• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teoritis

2.2.12 Fatwa Dewan Syariah Nasional

2.2.12.1 Fatwa DSN tentang ijarah

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Ijarah sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tertanggal 13 April 2000 (MUI, 2014:94-96) sebagai berikut:

Pertama : Rukun dan syarat Ijarah:

1. Sigat ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang berakad (berkontrak), baik secara verbal atau dalam bentuk lain.

2. Pihak-pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa dan penyewa/pengguna jasa.

3. Objek akad ijarah adalah:

a. manfaat barang dan sewa; atau b. manfaat jasa dan upah

Kedua : Ketentuan Obyek Ijarah

1. Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa. 2. Manfaat barang harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam

kontrak.

3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).

4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.

5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.

6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya. Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identitas fisik.

7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar oleh nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa dalam ijarah.

8. Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.

9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa dapat diwujudkan dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.

Ketiga : Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiayaan Ijarah

1. Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa:

a. Menyediakan barang yang disewakan atau jasa yang diberikan. b. Menanggung biaya pemeliharaan barang.

c. Menjaminan bila terdapat cacat pada barang yang disewakan. 2. Kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa:

a. Membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai kontrak.

b. Menanggung biaya pemeliharaan aset yang sifatnya ringan (tidak materil).

c. Jika barang yang disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga bukan karena kelalaian pihak penyewa dalam menjaganya, ia tidak bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.

2.2.12.2 Fatwa DSN tentang al-ijarah muntahiyah bi al-tamlik

Fatwa DSN yang berkaitan dengan al-Ijarah Muntahiyah Bi al-Tamlik sebagaimana tercantum dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional no. 27/DSN-MUI/III/2002 tanggal 28 Maret 2002 (MUI, 2014:155-156) sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan Umum

Akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik.

2. Perjanjian untuk melakukan akad Ijarah Muntahiyah bi al-Tamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.

3. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad. Kedua : Ketentuan tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik

1. Para pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan

kepemilikan, baik dengan cara jual beli (bay’) atau pemberian (hibah), hanya dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

2. Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah adalah wa’ad yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janjian itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.

Ketiga : 1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2.2.12.3 Fatwa DSN tentang rahn

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang rahn sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tertanggal 28 Maret 2002 (MUI, 2014:738-740) sebagai berikut:

Pertama : Hukum

Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk rahn dibolehkan.

1. Murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk menahan Marhun (barang) sampai semua utang Rahin (yang menyerahkan barang) dilunasi.

2. Marhun dan manfaatnya tetap menjadi milik Rahin. Pada prinsipnya, Marhun tidak boleh dimanfaatkan oleh Murtahin kecuali seizin Rahin, dengan tidak mengurangi nilai Marhun dan pemanfaatannya itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya.

3. Pemeliharaan dan penyimpanan Marhun pada dasarnya menjadi kewajiban Rahin, namun dapat dilakukan juga oleh Murtahin, sedangkan biaya dan pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban Rahin.

4. Besar biaya pemeliharaan dan penyimpanan Marhun tidak boleh ditentukan berdasarkan jumlah pinjaman.

5. Penjualan Marhun:

a. Apabila jatuh tempo, Murtahin harus memperingatkan Rahin untuk segera melunasi utangnya.

b. Apabila Rahin tetap tidak dapat melunasi utangnya, maka Marhun dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah. c. Hasil penjualan Marhun digunakan untuk melunasi utang,

biaya pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya penjualan.

d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik Rahin dan kekurangannya menjadi kewajiban Rahin.

Ketiga : Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesainnya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2.2.12.4 Fatwa DSN tentang sale and lease back

Dewan Syariah Nasional menetapkan aturan tentang Sale and Lease Back sebagaimana tercantum dalam fatwa Dewan Syariah Nasional nomor 71/DSN-MUI/VI/2008 tertanggal 26 Juni 2008 (MUI, 2014:401-402) sebagai berikut:

Pertama : Ketentuan Umum

Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli menyewakan aset tersebut kepada penjual.

Kedua : Ketentuan Hukum

Sale and Lease Back hukumnya boleh. Ketiga : Ketentuan Khusus

1. Akad yang digunakan adalah Bai’ dan Ijarah yang dilaksanakan secara terpisah.

2. Dalam akad Bai’, pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.

3. Akad Ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas aset yang akan dijadikan sebagai objek Ijarah.

4. Objek Ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis.

5. Rukun dan syarat Ijarah dalam fatwa Sale and Lease Back ini harus memperhatikan substansi ketentuan terkait dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan Ijarah.

6. Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad. 7. Biaya-biaya yang timbul dalam pemeliharaan objek Sale and Lease

Back diatur dalam akad. Keempat : Penutup

1. Jika terjadi perselisihan diantara para pihak, maka penyelesaiaanya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah.

2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Dokumen terkait