• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA

B. Fase Farmakokinetika

Melalui berbagai cara pemberian, obat yang masuk ke dalam tubuh pada umumnya akan mengalami absorpsi, distribusi dan pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek. Kemudian, dengan atau tanpa biotransformasi, obat akan diekskresikan dari dalam tubuh (Setiawati, Bustami, dan Suyatna, 2002). Berbagai proses yang terjadi fase ini akan diuraikan sebagai berikut.

1. Absorpsi

Jalur pemberian obat yang paling sering dilakukan adalah secara ekstravaskuler. Dengan demikian obat harus dapat diabsorpsi terlebih dahulu dari tempat pemberiannya untuk dapat memberikan efek sistemik (Rowland and Tozer, 1995).

berubah) dipindahkan dari tempat pemberian menuju ke sirkulasi sistemik (Rowland and Tozer, 1995).

Meknisme absorpsi

Absorpsi, seperti halnya distribusi dan eliminasi, pada dasarnya merupakan proses yang memerlukan gerakan melintasi membran agar dapat mencapai sikulasi sistemik. Sebagian besar obat melewati membran melalui mekanisme difusi pasif, yang berarti molekul bergerak searah gradien kadar (Rowland and Tozer, 1995). Disebut pasif karena dalam mekanisme ini tidak ada energi luar yang terlibat (Shargel, Wu-Pong, and Yu, 2005).

Berdasarkan Hukum Fick tentang difusi, molekul obat berdifusi dari daerah dengan konsentrasi tinggi menuju ke daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah. (1)

(

Cgt Cp

)

h DAK dt dQ =

dimana dQ/dt = laju difusi A = luas permukaan membran

D = koefisien difusi K = koefisien partisi obat pada membran h = tebal membran Cgt – C = perbedaan antara konsentrasi p

di saluran pencernaan dengan plasma

Model Fluid-Mozaik yang diperkenalkan oleh Leonard dan Singer (1972), menggambarkan tentang struktur membran sel. Membran sel terdiri atas dua lapis lipid yang membentuk fase hidrofilik di kedua sisi membran dan fase hidrofobik diantaranya. Molekul- molekul protein yang tertanam di kedua sisi atau menembus membran berupa mosaik pada membran dan membentuk kanal hidrofilik untuk transpor air dan molekul kecil lain yang larut dalam air

(Mutschler, 1991; Setiawati dkk., 2002).

Pada mekanisme difusi pasif, mula- mula obat harus berada dalam larutan air pada permukan membran sel, kemudian obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lipid membran. Pada proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi yang lebih rendah. Setelah keadaan ekuilibrium (steady state) tercapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi membran akan sama (Setiawati dkk., 2002).

Dalam keadaan normal, sistem biologis bersifat dinamis. Sehingga kadar obat di bagian dalam membran berkurang secara berkesinambungan karena selalu dibersihkan oleh darah. Terdapat dua faktor pembatas laju pergerakan obat melintasi membran, yang dapat dilihat pada gambar 2.

A. Perfusion-Rate Limitation B. Permeability-Rate Limitation

Darah Darah

Gambar 2. Faktor pembatas laju pergerakan obat melintasi membran, dari darah ke jaringan atau sebaliknya (Rowland and Tozer, 1995)

Ketika membran tidak menjadi sawar (barrier) bagi proses penetrasi obat, yaitu pada obat dengan kelarutan lipid tinggi, maka yang menjadi faktor pembatas laju adalah perfusi (perfusion-rate limitation). Pada kondisi ini gerakan molekul obat dibatasi oleh aliran darah. Obat dalam darah meninggalkan jaringan dalam keadaan ekuilibrium; darah dan jaringan dianggap satu (gambar 2.A). Sedangkan bila resistensi membran terhadap obat meningkat, karena

membran Jaringan

bertambahnya ketebalan membran atau kepolaran obat, maka permeabilitas menjadi faktor pembatas (permeability-rate limitation). Pada kondisi ini keadaan ekuilibrium tidak tercapai saat darah meninggalkan jaringan; darah dan jaringan dianggap sebagai kompartemen yang berbeda (gambar 2.B) (Rowland and Tozer, 1995).

Faktor- faktor yang mempengaruhi absorpsi

Keefektifan absorpsi suatu obat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor mekanis dan faktor fisiologis.

a. Faktor mekanis yang meliputi ketiga hal berikut. 1) Rute dan cara pemberian

Setiap rute dan cara pemberian memiliki keuntungan dan kelebihan masing- masing. Pemberian obat secara oral adalah cara pemberian yang paling banyak dilakukan, karena cara ini mudah, murah dan aman (Shargel et al., 2005). Kerugiannya meliputi onset yang relatif lambat, beberapa obat mungkin dapat mengiritasi lambung, kemungkinan absorpsi yang tidak teratur dan destruksi obat- obat tertentu oleh enzim dan sekresi saluran pencernaan (York, 1990). Ketika obat diberikan secara oral, pada obat- obat tertentu

sebagian akan melewati vena porta hepatika dan mengalami metabolisme oleh enzim di hati pada lintasan pertamanya. Fenomena inilah yang disebut sebagai efek lintas pertama (Setiawati dkk, 2002). Bila dibandingkan dengan pemberian secara intravena, maka nilai AUC (area under the curve) oral lebih kecil dari AUC intravena.

(Wagner, 1975).

2) Efek bentuk sediaan obat

Bentuk sediaan dari suatu obat (misal tablet atau kapsul) merupakan sistem penghantar obat, dimana hampir semua yang terjadi pada sistem akan berpengaruh pada laju obat untuk mencapai sirkulasi, serta pada rasio jumlah obat yang mencapai sirkulasi dengan yang tertera pada label (Wagner, 1975)

Bentuk sediaan obat meliputi keadaan fisik obat (ukuran partikel, bentuk kristal/ bubuk) serta eksipien (zat pengisi, zat pengikat, zat pelicin, dan zat penyalut) yang digunakan. Bentuk sediaan obat akan menentukan laju disintegrasi dan disolusi obat, lebih lanjut akan menentukan absorpsi dari obat yang tersebut (Setiawati dkk., 2002).

3) Dosis dan aturan dosis

Setiap pasien idealnya mempunyai dosis dan aturan dosis untuk dirinya sendiri. Dosis suatu obat hendaknya dapat menjamin tercapainya efek terapetik yang diinginkan tanpa menimbulkan efek toksik (Setiawati dkk., 2002). Dosis dan aturan dosis akan mempengaruhi biavailabilitas dari suatu obat, yaitu pada Cmaks dan

AUC yang dihasilkan (Shargel, et al., 2005). b. Faktor fisiologis yang meliputi keempat hal berikut.

Obat yang diberikan melalui rute enteral dengan tujuan absorpsi sistemik dapat dipengaruhi oleh anatomi, fungsi fisiologis, serta isi saluran

pencernaan. Lebih lanjut, faktor mekanis dari obat terkait juga berpengaruh terhadap absorpsi dari saluran pencernaan (Shargel et al., 2005).

1) Komponen dan sifat dari cairan pencernaan

Agar dapat diserap dari saluran cerna, obat harus melarut dalam cairan pencernaan. Sifat- sifat serta komponen dari cairan pencernaan tersebut dapat mempengaruhi absorpsi obat ke dalam darah dengan cara mengubah laju pelarutan obat terkait (Bear dkk, 1972, cit. Donatus, 2005). pH cairan pencernaan, garam empedu, enzim serta mucin merupakan empat hal yang penting dalam hal ini (Mayersohn, 2002).

Sebagian besar obat adalah asam lemah atau basa lemah, karena pH mempengaruhi kelarutan beberapa senyawa, maka laju disolusi dari suatu bentuk sediaan (khususnya tablet dan kapsul) akan tergantung pada pH. Obat asam akan terdisolusi dengan baik pada lingkungan yang basa (usus), demikian pula sebaliknya untuk obat basa akan terdisolusi lebih baik pada lingkungan yang asam (lambung). Karena disolusi merupakan langkah awal dari absorpsi, dan disolusi dipengaruhi oleh pH maka pH cairan saluran pencernaan berperan penting dalam proses absorpsi obat (Mayersohn, 2002).

Jumlah obat asam lemah dan basa lemah yang terionisasi dalam cairan pencernaan atau darah dapat dihitung dengan persamaan Henderson- Hasselbach (Proudfoot, 1990).

Untuk obat asam lemah: pH-pKa HA] [ ] [A log - = (2)

Untuk obat basa lemah: ] [B BH] [ log pKa - pH = + (3)

dimana [A-] = konsentrasi ion asam [HA] = konsentrasi molekul asam

+

[B ] = konsentrasi ion basa [BH] = konsentrasi molekul basa

Selain pH, zat- zat yang terdapat pada cairan saluran pencernaan juga dapat mempengaruhi proses absorpsi obat. Garam empedu dapat meningkatkan laju dan atau jumlah absorpsi dari obat- obat yang kurang larut dalam air, dengan cara meningkatkan laju disolusi pada saluran pencernaan. Garam empedu juga dapat menurunkan absorpsi obat melalui pembentukan kompleks yang tidak larut air dan tidak terabsorpsi (Mayersohn, 2002).

Cairan usus mengandung berbagai macam enzim yang diperlukan pada proses pencernaan. Enzim- enzim ini dapat bereaksi pada beberapa obat. Sebagai contoh, enzim pankreas dapat menghidrolisis kloramfenikol palmitat, pankreatin dan tripsin dapat mendeasetilasi obat- obat N-asetilase, dan esterase mukosal dapat menyerang gugus ester dari penisilin (Mayersohn, 2002).

Mucin, yang berfungsi melindungi epitelium usus, dapat berikatan secara non spesifik terhadap beberapa obat (senyawa amonium kuartener) sehingga dapat mencegah atau menurunkan absorpsi. Selain itu mucin juga dapat menjadi sawar bagi difusi obat sebelum mencapai membran usus (Mayersohn, 2002).

2) Pengosongan lambung

Pada umumnya absorpsi obat yang optimal berlangsung di usus halus (Shargel et al., 2005). Sehingga setiap faktor yang menunda perpindahan obat dari lambung ke usus halus akan mempengaruhi laju, dan mungkin juga jumlah, absorpsi obat. Dengan demikian akan berpengaruh pada waktu yang dibutuhkan obat untuk mencapai konsentrasi plasma maksimum (memperbesar nilai tmaks) serta respon

farmakologisnya (Mayersohn, 2002).

Pola pengosongan lambung tergantung pada ada tidaknya makanan. Pada keadaan lambung yang kosong, terdapat pola khusus aktivitas elektromekanik yang disebut sebagai migrating motor complex (MMC). MMC menyebabkan terjadinya kontraksi yang dimulai pada bagian proksimal lambung dan berakhir di ileum. MMC terdiri dari empat fase.

Fase I : periode dimana hanya terjadi sedikit aktivitas, berlangsung sekitar 45 - 60 menit

Fase II : terjadi kontraksi tak beraturan yang secara bertahap akan meningkat frekuensinya untuk kemudian menuju ke fase selanjutnya, berlangsung sekitar 30 - 45 menit.

Fase III : gelombang peristaltik yang kuat mengosongkan isi lambung ke usus halus, berlangsung selama 5 – 10 menit. Fase IV : transisi penurunan aktivitas (pada Fase III) kembali ke

‘housekeeper’.

Keseluruhan fase berlangsung selama kurang lebih 2 jam. Suatu bentuk sediaan solid yang dicerna pada keadaan lambung yang kosong akan tinggal di lambung untuk waktu tertentu tergantung pada gelombang ‘housekeeper’. Jika dicerna pada saat dimulainya gelombang ‘housekeeper’ maka waktu tinggal di lambung akan lebih singkat daripada bila dicerna pada akhir gelombang ‘housekeeper’. Sehingga perbedaan waktu tinggal di lambung dapat menjelaskan adanya perbedaan laju absorpsi antar individu (Mayersohn, 2002).

Adanya makanan berpengaruh pada pengosongan lambung. Penurunan laju pengosongan lambung yang disebabkan oleh adanya asam lemak berbanding lurus dengan konsentrasi dan panjang rantai karbonnya. Pengaruh terbesar yaitu pada asam lemak dengan rantai karbon lebih dari 10 (asam dekanoat sampai asam stearat). Trigliserida menurunkan laju pengosongan lambung, terutama bentuk tak jenuhnya, seperti minyak zaitun. Karbohidrat menurunkan laju pengosongan lambung, seiring dengan peningkatan konsentrasinya. Asam amino menurunkan laju pengosongan lambung, yang dimungkinkan sebagai hasil dari tekanan osmotik (Mayersohn, 2002). 3) Transit usus

Setelah obat dikosongkan dari lambung selanjutnya akan masuk ke usus halus. Usus halus merupakan tempat utama bagi absorpsi obat karena luas permukaannya yang jauh lebih luas dari

lambung (Mayersohn, 2002). Usus halus manusia sebagian besar terdiri dari mikrovili dengan luas permukaan kurang lebih 200 m2, dan diperkirakan 1 l darah melintasi kapiler darah di sekitar usus per menit. Total luas permukaan lambung hanya 1 m2 dengan aliran darah 150 ml per menit (Rowland and Tozer, 1995).

Oleh sebab itu, semakin lama waktu tinggal obat di daerah ini, maka akan semakin besar pula kemungkinan terjadinya absorpsi yang lengkap dari obat tersebut, dengan asumsi bahwa obat stabil dalam cairan usus dan tidak akan membentuk turunan yang tak larut air (Mayersohn, 2002).

Terdapat dua macam gerakan usus, yaitu gerakan peristaltik (propulsive) dan gerakan pencampuran (mixing). Gerakan peristaltik akan menentukan laju transit usus dan oleh karena itu menentukan waktu tinggal obat di usus. Lebih lanjut akan berperan dalam menentukan berapa waktu yang tersedia bagi sediaan obat untuk melepaskan zat aktif, berdisolusi, dan kemudian terabsorpsi. Semakin besar motilitas usus maka semakin singkat pula waktu tinggal obat, dan makin singkat pula waktu bagi proses- proses tersebut. Motilitas usus akan sangat penting bagi obat- obat sediaan lepas lambat (sustained-release drugs) atau pada obat- obat salut enterik (enteric- coated drugs), demikian juga pada obat yang terlarut dengan lambat atau dimana absorpsinya maksimal hanya pada tempat tertentu di usus (Mayersohn, 2002).

Gerakan pencampuran akan membawa isi usus menuju ke kontak optimal dengan permukaan epitelium, dan oleh sebab itu tersedia daerah efektif yang lebih luas untuk absorpsi. Laju absorpsi secara langsung tergantung pada daerah permukaan membran, dan karena pencampuran meningkatkan area kontak antara obat dengan membran, maka gerakan pencampuran akan cenderung meningkatkan laju absorpsi obat (Mayersohn, 2002).

4) Aliran darah

Saluran pencernaan dilintasi oleh banyak sekali pembuluh darah sehingga daerah ini diperfusi dengan baik oleh aliran darah. Obat yang terabsorpsi terlebih dahulu akan menuju ke hati, yang merupakan tempat utama biotransformasi obat di tubuh. Obat mungkin akan mengalami biotransformasi yang luas sebelum terdistribusi sistemik. Hal ini disebut sebagai efek lintas pertama atau eliminasi prasistemik hati, yang mempunyai implikasi pada bioavailabilitas dan terapi obat (Mayersohn, 2002).

Adanya perfusi aliran darah yang baik pada saluran pencernaan memungkinkan terjadinya penghantaran zat terabsorpsi secara efisien. Aliran darah berpengaruh terhadap absorpsi senyawa- senyawa yang diabsorpsi secara aktif atau khusus yang memerlukan partisipasi membran dalam transpornya. Jika aliran darah dan oksigen berkurang, kemungkinan terjadi penurunan absorpsi dari senyawa- senyawa ini. (Mayersohn, 2002).

Tahap pengendali laju (rate-limiting step) absorpsi pada senyawa yang siap menembus membran usus (yaitu senyawa dengan koefisien permeabilitas tinggi) mungkin ada pada laju perfusi darah di usus. Untuk senyawa dengan permeabilitas rendah (contoh: ribitol) maka absorpsinya tidak tergantung pada aliran darah. (Mayersohn, 2002).

2. Disposisi obat

Setelah terabsorpsi, maka obat akan dihantarkan oleh pembuluh darah arteri menuju ke seluruh jaringan, termasuk organ- organ eliminasi. Disposisi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses- proses yang terjadi setelah proses absorpsi obat. Disposisi mencakup dua hal yaitu distribusi dan eliminasi obat (Rowland and Tozer, 1995).

a. Distribusi obat

Distribusi merupakan proses perpindahan bolak- balik suatu obat menuju dan dari tempat aksi, biasanya darah atau plasma. Pada umumnya distribusi suatu obat dari darah menuju ke jaringan adalah secara difusi pasif (Riviere, 1999). Distribusi obat terlebih dahulu terjadi pada organ- organ yang perfusinya sangat baik, seperti jantung, hati, ginjal dan otak. Selanjutnya mencakup jaringan yang perfusinya tidak sebaik organ- organ tadi, seperti otot, visera, kulit dan jaringan lemak. Kesetimbangan akan terjadi setelah waktu yang lama (Setiawati dkk., 2002). Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi distribusi suatu obat yaitu perfusi aliran darah pada organ, kemampuan

menembus membran (permeabilitas), serta ikatan obat dengan darah dan jaringan (Rowland and Tozer, 1995).

Distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah dari organ dan jaringan. Apabila pasokan darah semakin besar, maka bagian obat yang dapat berdifusi ke dalam organ tertentu dari pembuluh darah juga semakin banyak. Ini berati bahwa organ yang mempunyai banyak kapiler untuk memulai poses distribusi mengambil jumlah obat lebih banyak dibandingkan dengan organ yang pasokan darahnya kurang (Mutschler, 1991).

Seperti halnya absorpsi, laju distribusi juga dapat dibatasi baik oleh perfusi maupun permeabilitas. Suatu perfusion-rate limitation terjadi bila membran jaringan tidak menjadi sawar secara esensial bagi proses ditribusi. Kondisi ini terjadi pada molekul- molekul kecil lipofilik, yang berdifusi melintasi hampir semua membran tubuh. Perfusi dinyatakan dalam satuan ml darah per menit per volume jaringan (ml/menit/ml). Sedangkan permeability- rate limitation muncul khususnya pada obat polar yang berdifusi melintasi membran lipoid yang rapat. Karena adanya perbedaan perfusi dan permeabilitas dari berbagai jaringan ini, maka sulit untuk memprediksikan distribusi jaringan dari suatu obat (Rowland and Tozer, 1995).

Faktor penting lain untuk proses distribusi obat adalah ikatan obat pada protein terutama pada protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah. Konsekuensinya, konsentrasi obat dalam darah total, dalam plasma, dan tak terikat dalam air plasma, dapat sangat berbeda. Hanya obat bebas atau tak terikatlah yang dapat menembus membran dan mencapai kesetimbangan

(Rowland and Tozer, 1995).

Ikatan protein bersifat bolak- balik. Derajat ikatan obat dengan protein plasma ditentukan oleh afinitas obat terhadap protein, kadar obat dan kadar protein sendiri. Pada keadaan defisiensi protein, pengikatan obat oleh protein menjadi berkurang (Setiawati dkk., 2002). Makin besar tetapan afinitas zat terhadap protein, makin kuat ikatan protein. Kesetimbangan distribusi akan bergeser ke protein dengan tetapan afinitas yang lebih besar (Mutschler, 1991). b. Eliminasi obat

Eliminasi merupakan proses kehilangan tak bolak- balik suatu obat dari tempat aksi ke organ eliminasi. Dua organ eliminasi utama tubuh adalah hati dan ginjal. Ginjal merupakan organ eliminasi utama untuk ekskresi obat bentuk tak berubah. Sebagian besar obat mengalami eliminasi yang berlangsung melalui ginjal. Hati merupakan tempat dimana terjadi biotransformasi obat. Sekresi bentuk obat tak berubah juga dapat dilakukan hati ke dalam empedu (Rowland and Tozer, 1995).

Eliminasi obat terjadi melalui dua proses yaitu biotransformasi dan ekskresi.

1) Biotransformasi

Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur kimiawi suatu obat dalam tubuh yang dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar yang artinya lebih mudah larut dalam air daripada dalam lemak, sehingga lebih mudah dieksresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif

sehingga sangat berperan dalam mengakhiri masa kerja obat (Setiawati dkk., 2002). Pada umumnya, hati merupakan tempat biotransformasi utama, dan kadang satu- satunya, dari suatu obat (Rowland and Tozer, 1995).

Terdapat obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau lebih toksik, atau obat tersebut justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini (disebut sebagai prodrug). Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan atau dieksresi sehingga kerjanya berakhir (Setiawati dkk., 2002).

Jalur biotransformasi obat terdiri dua fase yaitu fase I dan fase II. Fase I meliputi oksidasi, reduksi, hidrolisis. Reaksi fase I ini mengubah obat menjadi metabolit yang lebih polar, yang dapat bersifat inaktif, kurang aktif atau lebih aktif dari bentuk aslinya. Reaksi fase II, disebut juga reaksi sintetik, merupakan konjugasi obat atau metabolit reaksi fase I dengan substrat endogen (misalnya asam glukuronat, sulfat, asetat, dan asam amino). Hasil konjugasi bersifat lebih polar dan lebih mudah terionisasi sehingga lebih mudah diekskresikan. Metabolit hasil konjugasi biasanya tidak aktif, kecuali untuk prodrug tertentu. Beberapa hanya mengalami salah satu dari kedua fase tersebut, tetapi kebanyakan obat mengalami biotransformasi melalui beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi beberapa macam metabolit (Setiawati dkk., 2002).

2) Ekskresi

Ekskresi obat adalah proses kehilangan tak bolak- balik dari bentuk obat tak berubah (Rowland and Tozer, 1995). Obat diekskresikan dari

tubuh melalui berbagai organ tubuh dalam bentuk metabolitnya atau dalam bentuk tak berubahnya. Ginjal merupakan organ ekskresi tubuh yang paling penting. Ekskresi obat melalui ginjal mencakup tiga tahap, yaitu filtrasi di glomerulus, sekresi aktif di tubulus proksimal, dan reabsorpsi pasif di tubulus proksimal dan distal (Setiawati dkk, 2002).

Ekskresi obat juga dapat terjadi melalui keringat, air liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat (Setiawati dkk., 2002).

Dokumen terkait