• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

NOVI TRI ASTARINI 029114019

JURUSAN PSIKOLOGI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)

P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si.

I Asked JESUS, “How much do you love me ? “

“This much “ he answered,

An he stretched out his arms and died.

JANGANLAH MEMBIARKAN MATAMU TIDUR, DAN KELOPAK

MATAMU MENGANTUK; LEPASKANLAH DIRIMU SEPERTI

KIJANG DARI PADA TANGKAPAN, SEPERTI BURUNG DARI

(5)

Ketika aku mohon kepada-Nya KEKUATAN..

Dia memberikan KESULITAN agar aku menjadi kuat.

Ketika aku mohon kepada-Nya KEBIJAKSANAAN..

Dia memberiku MASALAH untuk kupecahkan.

Ketika aku mohon kepada-Nya KEBERANIAN..

Dia memberiku KONDISI BAHAYA untuk kuatasi.

Ketika aku mohon kepada-Nya SEBUAH CINTA..

Dia memberiku ORANG BERMASALAH untuk kutolong.

Ketika aku mohon kepada-Nya BANTUAN..

Dia memberiku KESEMPATAN untuk kugunakan.

Aku tidak pernah menerima apa yang KUMINTA..

Tetapi aku menerima apa yang KUBUTUHKAN.

(6)

Kupersembahkan karya kecil ini untuk :

9 Yesus Kristus sumber hidup dan pengharapanku..

Kekuatan dan kasihku… Love Jesus..

9 Bunda Maria, Bunda Allah…Inspirasi hidupku. Saat aku

sedih dan lemah, Engkau selalu merangkulku.

Trimakasih Bunda…

9

Bapak & Ibu, cinta terhebat dalam hidupku…

9

Kakak-kakakku serta keponakan-keponakanku yang

kukasihi…

9

Menda, sandaran & cahaya hatiku…

9

Om Fred Ataboe, penolongku…

(7)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta,

Penulis

(8)

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Novi Tri Astarini

Nomor Mahasiswa : 029114019

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak umtuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Februari 2008

Yang menyatakan

(9)

ABSTRAK

PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA MEDITATOR DAN NON MEDITATOR

Novi Tri Astarini 029114019 Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator. Meditator adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar untuk melakukan meditasi sedangkan non meditator adalah orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar untuk melakukan meditasi. Penelitian ini merupakan penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi daripada kecerdasan emosional non meditator.

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 50 meditator dan 50 non meditator, Data diperoleh dengan menggunakan skala kecerdasan emosional. Daya diskriminasi skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,937. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t independent, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara melihat distribusi t terhadap signifikansinya.

Dari perhitungan menunjukkan nilai t sebesar 12,643, dengan sig. 0,000 (kurang dari 0,01). Dengan demikian hipotesis dalam penelitian ini diterima. Artinya ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi daripada non meditator.

(10)

ABSTRACT

THE EMOTIONAL INTELLIGENT DIFFERENTIATION BETWEEN MEDITATOR AND NON-MEDITATOR

Novi Tri Astarini 029114019 Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Yogyakarta

The purpose of this comparative study is to find out the emotional intelligent differentiation between meditator and non-meditator. Meditators were people who had the desire to consciously meditate while non meditators did not have the desire to carry out meditation. The hypothesis of the study claimed that there is a differentiation between meditator and non-meditator; the emotional intelligent of meditator is higher than the emotional intelligent of non-meditator.

The subject of this research was consisted of 50 meditators and 50 non-meditators. The data was collected using emotional intelligent scale. The discrimination capacity scale used ≥ 0.3 as the limit point with the reliability coefficient of 0.937. Data of this research was analyzed using independent t-test. In this stage, the hypothesis was proved by observing the distribution of t towards its signification.

The result of the study showed that the value of t is 12.643 with sig. 0.000 (less that 0.01). Finally, this was proved that the hypothesis of this study was accepted that there is a differentiation between meditator and non-meditator; the emotional intelligent of meditator is higher than the emotional intelligent of non-meditator.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hidup,

berkat, karunia, kasih serta tuntunan yang tiada akhir kepada penulis sehingga

penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. Skripsi ini merupakan penelitian

mengenai perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari akan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penulis

sehingga dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaian

penyusunan skripsi ini. Oleh sebab itu, tak lupa kiranya penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Tuhanku “Yesus Kristus” yang begitu mengasihiku dan mencintaiku.

Terima kasih Yesus karena Engkau tidak pernah meninggalkanku dan

selalu peduli padaku..Thanks GOD..

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi

Universita Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi selaku Kepala Program Studi

Psikologi.

4. Ibu Titik Kristiyani, S.Psi selaku dosen pembimbing akademik.

Terimakasih atas bimbingan dan suportnya selama saya menjadi

(12)

5. Bapak C. Wijoyo Adinugroho, S.Psi selaku dosen pembimbing

akademik pengganti. Terima kasih.

6. Ibu M.M. Nimas Eki, S.Psi selaku dosen pembimbing skripsi.

Terimakasih atas waktu, tenaga, perhatian, arahan serta semangat yang

tidak henti-hentinya ibu berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini.

7. Ibu Agnes Indar E,. S. Psi dan bapak Y. Heri Widodo, S.Psi selaku

dosen penguji.

8. Para dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

9. Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji serta Mas Doni yang telah

membantu banyak hal dan meluangkan waktu untuk memberikan

kemudahan dan kenyamanan selama penulis belajar di fakultas psikologi

ini.

10.Pak Gie yang selalu memberikan kehangatan lewat senyuman yang

datang dari dalam hati serta pelayanan yang tiada akhir selama penulis

belajar di fakultas psikologi ini.

11.Bapak, ibu serta teman-teman semua yang telah bersedia membantu

penulis mengisi angket untuk penelitian ini.Terima kasih..

12.Bapak & Ibu yang selalu mencintaiku tanpa akhir Terima kasih atas

kasih sayang, pengorbanan, tenaga, dukungan, ciuman, belaian, pelukan,

semangat, omelan dan doa yang luar biasa begitu hebatnya untuk diriku.

(13)

13.Kakak-kakakku yang terkasih, “Mz Kun, Mbk Menik+Mz Dal, Mbk

Arum+Mz Iwan “. Terimakasih selalu menyayangiku, mendoakanku,

membuat hidupku menjadi lebih berarti, everything..

14.Keponakan-keponakan kecilku yang tersayang, “kakak (okta), putri

(iput), tia, dea, via n sekar”. Selalu mensuport, mendoakan, mencintai,

yang selalu ngangenin, membuat heboh n’ jahil..Opic sayang kalian

semua..Miss U ☺

15.Schatz, Mendaku....”W. Danang H.”.Waoooow…Klo dibuat novel, pasti

akan ada serinya,hehehe. Perjalanan yang panjang n penuh dengan

surprise maupun deraian telah kita lewati. “Cinta tidak memberikan

apa-apa kecuali dirinya sendiri dan tiada mengambil apa-apapun kecuali dirinya

sendiri”. Kamu begitu indah buatku…LoVe U Schatz ☻

16.Keluarga besar Joyosudarmo yang selalu mengalirkan kehangatan n

panjatan doanya untuk aku..

17.Om Fred Atabue dan keluarga, terimakasih atas uluran kasih untukku.

18.Bapak alm. Sriyanto beserta ibu Sriyanto. Terimakasih atas doa, kasih

sayang, cinta, nasehat yang selalu mengalir untuk aku, terlebih telah

menerima Novi apa adanya menjadi bagian keluarga baru. Terimakasih

juga untuk Mas Sukir& Mbak Ani (atas supportnya), Mas

Hendrik&Mbak Lisa, Mbak Asti, Mas Yoyok&Mbak Duma (atas

nasehat n supportnya), Dido (atas bantuan n ejekannya,hehehe), Andika

(bantuan, keikhlasan n story tellingnya) serta Okta, Bram n Gaby yang

(14)

19.Gabor, Anis & Angik, sahabat kecilku n kurcaci-kurcaciku yang selalu

ada n selamanya di hatiku..Makasih ya, jadi sahabat terhebat buatku.

20. Tumpahan kebahagiaan n kesedihanku “Thea, Adjenk n

Mitha”..Terimakasih untuk keceriaan dan persahabatan kita. Kalian telah

memberikan banyak warna kehidupan untukku.. Luv U Girls ☺

21.Sahabat-sahabat segerilyaku, “Fista, Trisa, Ntrie, Tanti, Ucik

Kecil,Yakyuk, Lita, Wiwin, Astria”. Makasih atas pelukan yang hangat,

nasehat n kejadian-kejadian tak terduga untuk aku. Terutama telah

menemani n mau kurepotkan selama kuliah ini. Akhirnya aku bisa naek

motor juga khan??? Hihihihi…….☻ MIZZ U All

22.Teman-teman Psikologi 2002: Wedha, Elvin, Laura, Mas Adi, Suko,

Wawan, Donat, Ina, Lisna, Dewi, Pitha, Doni, Si Y, Vincent, Obeth, dan

masih banyak lagi yang ga bisa aku sebutin satu-satu. Makasih atas

kebersamaan dan kebahagiaan yang indah.

23.Mas Uki Sadewa, partner n guru besarku. Pelajaran indah n bermakna

banyak aku dapet dari mas. Makasih atas semuanya terlebih atas doa

yang tak pernah surut. Aku akan selalu ingat, “Cintai dengan tulus dan

kasih”..GBU

24.Keluarga kecilku “Asta Mistika”: Thea, Wedha (atas kasih n doa yang

selalu mengalir untukku), Adjenk, Wiwin, Aning, Asih, Mas Nano, Mas

Rusman n Mas Bud. Makasih untuk kerjasama n kebersamaannya…☺

(15)

25.Teman-teman KKN “Destan Crew” : Santi, Erry, Riri, Windhu, Maria,

Suneo, Iman, Ledu n Ien. Ketemu yuk n membentuk kekacauan

lagi,hehehe.Bahagianya 1 bulan bersama kalian. GBU All.

26.Tina Toon, makasih atas les privat SPSS untukku. Privat lagi ya, hehehe.

27.Fika, atas peminjaman bukunya. Berguna banget loh..Miss U.

28.Mas Beni,,,, Lama banget ya monitornya??? Maaaap n makasih

bangettttttt ya ☺ Mau minta apa neh?????

29.Anggota ”Djemari”, mz Ita, mz Dodi n Neneng yang selalu kurepotkan

dan terlebih mau memberikan aku diskon. Huaaaaa.... Matur nuwun

sanget.

30.Last but not least… “Pelita Hati”, yang datang dan pergi dalam

kehidupanku dan ikut menyumbang goresan tintanya untukku. Makasih

n Tuhan memberkati.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang

membangun untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini. Mohon maaf bila

terdapat kesalahan baik dalam penulisan maupun penjelasan.

Yogyakarta, November 2007

(16)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii

ABSTRAK ... ix

ABSTRACT... x

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xix

DAFTAR GAMBAR ... xx

DAFTAR TABEL... xxi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II. LANDASAN TEORI ... 8

(17)

1. Pengertian Emosi ... 8

2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 9

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional ... 10

4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 17

B. Meditasi... 18

1. Pengertian Meditasi... 18

2. Meditator dan Non Meditator ... 20

3. Bentuk dan Proses Meditasi ... 21

C. Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator ... 25

D. Hipotesis... 29

E. Skema Kecerdasan Emosional ... 30

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 31

A. Jenis Penelitian... 31

B. Identifikasi Variabel... 31

1. Variabel Bebas ... 31

2. Variabel Tergantung... 31

C. Definisi Operasional ... 31

1. Kecerdasan Emosional ... 31

2. Meditasi... 33

D. Subjek Penelitian... 34

E. Metode Pengumpulan Data ... 34

(18)

1. Validitas ... 37

2. Daya Beda Item... 38

3. Reliabilitas ... 40

G. Prosedur Penelitian ... 40

H. Teknik Analisis Data... 41

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Pelaksanaan Penelitian ... 43

B. Hasil Penelitian ... 44

1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 44

2. Hasil Analisis Data... 44

a. Deskripsi Data... 44

b. Hasil Uji Asumsi ... 45

1) Uji Normalitas... 45

2) Uji Homogenitas ... 46

c. Uji Hipotesis ... 46

C. Pembahasan... 47

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 53

A. Kesimpulan ... 53

B. Saran... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 54

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 67

Lampiran 2. Data Penelitian... 87

Lampiran 3. Reliabilitas ... 103

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Bagan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator

(21)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba ... 34

Tabel 2 Spesifikasi Item Penelitian... 39

Tabel 3 Deskripsi Subjek Penelitian ... 43

Tabel 4 Usia Subjek Penelitian ... 43

Tabel 5 Hasil Analisis ... 44

Tabel 6 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov... 44

Tabel 7 Hasil Uji Homogenitas... 45

(22)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam rentang kehidupan, setiap individu melalui tahapan-tahapan dalam

proses pertumbuhan dan perkembangannya. Setiap tahap perkembangan, individu

selalu melakukan penyesuaian terhadap pola-pola kehidupan baru dan

harapan-harapan sosial baru. Individu diharapkan memainkan peran baru, seperti peran

suami/istri, orang tua serta pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap baru,

keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas-tugas baru ini. Oleh

karena itu penyesuaian diri merupakan hal yang dianggap khusus dan sulit dari

rentang hidup seseorang karena individu diharapkan mengadakan penyesuaian diri

secara mandiri.

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami kesulitan dalam

penyesuaian diri karena tuntutan yang semakin besar, adanya harapan untuk

mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab serta kemandirian emosional

(Hurlock, 1980). Oleh karena itu, individu diharapkan dapat menghadapi

permasalahan secara lebih bijak. Namun, keadaan emosi yang cenderung tidak

stabil dan kekurangsiapan menerima setiap perubahan yang terjadi pada diri

seringkali membuat individu merasa tertekan. Keadaan yang labil ini dapat

menyebabkan timbulnya masalah dan gangguan seperti masalah yang timbul

dalam lingkungan pekerjaan, pendidikan, keluarga, hubungan bersosialisasi

(23)

Dalam rangka menghindari hal-hal negatif yang dapat merugikan diri

sendiri dan orang lain, individu hendaknya memahami dan memiliki apa yang

disebut kecerdasan emosional. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosional

adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan

baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain.

Penelitian Daniel Goleman dari Universitas Harvard menunjukkan bahwa

kecerdasan emosional lebih banyak berperan dalam menentukan keberhasilan

seseorang, sedangkan intelegensi hanya menduduki posisi kedua setelah

kecerdasan emosional. Penelitian ini juga sekaligus menumbangkan kepercayaan

selama ini dimana IQ-lah yang paling penting dalam menentukan kesuksesan

seseorang. Ternyata kecerdasan emosional memegang peranan penting dalam

keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Kecerdasan emosional menuntut orang

untuk dapat memahami keberadaan dirinya, dimana dan pada situasi bagaimana ia

berada (www.google.com).

Kecerdasan emosional juga mencakup kesadaran diri dan kendali

dorongan hati, ketekunan, semangat dan motivasi diri, empati dan kecakapan

sosial. Ketrampilan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional antara lain

kemampuan untuk memahami orang lain, kepemimpinan, kemampuan membina

hubungan dengan orang lain, kemampuan berkomunikasi, kerjasama tim,

membentuk citra diri positif, memotivasi dan memberi inspirasi dan sebagainya

(24)

Kecerdasan emosional seseorang terlihat dalam hal-hal seperti bagaimana

individu mampu untuk memberi kesan yang baik tentang dirinya, mampu

mengungkapkan dengan baik emosinya sendiri, berusaha menyetarakan diri

dengan lingkungan, dapat mengendalikan perasaan, dan mampu mengungkapkan

reaksi emosi sesuai dengan waktu dan kondisi yang ada sehingga interaksi dengan

orang lain dapat terjalin dengan lancar dan efektif (www.e-psikologi.com).

Salah satu upaya individu untuk mengendalikan diri dengan baik dalam

rangka meningkatkan kecerdasan emosional adalah dengan melakukan suatu

bentuk terapi yang ditawarkan oleh psikologi timur yaitu meditasi. Meditasi

adalah suatu proses yang bertujuan untuk mempertahankan dan mencapai keadaan

relaksasi yang dapat memperlambat gelombang otak individu dan membawa

kesadaran yang lebih dalam (Too, dalam Widiana, 1996). Meditasi sebagai suatu

seni untuk menentramkan batin merupakan suatu ilmu yang sudah “kuno” yang

berakar lebih dari 3000 tahun yang silam pada peradaban awal di lembah Sungai

Indus yang sekarang dikenal sebagai India (Dhyanasukha, 1990). Hal ini

dibuktikan dengan ditemukannya patung-patung keramik yang dibuat kurang

lebih 5000 tahun yang silam. Patung-patung yang melukiskan para Yogi yang

sedang bermeditasi itu telah ditemukan utuh selama penggalian-penggalian

peradaban Dravida di Mahenjo Daro di cekungan Sungai Indus (Hall, 1999).

Awalnya meditasi hanya dilakukan oleh orang yang telah berusia lanjut

dimana orang lanjut usia dianggap sudah tidak memikirkan masalah duniawi

(Suryani, 1996). Namun seiring dengan perkembangan jaman yang serba modern

(25)

banyak, serba lebih dari yang lain yang pada akhirnya menimbulkan dampak yang

kurang baik bagi keadaan batin dan ketenangan hidup, maka banyak orang yang

hidup dalam keadaan tegang, penuh kekhawatiran, tidak bisa tidur dan akhirnya

mengakibatkan berbagai macam penyakit seperti sakit lambung, tekanan darah

tinggi, sakit jantung, dsb (Dhyanasukha, 1990). Oleh karena itu, untuk mengatasi

efek dari tekanan-tekanan hidup itu diperlukan suatu metode untuk menjaga

ketenangan dan ketentraman batin yaitu dengan melakukan meditasi. Disinilah

perkembangan meditasi kian merebak di kalangan awam. Awam mulai

mempelajari seni meditasi yang telah dipercaya sejak jaman dulu dapat membantu

untuk mengatasi tekanan-tekanan mental tersebut.

Meditasi merupakan suatu aktivitas menentramkan batin yang jauh lebih

baik bila dibandingkan dengan obat penenang dan obat-obat tidur yang pada

umumnya mengakibatkan ketergantungan (Wulandari, 2002). Di samping itu

meditasi yang dilakukan dengan benar akan membuat meditator (orang yang

mengikuti meditasi) hidup lebih wajar, toleran, tangguh dan lebih tabah dalam

menjalani kehidupannya (Dhyanasukha, 1990). Meditasi merupakan aktivitas

yang membuat meditator mengalami keadaan istirahat yang dalam dan sangat

rileks yang biasanya dialami pada orang ketika tidur nyenyak. Keadaan ini

memberikan kesempatan pada syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya

kembali. Susunan syaraf yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh

sistem yang berada dalam tubuh (Soegoro, 2002). Dengan keadaan yang normal

tersebut maka dimungkinkan meditator tersebut untuk mengalami perkembangan

(26)

Riset-riset psikologis menemukan bahwa banyak manfaat yang diperoleh

lewat latihan meditasi yaitu berhasil menangani masalah klinis diantaranya

insomnia, kecemasan, phobia, hipertensi (Widiana, 1996), membangkitkan

tanggung jawab pribadi serta membangkitkan personal insight (Shapiro, 1994).

Meditasi juga mempunyai potensi psikoterapeutik yang berkaitan dengan

pengalaman mistik dan proses yang mendatangkan penyembuhan. Di sisi lain

meditasi bermanfaat sebagai kontrol dalam proses berpikir, meningkatkan sikap

penuh perhatian dan kemampuan pengendalian emosi dan kemarahan (Fontana,

dalam Widiana, 1996). Setiap kali latihan meditasi dilakukan, seseorang akan

berusaha mengenali proses mental yang muncul seperti perasaan gelisah, cemas,

marah, senang, gembira, dll. Latihan yang terus menerus akan membawa individu

pada kebiasaan yang baik yaitu selalu mengenal bentuk emosi yang muncul

sehingga kontrol diri menjadi meningkat (Soegoro, 2002).

Kemampuan untuk mengontrol emosi yang diperoleh dari proses meditasi

ini berkaitan erat dengan kecerdasan emosional dimana kemampuan tersebut

merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosional. Oleh karena itu dapat

dilihat bahwa meditasi merupakan salah satu upaya untuk menunjang individu

meningkatkan kecerdasan emosional. Akan tetapi peneliti belum menemukan

adanya penelitian yang berkaitan dengan kecerdasan emosional ataupun dengan

meditasi. Penelitian atau jurnal yang telah dilakukan selama ini berkaitan dengan

kecerdasan emosional adalah agresivitas remaja dengan kecerdasan emosional

(Djuwarijah, 2002), pelatihan emotional literacy dengan kecerdasan emosional

(27)

kecerdasan emosional (Aryaguna, 2001), dan pola permainan sosial dengan

kecerdasan emosional (Hartini, 2004). Sedangkan penelitian atau jurnal yang

berkaitan dengan meditasi adalah meditasi dan sikap kreatif (Ndoen, 1999),

pengembangan kepribadian melalui olah rasa (Nanik, 1999), dan kebermaknaan

hidup meditator (Widiana, 1996). Hal inilah yang menarik minat peneliti untuk

melakukan penelitian ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan

permasalahan dalam penelitian ini yaitu apakah ada perbedaan kecerdasan

emosional antara meditator dan non meditator.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya

perbedaan kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini mampu menambah pemahaman dan memberikan

(28)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Meditator

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada

meditator tentang pentingnya meditasi dalam meningkatkan kecerdasan

emosional sehingga meditator dapat lebih mengintensifkan latihan

meditasi.

b. Bagi Non Meditator

Peneliti berharap hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada

non meditator bahwa ada alternatif lain dalam upaya meningkatkan

kecerdasan emosional yaitu melakukan meditasi.

c. Bagi Pembaca

Peneliti berharap hasil penelitian ini bermanfaat bagi pembaca untuk

menambah atau memberikan wacana atau informasi tentang perbedaan

kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.

d. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat memberikan informasi

serta referensi bagi peneliti selanjutnya untuk melakukan penelitian baru

(29)

BAB II DASAR TEORI

A. KECERDASAN EMOSIONAL 1. Pengertian Emosi

Dari akar katanya, emosi berasal dari kata kerja bahasa latin

movere” yang berarti mengerakkan atau bergerak, ditambah awalan “e”

untuk memberi arti bergerak menjauh. Hal ini menyiratkan bahwa

kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi (Goleman,

1997).

Emosi adalah perasaan yang dialami oleh seseorang (Albin, 1986).

Albin menambahkan pula bahwa emosi dapat merangsang pikiran baru,

khayalan baru dan tingkah laku baru. Namun Djuwarijah (2002)

menjelaskan bahwa emosi merupakan kondisi kejiwaan yang jauh lebih

intens daripada perasaan dan dapat menyebabkan hubungan individu

dengan lingkungan menjadi terganggu.

Cooper dan Sawaf (2000) mengemukakan pengertian emosi yang

dapat didefinisikan secara sederhana sebagai penerapan “gerakan” baik

secara metafora maupun harafiah untuk mengeluarkan emosi. Goleman

(1997) menambahkan bahwa semua emosi adalah dorongan untuk

bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah

(30)

Menurut Goleman (2002), emosi merujuk pada suatu perasaan dan

pikiran-pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan

serangkaian kecenderungan untuk bertindak.

Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan

bahwa emosi merupakan perasaan yang dialami seseorang yang dapat

merangsang munculnya pikiran baru, khayalan baru serta tingkah laku

baru.

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri,

ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan

menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa (www.e-psikologi.com). Selanjutnya, Goleman (1999) juga mengungkapkan kecerdasan

emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan

mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungan dengan

orang lain.

Howard Gardner (dalam Goleman, 1995) mengartikan kecerdasan

emosional sebagai kemampuan yang bersifat “pribadi” yang meliputi

kecerdasan antarpribadi dan kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan

antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain: apa yang

(31)

bahu-membahu dengan mereka. Sedangkan yang dimaksud kecerdasan

intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, akan tetapi terarah dalam

diri.

Tokoh lain yang mengemukakan pendapatnya adalah Salovey dan

Mayer (dalam Goleman, 1999) menyatakan bahwa kecerdasan emosional

adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan

orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu

pikiran dan tindakan.

Sementara Howes dan Herald (dalam Goleman, 1999) mengatakan

pada intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat

seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.

Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengenali perasaan

sendiri dan orang lain, memotivasi diri serta mengelola emosi dengan baik

pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri

individu untuk menanggapi lingkungan sekitar. Yang termasuk ke

(32)

kerja otak. Goleman (2002) menguraikan tentang bagaimana otak

manusia itu tumbuh sebagai berikut:

1) Pertumbuhan dimulai dari batang otak untuk mengatur

fungsi-fungsi dasar kehidupan seperti bernapas dan metabolisme otak

lain serta mengendalikan reaksi dan gerakan dengan pola yang

sama. Otak ini telah diprogram untuk menjaga agar tubuh

berfungsi sebagaimana mestinya dan bereaksi dengan cara yang

tidak membahayakan kelangsungan hidup.

2) Kemudian lobus olfaktori sebagai tempat tumbuhnya pusat

emosi primitif

3) Sistem limbik yang menambah emosi dan mempertajam

pembelajaran dan ingatan. Bila seseorang sedang dikuasai oleh

hasrat atau amarah, jatuh cinta atau ketakutan maka sistem

limbik inilah yang sedang bekerja.

4) Rhinencephalon atau “otak hidung” yaitu bagian saluran limbik

dan dasar rudimeter neokorteks yakni otak yang berpikir terdiri

dari hippocampus dan amigdala. Hippocampus dan amigdala

merupakan dua bagian penting “otak hidung” primitif yang

dalam evolusi memunculkan korteks serta kemudian

neokorteks. Hingga saat ini, kedua struktur limbik itu

melakukan sebagian besar atau banyak ingatan dan

pembelajaran otak. Amigdala adalah spesialis masalah-masalah

(33)

lainnya, hasilnya adalah ketidakmampuan yang amat mencolok

dalam menangkap makna emosional suatu peristiwa yang

disebut kebutaan afektif. Amigdala berfungsi sebagai semacam

gudang ingatan emosional, dan dengan demikian makna

emosional itu sendiri hidup tanpa makna pribadi sama sekali.

Semua nafsu dan perasaan kasih sayang terikat pada amigdala.

Fungsi-fungsi amigdala dan pengaruhnya pada neokorteks

merupakan inti kecerdasan emosional. Neokorteks sebagai otak

berpikir yang menumbuhkan perasaan tentang seni, ide, simbol,

dan khayalan serta menambah nuansa pada kehidupan

emosional.

b. Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar

individu yang mempengaruhi/mengubah kecerdasan emosional

individu. Faktor-faktor itu diantaranya adalah keluarga,

pendidikan, budaya dan jenis kelamin.

Shapiro (2001) mengemukakan bahwa keluarga adalah

salah satu tempat pendidikan dalam pembelajaran emosional.

Kagan (dalam Shapiro, 1998) mengatakan bahwa secara harafiah

perkembangan otak seseorang dapat berubah jika orang tua mau

membantu mereka dalam mengatasi suatu masalah. Goleman

(1999) mengatakan bahwa pembelajaran emosi yang diberikan

(34)

temperamen anak. Pembelajaran emosi ini bukan hanya melalui

hal-hal yang diucapkan oleh orang tua secara langsung pada

anaknya melainkan juga melalui contoh-contoh yang mereka

berikan sewaktu menangani perasaannya sendiri.

Secara garis besar pola asuh orang tua kepada anak dapat

digolongkan menjadi 3 yaitu otoriter, permisif dan otoritatif.

Orangtua otoriter memberlakukan peraturan yang ketat dan

menuntut anaknya untuk menaati segala peraturan yang ada. Pada

prinsipnya membatasi ruang kehidupan anak. Orang tua tidak

memberi kesempatan kepada anak untuk mengatur dirinya sendiri.

Jika anak menolak atau tidak patuh pada perintah ataupun aturan

yang ditetapkan oleh orang tua, maka mereka akan mendapatkan

hukuman. Akan tetapi jika anak mematuhi perintah orang tua,

maka mereka tidak akan mendapat penghargaan atau pujian dari

orang tuanya. Orang tua tidak pernah mengekspresikan

perasaannya di depan anak dan cenderung mengutamakan

kedudukannya sebagai orang tua. Dengan kondisi demikian, anak

tidak pernah belajar bagaimana merasakan perasaannya sendiri,

bagaimana orang lain menanggapi perasaannya serta belajar

mengungkapkan harapan dan rasa takut atau dengan kata lain

pembelajaran emosi tidak didapatkan dengan pola asuh orang tua

yang demikian. Akhirnya dengan siapapun mereka berhadapan,

(35)

daripada orang lain, suka tergantung pada orang lain dan mudah

mengalami kekecewaaan.

Orangtua permisif membesarkan anak tanpa adanya

batasan/aturan yang mengikat sehingga terkesan bebas. Akhirnya

anak menjadi terbiasa untuk mendapatkan segala sesuatu dengan

cara yang mudah dan cepat. Jika ia tidak mendapatkan apa yang

diinginkannya, anak akan mudah kecewa dan marah. Selain itu

anak tidak akan belajar berpikir tentang perasaan dan

pilihan-pilihan apa yang dimiliki untuk bereaksi karena orang tua tidak

pernah memberi contoh tentang pembelajaran emosi secara

langsung. Pola asuh seperti ini tidak membantu anak mencerdaskan

emosinya.

Orangtua otoritatif menghargai kemandirian anak-anaknya

namun juga menuntut mereka untuk memenuhi tanggung jawab

kepada keluarga, teman, maupun masyarakat. Selain itu orang tua

otoritatif bersikap empati untuk menghibur tanpa memperbesar

kesedihan/kecemasan serta menetapkan batas-batas yang tegas dan

mewajibkan sikap patuh akan membuat anak belajar untuk

mengatasi dan menghadapi emosi tersebut. Sikap orang tua yang

demikian akan mengembangkan kecerdasan emosional pada anak.

Faktor pendidikan memiliki peranan yang penting dalam

mendukung perkembangan kecerdasan emosional. Menurut Gie

(36)

pendidikan formal, pendidikan informal dan pendidikan nonformal.

Pendidikan formal merupakan program kelembagaan pendidikan

yang ditentukan oleh pihak yang berwenang yang layak diberikan

oleh sekolah, institut, sekolah tinggi, dan universitas yang dibentuk

untuk tujuan tunggal serta memberikan pengajaran dalam suatu

cara yang tertib, terencana, dan sistematik. Melalui sistem

pendidikan yang berada dalam institusi resmi ini maka potensi

kecerdasan emosional dapat dikembangkan.

Pendidikan informal diberikan di luar sistem pendidikan

yang tersusun formal, misalnya dalam keluarga dan

kelompok-kelompok lainnya. Tumbuhnya kecerdasan emosional seseorang

dapat terjadi karena adanya peran pada masing-masing anggota

keluarga yang ada.

Pendidikan nonformal merupakan pendidikan dan

pelatihan non sekolah yang tersusun sistematik, biasanya untuk

jangka waktu pendek yang selama jangka waktu itu badan yang

mendidik mengusahakan suatu perubahan perilaku khususnya pada

sekelompok orang yang dituju. Misalnya program pelatihan

outbound dan seminar. Melalui kegiatan-kegiatan semacam itu

maka kemampuan seseorang dalam mengelola diri, khususnya

pengelolaan diri ke dalam jalur emosi akan terbentuk sehingga

(37)

Faktor yang turut mempengaruhi kecerdasan emosional

adalah faktor budaya dan jenis kelamin. Latar belakang budaya

dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam mengungkapkan

emosi. Perbedaan terkadang nampak pada bentuk respon seseorang

terhadap stimulus tertentu sebagaimana yang biasa diberikan oleh

masyarakat/lingkungan yang melatarbelakanginya. Menurut

Gottman dan De Claire (1997), pengaruh budaya semacam itu

tidak mengganggu kemampuan seseorang untuk merasa, sehingga

orang dari semua latar belakang budaya memiliki kemampuan

untuk peka terhadap perasaan mereka masing-masing. Faktor jenis

kelamin dianggap dapat mempengaruhi seseorang dalam

mengungkapkan emosi yaitu terdapat perbedaan cara

mengungkapkan emosi antara laki-laki dan perempuan.

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat

beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu:

faktor internal yang berasal dari dalam diri individu untuk

menanggapi lingkungan sekitar serta faktor eksternal yang

meliputi keluarga, pendidikan, budaya dan jenis kelamin.

4. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Goleman (2003) menjelaskan mengenai 5 wilayah utama

(38)

kemampuan individu yang terdiri atas kemampuan pribadi dan

kemampuan sosial yang terdiri dari:

a. Mengenali Emosi Diri

Mengenali emosi diri merupakan kemampuan mengenali

dan mengidentifikasi emosi. Kemampuan mengenali emosi diri

sendiri meliputi kemampuan untuk merasakan dan memberi

penilaian pada perasaan atau emosi diri sendiri pada situasi serta

mampu memahami penyebab timbulnya suatu perasaan.

b. Mengelola Emosi

Mengelola emosi merupakan kemampuan untuk mengatasi

rasa takut, cemas, amarah dan sedih dengan cara yang benar dan

proporsional.

c. Memotivasi Diri Sendiri

Merupakan kemampuan untuk menguasai diri dalam

mengendalikan dorongan/hasrat terhadap suatu tujuan.

Kemampuan ini meliputi adanya rasa bertanggung jawab, mampu

menguasai diri, memiliki kontrol emosi untuk mencapai tujuan,

menunda kepuasan, mampu bekerja efektif untuk mencapai tujuan,

dan mengharapkan sukses.

d. Mengenali Emosi Orang Lain

Hal ini sering dikenal dengan istilah empati yaitu

(39)

perspektif mereka dalam upaya menumbuhkan hubungan saling

percaya dan menyelaraskan diri dengan berbagai macam orang.

e. Membina Hubungan

Ini merupakan ketrampilan mengelola emosi orang lain.

Kemampuan ini meliputi kemampuan menangani konflik

interpersonal secara konstruktif atau membangun hubungan yang

baik serta mampu menjalin hubungan dengan orang lain.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan emosional memiliki 5 aspek yaitu (a) mengenali emosi diri, (b)

mengelola emosi, (c) memotivasi diri sendiri, (d) mengenali emosi orang

lain, dan (e) membina hubungan.

B. MEDITASI

1. Pengertian Meditasi

Menurut etimologi, meditasi berasal dari kata meditari yang artinya

merenungkan, meresapkan atau mengunyah (Soegoro, 2000). Pada

perkembangan selanjutnya, meditasi mempunyai arti yang lebih luas dan

menyangkut pengalaman suprasadar sehingga definisinya bermacam-macam.

Ahli lain menjelaskan meditasi berasal dari bahasa Inggris yaitu meditation

yang kemudian diucapkan dalam bahasa Indonesia menjadi meditasi. Kata

meditasi dalam bahasa Indonesia merupakan sebuah kata serapan dari bahasa

Latin “Meditatio” dan dari bahasa Perancis kuno “Meditacioun” yang berarti a

(40)

Dalam bahasa Sansekerta yaitu dhyana yang artinya pemusatan perhatian

terus-menerus kepada sesuatu yang dijadikan objek sehingga si meditator

(orang yang bermeditasi) sampai pada permenungan yang mendalam (Jendra,

1994).

Sidharta Gautama menyatakan bahwa meditasi adalah jalan untuk

kebebasan jiwa dan ketidaktertarikan merupakan kunci kehidupan. Meditasi

melahirkan sebuah kebijaksanaan dan pengetahuan (Antari,2005).

Lebih lanjut Suryani (2000) menyatakan meditasi adalah suatu proses

pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian yang dilakukan

secara sadar. Proses ini berjalan bertahap sesuai dengan keteraturan latihan

yang dilakukan. Jika proses tidak disadari atau dilakukan secara tidak sadar,

maka keadaan itu hanya memusatkan perhatian dan belum bisa disebut

sebagai aktivitas meditasi.

Dion Juanda Gibran, pengajar meditasi dari Energi Prana Kasih,

mendefinisikan meditasi sebagai proses pemahaman pemberdayaan diri tanpa

batas dan berkesinambungan untuk mencapai keseimbangan pikiran,

perkataan dan perbuatan. Meditasi menghadirkan sikap respect pada diri

sendiri serta melihat hal baik atau buruk sebagaimana adanya. Sikap ini

merupakan wujud dari kesadaran pikiran, perasaan dan tindakan (dalam

Antari, 2005).

Anand Krishna, guru dan pendiri Anand Ashram mendefinisikan

meditasi sebagai perluasan kesadaran. Hasil akhir dari meditasi adalah

(41)

tidak lagi menjadi gelisah, takut, khawatir dan cemas. Meditasi adalah gaya

hidup. Meditasi harus menjadi dasar kehidupan seseorang (Krishna, 2006).

Dari hasil uraian di atas dapat disimpulkan bahwa meditasi adalah

teknik yang dapat digunakan untuk pemberdayaan diri melalui proses

pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian yang dilakukan

secara sadar untuk mencapai keseimbangan pikiran, perkataan dan perbuatan.

2. Meditator dan Non Meditator

Meditator adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan

secara sadar untuk melakukan meditasi (Suryani, 1996). Batasan meditator

dalam penelitian ini adalah orang yang mempunyai keinginan dan kemauan

secara sadar melakukan meditasi dua kali sehari selama minimal 15 menit.

Meditasi ini dilakukan tiap hari secara teratur (Suryani, 1996). Dengan

meditasi secara teratur, pikiran akan menjadi waspada dan selamanya tenang

sehingga meditator akan mampu mengenali proses mental dalam dirinya. Non

meditator adalah orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara

sadar untuk melakukan meditasi.

3. Bentuk dan Proses Meditasi

Manusia tidak terlepas dari jiwa dan tubuh. Di dalam jiwa terhimpun

berbagai macam kekuatan seperti pikiran, perasaan, kemauan, dan semangat

untuk hidup. Semuanya itu menyatu menjadi suatu kekuatan yang menjadikan

(42)

dan raga jika individu tersebut mampu menjaga keseimbangan seluruh potensi

yang ada dalam diri. Namun untuk menjaga keseimbangan tersebut tidaklah

mudah. Seringkali pikiran tidak terfokus. Begitu pikiran mendapat tekanan

yang melampaui batas, individu akan mengalami perubahan fisik dan emosi

sehingga tubuh menjadi sakit, emosi tidak terkendali, suasana hati tidak

tenteram, dll. Dalam kondisi demikian, dalam tubuh individu akan terjadi

reaksi hormon kortisol dan adrenalin. Reaksi ini akan memaksa jantung

memompa darah lima kali lebih cepat dari kecepatan normal sehingga syaraf

akan menegang. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu cara yang digunakan

adalah dengan melakukan meditasi.

Pada dasarnya ada 2 bentuk meditasi yaitu meditasi konsentrasi dan

meditasi merasakan proses (mindfulness). Untuk meditasi konsentrasi,

perhatian dipusatkan dengan membatasi perhatian hanya pada satu objek yang

datang berulang seperti suara, kata, doa, ungkapan, pernapasan atau objek

visual. Pada saat yang sama sikap pasif dipertahankan. Aktivitas mental

lainnya dirasakan sebagai gangguan dari objek konsentrasi. Jika pada saat itu

pikiran menyimpang, meditator secara pasif mengabaikan gangguan dan

kemudian bila tiba-tiba ia menyadari gangguan itu maka pemusatan perhatian

diulang kembali pada rangsangan meditatif. Jika ia mampu mengembangkan

meditasi, maka peningkatan perasaan terjadi yaitu dari relaksasi meningkat ke

dalam perubahan emosional dan kognitif yang jelas. Keadaan ini disebut

(43)

mempunyai tujuan untuk melatih kemampuan seseorang dalam memusatkan

perhatian/konsentrasi sehingga pada akhirnya dapat mencapai keadaan rileks.

Sedangkan meditasi merasakan proses (mindfulness) merupakan suatu

bentuk meditasi yang mencoba menyadari keadaan secara menyeluruh dengan

merasakan proses keadaan itu (Suryani, 1996). Dalam meditasi merasakan

proses, orang akan merasakan jalannya cara kerja pikiran, perasaan dan

kemauan, merasakan agresi dalam tubuh, atau merasakan proses penyatuan

energi dari luar tubuh dan dari dalam tubuhnya. Cara ini bertujuan untuk

melatih kemampuan orang dalam memusatkan perhatian pada proses yang

sedang berlangsung hingga nanti hasilnya akan mencapai keadaan rileks. Oleh

karena itu dalam memahami kehidupan menurut bentuk meditasi ini

diperlukan latihan untuk memusatkan perhatian pada beberapa objek tanpa

mengubah kemampuan pemusatan ini (Suryani,1996).

Dari penjelasan di atas dapat terlihat bahwa meditasi konsentrasi dan

meditasi merasakan proses mempunyai tujuan yang sama yaitu melatih

kemampuan seseorang dalam memusatkan perhatian atau konsentrasi sehingga

pada akhirnya mencapai keadaan rileks.

Untuk mencapai keadaan rileks, meditator mengalami suatu proses

yang terjadi di dalam otaknya. Otak yang memiliki peran penting dalam

kehidupan manusia terdiri dari bermiliar-miliar sel syaraf yang mengalirkan

aliran energi listrik, memancarkan gelombang otak atau gelombang

elektromagnetik yang frekuensinya selalu berubah sesuai dengan tingkat

(44)

dan tidak beraturan menuju gelombang alpha yang berperan besar ketika

manusia dalam keadaan rileks, tenang dan santai selanjutnya menuju

gelombang theta yang berperan pada saat manusia tidur ringan dan akhirnya

menuju gelombang delta ketika seseorang tertidur lelap (Pinel, 1990).

Dinamika gelombang otak inilah yang memberi pengaruh pada meditator, baik

secara fisik maupun pengaruh psikologis.

Meditator mengalami gelombang Alpha, gelombang Theta sampai

gelombang Delta, mereka dapat menyadari dan merasakan dinamika yang

terjadi dalam dirinya. Pada saat tubuh manusia mengalami keadaan istirahat

yang dalam dan sangat rileks, frekuensi gelombang otak berada pada daerah

yang disebut gelombang delta, suatu keadaan yang biasa diperoleh pada saat

tidur nyenyak. Keadaan ini memberikan kesempatan pada syaraf-syaraf otak

untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf menjadi normal

kembali sehingga mempengaruhi seluruh sistem yang berada di dalam tubuh

seperti metabolisme tubuh yang menurun, denyut jantung yang menurun

demikian juga pernapasan (Soegoro, 2002). Selain itu dalam keadaan ini

kelenjar pineal dalam otak mulai aktif dan mengeluarkan melatonine yang

dapat membuat seseorang menjadi sangat rileks (Krishna dan Setiawan, 2002).

Dengan keadaan istirahat yang dalam dan sangat rileks yang dialami

seseorang ketika melakukan aktivitas meditasi, memberikan kesempatan pada

syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf

yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh sistem yang berada di

(45)

yang disebut sebagai keadaan meditatif. Dalam keadaan meditatif seseorang

dapat melihat dengan cara baru, cara yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Misalnya pada keadaan biasa, ketika sedang sibuk seseorang pasti akan

tergesa-gesa dan tegang. Akan tetapi dalam keadaan meditatif seseorang

menjadi lebih tenang, lebih santai, seolah-olah segala sesuatu berjalan tanpa

tekanan apapun (Soegoro, 2002). Dengan keadaan tenang dan santai akan

memudahkan meditator berkonsentrasi. Konsentrasi membuat pikiran seorang

meditator menjadi lebih tajam, terang dan terfokus dengan baik. Selain itu

meditator juga akan berusaha mengenali proses mental yang muncul yang

akan mengganggu konsentrasi seperti perasaan gelisah, cemas, marah, senang,

gembira, dll. Dengan demikian akan membawa meditator pada kebiasaan baik

yaitu mengenal bentuk emosi/proses mental yang muncul sehingga akan

timbul pemahaman yang mendalam terhadap sesama dan seseorang akan

menjadi lebih toleran dan tidak cepat tersinggung. Di sini tampak bahwa

seseorang akan memiliki kontrol diri yang meningkat.

Respon relaksasi saat latihan meditasi juga dapat meningkatkan

keseimbangan sistem hormon kekebalan dalam tubuh sehingga menjadikan

seseorang mempunyai daya tahan tubuh yang kuat. Respon relaksasi adalah

sebuah integrasi respon mindbody yaitu menurunnya pemakaian oksigen,

denyut jantung, pernafasan, tekanan darah, kadar asam laktat dalam serum,

(46)

C. Perbedaan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator

Dalam setiap periode kehidupan, individu menghadapi berbagai

tekanan dan tuntutan. Individu seringkali “dikejutkan” dengan

perubahan-perubahan yang mereka alami baik fisik, psikis, peran dan minat. Tidak semua

individu mampu menerima perubahan dan segala konsekuensinya dengan

baik. Dalam hal ini, kecerdasan emosional yang dimiliki setiap individu

menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi langkah-langkah yang akan

dijalaninya dalam menghadapi tantangan hidup mereka. Individu yang

ditunjang dengan kecerdasan emosional yang baik akan dapat mengatasi

permasalahan yang mereka hadapi dengan baik, mampu bersosialisasi dengan

baik, mampu bertahan dalam kondisi frustasi, lebih mampu memahami orang

lain dan kondisi di sekitarnya, dan lebih berkompeten dalam mengendalikan

dorongan emosi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kecerdasan emosional

seorang individu adalah faktor internal. Faktor internal adalah faktor yang

berasal dari dalam diri individu untuk menanggapi lingkungan sekitar. Yang

termasuk ke dalam faktor internal adalah faktor neurologis dan mekanisme

kerja otak. Otak mengalirkan energi listrik serta memancarkan gelombang

elektromagnetik atau gelombang otak yang frekuensinya selalu berubah-ubah

sesuai dengan tingkat kesadaran manusia. Gelombang otak ini terdiri dari

gelombang betha, suatu ritme yang cepat dan tidak beraturan yang

mengindikasikan bahwa jiwa dalam keadaan kacau kemudian gelombang

(47)

ketika manusia tidur ringan dan berlanjut ke gelombang delta saat seseorang

tertidur lelap. Dinamika gelombang otak inilah yang memberi pengaruh pada

meditator, baik secara fisik maupun pengaruh psikologis.

Keadaan tersebut juga dapat dialami oleh meditator ketika melakukan

meditasi. Meditator lebih sering mengalami gelombang Alpha, gelombang

Theta dan gelombang Delta. Mereka dapat menyadari dan merasakan

dinamika yang terjadi dalam dirinya. Sebaliknya, non meditator lebih sering

mengalami gelombang Betha. Pada saat tubuh manusia mengalami keadaan

istirahat yang dalam dan sangat rileks, frekuensi gelombang otak berada pada

daerah yang disebut gelombang delta. Keadaan ini memberikan kesempatan

pada syaraf-syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali.

Susunan syaraf menjadi normal kembali sehingga mempengaruhi seluruh

sistem yang berada di dalam tubuh seperti metabolisme tubuh yang menurun,

denyut jantung yang menurun demikian juga pernapasan (Soegoro, 2002).

Selain itu dalam keadaan ini kelenjar pineal dalam otak mulai aktif dan

mengeluarkan melatonine yang dapat membuat seseorang menjadi sangat

rileks (Krishna dan Setiawan, 2002).

Dengan keadaan istirahat yang dalam dan sangat rileks yang dialami

seseorang ketika melakukan aktivitas meditasi, memberikan kesempatan pada

syaraf otak untuk mengendur dan menata dirinya kembali. Susunan syaraf

yang menjadi normal kembali mempengaruhi seluruh sistem yang berada di

(48)

Saat melakukan meditasi, meditator mengalami suatu proses

memusatkan perhatian yang dilakukan secara sadar. Proses ini berjalan

bertahap sesuai dengan keteraturan latihan yang dilakukan (Suryani, 2000).

Jika proses tersebut tidak disadari, maka keadaan itu hanya memusatkan

perhatian dan belum bisa disebut sebagai aktivitas meditasi. Di sisi lain, non

meditator tidak mengalami suatu proses memusatkan perhatian yang

dilakukan secara sadar karena tidak adanya latihan meditasi.

Setiap kali latihan meditasi dilakukan, meditator akan lebih mudah

mengenali proses mental yang muncul yang akan mengganggu konsentrasi

seperti perasaan gelisah, cemas, senang, marah, dll. Latihan yang

terus-menerus akan membawa meditator pada kebiasaan baik yaitu cenderung lebih

mudah mengenal bentuk emosi yang muncul. Oleh karena itu meditator dapat

mengatasi proses mental tersebut dengan cara yang benar dan proporsional

atau dengan kata lain dapat mengelola emosi dengan tepat. Selain itu pada

latihan meditasi akan terjadi proses dimana meditator akan mengarahkan

perhatian ke dalam diri sendiri sehingga ia akan lebih mengenal dirinya baik

kelebihan maupun kekurangannya. Dengan mengenal proses mental yang ada

dalam diri, maka akan timbul pemahaman yang mendalam terhadap sesama

yaitu cenderung lebih mudah mengenali perasaan orang lain/empati dalam

upaya menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan

berbagai macam orang. Kondisi ini juga dapat menunjang seseorang dalam

membina hubungan dengan orang lain. Orang yang mampu membina relasi

(49)

penjelasan ini terlihat pengaruh meditasi dalam aspek-aspek kecerdasan

emosional dimana manfaat dari latihan meditasi dapat menunjang meditator

dalam meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

Efek-efek positif pada meditasi yang lain seperti membuka dan

menjernihkan pikiran, rileks, serta tingkat kesadaran yang tinggi yang ada

dalam diri individu dapat memberikan suatu pencerahan kepada individu,

mampu menerima apa adanya dirinya sendiri dan orang lain serta melihat

suatu permasalahan dari sudut pandang yang luas dan baru. Saat meditator

mampu mencapai tingkat kesadaran secara penuh, sadar akan diri dan

sekitarnya serta memperoleh suatu ketenangan maka individu cenderung lebih

mudah mengendalikan emosinya dimana mampu memecahkan

masalah-masalah atau tekanan yang dihadapinya melalui penyaluran yang benar atau

positif sehingga tidak mengganggu kesehatan fisik dan psikisnya.

Sebaliknya pada non meditator yang lebih sering mengalami

gelombang Betha, mereka cenderung lebih sulit menyadari dan merasakan

dinamika yang terjadi dalam dirinya sehingga syaraf-syaraf otak cenderung

tegang. Akibatnya membuat seseorang menjadi kurang rileks dan mengalami

kesulitan untuk mengenal proses mental yang muncul dalam dirinya. Dengan

demikian akan mengganggu individu dalam berkonsentrasi, kurang adanya

pemahaman yang mendalam terhadap sesama, cenderung lebih sulit menerima

apa adanya dirinya sendiri dan orang lain, cenderung lebih sulit mengenal

bentuk emosi yang muncul seperti perasaan cemas, gelisah, marah, dll

(50)

mempengaruhi dalam menghadapi permasalahan, tantangan, dan tekanan

dalam hidupnya. Oleh karena itu kecerdasan emosionalnya pun kurang dapat

berkembang dengan baik atau dengan kata lain kecerdasan emosionalnya

cenderung lebih rendah.

D. HIPOTESIS

Berdasarkan kerangka kajian teori yang ada, maka hipotesis yang

dikemukakan adalah ada perbedaan kecerdasan emosional antara meditator

dan non meditator, dimana kecerdasan emosional meditator lebih tinggi

(51)

SKEMA PERBEDAAN KECERDASAN EMOSIONAL ANTARA

Lebih sering mengalami gelombang Alpha, Theta, Delta

Lebih sering mengalami gelombang Betha

Dinamika Gelombang Otak

Tidak ada proses pemusatan perhatian yang dilakukan secara sadar

NON MEDITATOR

Tidak mengalami latihan meditasi yang teratur

• Cenderung lebih mudah mengenali perasaan orang lain/empati

• Cenderung lebih mudah mengendalikan emosi

• Cenderung lebih mudah mengenal diri sendiri

• Cenderung lebih berpikir positif Lebih mudah mengenali proses mental

Syaraf otak cenderung lebih rileks, santai, tenang

Kecerdasan emosional cenderung lebih rendah

• Cenderung lebih sulit mengenali perasaan orang lain/empati

• Cenderung lebih sulit mengenal diri sendiri

• Cenderung lebih melakukan tindakan-tindakan yang menyimpang dalam mengatasi masalah

Lebih sulit mengenali proses mental Syaraf otak cenderung kurang rileks,

kurang santai dan kurang tenang

(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif atau penelitian

perbandingan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menyelidiki perbedaan

kecerdasan emosional antara meditator dan non meditator.

B. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas : meditasi

2. Variabel Tergantung : kecerdasan emosional

C. Definisi Operasional 1. Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengenali perasaan

sendiri dan orang lain, memotivasi diri serta mengelola emosi dengan baik

pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain.

Kecerdasan emosional akan diukur dengan menggunakan skala

kecerdasan emosional dari Goleman (2003). Ada 5 aspek dalam

kecerdasan emosional, yaitu:

a. Mengenali emosi diri

b. Mengelola Emosi Diri

(53)

d. Mengenali Emosi Orang Lain

e. Membina Hubungan Dengan Orang Lain

Semakin tinggi skor yang diperoleh maka kecerdasan emosional

subjek penelitian semakin tinggi, begitu juga sebaliknya semakin rendah

skor yang diperoleh maka kecerdasan emosional subjek penelitian rendah.

2. Meditasi

Meditasi adalah teknik yang dapat digunakan untuk pemberdayaan diri

melalui proses pemusatan perhatian yang menyebar menjadi satu perhatian

yang dilakukan secara sadar untuk mencapai keseimbangan pikiran,

perkataan dan perbuatan.

Dalam penelitian ini, subjek terbagi menjadi kelompok meditator dan

non meditator. Adapun definisi meditator dan non meditator adalah:

a. Meditator

Subjek yang termasuk dalam kelompok meditator adalah

sekelompok orang yang mempunyai keinginan dan kemauan secara sadar

untuk melakukan meditasi. Subjek yang termasuk dalam kelompok ini

adalah subjek yang minimal telah mengikuti latihan meditasi selama 3

bulan serta rutin setiap hari melakukan meditasi dua kali sehari selama

minimal 15 menit.

Peneliti melakukan pembatasan periode latihan meditasi ini karena

efek dari meditasi dapat terlihat setelah seseorang menjalani latihan

(54)

hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan ahli meditasi dari

paguyuban Asta Mistika bahwa seseorang yang telah mengikuti latihan

meditasi selama 3 bulan serta rutin setiap hari melakukannya diasumsikan

menjadi lebih meditatif daripada sebelumnya karena hormon-hormon

dalam tubuh telah menjadi seimbang.

b. Non Meditator

Subjek yang termasuk dalam kelompok non meditator adalah

sekelompok orang yang tidak mempunyai keinginan dan kemauan secara

sadar untuk melakukan meditasi. Dalam hal ini non meditator merupakan

seseorang yang sama sekali tidak pernah melakukan meditasi.

Untuk mengetahui subjek termasuk ke dalam meditator ataupun non

meditator, peneliti memberikan pertanyaan kepada setiap responden tentang

berapa lama mengikuti latihan meditasi dan apakah sedang mengikuti latihan

meditasi atau tidak.

D. Subjek Penelitian

Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

metode teknik sampling purposif (Purposive Sampling) yaitu pemilihan subjek

berdasarkan atas ciri-ciri/sifat-sifat tertentu yang dianggap memiliki kesamaan

ciri-ciri/sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2004).

Subjek dalam penelitian ini adalah 50 meditator pria dan wanita serta 50 non

(55)

E. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan kuesioner

berskala (Scaled Questionare) yaitu kuesioner kecerdasan emosional.

Item-item dalam skala disusun oleh peneliti berdasarkan aspek-aspek kecerdasan

emosional yang dikemukakan oleh Goleman (2003) yaitu: (1) mengenali

emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali

emosi orang lain, dan (5) membina hubungan.

Skala kecerdasan emosional ini terdiri dari 100 butir pertanyaan yang

berisi 50 pertanyaan favorabel dan 50 pertanyaan unfavorabel.

Dibawah ini tabel blue print skala kecerdasan emosional:

Tabel 1

Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba

No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

1 Mengenali Emosi Diri 1, 25, 39, 44, 49, 54,

(56)

Skala tersebut disusun dengan menggunakan metode penskalaan Likert’s

atau metode rating yang dijumlahkan (Summated Rating), yaitu metode

penskalaan pernyataan sikap yang menggunakan distribusi respon sebagai

dasar penentuan nilai skalanya (Azwar, 1999). Dalam skala yang

menggunakan rating yang dijumlahkan (Summated Rating) ini, subjek diminta

untuk merespon pernyataan-pernyataan yang dirumuskan secara favorabel

atau unfavorabel tentang suatu objek. Dalam hal ini objek skala adalah

kecerdasan emosional.

Setiap butir item memuat 4 kategori pilihan jawaban yaitu Sangat Sesuai

(SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), Sangat Tidak Sesuai (STS). Penskoran

yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk pernyataan-pernyataan Favorable pilihan Sangat Sesuai (SS) diberi

skor 4, Sesuai (S) diberi skor 3, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 2, Sangat

Tidak Sesuai (STS) diberi skor 1.

2. Untuk pernyataan-pernyataan Unfavorable pilihan Sangat Sesuai (SS)

diberi skor 1, Sesuai (S) diberi skor 2, Tidak Sesuai (TS) diberi skor 3,

Sangat Tidak Sesuai (STS) diberi skor 4.

Skala ini berbentuk pernyataan yang dilengkapi dengan alternatif jawaban

yang telah dimodifikasi yaitu meniadakan jawaban yang di tengah. Dasar

pertimbangan yang dipergunakan berdasarkan tiga pertimbangan antara lain:

a. Kategori undecided itu mempunyai arti ganda, bisa diartikan belum dapat

memutuskan atau memberi jawaban. Bias juga diartikan netral, setuju

(57)

b. Tersedianya jawaban yang di tengah itu menimbulkan kecenderungan

menjawab ke tengah (central tendency effect)

c. Tersedianya jawaban yang di tengah akan menghilangkan banyak data

penelitian sehingga mengurangi informasi yang dapat dijaring dari

responden. (Hadi, 2000).

Skor untuk tiap-tiap item pada skala dijumlahkan sehingga menjadi skor

total, semakin tinggi skor total yang diperoleh oleh subjek maka menunjukkan

bahwa subjek memiliki kecerdasan emosional yang lebih tinggi dan

sebaliknya skor yang rendah menunjukkan bahwa subjek memiliki kecerdasan

emosional yang rendah.

Uji Coba dilaksanakan pada tanggal 4 September 2007, pada tanggal

tersebut peneliti membagikan skala pada subjek. Subjek uji coba ini adalah

mahasiswa pria dan wanita di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Subjek

yang dipakai dalam penelitian ini juga harus memenuhi kriteria penelitian.

Subjek uji coba ini berjumlah 70 orang.

F. Pengujian Instrumen Penelitian

1. Uji Validitas

Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana

ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya.

Suatu tes atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang

tinggi apabila alat tersebut menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil

(58)

menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan dikatakan sebagai tes

yang memiliki validitas rendah (Azwar, 2003).

Dalam penelitian ini validitas yang ingin diukur adalah validitas isi

(content validity). Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat

pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional atau lewat professional

judgement. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah

sejauhmana item-item tes mewakili mewakili komponen-komponen dalam

keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur (aspek representasi) dan

sejauhmana item-item tes mencerminkan ciri-ciri perilaku yang hendak diukur

(aspek relevansi) (Azwar, 2003). Pengukuran validitas isi ini telah dilakukan

dengan melihat kesesuaian indikator dengan definisi konseptual, definisi

operasional serta kesesuaian indikator dengan kalimat pada setiap itemnya.

2. Daya Beda Item

Prosedur seleksi item didasarkan pada data empiris yaitu data hasil uji

coba item pada kelompok subjek yang karakteristiknya setara dengan subjek

yang hendak dikenai skala. Kualitas item-item diukur dengan analisis butir,

yang menggunakan parameter daya beda item. Daya beda item adalah sejauh

mana item mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang

memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2000).

Untuk menguji kesahihan tiap butir item dalam skala kecerdasan

emosional tersebut untuk selanjutnya dapat dilakukan pemilihan item terbaik

berdasarkan korelasi item total, maka peneliti juga melakukan analisis statistik

(59)

Cara yang dilakukan dalam seleksi item adalah dengan mengukur daya

diskriminasi atau daya beda dari tiap itemnya, yang dinyatakan dengan

koefisien korelasi item total (rix). Korelasi item total memperlihatkan adanya

kesesuaian fungsi item dengan fungsi skala dalam mengungkap perbedaan

individu.

Sebagai kriteria pemilihan item berdasar pada korelasi item total biasanya

digunakan batasan rix ≥ 0,30 (Azwar, 1999). Item yang memiliki koefisien

korelasi minimal 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang memiliki daya

diskriminasi tinggi dan dianggap memuaskan, sedangkan item yang memiliki

koefisien korelasi kurang dari 0,30 diinterpretasikan sebagai item yang

memiliki daya diskriminasi rendah dan dianggap gugur.

Dari hasil uji coba yang dilakukan terhadap 100 item skala kecerdasan

emosional ini mempunyai daya beda item berkisar antara 0,059 sampai dengan

0,661. Dalam uji coba ini terdapat 33 item yang gugur karena daya bedanya

berada di bawah 0,30 yaitu aitem no 1, 3, 4, 6, 7, 9, 15, 16, 20, 21, 23, 24, 25,

26, 28, 39, 40, 43, 45, 50, 62, 63, 67, 78, 80, 83, 88, 91, 92, 94, 95, 97, 100.

Untuk menentukan item-item yang digunakan dalam penelitian

sesungguhnya, peneliti melakukan penyetaraan item yaitu dengan memilih

item terbaik dari 67 item yang sahih dikarenakan prosentase item per aspek

kurang seimbang sehingga diperoleh 55 item sebagai skala penelitian. Sebaran

(60)

Tabel 2

Spesifikasi Item Penelitian

No Aspek Favorabel Unfavorabel Total

1 Mengenali Emosi Diri 1, 11, 26, 31, 40, 50

4 Mengenali Emosi Orang Lain

Reliabilitas merupakan penerjemahan dari kata reliability yang berasal

dari kata rely dan ability (Azwar, 2001). Pengukuran yang memiliki

reliabilitas tinggi disebut sebagai pengukuran yang reliabel. Ide pokok yang

terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu

pengukuran dapat dipercaya. Hasil pengukuran dikatakan dapat dipercaya

hanya apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap

kelompok subjek yang sama diperoleh hasil yang relatif sama selama aspek

yang diukur dalam diri subjek belum mengalami perubahan.

Reliabilitas dinyatakan oleh koefisien reliabilitas (rxx’) yang angkanya

berada dalam rentang 0 – 1,00. semakin koefisien reliabilitas mendekati 1,00

berarti semakin tinggi reliabilitasnya sebaliknya semakin mendekati angka 0

Gambar

Gambar 1 Bagan Kecerdasan Emosional Antara Meditator dan Non Meditator
Tabel 1 Blue Print Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba...........
Tabel 1  Blue Print Skala Kecerdasan Emosional
Tabel 2  Spesifikasi Item Penelitian
+5

Referensi

Dokumen terkait

Suatu ruang vektor adalah suatu himpunan objek yang dapat dijumlahkan satu sama lain dan dikalikan dengan suatu bilangan, yang masing-masing menghasilkan anggota lain

Direksi memuji reformasi penentu atas subsidi energi di tahun 2015, termasuk rencana untuk subsidi listrik sebagai sasaran subsidi yang lebih baik, dan penggunaan ruang fiskal

terasa di awal tahun 2009, yang ditunjukkan dengan perkiraan pertumbuhan ekonomi Jawa Barat sebesar 4,1% (yoy) pada triwulan I-2009, melambat dibandingkan dengan triwulan

Pada kondisi awal, kemampuan pemecahan masalah siswa SMP N 1 Ngemplak masih rendah. Hal tersebut disebabkan oleh guru yang masih menerapkan strategi pembelajaran

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik

Aktualisasi diri yang terdapat dalam UKM Sepak Bola USU dapat dilihat dari kebutuhan fisiologis yang didapat oleh mahasiswa, kenyamanan berada dilingkungan

P Permanen: 2) P-O-P Temporer; dan 3) Media in store (di dalam toko). Bagi para manajer ritel penerapan Point-of-Purchase dilakukan karena keinginan untuk mencapai: 1) Hasil

Yang dimaksud dengan “kondisi krisis atau darurat penyediaan tenaga listrik” adalah kondisi dimana kapasitas penyediaan tenaga listrik tidak mencukupi kebutuhan beban di daerah