• Tidak ada hasil yang ditemukan

FASAL KEDUA :

Dalam dokumen 1.Kitab Aqidah Ihya Ulumiddin (Halaman 55-89)

KARANGAN IMAM AL GHAZALI DALAM IHYA ULUMUDDIN....FASAL 2

FASAL KEDUA :

Tentang cara beransur-ansur memberi petunjuk dan susunan tingkatan ket'tiqadan.

Ketahuilah kiranya, bahwa apa yang telah kami sebutkan itu mengenai penjelasan aqidah, maka sewajarnyalah didahulukan kepada anak-anak pada awal

pertumbuhannya. Supaya dihafalnya dengan baik. Kemudian, senantiasalah terbuka pengertiannya nanti sedikit demi sedikit sewaktu dia telah besar.

Jadi, permulaannya dengan menghafal, kemudian memahami, kemudian beri'tiqad, menyakini dan membenarkan. Dan yang demikian, termasuk hal yang berhasil pada anak-anak, dengan tidak memerlukan dalil.

Maka diantara karunia Allah Ta'ala ke dalam hati manusia ialah bahwa terbukanya pada awal kejadiannya. kepada iman tanpa memerlukan kepada alasan dan dalil. Bagaimanakah yang demikian itu dapat dibantah? Seluruh i'tiqad orang awwam, permulaannya adalah ajaran dan taqlid semata-mata.

Memang i'tiqad yang hasil dengan semata-mata taqlid, tidak luput pada mulanya dari kelemahan, dengan pengertian mungkin hilang bila datang Iawannya. Dari itu harus dikuatkan dan ditetap-teguh-kan dalam jiwa anak-anak dan orang awwam, sehingga meresap dan tidak goyang lagi.

Jalan menguatkan dan menetapkannya, tidaklah dengan mangajar-kan cara berdebat dan berilmu kalam. Tetapi adalah dengan memperbanyak pembacaan Al-Qur'an serta tafsirnya, membaca hadits dan pengertiannya. Dan mengerjakan dengan sungguh-sungguh segala macam ibadah. Dengan demikian, maka i'tiqad itu senantiasa

bertambah meresap dengan dalil-dalil Al-Qur'an dan hujjahnya, yang mengetuk anak telinganya. Dan dengan kesaksian hadits dan faedah-faedah yang terkandung di dalamnya.

Dan dengan sinaran nur gemilang dari segala ibadah dan tugas-tugasnya. Dan dengan menjalar kepadanya, dari menyaksikan orang-orang shalih dan duduk-duduk dengan mereka, tanda, pendengaran dan sikap mereka, pada merendahkan diri, takut dan ketetapan hati kepada Allah Ta'ala.

Maka adalah permulaan ajaran keimanan itu, Iaksana penyebaran benih ke dalam dada. Dan sebab-sebab yang tersebut tadi adalah Iaksana penyiraman dan

pemeliharaan benih itu. Sehingga tumbuh benih itu, kuat dan tinggi, menjadi sepohon kayu yang baik, kuat, urat tunggangnya di bumi dan cabangnya di langit.

Dan hendaklah pendengaran anak-anak itu dijaga dengan sebaik-baiknya dari

berbantah dan berilmu kalam. Sebab kekacauan yang ditimbulkan oleh perdebatan itu, lebih banyak daripada pendidikan yang dihasilkannya. Dan apa yang dirusakkannya, adalah lebih banyak daripada yang diperbaikinya. Bahkan menguatkan keimanan dengan perdebatan itu menyerupai dengan memukul batang kayu dengan palu besi, karena mengharap bertambah kuatnya dengan bertambah banyak

bahagian-bahagiannya.

Dan kadang-kadang perbuatan itu membinasakan dan merusakkan batang kayu itu. Dan inilah yang banyak kejadian. Kesaksian membuktikan demikian dengan tegas. Dan ambillah itu menjadi bukti yang dapat dipersaksikan dengan mata.

Maka ambillah perbandingan antara aqidah orang-orang shalih dan bertaqwa dari kebanyakan manusia dengan aqidah orang-orang ahli ilmu kalam dan perdebatan. Maka akan kita jumpai bahwa i'tiqad orang awwam itu tetap seperti bukityang tinggi, tidak dapat diumbang-ambingkan oleh angin topan dan halilintar. Dan aqidah ahli ilmu kalam yang menjaga aqidahnya dengan bermacam-maeam perdebatan, adalah seumpama seutas benang yang terlepas di udara, ditiupkan angin ke sana-sini. Kecuali orang-orang yang mendengar dalil i'tiqad dari ahli-ahli ilmu kalam, lalu dipegangnya secara taqlid. Sebagaimana dipegangnya i'tiqad itu sendiri secara taqlid, karena tak ada bedanya pada bertaqlid antara mempelajari dalil atau mempelajari i'tiqad itu tanpa dalil. Maka mempelajari.dalil itu adalah satu hal dan mencari dalil dengan pemikiran, adalah hal lain pula yang lebih jauh daripadanya.

Seorang anak kecil, apabila terjadi dalam perkembangan hidupnya di atas aqidah ini, jika dia berkecimpung dalam usaha keduniaan, maka tak terbuka baginya selain dari aqidah tadi. Tetapi ia selamat di akhirat dengan aqidah ahli kebenaran itu. Sebab, agama itu sendiri tidak memberatkan kepada orang-orang Arab yang sederhana pengetahuannya, lebih banyak dari membenarkan dengan keyakinan akan yang jelas-jelas saja dari i'tiqad-i'tiqad itu.

Adapun pembahasan, pemeriksaan dan pengaturan dalil-dalil yang berat-berat, maka tidaklah sekali-kali mereka itu diberatkan.

Jika ia bermaksud menjadi orang yang menuju ke jalan akhirat dan mendapat

pertolongan taufiq, sehingga ia berbanyak amal, selalu bertaqwa, mencegah diri dari hawa nafsu, selalu melatih diri dan bermujahadah, niscaya terbukalah baginya pintu hidayah, tersingkaplah

segala hakikat dari aqidah ini dengan nur Ilahi yang dicurahkan dalam hatinya dengan sebab mujahadah itu, untuk pembuktian atas janji Allah 'Azza wa Jalla, dengan

firmanNya :

ننيننمِسمِحؤمملؤا عنمنلن لكن ا نكإمِون ا

(Walladziina jaahaduu fiinaa lanahdiyannahum subulanaa wa innallaaha lama'almuhsiniin).Artinya :"Dan mereka yang bermujahadah pada Kami,

sesungguhnya Kami tunjukkan jalan Kami kepada mereka. Bahwasanya Allah itu beserta orang yang berbuat baik (S. Al-Ankabut, ayat 69).Itulah mutiara yang amat

berharga, yang menjadi tujuan dari keimanan orang-orang shiddiq dan muqarrabin. Dan kepadanyalah diisyaratkan, rahasia kebesaran yang

terpendam dalam dada Abu Bakar Shiddiq ra. sehingga dia terpandang lebih mulia dari orang-orang lain.

Terbukanya satu rahasia itu, bahkan semua rahasia-rahasia itu, mempunyai tingkat menurut tingkat mujahadahnya, tingkat keba-thinannya tentang kebersihan dan kesucian dari selain Allah Ta'ala dan tentang memperoleh cahaya dengan nur keyakinan, Dan yang demikian itu, adalah seperti berlebih-kurangnya pengetahuan manusia tentang rahasia ilmu kedokteran, ilmu fiqih dan ilmu-ilmu yang lain. Karena

berlainan yang demikian dengan berlainannya ijtihad dan fithrah, tentang kecerdikan dan kepintaran.

Maka sebagaimana tingkat-tingkat itu tidak terhingga, maka begitu pulalah ini.

Masaalah.

Kalau anda tanyakan : mempelajari cara berdebat dan ilmu kalam itu tercela, seperti mempelajari ilmu bintang atau dibolehkan atau disunatkan?

Maka ketahuilah, bahwa manusia dalam hal ini, mempunyai hal di luar batas dan berlebih-lebihan dalam beberapa segi. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa mempelajari berdebat dan ilmu kalam itu bid'ah dan haram. Dan bahwa hamba Allah itu jika dia menjumpai Allah dengan seluruh dosanya selain syirik (mempersekutukan Allah), adalah lebih baik baginya daripada menjumpaiNya dengan ilmu kalam.

Diantaranya ada yang mengatakan wajib dan fardiu. Adakalanya secara fardiu kifayah atau fardiu 'ain. Dan ilmu kalam itu seutama-utama ilmu dan setinggi-tinggi

penghampiran diri kepada Allah. Karena ilmu itu meyakinkan bagi ilmu tauhid dan mempertahan-kan agama Allah Ta'ala.

Dan kepada pengharaman, ialah sepanjang madzhab Asy-Syafi'i, Malik, Ahmad bin Hanbal, Sufyan dan seluruh salaf dari ahli hadits. Berkata Ibnu Abdil-A'la ra. : "Saya mendengar Asy-Syafi'i ra, pada hari dia berdebat dengan Hafshul-fard seorang ahli ilmu kalam dari golongan Mu'tazilah,mengatakan : "Lebih baik bagi seorang hamba Allah bertemu dengan Allah dengan segala dosa selain dari syirik daripada bertemu dengan Allah dengan sesuatu daripada ilmu kalam ". Dan saya sudah mendengar dari Hafshul-fard tadi, kata-kata yang tak sanggup saya menceriterakannya".

Berkata Ibnu Abdil-A'la pula : "Saya sudah melihat dari ahli ilmu kalam itu, sesuatu yang saya tidak menyangkanya sama sekali. Dan untuk seorang hamba Allah itu, lebih baik mendapat percobaan dengan segala yang dilarang Allah selain dari syirik,

daripada me mandang pada ilmu kalam".

Berkata Al-Karabisi ra. : "Bahwa pemah Asy-Syafi'i ra. ditanyakan orang mengenai

sesuatu dari ilmti kalam. Maka beliau marah, seraya berkata : "Tanyakanlah tentang ini kepada Hafshul-fard dan kawan-kawannya, orang-orang yang telah dihinakan Tuhan".

Ketika Asy-Syafi'i ra. sakit, lalu datang kepadanya Hufshul-fard seraya bertanya kepadanya : "Siapakah saya ini?".

Maka menjawab Asy-Syafi'i : "Hafshul-fard, tidak dipelihara dan dipimpin engkau oleh Allah sebelum engkau bertobat dari paham yang engkau anut sekarang".

Berkata Asy-Syafi'i lagi : "Jikalau tahulah manusia apa yang di dalam ilmu kalam itu dari bermacam-macam hawa nafsu, maka akan larilah mereka daripadanya seperti larinya dari singa".

Berkata lagi Asy-Syafi'i : "Apabila engkau mendengar seseorang mengatakan : Nama, ialah yang dinamakan atau bukan yang dinamakan (Al-ismu huwal musammaa au ghairul musammaa), maka naik saksilah bahwa orang tersebut termasuk ahli ilmu kalam dan tak ada agama bagi orang itu".

Berkata Az-Za'farani : "Kata Asy-Syafi'i : Hukumanku kepada orang-orang ilmu kalam itu, dipukul dengan pelepah kurma dan dibawa berkeliling pada kabilah-kabilah dan puak-puak. Dan dikatakan, inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Quran dan As-Sunnah dan mengambil ilmu kalam".

Berkata Ahmad bin Hanbal : "Orang ilmu kalam itu tidak akan memperoleh kemenangan selama-lamanya. Hampir kita tidak melihat seorangpun yang

memperhatikan ilmu kalam itu, melainkan di dalam hatinya terdapat keraguraguan". Begitu benar Ahmad bin Hanbal mencela ilmu kalam itu, sampai ia tidak mau bercakap-cakap dengan Al-Harits Al-Muhasibi -seorang yang zuhud dan wara'-. Karena Al-Harits mengarang sebuah kitab untuk menentang kaum bid'ah. Berkata Ahmad bin Hanbal kepada Al-Harits itu : "Kasihan saudara! Bukankah saudara menceriterakan mula-mula kebid'ahan mereka itu? Kemudian saudara menolaknya? Bukankah saudara dengan karangan saudara itu, membawa manusia kepada membaca bid'ah dan berpikir kepada yang syubhat? Lalu terbawalah mereka kepada berpendapat dan membahas?".

Berkata Ahmad ra.: "Ulama kalam itu adalah orang-orang zindiq"(1) Berkata Malik

ra. : "Tidakkah engkau melihat, bila datang orang yang lebih pandai berdebat

daripadanya, adakah ia meninggalkan agamanya tiap-tiap hari, untuk agama baru?". Maksud Malik, bahwa perkataan orang-orang yang bermujadalah itu selalu berlebih-kurang.

Berkata Malik ra. pula : "Tak boleh menjadi saksi ahli bid'ah dan hawa nafsu".

Maka berkata sebahagian temannya dalam menafsirkan perkataan Malik tadi, bahwa yang dimaksudkannya dengan ahli hawa nafsu itu, ialah ahli ilmu kalam atas aliran manapun mereka berada.

Berkata Abu Yusuf : "Barangsiapa mempelajari ilmu kalam, maka ia menjadi zindiq". Berkata Al-Hasan : "Janganlah engkau bermujadalah dengan ahli hawa nafsu!

Janganlah duduk-duduk bersama mereka dan janganlah mendengar apa-apa dari mereka".

Telah sepakat orang-orang terdahulu dari ahli hadits atas ini. Dan tak terhingga

banyaknya peringatan-peringatan yang keras yang datang dari mereka. Ahli-ahli hadits itu mengatakan bahwa para shahabat Nabi ملسو هينلع لا ىلص tidak diam daripadanya,

serta mereka sebetulnya lebih mengetahui hakikat yang sebenarnya dan lebih lancar dengan penyusunan kata-kata dari orang lain. Tidak lain, melainkan karena mereka mengetahui apa yang akan terjadi dari berbagai macam kejahatan.

Dari itu Nabi ملسو هيلع لا ىلص bersabda :

نواعطنتملا كله نواعطنتملا كله نواعطنتملا كله

(Halakal mutanaththi'uuna, halakal muta naththi'uuna, halakal-mutanath thi 'uuna). Artinya : "Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik! Binasalah orang-orang yang berdalam-dalam membahas dan menyelidik!".

Ahli-ahli hadits yang terdahulu itu mengemukakan pula alasan, bahwa kalau benar pembahasan dalam ilmu kalam itu termasuk sebahagian dari agama, tentulah dia menjadi yang terpenting dari apa yang disuruhkan Nabi ملسو هينلع لا ىلص Dan tentu diajarkan oleh Nabi saw. caranya serta memberi pujian kepada ilmu itu dan kepada ahli-ahli-nya. Sesungguhnya yang diajarkan oleh Nabi saw. kepada mereka, ialah cara beristinja' (bersuci dari air kecil dan air besar). Dan di-sunatkan oleh Nabi saw. kepada mereka mempelajari ilmu faraidl (pembahagian pusaka), dan memberi pujian kepada mereka yang mempelajari ilmu itu. Dan melarang mereka memperkatakan tentang qadar (taqdir) dengan sabdanya :"Tahanlah dirimu dari memperkatakan qadar!". Dan atas dasar itu, terus-meneruslah para shahabat berpegang. Maka melebihkan dari guru adalah durhaka dan dhalim. Dan para shahabat itu adalah guru dan ikutan kita. Dan kita adalah pengikut dan murid mereka.

Adapun golongan lain, mengemukakan alasan dengan mengatakan, bahwa yang ditakuti dari ilmu kalam itu, kalau ada, ialah mengenai kata-kata jauhar dan 'aradi Istilah-istilah yang ganjil ini yang tidak diketahui oleh para shahabat ra., maka persoalannya dekat saja. Karena ilmu apapun juga, telah diperbuat padanya istilah-istilah supaya mudah dipahami, seperti hadits, tafsir dan fiqih. Kalau di bentangkan kepada para shahabat itu, kata-kata : lawan, pecah, susunan, pelampauan (Ta'diyah), dan rusak letakan (fasadul wadla'), sampai kepada semua persoalan yang

dikemukakan dalam bab qias (dari ilmu logika), tentu tidak dipahami mereka. Maka membuat kata-kata ('ibarah), untuk memberi dalil kepada kata-kata tersebut dengan maksud yang benar, samalah halnya seperti membuat tempat-tempat air dalam bentuk yang baru untuk dipakai pada jalan yang diperbolehkan.

Dan kalau yang ditakuti itu, adalah maksudnya, maka dalam hal ini kami tidak bermaksud selain dari mengenai dalil ada baharu alam dan keesaan Khaliq dan sijat-sifatNya, sebagaimana yang tersebut dalam agama. Maka dari manakah datangnya haram mengenai Allah Ta'ala dengan dalil?

Dan kalau yang ditakuti itu yaitu perpecahan, ta'assub (fanatik golongan),

permusuhan, persengketaan dan lainnya yang diakibat-kan oleh ilmu kalam itu, maka memanglah itu diharamkan. Dan wajiblah menjaga diri daripadanya. Sebagaimana sombong, 'ujub, ria, ingin jadi kepala dan lainnya yangdiakibatkan oleh ilmu hadits, tafsir dan fiqih. Itu semuanya diharamkan dan wajib menjaga diri daripadanya. Tetapi tidaklah dilarang ilmunya, karena terbawa ke situ. Bagaimanakah menyebut alasan, mencari alasan dan membahas alasan itu dilarang?

Dan Allah Ta'ala sendiri berfirman : مؤكمننا

(Qul haatuu burhaanakum).

Artinya : "Katakanlah (Muhammad)! Berikanlah keteranganmu!(S. Al-Baqarah, ayat 111),

Dan berfirman Allah Ta'ala : ةنننينببن نؤعن كنلنهن نؤمن كنلمِهؤيننلمِ

(Liyahlika man halaka 'an bayyinatin wa yahyaa man hayya 'an bayyinatin).

Artinya : "Supaya binasa orang yang binasa dengan keterangan yang jelas dan hidup orang yang hidup dengan keterangan yang jelas".(S. Al-Anfal, ayat 42).

Dan berfirman Allah Ta'ala : اذهب نا

(Qul hal 'indakum min sulthaanin bihaadzaa).

Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Adakah padamu kekuasaan tentang ini?".Yakni: keterangan dan alasan.

Berfirman Allah Ta'ala : ةمغنلمِا

(Qul falillaahil hujjatul baalighah).

Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Allah mempunyai keterangan yang tegas".(S. Al-An'am, ayat 149).

همِببرن يفمِ منينهمِارنبؤإمِ جكا

(Alam tara ilalladzii haajja Ibraahiima fii rabbih).

Artinya :"Tiadakah engkau perhatikan orang yang membantah Ibrahim tentang Tuhannya?". (S. Al-Baqarah, ayat 258).sampai kepada firmanNya :

رنفنكن ي ذمِلكا تنهمِبمفن

(Fabuhital ladzii kafa )

Artinya :"Lalu orang kafir itu kehilangan akal". (S. Al-Baqarah, ayat 258).

Karena dalam ayat ini, disehutkan oleh Allah swt. keterangan Nabi Ibrahim as. penentangan dan pukulannya kepada musuh sebagai pujian dari Allah Ta'ala kepada Nabi Ibrahim as.

Berfirman Allah Ta'ala : همِممِواؤقن ىلنعن منينهمِارنبؤإمِ ا

(Wa tilka hujjatunaa aatainaahaa Ibraahiima 'alaa qaumih).

Artinya :"Dan itu adalah keterangan Kami, yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk menghadapi kaumnya". (S. Al-An'am, ayat 83).

Berfirman Allah Ta'ala : ا

(Qaaluu yaa Nuuhu qad jaadaltanaa fa-aktsarta jidaalanaa).

Artinya :"Mereka berkata : Ya Nuh Sesungguhnya engkau telah bermuja-dalah-dengan kami, maka banyaklah engkau bermujadalah dengan kami itu (S. Hud, ayat 32).

Dan berfirman Allah Ta'ala mengenai kisah Fir'aun : ننينممِلنا

(Wa maa rabbul 'aalamiin).Artinya :"Siapakah Tuhan Pemimpin semesta alam itu?". (S. Asy-Syu'ara, ayat 23).

ننينبمِمم ءنيؤشنبمِ كنتمئؤجمِ واؤلنونأن لنا

(Qaala awalau ji'tuka bisyai-in mubiin).

Artinya :"Berkata Musa : Dapatkah kamu menerima kalau aku dapat memperhatikan sesuatu (alasan) yang terang?". (S. Asy-Syu'ara, ayat 30)

Kesimpulannya Al-Quran itu dari permulaannya sampai kepada penghabisannya

adalah keterangan yang jelas menghadapi orang-orang kafir. Maka pegangan dalil bagi ahli-ahli ilmu kalam itu tentang tauhid ialah firman Allah Ta'ala :

ام ا لإمِ ةرهنلمِآ ا

(Lau kaana fiihimaa aalihatun illallaahu lafasadataa).

Artinya :"Jikalau adalah di langit dan di bumi ini beberapa Tuhan selain dari Allah, maka rusakkah langit dan bumi itu". (S. Al-Anbia', ayat 22),

Dan pegangan dalil tentang kenabian ialah firman Allah Ta'ala :

همِلمِثؤممِ نؤممِ ةنرنواسمبمِ اواتمأؤفن ا

(Wa in kuntum fii raibin mimmaa nazzalnaa 'alaa 'abdinaa fa'tuu bisuuratin mim mitslih).

Artinya :"Jika adalah kamu di dalam keraguan dari apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami, maka buatlah satu surat saja seperti (Al-Qur'an ) itu ". (S. Al-Baqarah, ayat 23).

Dan pegangan dalil tentang kebangkitan, firman Allah :

ةنركمن لنوكأن ا

(Qul yuhyiihalladzii ansya-ahaa awwala marratin).

Artinya :"Katakanlah (Muhammad)! Akan dihidupkannya oleh Yang Men-jadikannya pada pertama kali". (S. Yaa Siin, ayat 79).

Dan begitulah seterusnya dari ayat-ayat suci dan dalil-dalil yang lain.Dan rasul-rasul itu selalu menghadapi dengan keterangan akan orang-orang yang menentang dan mengadakan perdebatan dengan mereka.

Berfirman Allah Ta'ala : نمسنحؤأن ينهمِ يتمِلكا

(Wa jaadilhum billatii hiya ahsan).

Artinya :"Bermujadalahlah dengan mereka dengan cara yang sebaik-baiknya(S. An-Nahl, ayat 125).

Shahabat-shahabat ra. juga selalu mengemukakan alasan-alasan menghadapi orang-orang yang ingkar itu dan melakukan perdebatan. Tetapi itu ketika diperlukan. Dan pada masa mereka, keperluan untuk itu sedikit sekali. Dan orang pertama yang membuat tradisi mengajak orang-orang berbuat bid'ah, kepada kebenaran dengan perdebatan, ialah Ali bin Abi Thalib ra., ketika Ali mengutus Ibnu Abbas ra. menjumpai orang Khawarij dan mengadakan pertukaran pikiran dengan mereka.

Bertanya Ibnu Abbas ra. kepada orang Khawarij itu : "Mengapakah kamu

mencaci Imammu?". Menjawab orang Khawarij itu : "Dia berperang dan dia tidak mengambil tawanan dan harta rampasan".

Maka membalas Ibnu Abbas : "Cara yang demikian, kalau berperang dengan kafir.

Apakah pendapatmu kalau A'isyah ra. ditawan pada hari perang jamal? Lalu sebagai tawanan, A'isyah ra. itu termasuk dalam bahagian salah seorang dari kamu. Apakah kamu menganggap halal dia sebagaimana kamu menganggap halal dengan budak-budak wanitamu yang lain? Padahal dia ibumu menurut penegasan Al-Qur'an?".

Maka kaum Khawarij itu menjawab : "Tidak!" Dengan mujadalah yang dilakukan

oleh Ibnu Abbas ra., maka kembalilah menta'ati Ali sebanyak dua ribu orang dari kaum Khawarij.

Diceriterakan bahwa Al-Hasan berdebat dengan seorang qadariah. (1) Dengan perdebatan itu, orang qadariah tadi menarik diri dari paham qadariah. Ali bin Abi Thalib ra. pernah berdebat dengan seorang qadariah. Abdullah bin Mas'ud ra. pernah berdebat dengan Yazid bin 'Umairah mengenai keimanan. Berkata Abdullah : "Kalau engkau mengatakan aku mu'min, maka engkau mengatakan bahwa aku dalam sorga". Menjawab Yazid bin 'Umairah : "Hai shahabat Rasul! Itu adalah suatu kesilapan daripadamu. Bukankah iman itu, yaitu percaya kepada Allah, kepada malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya percaya kepada kebangkitan, kepada timbangan amal, mendirikan shalat, berpuasa dan mengeluarkan zakat? Kita mempunyai banyak dosa. Kalau kita ketahui dosa itu diampunkan Tuhan, maka tahu-lah kita bahwa kita itu dari penduduk sorga. Dari itu, kita mengatakan bahwa kita orang mu'min dan tidak kita mengatakan bahwa kita dari penduduk sorga".

Maka menjawab Ibnu Mas'ud : "Benar engkau. Sebenarnya dari ucapan tadi kesilapanku sendiri".

Maka sewajarnyalah dikatakan, bahwa para shahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan itu adalah sedikit saja, tidak banyak, pendek saja, tidak panjang dan ketika diperlukan. Tidak dengan jalan mengarang, mengajar dan membuatnya sebagai perbuatan mencari rezeki.

Maka dapat ditegaskan bahwa sedikitnya para shahabat itu mencempelungkan diri ke dalam perdebatan, adalah karena kurang diperlukan. Sebab tak ada bid'ah yang timbul pada masa itu.

Mengenai singkatnya perdebatan yang dilakukan mereka adalah tujuannya menginsafkan lawan, memberi pengertian, menyingkapkan kebenaran dan menghilangkan keraguan. Kalau lawan itu memanjangkan persoalan atau penantangan, maka sudah pasti perdebatan itu menjadi lama. Dan tidaklah para shahabat itu dapat menaksir dengan timbangan dan sukatan, berapa lama diperlukan perdebatan itu bila telah mencempelungkan diri ke dalamnya.

Mengenai tidaknya para shahabat itu mengajar dan mengarang tentang perdebatan itu, maka begitu pulalah sikap mereka terhadap fiqih, tafsir dan hadits. Maka jikalau boleh mengarang fiqih dan membuat gam bar-gam bar yang ganjil yang hampir tidak pernah kejadian, adakalanya untuk disimpan pada waktu terjadinya walaupun jarang benar terjadi atau untuk pengasah otak. Maka kita juga menyusun cara bermujadalah karena mungkin diperlukan nanti disebabkan berkobamya hal-hal yang meragukan. Atau ban gun orang-orang yang membuat bid'ah atau untuk mengasah otak atau untuk

menyimpan keterangan, sehingga bila diperlukan dengan mudah dan dengan spontan, tidak merasa lemah, seperti orang yang menyediakan alat senjata sebelum perang untuk dipakai di hari perang.

Inilah kemungkinan-kemungkinan yang dapat disebutkan untuk kedua golongan itu.

Kalau anda bertanya : "Manakah pilihan tuan?!'

Ketahuilah kiranya, bahwa yang benar dalam persoalan tersebut, ialah bahwa mencelanya secara mutlak dalam segala keadaan atau memujinya dalam segala keadaan, adalah salah. Tetapi hendaklah dengan penguraian.

Pertama-tama ketahuilah, bahwa sesuatu itu kadang-kadang haram karena zatnya

seperti arak dan bangkai. Maksudku dengan kataku karena zatnya ialah, bahwa sebab pengharamannya, adalah suatu sifat pada zatnya. Yaitu memabukkan (pada arak) dan karena mati (pada bangkai).

Mengenai ini apabila kita ditanyakan, maka dapatlah secara mutlak kita mengatakan haram. Dan tidak mempengaruhi akan penjawaban tersebut oleh mubahnya memakan bangkai ketika diperlukan benar. Dan mubahnya meneguk arak apabila tersumbat kerongkongan dengan suapan makanan dan tidak diperoleh selain dari arak untuk menghilangkan tersumbat itu.

Dan ada pula, haramnya tidak karena zatnya seperti menjual atas penjualan sesama Islam dalam waktu khiar dan seperti berjual-beli ketika adzan (panggilan untuk shalat Jum'at) dan seperti memakan tanah.

Maka itu diharamkan karena padanya mendatangkan melarat.

Dalam dokumen 1.Kitab Aqidah Ihya Ulumiddin (Halaman 55-89)

Dokumen terkait