Bersama datangnya waktu fajar pertama, Fatimah dengan semangat menyingkap selimutnya dan meninggalkan kamarnya, ia ingat kepada Allah, ia pandangi cucu-cucunya ke kanan dan ke kiri, mereka sedang tidur di sekelilingnya. Kemudian ia melangkah keluar kamar menuju ruang tamu lalu ke kamar mandi, ia berwudhu lalu bersujud dan bersyukur kepada Allah seraya mengangkat kedua tangannya, “Tuhan, tetaplah bersamaku, lindungi kami dan jangan Engkau hinakan kami di antara hamba-hamba-Mu.”
Selesai shalat, ia masuk ke ruangan tempat ia bekerja memeriksa keju, kepala susu dan susu asam. Dia tersenyum dan ridha dengan apa yang diberikan oleh Allah lalu berdoa semoga Allah senantiasa memberikan berkah padanya. Ia menyiapkan barang bawaannya yang mencapai 50 kilo susu dan yang lainnya. Meskipun usianya sudah tua tetapi ia tetap membawanya dengan penuh semangat. Ia memandang untuk kedua kalinya ke arah cucu-cucunya yang sedang tidur dan anak perempuannya yang sedang tidur di samping bayinya yang baru lahir beberapa jam yang lalu. Di dalam hatinya dia berdoa semoga Allah segera memulihkan kondisi anaknya itu.
Dia keluar dari rumah berjalan puluhan meter sambil membawa barang di atas kepalanya, lalu menghentikan sebuah kendaraan. Sopir memarahinya sehingga ia naik dengan terburu-buru seakan-akan tidak kasihan dengan usianya dan bawaannya. Dia angkat lengannya yang membawa barang sampai ia bisa duduk sempurna di bangku mobil, ia mengucap, “Ya Rabb.”
Tubuhnya merasa sakit tapi ia tetap tersenyum dan duduk. Angin menerpa pakaian hitamnya, ia teringat masa lalu sejak suaminya meninggal dan mempunyai anak banyak. Ia berusaha menghidupi mereka, tidak mau menikah, tidak punya tanah tetapi ia tidak putus asa, melawannya dan bersabar. Sekarang anak-anaknya sudah besar semua. Sering dimaki oleh polisi di jalanan, tetapi ia tidak jenuh dan suka memuji anak-anak. Muhammad, guru kesenian, bekerja di negara Arab, dilamar oleh Dalia anak tetangga. Mas’ad melanjutkan studinya di Universitas Alexandria, adapun Zainab sudah menikah dan telah melahirkan anaknya yang ketiga dengan selamat.
Suara temannya menyadarkannya dari lamunan, “Ummu Muhammad, Hajah Fatimah, kita sudah sampai!” Kemudian ia membayar 50 piaster kepada sopir dan kembali berjalan bersama teman-temannya ke stasiun kereta untuk pergi ke kota menuju gedung perkantoran, tempat di mana para pelanggannya bekerja di sana.
Dia membawa barang bawaannya menaiki kereta dan duduk di lantai sambil menjaga barangnya. Setengah jam kereta sampai di tempat tujuan, lalu Fatimah teringat akan pesanan para pelanggannya. Insinyur Ahmad memesan setengah kilo minyak samin, Madam Halah memesan susu sapi dan direktur mereka kemarin datang secara khusus kepadanya memesan, “Fatimah, Saya besok ada acara, Saya mau pesan roti martabak buatan Anda.”
Suara kondektur menyadarkan lamunannya, “Tiket, hei Fatimah.” Fatimah tersenyum dan berkata, “Ahlan ya tuan Abdul Wadud, apa kabar?” Fatimah membayarnya satu setengah pond Mesir, lalu mengambil sepotong roti dan keju dan ia berikan kepadanya, “Sesuapan aja nih, semoga bisa mengisi perut.”
Kondektur itu mengambilnya seraya mengatakan, “Wanita yang pemurah, semoga Tuhan memanjangkan umur Anda Fatimah.”
Semua penumpang berjejalan di pintu kereta untuk turun. Fatimah meminta seorang pemuda untuk mengangkat bawaannya lalu mengucapkan terima kasih kepadanya. Tanah kota menyambut kedua kakinya yang lemah dengan keramaiannya. Ia melangkah berjalan ke arah tujuannya, yaitu gedung perkantoran yang megah, yang tidak jauh dari stasiun kereta. Ia teringat dengan anak perempuannya yang meminta dibelikan obat yang harganya 50 pound, yang akan membantunya melewati masa nifas apalagi suami anaknya adalah seorang petani biasa.
Wajah Muhammad tampak asing di hadapannya, air matanya keluar sambil berkata, “Saya kangen padamu nak, semoga Tuhan akan memberikanmu keselamatan.” Suara Mas’ad pun memekik di telinganya “Ibu, saya minta 20 pond untuk bayar asrama.”
Fatimah mangkal di tempat biasa, membuka kain penutup agar barang dagangannya nampak kelihatan, nyeri di punggungnya kembali terasa sakit, dia tetap berjualan dan menyimpan uangnya di dadanya. Ia shalat Zuhur sambil duduk di depan barang dagangannya.
Siang berlalu dengan cepat dan barang dagangannya pun sudah habis. Fatimah bersyukur kepada Allah dan kembali pulang ke rumahnya.
Dia masuk ke dalam rumah lalu makan sepotong roti dan keju. Ia meminta anaknya agar membangunkannya sebelum Maghrib, karena ia akan memeras sapi dan menyiapkan barang dagangan untuk hari esok.
Fatimah berumur 55 tahun, berkulit hitam, wajahnya selalu berseri-seri meskipun mempunyai kesedihan dalam hati yang tidak ada harapan untuk hilang.
Anak perempuannya membangunkannya, “Ibu, ibu,” tidak ada yang dilihat darinya selain senyuman ridha pada wajahnya, ketenangan hati yang dapat mengusir penderitaan dari tubuhnya sehingga bisa beristirahat untuk yang pertama kalinya sejak 20 tahun.
Ketika mereka hendak membuka pakaiannya untuk dicuci, mereka menemukan uang senilai 20 pound dan satu lagi bernilai 50 pound.
Wasiat
Lukman menasehati anaknya, “Aku wasiatkan kepadamu beberapa hal yang dapat mendekatkanmu kepada Allah dan menjauhkanmu dari murkanya, yaitu sembahlah Allah dan jangan menyekutukan-Nya dengan apapun dan rela dengan ketentuan Allah, baik kamu menyukai atau tidak.”
Sebagian ulama berwasiat, “Terimalah semua yang Allah berikan kepadamu karena Ia tidak menahan kecuali untuk memberimu, Ia tidak memberi cobaan kecuali untuk mengampunimu. Allah tidak memberimu penyakit kecuali akan menyembuhkannya, Allah tidak akan mewafatkanmu kecuali untuk menghidupkanmu, maka jangan sampai kamu meninggalkan ridha kepada Allah.”
Tahapan Ketiga
Mari kita menuju perjalanan menuju pusat hati.
Anda telah melakukan perjalanan ridha, berdialog dengan hati dan telah memberi perumpamaan yang belum kami ketahui sebelumnya.