Dengan kondisi demikian, anak
tidak pernah belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri,
bagaimana orang lain menanggapi perasaannya serta belajar
mengungkapkan harapan dan rasa takut atau dengan kata lain
pembelajaran emosi tidak didapatkan dengan pola asuh orang tua
yang demikian. Akhirnya dengan siapapun mereka berhadapan,
daripada orang lain, suka tergantung pada orang lain dan mudah
mengalami kekecewaaan.
Orangtua permisif membesarkan anak tanpa adanya
batasan/aturan yang mengikat sehingga terkesan bebas. Akhirnya
anak menjadi terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu dengan
cara yang mudah dan cepat. Jika ia tidak mendapatkan apa yang
diinginkannya, anak akan mudah kecewa dan marah. Selain itu
anak tidak akan belajar berpikir tentang perasaan dan
pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi karena orang tua tidak
pernah memberi contoh tentang pembelajaran emosi secara
langsung. Pola asuh seperti ini tidak membantu anak mencerdaskan
emosinya.
Orangtua otoritatif menghargai kemandirian anak-anaknya
namun juga menuntut mereka untuk memenuhi tanggung jawab
kepada keluarga, teman, maupun masyarakat. Selain itu orang tua
otoritatif bersikap empati untuk menghibur tanpa memperbesar
kesedihan/kecemasan serta menetapkan batas-batas yang tegas dan
mewajibkan sikap patuh akan membuat anak belajar untuk
mengatasi dan menghadapi emosi tersebut. Sikap orang tua yang
demikian akan mengembangkan kecerdasan emosional pada anak.
Faktor pendidikan memiliki peranan yang penting dalam
mendukung perkembangan kecerdasan emosional. Menurut Gie
pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal.
Pendidikan formal merupakan program kelembagaan pendidikan
yang ditentukan oleh pihak yang berwenang yang layak diberikan
oleh sekolah, institut, sekolah tinggi, dan universitas yang dibentuk
untuk tujuan tunggal serta memberikan pengajaran dalam suatu
cara yang tertib, terencana, dan sistematik. Melalui sistem
pendidikan yang berada dalam institusi resmi ini maka potensi
kecerdasan emosional dapat dikembangkan.
Pendidikan informal diberikan di luar sistem pendidikan
yang tersusun formal, misalnya dalam keluarga dan
kelompok-kelompok lainnya. Tumbuhnya kecerdasan emosional seseorang
dapat terjadi karena adanya peran pada masing-masing anggota
keluarga yang ada.
Pendidikan nonformal merupakan pendidikan dan
pelatihan non sekolah yang tersusun sistematik, biasanya untuk
jangka waktu pendek yang selama jangka waktu itu badan yang
mendidik mengusahakan suatu perubahan perilaku khususnya pada
sekelompok orang yang dituju. Misalnya program pelatihan
outbound dan seminar. Melalui kegiatan-kegiatan semacam itu
maka kemampuan seseorang dalam mengelola diri, khususnya
pengelolaan diri ke dalam jalur emosi akan terbentuk sehingga
Faktor yang turut mempengaruhi kecerdasan emosional
adalah faktor budaya dan jenis kelamin. Latar belakang budaya
dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam mengungkapkan
emosi. Perbedaan terkadang nampak pada bentuk respon seseorang
terhadap stimulus tertentu sebagaimana yang biasa diberikan oleh
masyarakat/lingkungan yang melatarbelakanginya. Menurut
Gottman dan De Claire (1997), pengaruh budaya semacam itu
tidak mengganggu kemampuan seseorang untuk merasa, sehingga
orang dari semua latar belakang budaya memiliki kemampuan
untuk peka terhadap perasaan mereka masing-masing. Faktor jenis
kelamin dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam
mengungkapkan emosi yaitu terdapat perbedaan cara
mengungkapkan emosi antara laki-laki dan perempuan.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:
faktor internal yang berasal dari dalam diri individu untuk
menanggapi lingkungan sekitar serta faktor eksternal yang
meliputi keluarga, pendidikan, budaya dan jenis kelamin.
4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Goleman (2003) menjelaskan mengenai 5 wilayah utama
kemampuan individu yang terdiri atas kemampuan pribadi dan
kemampuan sosial yang terdiri dari:
a. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri merupakan kemampuan mengenali
dan mengidentifikasi emosi. Kemampuan mengenali emosi diri
sendiri meliputi kemampuan untuk merasakan dan memberi
penilaian pada perasaan atau emosi diri sendiri pada situasi serta
mampu memahami penyebab timbulnya suatu perasaan.
b. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan untuk mengatasi
rasa takut, cemas, amarah dan sedih dengan cara yang benar dan
proporsional.
c. Memotivasi Diri Sendiri
Merupakan kemampuan untuk menguasai diri dalam
mengendalikan dorongan/hasrat terhadap suatu tujuan.
Kemampuan ini meliputi adanya rasa bertanggung jawab, mampu
menguasai diri, memiliki kontrol emosi untuk mencapai tujuan,
menunda kepuasan, mampu bekerja efektif untuk mencapai tujuan,
dan mengharapkan sukses.
d. Mengenali Emosi Orang Lain
Hal ini sering dikenal dengan istilah empati yaitu
perspektif mereka dalam upaya menumbuhkan hubungan saling
percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang.
e. Membina Hubungan
Ini merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain.
Kemampuan ini meliputi kemampuan menangani konflik
interpersonal secara konstruktif atau membangun hubungan yang
baik serta mampu menjalin hubungan dengan orang lain.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional memiliki 5 aspek yaitu (a) mengenali emosi diri, (b)
mengelola emosi, (c) memotivasi diri sendiri, (d) mengenali emosi orang
lain, dan (e) membina hubungan.
B. MEDITASI
1. Pengertian Meditasi
Menurut etimologi, meditasi berasal dari kata meditari yang artinya
merenungkan, meresapkan atau mengunyah (Soegoro, 2000). Pada
perkembangan selanjutnya, meditasi mempunyai arti yang lebih luas dan
menyangkut pengalaman suprasadar sehingga definisinya bermacam-macam.
Ahli lain menjelaskan meditasi berasal dari bahasa Inggris yaitu meditation
yang kemudian diucapkan dalam bahasa Indonesia menjadi meditasi. Kata
meditasi dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata serapan dari bahasa
Latin “Meditatio” dan dari bahasa Perancis kuno “Meditacioun” yang berarti a
Dalam bahasa Sansekerta yaitu dhyana yang artinya pemusatan perhatian
terus-menerus kepada sesuatu yang dijadikan objek sehingga si meditator
(orang yang bermeditasi) sampai pada permenungan yang mendalam (Jendra,
1994).
Sidharta Gautama menyatakan bahwa meditasi adalah jalan untuk
kebebasan jiwa dan ketidaktertarikan merupakan kunci kehidupan. Meditasi
melahirkan sebuah kebijaksanaan dan pengetahuan (Antari,2005).
Lebih lanjut Suryani (2000) menyatakan meditasi adalah suatu proses
pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian yang dilakukan
secara sadar. Proses ini berjalan bertahap sesuai dengan keteraturan latihan
yang dilakukan. Jika proses tidak disadari atau dilakukan secara tidak sadar,
maka keadaan itu hanya memusatkan perhatian dan belum bisa disebut
sebagai aktivitas meditasi.
Dion Juanda Gibran, pengajar meditasi dari Energi Prana Kasih,
mendefinisikan meditasi sebagai proses pemahaman pemberdayaan diri tanpa
batas dan berkesinambungan untuk mencapai keseimbangan pikiran,
perkataan dan perbuatan. Meditasi menghadirkan sikap respect pada diri
sendiri serta melihat hal baik atau buruk sebagaimana adanya. Sikap ini
merupakan wujud dari kesadaran pikiran, perasaan dan tindakan (dalam
Antari, 2005).
Anand Krishna, guru dan pendiri Anand Ashram mendefinisikan
meditasi sebagai perluasan kesadaran. Hasil akhir dari meditasi adalah
tidak lagi menjadi gelisah, takut, khawatir dan cemas. Meditasi adalah gaya
hidup. Meditasi harus menjadi dasar kehidupan seseorang (Krishna, 2006).
Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meditasi adalah
teknik yang dapat digunakan untuk pemberdayaan diri melalui proses
pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian yang dilakukan
secara sadar untuk mencapai keseimbangan pikiran, perkataan dan perbuatan.
2. Meditator dan Non Meditator
Meditator adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan
secara sadar untuk melakukan meditasi (Suryani, 1996). Batasan meditator
dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan
secara sadar melakukan meditasi dua kali sehari selama minimal 15 menit.
Meditasi ini dilakukan tiap hari secara teratur (Suryani, 1996). Dengan
meditasi secara teratur, pikiran akan menjadi waspada dan selamanya tenang
sehingga meditator akan mampu mengenali proses mental dalam dirinya. Non
meditator adalah orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara
sadar untuk melakukan meditasi.
3. Bentuk dan Proses Meditasi
Manusia tidak terlepas dari jiwa dan tubuh. Di dalam jiwa terhimpun
berbagai macam kekuatan seperti pikiran, perasaan, kemauan, dan semangat
untuk hidup. Semuanya itu menyatu menjadi suatu kekuatan yang menjadikan
dan raga jika individu tersebut mampu menjaga keseimbangan seluruh potensi
yang ada dalam diri. Namun untuk menjaga keseimbangan tersebut tidaklah
mudah. Seringkali pikiran tidak terfokus. Begitu pikiran mendapat tekanan
yang melampaui batas, individu akan mengalami perubahan fisik dan emosi
sehingga tubuh menjadi sakit, emosi tidak terkendali, suasana hati tidak
tenteram, dll. Dalam kondisi demikian, dalam tubuh individu akan terjadi
reaksi hormon kortisol dan adrenalin. Reaksi ini akan memaksa jantung
memompa darah lima kali lebih cepat dari kecepatan normal sehingga syaraf
akan menegang. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu cara yang digunakan
adalah dengan melakukan meditasi.
Pada dasarnya ada 2 bentuk meditasi yaitu meditasi konsentrasi dan
meditasi merasakan proses (mindfulness). Untuk meditasi konsentrasi,
perhatian dipusatkan dengan membatasi perhatian hanya pada satu objek yang
datang berulang seperti suara, kata, doa, ungkapan, pernapasan atau objek
visual. Pada saat yang sama sikap pasif dipertahankan. Aktivitas mental
lainnya dirasakan sebagai gangguan dari objek konsentrasi. Jika pada saat itu
pikiran menyimpang, meditator secara pasif mengabaikan gangguan dan
kemudian bila tiba-tiba ia menyadari gangguan itu maka pemusatan perhatian
diulang kembali pada rangsangan meditatif. Jika ia mampu mengembangkan
meditasi, maka peningkatan perasaan terjadi yaitu dari relaksasi meningkat ke
dalam perubahan emosional dan kognitif yang jelas. Keadaan ini disebut
mempunyai tujuan untuk melatih kemampuan seseorang dalam memusatkan
perhatian/konsentrasi sehingga pada akhirnya dapat mencapai keadaan rileks.
Sedangkan meditasi merasakan proses (mindfulness) merupakan suatu
bentuk meditasi yang mencoba menyadari keadaan secara menyeluruh dengan
merasakan proses keadaan itu (Suryani, 1996). Dalam meditasi merasakan
proses, orang akan merasakan jalannya cara kerja pikiran, perasaan dan
kemauan, merasakan agresi dalam tubuh, atau merasakan proses penyatuan
energi dari luar tubuh dan dari dalam tubuhnya. Cara ini bertujuan untuk
melatih kemampuan orang dalam memusatkan perhatian pada proses yang
sedang berlangsung hingga nanti hasilnya akan mencapai keadaan rileks. Oleh
karena itu dalam memahami kehidupan menurut bentuk meditasi ini
diperlukan latihan untuk memusatkan perhatian pada beberapa objek tanpa
mengubah kemampuan pemusatan ini (Suryani,1996).
Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa meditasi konsentrasi dan
meditasi merasakan proses mempunyai tujuan yang sama yaitu melatih
kemampuan seseorang dalam memusatkan perhatian atau konsentrasi sehingga
pada akhirnya mencapai keadaan rileks.
Untuk mencapai keadaan rileks, meditator mengalami suatu proses
yang terjadi di dalam otaknya. Otak yang memiliki peran penting dalam
kehidupan manusia terdiri dari bermiliar-miliar sel syaraf yang mengalirkan
aliran energi listrik, memancarkan gelombang otak atau gelombang
elektromagnetik yang frekuensinya selalu berubah sesuai dengan tingkat
dan tidak beraturan menuju gelombang alpha yang berperan besar ketika
manusia dalam keadaan rileks, tenang dan santai selanjutnya menuju
gelombang theta yang berperan pada saat manusia tidur ringan dan akhirnya
menuju gelombang delta ketika seseorang tertidur lelap (Pinel, 1990).
Dinamika gelombang otak inilah yang memberi pengaruh pada meditator, baik
secara fisik maupun pengaruh psikologis.
Meditator mengalami gelombang Alpha, gelombang Theta sampai
gelombang Delta, mereka dapat menyadari dan merasakan dinamika yang
terjadi dalam dirinya. Pada saat tubuh manusia mengalami keadaan istirahat
yang dalam dan sangat rileks, frekuensi gelombang otak berada pada daerah
yang disebut gelombang delta, suatu keadaan yang biasa diperoleh pada saat
tidur nyenyak. Keadaan ini memberikan kesempatan pada syaraf-syaraf otak
untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf menjadi normal
kembali sehingga mempengaruhi seluruh sistem yang berada di dalam tubuh
seperti metabolisme tubuh yang menurun, denyut jantung yang menurun
demikian juga pernapasan (Soegoro, 2002). Selain itu dalam keadaan ini
kelenjar pineal dalam otak mulai aktif dan mengeluarkan melatonine yang
dapat membuat seseorang menjadi sangat rileks (Krishna dan Setiawan, 2002).
Dengan keadaan istirahat yang dalam dan sangat rileks yang dialami
seseorang ketika melakukan aktivitas meditasi, memberikan kesempatan pada
syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf
yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh sistem yang berada di
yang disebut sebagai keadaan meditatif. Dalam keadaan meditatif seseorang
dapat melihat dengan cara baru, cara yang sangat berbeda dengan sebelumnya.
Misalnya pada keadaan biasa, ketika sedang sibuk seseorang pasti akan
tergesa-gesa dan tegang. Akan tetapi dalam keadaan meditatif seseorang
menjadi lebih tenang, lebih santai, seolah-olah segala sesuatu berjalan tanpa
tekanan apapun (Soegoro, 2002). Dengan keadaan tenang dan santai akan
memudahkan meditator berkonsentrasi. Konsentrasi membuat pikiran seorang
meditator menjadi lebih tajam, terang dan terfokus dengan baik. Selain itu
meditator juga akan berusaha mengenali proses mental yang muncul yang
akan mengganggu konsentrasi seperti perasaan gelisah, cemas, marah, senang,
gembira, dll. Dengan demikian akan membawa meditator pada kebiasaan baik
yaitu mengenal bentuk emosi/proses mental yang muncul sehingga akan
timbul pemahaman yang mendalam terhadap sesama dan seseorang akan
menjadi lebih toleran dan tidak cepat tersinggung. Di sini tampak bahwa
seseorang akan memiliki kontrol diri yang meningkat.
Respon relaksasi saat latihan meditasi juga dapat meningkatkan
keseimbangan sistem hormon kekebalan dalam tubuh sehingga menjadikan
seseorang mempunyai daya tahan tubuh yang kuat. Respon relaksasi adalah
sebuah integrasi respon mindbody yaitu menurunnya pemakaian oksigen,
denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, kadar asam laktat dalam serum,
C. Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator
Dalam setiap periode kehidupan, individu menghadapi berbagai
tekanan dan tuntutan. Individu seringkali “dikejutkan” dengan
perubahan-perubahan yang mereka alami baik fisik, psikis, peran dan minat. Tidak semua
individu mampu menerima perubahan dan segala konsekuensinya dengan
baik. Dalam hal ini, kecerdasan emosional yang dimiliki setiap individu
menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi langkah-langkah yang akan
dijalaninya dalam menghadapi tantangan hidup mereka. Individu yang
ditunjang dengan kecerdasan emosional yang baik akan dapat mengatasi
permasalahan yang mereka hadapi dengan baik, mampu bersosialisasi dengan
baik, mampu bertahan dalam kondisi frustasi, lebih mampu memahami orang
lain dan kondisi di sekitarnya, dan lebih berkompeten dalam mengendalikan
dorongan emosi.
Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional
seorang individu adalah faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang
berasal dari dalam diri individu untuk menanggapi lingkungan sekitar. Yang
termasuk ke dalam faktor internal adalah faktor neurologis dan mekanisme
kerja otak. Otak mengalirkan energi listrik serta memancarkan gelombang
elektromagnetik atau gelombang otak yang frekuensinya selalu berubah-ubah
sesuai dengan tingkat kesadaran manusia. Gelombang otak ini terdiri dari
gelombang betha, suatu ritme yang cepat dan tidak beraturan yang
mengindikasikan bahwa jiwa dalam keadaan kacau kemudian gelombang
ketika manusia tidur ringan dan berlanjut ke gelombang delta saat seseorang
tertidur lelap. Dinamika gelombang otak inilah yang memberi pengaruh pada
meditator, baik secara fisik maupun pengaruh psikologis.
Keadaan tersebut juga dapat dialami oleh meditator ketika melakukan
meditasi. Meditator lebih sering mengalami gelombang Alpha, gelombang
Theta dan gelombang Delta. Mereka dapat menyadari dan merasakan
dinamika yang terjadi dalam dirinya. Sebaliknya, non meditator lebih sering
mengalami gelombang Betha. Pada saat tubuh manusia mengalami keadaan
istirahat yang dalam dan sangat rileks, frekuensi gelombang otak berada pada
daerah yang disebut gelombang delta. Keadaan ini memberikan kesempatan
pada syaraf-syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali.
Susunan syaraf menjadi normal kembali sehingga mempengaruhi seluruh
sistem yang berada di dalam tubuh seperti metabolisme tubuh yang menurun,
denyut jantung yang menurun demikian juga pernapasan (Soegoro, 2002).
Selain itu dalam keadaan ini kelenjar pineal dalam otak mulai aktif dan
mengeluarkan melatonine yang dapat membuat seseorang menjadi sangat
rileks (Krishna dan Setiawan, 2002).
Dengan keadaan istirahat yang dalam dan sangat rileks yang dialami
seseorang ketika melakukan aktivitas meditasi, memberikan kesempatan pada
syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf
yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh sistem yang berada di
Saat melakukan meditasi, meditator mengalami suatu proses
memusatkan perhatian yang dilakukan secara sadar. Proses ini berjalan
bertahap sesuai dengan keteraturan latihan yang dilakukan (Suryani, 2000).
Jika proses tersebut tidak disadari, maka keadaan itu hanya memusatkan
perhatian dan belum bisa disebut sebagai aktivitas meditasi. Di sisi lain, non
meditator tidak mengalami suatu proses memusatkan perhatian yang
dilakukan secara sadar karena tidak adanya latihan meditasi.
Setiap kali latihan meditasi dilakukan, meditator akan lebih mudah
mengenali proses mental yang muncul yang akan mengganggu konsentrasi
seperti perasaan gelisah, cemas, senang, marah, dll. Latihan yang
terus-menerus akan membawa meditator pada kebiasaan baik yaitu cenderung lebih
mudah mengenal bentuk emosi yang muncul. Oleh karena itu meditator dapat
mengatasi proses mental tersebut dengan cara yang benar dan proporsional
atau dengan kata lain dapat mengelola emosi dengan tepat. Selain itu pada
latihan meditasi akan terjadi proses dimana meditator akan mengarahkan
perhatian ke dalam diri sendiri sehingga ia akan lebih mengenal dirinya baik
kelebihan maupun kekurangannya. Dengan mengenal proses mental yang ada
dalam diri, maka akan timbul pemahaman yang mendalam terhadap sesama
yaitu cenderung lebih mudah mengenali perasaan orang lain/empati dalam
upaya menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan
berbagai macam orang. Kondisi ini juga dapat menunjang seseorang dalam
membina hubungan dengan orang lain. Orang yang mampu membina relasi
penjelasan ini terlihat pengaruh meditasi dalam aspek-aspek kecerdasan
emosional dimana manfaat dari latihan meditasi dapat menunjang meditator
dalam meningkatkan kecerdasan emosionalnya.
Efek-efek positif pada meditasi yang lain seperti membuka dan
menjernihkan pikiran, rileks, serta tingkat kesadaran yang tinggi yang ada
dalam diri individu dapat memberikan suatu pencerahan kepada individu,
mampu menerima apa adanya dirinya sendiri dan orang lain serta melihat
suatu permasalahan dari sudut pandang yang luas dan baru. Saat meditator
mampu mencapai tingkat kesadaran secara penuh, sadar akan diri dan
sekitarnya serta memperoleh suatu ketenangan maka individu cenderung lebih
mudah mengendalikan emosinya dimana mampu memecahkan
masalah-masalah atau tekanan yang dihadapinya melalui penyaluran yang benar atau
positif sehingga tidak mengganggu kesehatan fisik dan psikisnya.
Sebaliknya pada non meditator yang lebih sering mengalami
gelombang Betha, mereka cenderung lebih sulit menyadari dan merasakan
dinamika yang terjadi dalam dirinya sehingga syaraf-syaraf otak cenderung
tegang. Akibatnya membuat seseorang menjadi kurang rileks dan mengalami
kesulitan untuk mengenal proses mental yang muncul dalam dirinya. Dengan
demikian akan mengganggu individu dalam berkonsentrasi, kurang adanya
pemahaman yang mendalam terhadap sesama, cenderung lebih sulit menerima
apa adanya dirinya sendiri dan orang lain, cenderung lebih sulit mengenal
bentuk emosi yang muncul seperti perasaan cemas, gelisah, marah, dll
mempengaruhi dalam menghadapi permasalahan, tantangan, dan tekanan
dalam hidupnya. Oleh karena itu kecerdasan emosionalnya pun kurang dapat
berkembang dengan baik atau dengan kata lain kecerdasan emosionalnya
cenderung lebih rendah.
D. HIPOTESIS
Berdasarkan kerangka kajian teori yang ada, maka hipotesis yang
dikemukakan adalah ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator
dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi
SKEMA PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA
Lebih sering mengalami gelombang Alpha, Theta, Delta
Lebih sering mengalami gelombang Betha
Dinamika Gelombang Otak
Tidak ada proses pemusatan perhatian yang dilakukan secara sadar
NON MEDITATOR
Tidak mengalami latihan meditasi yang teratur
• Cenderung lebih mudah mengenali perasaan orang lain/empati
• Cenderung lebih mudah mengendalikan emosi
• Cenderung lebih mudah mengenal diri sendiri
• Cenderung lebih berpikir positif Lebih mudah mengenali proses mental
Syaraf otak cenderung lebih rileks, santai, tenang
Kecerdasan emosional cenderung lebih rendah
• Cenderung lebih sulit mengenali perasaan orang lain/empati
• Cenderung lebih sulit mengenal diri sendiri
• Cenderung lebih melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dalam mengatasi masalah
Lebih sulit mengenali proses mental Syaraf otak cenderung kurang rileks,
kurang santai dan kurang tenang
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif atau penelitian
perbandingan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menyelidiki perbedaan
kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.
B. Identifikasi Variabel
1. Variabel Bebas : meditasi
2. Variabel Tergantung : kecerdasan emosional
C. Definisi Operasional 1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan
sendiri dan orang lain, memotivasi diri serta mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.
Kecerdasan emosional akan diukur dengan menggunakan skala
kecerdasan emosional dari Goleman (2003). Ada 5 aspek dalam
kecerdasan emosional, yaitu:
a. Mengenali emosi diri
b. Mengelola Emosi Diri
d. Mengenali Emosi Orang Lain
e. Membina Hubungan Dengan Orang Lain
Semakin tinggi skor yang diperoleh maka kecerdasan emosional
subjek penelitian semakin tinggi, begitu juga sebaliknya semakin rendah
skor yang diperoleh maka kecerdasan emosional subjek penelitian rendah.
2. Meditasi
Meditasi adalah teknik yang dapat digunakan untuk pemberdayaan diri
melalui proses pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian
yang dilakukan secara sadar untuk mencapai keseimbangan pikiran,
perkataan dan perbuatan.
Dalam penelitian ini, subjek terbagi menjadi kelompok meditator dan
non meditator. Adapun definisi meditator dan non meditator adalah:
a. Meditator
Subjek yang termasuk dalam kelompok meditator adalah
sekelompok orang yang mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar
untuk melakukan meditasi. Subjek yang termasuk dalam kelompok ini
adalah subjek yang minimal telah mengikuti latihan meditasi selama 3
bulan serta rutin setiap hari melakukan meditasi dua kali sehari selama
minimal 15 menit.
Peneliti melakukan pembatasan periode latihan meditasi ini karena
efek dari meditasi dapat terlihat setelah seseorang menjalani latihan
hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan ahli meditasi dari
paguyuban Asta Mistika bahwa seseorang yang telah mengikuti latihan
meditasi selama 3 bulan serta rutin setiap hari melakukannya diasumsikan
menjadi lebih meditatif daripada sebelumnya karena hormon-hormon
dalam tubuh telah menjadi seimbang.
b. Non Meditator
Subjek yang termasuk dalam kelompok non meditator adalah
sekelompok orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara
sadar untuk melakukan meditasi. Dalam hal ini non meditator merupakan
seseorang yang sama sekali tidak pernah melakukan meditasi.
Untuk mengetahui subjek termasuk ke dalam meditator ataupun non
meditator, peneliti memberikan pertanyaan kepada setiap responden tentang
berapa lama mengikuti latihan meditasi dan apakah sedang mengikuti latihan
meditasi atau tidak.
D. Subjek Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode teknik sampling purposif (Purposive Sampling) yaitu pemilihan subjek
berdasarkan atas ciri-ciri/sifat-sifat tertentu yang dianggap memiliki kesamaan
ciri-ciri/sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004).
Subjek dalam penelitian ini adalah 50 meditator pria dan wanita serta 50 non
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner
berskala (Scaled Questionare) yaitu kuesioner kecerdasan emosional.
Item-item dalam skala disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan
emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2003) yaitu: (1) mengenali
emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali
emosi orang lain, dan (5) membina hubungan.
Skala kecerdasan emosional ini terdiri dari 100 butir pertanyaan yang
berisi 50 pertanyaan favorabel dan 50 pertanyaan unfavorabel.
Dibawah ini tabel blue print skala kecerdasan emosional:
Tabel 1
Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba
No Aspek Favorabel Unfavorabel Total
1 Mengenali Emosi Diri 1, 25, 39, 44, 49, 54,
Skala tersebut disusun dengan menggunakan metode penskalaan Likert’s
atau metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating), yaitu metode
penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai
dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 1999). Dalam skala yang
menggunakan rating yang dijumlahkan (Summated Rating) ini, subjek diminta
untuk merespon pernyataan-pernyataan yang dirumuskan secara favorabel
atau unfavorabel tentang suatu objek. Dalam hal ini objek skala adalah
kecerdasan emosional.
Setiap butir item memuat 4 kategori pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai
(SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Penskoran
yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk pernyataan-pernyataan Favorable pilihan Sangat Sesuai (SS) diberi
skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, Sangat
Tidak Sesuai (STS) diberi skor 1.
2. Untuk pernyataan-pernyataan Unfavorable pilihan Sangat Sesuai (SS)
diberi skor 1, Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3,
Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 4.
Skala ini berbentuk pernyataan yang dilengkapi dengan alternatif jawaban
yang telah dimodifikasi yaitu meniadakan jawaban yang di tengah. Dasar
pertimbangan yang dipergunakan berdasarkan tiga pertimbangan antara lain:
a. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat
memutuskan atau memberi jawaban. Bias juga diartikan netral, setuju
b. Tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderungan
menjawab ke tengah (central tendency effect)
c. Tersedianya jawaban yang di tengah akan menghilangkan banyak data
penelitian sehingga mengurangi informasi yang dapat dijaring dari
responden. (Hadi, 2000).
Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi skor
total, semakin tinggi skor total yang diperoleh oleh subjek maka menunjukkan
bahwa subjek memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dan
sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki kecerdasan
emosional yang rendah.
Uji Coba dilaksanakan pada tanggal 4 September 2007, pada tanggal
tersebut peneliti membagikan skala pada subjek. Subjek uji coba ini adalah
mahasiswa pria dan wanita di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Subjek
yang dipakai dalam penelitian ini juga harus memenuhi kriteria penelitian.
Subjek uji coba ini berjumlah 70 orang.
F. Pengujian Instrumen Penelitian
1. Uji Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana
ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.
Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang
tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil
menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan dikatakan sebagai tes
yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2003).
Dalam penelitian ini validitas yang ingin diukur adalah validitas isi
(content validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat
pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional
judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah
sejauhmana item-item tes mewakili mewakili komponen-komponen dalam
keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan
sejauhmana item-item tes mencerminkan ciri-ciri perilaku yang hendak diukur
(aspek relevansi) (Azwar, 2003). Pengukuran validitas isi ini telah dilakukan
dengan melihat kesesuaian indikator dengan definisi konseptual, definisi
operasional serta kesesuaian indikator dengan kalimat pada setiap itemnya.
2. Daya Beda Item
Prosedur seleksi item didasarkan pada data empiris yaitu data hasil uji
coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan subjek
yang hendak dikenai skala. Kualitas item-item diukur dengan analisis butir,
yang menggunakan parameter daya beda item. Daya beda item adalah sejauh
mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang
memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).
Untuk menguji kesahihan tiap butir item dalam skala kecerdasan
emosional tersebut untuk selanjutnya dapat dilakukan pemilihan item terbaik
berdasarkan korelasi item total, maka peneliti juga melakukan analisis statistik
Cara yang dilakukan dalam seleksi item adalah dengan mengukur daya
diskriminasi atau daya beda dari tiap itemnya, yang dinyatakan dengan
koefisien korelasi item total (rix). Korelasi item total memperlihatkan adanya
kesesuaian fungsi item dengan fungsi skala dalam mengungkap perbedaan
individu.
Sebagai kriteria pemilihan item berdasar pada korelasi item total biasanya
digunakan batasan rix ≥ 0,30 (Azwar, 1999). Item yang memiliki koefisien
korelasi minimal 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya
diskriminasi tinggi dan dianggap memuaskan, sedangkan item yang memiliki
koefisien korelasi kurang dari 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang
memiliki daya diskriminasi rendah dan dianggap gugur.
Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 100 item skala kecerdasan
emosional ini mempunyai daya beda item berkisar antara 0,059 sampai dengan
0,661. Dalam uji coba ini terdapat 33 item yang gugur karena daya bedanya
berada di bawah 0,30 yaitu aitem no 1, 3, 4, 6, 7, 9, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25,
26, 28, 39, 40, 43, 45, 50, 62, 63, 67, 78, 80, 83, 88, 91, 92, 94, 95, 97, 100.
Untuk menentukan item-item yang digunakan dalam penelitian
sesungguhnya, peneliti melakukan penyetaraan item yaitu dengan memilih
item terbaik dari 67 item yang sahih dikarenakan prosentase item per aspek
kurang seimbang sehingga diperoleh 55 item sebagai skala penelitian. Sebaran
Tabel 2
Spesifikasi Item Penelitian
No Aspek Favorabel Unfavorabel Total
1 Mengenali Emosi Diri 1, 11, 26, 31, 40, 50
4 Mengenali Emosi Orang Lain
Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang berasal
dari kata rely dan ability (Azwar, 2001). Pengukuran yang memiliki
reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Ide pokok yang
terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dikatakan dapat dipercaya
hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap
kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek
yang diukur dalam diri subjek belum mengalami perubahan.
Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya
berada dalam rentang 0 – 1,00. semakin koefisien reliabilitas mendekati 1,00
berarti semakin tinggi reliabilitasnya sebaliknya semakin mendekati angka 0