Semua obat – obat golongan TCA diabsopsi secara cepat setelah pemberian secara oral dan berikatan kuat dengan albumin plasma. Obat –
obatan ini juga berikatan dengan jaringan ekstravaskular dan berdistribusi secara luas. Inaktivasi dari TCA terjadi melalui enzim CYP450, dengan demetilasi dari kelompok TCA tersier menjadi bentuk metabolit dari amine
41
sekunder, kemudian dilanjutkan dengan proses hidroksilasi dan glukuronidasi sebelum dieksresi melalui urin. Konsentrasi plasma untuk efek terapi, biasanya di mulai antara 50 – 300 ng/mL (Gilman, 2007).
Sejak tahun 1970, TCA merupakan pengobatan lini pertama untuk neuropati diabetika. Penelitian menunjukkan bahwa obat ini dapat menghilangkan rasa nyeri dari stimulus suhu, mekanik dan elektrik pada penderita diabetik. TCA juga dapat mempengaruhi aksi dari reseptor α1
adrenergik, dimana TCA dapat menurukan aktivitas simpatis dan memblok hiperlagesia yang diakibatkan oleh aktivasi reseptor NMDA. Berdasarkan sebuah studi, terlihat bahwa TCA dapat digunakan untuk gejala nyeri terbakar, meskipun tidak ada hubungan langsung antara manifestasi rasa nyeri tersebut dengan efikasi obatnya. Pemberian obat – obatan golongan TCA seperti trimipramine dan amitriptilin menunjukkan trend yang baik, dimana respon efektif muncul 2 – 3 minggu setelah pemeberian terapi inisiasi (Spruce dkk, 2003).
Antidepresan trisiklik diklasifikasikan sebagai obat selektif dengan tingkat evidence A oleh The European Federation of Neurological
Societies (EFNS) berdasarkan pada dua penelitan meta-analisis kelas I,
namun, pedoman EFNS tidak merekomendasikan obat golongan TCA yang spesifik. Sedangkan berdasarkan The American Academy of
Neurology (AAN) menyatakan bahwa amitriptilin (25-100 mg per hari)
memiliki tingkat evidence B berdasarkan satu penelitian kelas I dan dua penelitian kelas II (Callaghan dkk, 2012).
42
Obat – obatan TCA sering di gambarkan oleh farmakologis sebagai “dirty drugs”, di karenakan TCA tidak memiliki aksi farmakodinamik yang selektif. Efek TCA pada biogenic amine bekerja pada banyak organ target, seperti kanal ion dan reseptor neurotransmitter, dimana hal ini dapat menjelaskan efek samping dari kelompok obat TCA seperti rasa mengantuk, vasodilatasi, takikardi, konstipasi, mulut kering, dan gangguan akomodasi bola mata (Petroianu dan Schmitt, 2002; Spruce dkk, 2003).
II.4. GABAPENTIN
Gabapentin diperkenalkan pada tahun 1993 sebagai obat antikonvulsan tambahan untuk mengobati kejang parsial yang refrakter. Pada perkembangannya, gabapentin menunjukkan efektifitasnya sebagai terapi berbagai jenis nyeri kronik, termasuk neuralgia post herpetik, neuropati diabetika, sindrom nyeri komplek regional, nyeri akibat inflamasi, nyeri sentral, nyeri pada keganasan, neuralgia trigeminal , dan sakit kepala (Kong dan Irwin, 2007)
Pada tahun 2002 gabapentin telah diakui oleh lembaga Food and
Drug Administration (FDA) Amerika Serikat sebagai terapi post herpetic
neuralgia. Sedangkan di Inggris gabapentin telah mendapat ijin penuh
untuk digunakan sebagai terapi semua nyeri kronik. Pemakaian gabapentin saat ini meluas hingga pemakaian pada kondisi akut seperti nyeri pada periode perioperatif (Kong dan Irwin, 2007)
43
II.4.1. Definisi
Gabapentin, 1-(aminometil) cyclohexane asetil acid adalah struktur yang analog dengan neurotransmiter γ-aminobutirat acid (GABA) seperti yang terlihat pada gambar 6 dibawah ini. Memiliki molekul formula C9H17NO2 berbentuk kristal putih. Gabapentin terlarut dalam air dan cairan asam (Rose dan Kam, 2002).
Gambar 7. Struktur Formula GABA (A) dan Gabapentin (B)
Dikutip dari: Kong, V.K., and Irwin, M. 2007. Gabapentin: a multimodal perioperative drug. British Journal of Anaesthesia. 6: 775–86
II.4.2. Farmakokinetik
Absorbsi gabapentin tergantung dari mekanisme transport asam
L-amino pada saluran cerna. Selanjutnya bioavabilitas oralnya bervasiasi
tergantung dosis. Setelah dosis 300 – 600 mg, bioavaibilitas gabapentin dapat mencapai 40 – 60%. Konsentrasi plasma sesuai dengan dosis yang ditingkatkan sampai dengan 1800 – 3600 mg per harinya kemudian stabil. Gabapentin di distribusikan secara eksklusif pada jaringan dan cairan tubuh setelah masuk ke dalam tubuh. Gabapentin tidak berikatan dengan protein plasma dan memiliki volume distribusi 0.6 - 0.8 liter kg. Gabapentin mudah berubah menjadi ion pada pH fisiologis, maka itu konsentrasi pada
44
jaringan lemaknya rendah. Setelah mendapat kapsul 300 mg, level puncak plasma (Cmax) bernilai 2.7 mg/ml dicapai dalam waktu 2 – 3 jam. Konsentrasi gabapentin pada cairan serebrospinal mencapai 5 – 35% dari plasma, dimana konsentrasi pada jaringan otak mencapai 80% dari plasma (Kong dan Irwin, 2007; Rose dan Kam, 2002).
Gabapentin tidak dimetabolisme pada manusia dan dikeluarkan melalui urin dengan bentuk yang tidak berubah. Gabapentin melewati eliminasi kinetik pertama dan adanya gangguan ginjal dapat terus –
menerus meningkatkan eliminasi gabapentin dimana berhubungan dengan bersihan kreatin secara linear. Eliminasi paruh waktu gabapentin berada antara 4,8 – 8,7 jam. Gabapentin dapat dikeluarkan dengan hemodialisa, jadi penderita dengan gangguan ginjal harus menerima gabapentin dengan dosis maintenance setelah hemodialisa.Tidak seperti obat antikonvulsi yang lainnya, gabapentin tidak menginduksi atau menginhibisi enzim mikrosomal hati (Kong dan Irwin, 2007; Rose dan Kam, 2002 ).
Gabapentin ditoleransi baik dan memberi efek samping yang rendah. Keamanan dan toleransi gabapentin telah dievaluasi pada 2216 penderita yang mendapat terapi kejang, dan hasilnya dilaporkan munculnya efek samping berupa mengantuk (15.2%), pusing (10.9%),
asthenia (6%), sakit kepala (4.8%), mual (3.2%), ataksia (2.6%), peningkatan berat badan (2.6%), dan ambliopia (2.1%), efek samping
45
yang sama didapatkan juga pada penderita nyeri kronis yang mendapat terapi dengan gabapentin (Kong dan Irwin, 2007).
II.4.3. Farmakodinamik
Peranan gabapentin dalam terapi nyeri neuropatik belum jelas. Walaupun studi terkini menunjukkan gabapentin memiliki efek sentral alodinia dan mampu menghambat aktifitas inhibisi ektopik dari cedera pada nervus perifer (Rose dan Kam, 2002).
Gabapentin tidak memiliki aksi GABAergik langsung dan tidak menghalangi ambilan GABA atau metabolisme. Gabapentin menghalangi fase tonik nosiseptif yang diinduksi oleh formalin dan carrageenan, dan menunjukkan efek inhibisi yang poten pada nyeri neuropatik dengan hiperalgesia mekanis dan alodinia termal maupun mekanis (Rose dan Kam, 2002; MacEwan dkk, 2009).
Mekanisme efek anti alodinia dari gabapentin meliputi efek susunan saraf pusat yang meningkatkan inhibisi input jalur mediasi GABA (sehingga mengurangi level input eksitasi), antagonis reseptor NMDA, dan antagonis kanal kalsium pada susunan saraf pusat serta inhibisi saraf perifer. Dikatakan bahwa antagonis NMDA dan blok kanal merupakan teori yang memiliki bukti yang mendukung seperti yang terlihat pada gambar 8 di bawah ini. Aksi hiperalgesi melalui ikatan dengan reseptor opioid menunjukkan bahwa toleransi morfin tidak mempengaruhi efikasi
46
gabapentin dan nalokson tidak mengurangi efek hiperalgesi gabapentin (Rose dan Kam, 2002; Kong dan Irwin, 2007).
Gambar 8. Mekanisme Kerja Gabapentin
Dikutip dari: MacEwan, A., McKay, G., and Fisher, M. 2009. Gabapentin.
Pract Diab Int. 26(5): 206–207
Saat ini voltage-dependent Ca2+ channel (VGCC) adalah target anti nosiseptif dari gabapentin. Ikatan gabapentin pada subunit α2δ dari VGCC menghambat masuknya ion kalsium ke dalam sel saraf, akibatnya terjadi penurunan pelepasan neurotransmitter sehingga mempengaruhi aktivitas post sinaps, dimana terjadi penurunan hipereksitabilitas. Selain itu, aktivasi reseptor GABAb menyebabkan modulasi dari reseptor NMDA pre sinaps, dimana menyebabkan mengganggu pelepasan neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat, aspartat, substansi P, dan calcitonin gene-related peptide (CGRP) (Kong dan Irwin, 2007; MacEwan dkk, 2009).
47
II.5. PREGABALIN
Pregabalin, secara farmakologi merupakan bentuk aktif
S-enantiomer of 3-aminomethyl-5-methyl-hexanoic acid seperti yang terlihat
pada gambar 7 di bawah ini, memiliki efek analgesik selain antikonvulsan (Frampton dan Scott, 2004).
Gambar 7. Struktur Formula Pregabalin
Dikutip dari: Frampton, J., and Scott, L. 2004. Pregabalin in the Treatment of Painful Diabetic Peripheral Neuropathy. Drugs; 24: 2813 – 2820
II.5.1 Definisi
Pregabalin adalah molekul sintetik baru dan turunan dari penghambatan neurotransmitter GABA. Pregabalin memiliki efek analgesik, antikonvulsan, anti ansietas, serta memodulasi tidur. Pregabalin mengikat subunit α2δ, menghasilkan penurunan pelepasan beberapa neurotransmiter, termasuk glutamat, noradrenalin, serotonin, dopamin, dan substansi P (Gajraj, 2007).
Melalui persetujuan Komisi Eropa pada bulan Juli 2007 menyetujui penggunaan pregabalin di semua negara anggota Uni Eropa untuk pengobatan nyeri neuropatik perifer dan sebagai terapi tambahan untuk
48
kejang parsial pada pasien dengan epilepsi. Persetujuan ini didasarkan pada Hasil dari 10 studi percobaan yang melibatkan lebih dari 9000 pasien. Pada bulan Desember 2004, Food and Drug Administration menyetujui penggunaan pregabalin untuk pengobatan nyeri neuropatik yang berhubungan dengan neuropati diabetika dan post herpetic neuralgia (Gajraj, 2007).