BAB II. MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI), GOLPUT, DAN
2. Fatwa MUI dalam Implikasi Sosial Politik
Fatwa MUI bukanlah hukum negara yang mempunyai kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, Fatwa MUI juga tidak mempunyai sanksi dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Sebagai sebuah kekuatan Sosial Politik yang ada dalam Infra struktur ketatanegaraan, Fatwa MUI hanya mengikat dan ditaati oleh Komunitas Umat Islam yang merasa mempunyai Ikatan terhadap MUI itu sendiri. Legalitas Fatwa MUI pun tidak bisa dan mampu memaksa harus ditaati oleh seluruh umat Islam.
Salah satu dari berbagai kegiatan MUI dengan menyadari tanggung
jawabnya untuk melindungi masyarakat, maka Majelis Ulama Indonesia
17
mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika atau lebih
dikenal sebagai LP POM MUI. Lembaga ini didirikan sebagai bagian dari upaya
untuk memberikan ketenteraman batin umat, terutama dalam mengkonsumsi
pangan, obat dan. Kosmetika. LP POM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari
1989 dan telah memberikan peranannya dalam menjaga kehalalan produk-produk
yang beredar di masyarakat. Pada awal-awal tahun kelahirannya, LP POM MUI
berulang kali mengadakan seminar, diskusi–diskusi dengan para pakar, termasuk
pakar Ilmu Syari’ah, dan kunjungan–kunjungan yang bersifat studi banding serta
muzakarah. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menentukan
standar kehalalan dan prosedur pemeriksaan, sesuai dengan perkembangan ilmu
Pengetahuan dan kaidah Agama. Pada awal tahun 1994, barulah LP POM MUI
mengeluarkan sertifikat halal pertama yang sangat didambakan oleh konsumen
maupun produsen, dan sekarang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.18
AdapunKonsep Fatwa adalah sebagai Instrumen tidak langsung untuk
mendefinisikan konsep formal hukum, seperti diterapkan di Pengadilan.
Ditemukan terdapat empat faktor penting yang telah mempengaruhi isi fatwa MUI
Periode 1975-1989 yaitu:
a. Faktor pertama ialah: keinginan untuk mendukung berbagai kebijakan
pemerintah.
b. Faktor kedua yang mempengaruhi fatwa MUI ialah keinginan merespon
tantangan kehidupan modern, seperti fatwa tentang bolehnya
mendonorkan kornea mata dan transplantasi jantung.
18
Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar Al-qalam, 1435/2994), hal. 37.
c. Faktor ketiga terkait keinginan MUI untuk selalu menjaga kerukunan
umat beragama, tetapi dalam waktu yang sama juga tetap menjaga
keutuhan umat islam dan mewaspadai penyebaran agama lain sehingga
membentuk suasana rivalitas keagamaan.19
Pada zaman modern sekarang ini, fatwa adalah pendapat hukum islam dari
mufti atau ulama sebagai individu atau kolektif sebagai jawaban atas apa
(masalah) yang berkembang dalam masyarakat. Pada zaman klasik, fatwa
diberikan oleh mufti atau alim sebagai individu atas pertanyaaan yang diajukan.
Oleh karena sifatnya sebagai respon atas pertanyaan atau masalah yang
berkembang dalam masyarakat itu atau sebagi ekspresi dari Interplay yang terus
menerus antara norma islam dan kebutuhan nyata masyarakat, maka fatwa selalu
bersifat dinamis, dari segi pengungkapannya, meskipun belum tentu dinamis dari
segi isinya.20
Keperluan terhadap fatwa sudah terasa sejak awal perkembangan Islam
dengan meningkatnya jumlah pemeluk Islam, maka setiap persoalan yang muncul
memerlukan jawaban. Untuk menjawab persoalan tersebut diperlukan bantuan
dari orang-orang yang kompeten di bidang tersebut. Dalam masalah agama, yang
berkompeten untuk itu adalah para mufti atau para mujtahid.
19
Wahbah Zuhaili mengatakan bahwa para ulama sepakat mengenai bolehnya seorang laki-laki muslim kawin dengan wanita kitabiyah, berdasarkan Al-qur’an surat Al-maidah ayat 5. juga didasarkan pada riwayat para sahabat yang menceritakan bahwa utsman bin affan mengawini nailah binti farafisah, seorang wanita nasrani dari suku kalbiyah; juga hudzaifah mengawini seorang wanita yahudi dari Ahlul madain. lihat wahbah zuhaili, Al- fiqih Al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr, Cetakan Ketiga), Juz VII, hlm. 153.
20
Yusuf choirul fuad, H. M. Atho Mudzhar, dkk.Fatwa majelis ulama indonesia (MUI) dalam perspektif hukum dan perundang-undangan, (Jakarta: badan litbang dan diklat kementrian agama RI, 2012), hal. 25
Berkaitan dengan Implikasi fatwa dalam kehidupan sosial politik umat
Islam, fatwa ini juga menegaskan bahwa fatwa memang tidak mengikat secara
hukum. akan tetapi, ia bersifat mengikat secara agama, sehingga tidak ada peluang
bagi seorang muslim untuk menentangnya bila fatwa itu didasarkan kepada
dalil-dalil yang jelas dan benar.
Di sisi lain umat Islam Indonesia menghadapi tantangan global yang
sangat berat. Kemajuan Sains dan Teknologi yang dapat menggoyahkan batas
etika dan moral, serta budaya global yang didominasi barat, serta pendewaan
kebendaan dan pendewaan hawa nafsu yang dapat melunturkan aspek religiusitas
masyarakat serta meremehkan peran agama dalam kehidupan umat manusia.
Selain itu kemajuan dan keragaman umat Islam Indonesia dalam alam pikiran
keagamaan, organisasi sosial dan kecenderungan aliran dan aspirasi politik, sering
mendatangkan kelemahan dan bahkan dapat menjadi sumber pertentangan di
kalangan umat Islam sendiri. akibatnya umat Islam dapat terjebak dalam egoisme
kelompok (Ananiyah Hizbiyah) yang berlebihan. Sehingga fatwa menjadi sangat
urgen dalam menghadapi permasalahan tersebut diatas. Dengan adanya lembaga
fatwa resmi tentunya penjelasan hukum yang masih global menjadi mudah
dipahami dan juga menjawab permasalahan-permasalahan baru yang kian hari
kian kompleks.21 Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah
permusyawarahan para ulama, zuama, dan cendikiawan muslim, mempunyai
peranan luhur sebagai pengayom bagi umat Islam Indonesia terutama didalam
memecahkan dan menjawab berbagai persoalan sosial-keagamaan dan kebangsaan
21
yang timbul ditengah-tengah masyarakat. Jawaban yang diberikan oleh MUI
adalah fatwa yang dikeluarkan melalui Komisi Fatwa MUI secara Kolektif, baik
ditingkat Pusat maupun Provinsi dan Kabupaten/kota. Penetapan fatwa MUI
didasarkan pada Al-qur’an, Sunah (Hadis), Ijma’, dan Qiyas. Penetapan fatwa
bersifat Responsif, Proaktif, dan Antisifatif. 22