• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. SINTESIS PERMASALAHAN KEJADIAN ANOMALI IKLIM

2.2.   Fenomena ENSO di Samudera Pasifik 12

Variabilitas iklim Samudera Pasifik tropik memiliki fenomena yang khas dan hingga saat ini mendapat perhatian yang mendalam dari para peneliti di bidang Oseanografi dan Iklim. Fenomena internal dari variabilitas iklim tersebut merupakan sirkulasi zonal (sejajar lintang) arah Timur Barat yang terjadi di pasifik Timur menuju pasifik Barat (dekat kepulauan Indonesia) yang dinamakan sirkulasi Walker. Gangguan yang terjadi pada sirkulasi Walker dikenal sebagai fenomena ENSO (El Niño Southern Oscillation). El Niño (La Niña) merepresentasikan fase panas (dingin) dari siklus ENSO. Istilah El Niño (La Niña) mengacu pada pemanasan (pendinginan) pada suhu muka laut pada sentral dan sentral-timur Pasifik Equator (Gambar 2.1.). Kondisi suhu permukaan laut di Pasifik Ekuator sangat berpengaruh pada sirkulasi angin zonal yang terjadi di kawasan mulai dari Indonesia hingga Amerika Selatan. Pada suatu ketika suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih tinggi dari rata- ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai El Niño. Sebaliknya, bila suhu permukaan laut Pasifik Ekuator Tengah dan Timur terjadi lebih rendah daripada rata-ratanya, kondisi tersebut dinamakan sebagai La Niña sehingga kemudian dikenal dengan nama ENSO, berasal dari El Niño (fenomena laut) dan Southern Oscillation (fenomena atmosfer) (Wiratmo, 1998). Gejala ENSO yang membawa implikasi laut Indonesia lebih dingin pada kejadian El Niño dan lebih hangat pada kejadian La Niña. Mengakibatkan terjadinya peningkatan jumlah hujan pada tahun La Niña dan penurunannya pada tahun El Niño (Gutman et al. 2000).

Sebagai indikator untuk memantau kejadian ENSO, biasanya digunakan data pengukuran Suhu Permukaan Laut (SPL). Dupe dan Tjasyono (1998) telah melakukan analisis terhadap grafik data SPL dan anomali SPL untuk seluruh

13 daerah pengamatan El Niño. Hasil visual menunjukkan bahwa daerah Nino 3.4 (170oBB - 120oBB, 5oLS - 5oLU) memperlihatkan distribusi yang lebih berpola, sehingga dapat dikategorikan bahwa daerah Nino 3.4 adalah daerah yang lebih representatif untuk mendefinisikan El Niño. Kenaikan anomali SPL Nino3.4 diikuti dengan melemahnya angin passat (trade winds) yang mengakibatkan pergeseran daerah konveksi pembentukan awan-awan hujan. Pada kondisi normal, daerah konveksi berada di daerah Barat Samudera Pasifik. Namun, pada kondisi

El Niño, zona konveksi bergeser ke tengah-tengah Samudera Pasifik. Kondisi ini biasanya terjadi menjelang akhir tahun, akibatnya musim penghujan di Indonesia yang biasanya terjadi pada akhir tahun akan diganti dengan kemarau karena pengaruh El Niño.

Sumber : http://www.whoi.edu/oceanus/viewImage.do?id=83611&aid=53506

Gambar 2.1 Pola anomali suhu muka laut pada peristiwa El Niño dan La Niña

Indikator ENSO lainnya adalah dengan menggunakan SOI (Southern Oscillation Index) atau Indeks Osilasi Selatan yang mengacu pada perbedaan tekanan atmosfer antara Tahiti (di Timur pasifik bagian ekuator) dan Darwin (di pantai utara Australia). Nilai SOI semakin negatif berarti semakin kuat kejadian panas (El Niño), sebaliknya nilai SOI semakin positif kejadian dingin (La Niña) semakin kuat (Boer 1999). Pada kondisi normal, rata-rata tekanan di permukaan laut relatif tinggi di Pasifik Tengah bagian selatan (menggunakan stasiun rujukan

14 di Tahiti) dan relatif rendah di Pasifik Barat atau Australia Utara (stasiun rujukan di Darwin). Sehingga pemindahan neto udara di lintang rendah adalah dari Timur ke Barat – disebut sebagai angin Pasat Timuran. Setiap beberapa tahun perbedaan tekanan antara Barat dan Timur ini melemah, sehingga angin Pasat Timuran berhenti dan biasanya diiringi dengan kekeringan di Indonesia dan Australia. Gejala El Niño dimulai dengan menurunnya tekanan udara di Tahiti di bawah tekanan udara di Darwin sehingga massa air panas di kawasan pasifik bagian Barat mengalir ke arah Timur dengan bantuan arus equatorial. Akibatnya terjadi akumulasi massa air panas di Pasifik bagian Timur dan permukaan air lautnya naik lebih besar dibanding dengan yang di kawasan Barat. Kondisi ini mengakibatkan konveksi terjadi di pasifik bagian Timur dan subsidensi di atas kontinen maritim Indonesia. Subsidensi ini akan menghambat pertumbuhan awan konveksi sehingga pada beberapa daerah di Indonesia terjadi penurunan jumlah hujan yang jauh dari normal. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat La Niña

berlangsung (Gambar 2.2).

Sumber: http://www.longpaddock.qld.gov.au/seasonalclimateoutlook/elninosouthernoscillation.html

15 Berdasar intensitasnya El Niño dikategorikan sebagai :

a. El Niño Lemah (Weak El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +0.5º C s/d +1,0º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

b. El Niño sedang (Moderate El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik equator positif antara +1,1º C s/d 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

c. El Niño kuat (Strong El Niño), yang ditetapkan jika anomali suhu muka laut di Pasifik ekuator positif > 1,5º C yang berlangsung minimal selama 3 bulan berturut-turut.

Boer (2002) menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan terhadap data hujan musim kemarau selama seratus tahun, rata-rata penurunan curah hujan akibat terjadinya El Niño bila dibadingkan dengan normalnya dapat mencapai 80 mm/bulan sedangkan peningkatan curah hujan akibat terjadinya La Niña tidak lebih dari 40 mm. Sehingga secara umum bencana yang ditimbulkan oleh kejadian

El Niño lebih serius dibandingkan dengan la Niña.

Dampak El Niño terhadap kondisi cuaca global dicirikan dengan angin pasat timuran dan sirkulasi munson semakin lemah dan akumulasi curah hujan berkurang di Indonesia (Pustekkom 2007). Berkurangnya akumulasi curah hujan tersebut sangat tergantung dari intensitas El Niño tersebut. Namun karena posisi geografis Indonesia yang terdiri kepulauan maka tidak seluruh wilayah Indonesia dipengaruhi oleh El Niño.

Sir Gilbert Walker pada tahun 1924 menyatakan bahwa El Niño berkaitan langsung dengan perbedaan tekanan udara di wilayah Indonesia (bagian Barat Lautan Pasifik) dan bagian Timur Lautan Pasifik. Variasi perbedaan tekanan Timur-Barat dihubungkan dengan sirkulasi Walker merupakan sebuah variasi antar tahun yang tidak teratur (Hastenrath 1988).

Untuk wilayah Indonesia, akibat pola monsunal yang mengatur pola sirkulasi arus laut permukaan, pengaruh El Niño dan La Niña ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim inilah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan akibat kedua

16 fenomena global tersebut. Pada musim hujan pengaruh dari kedua fenomena global tersebut dihambat oleh tidak mendukungnya pola arus laut, dimana pola arus permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El Niño akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada puncak musim kemarau, sedangkan La Niña lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga di musim kemarau yang tidak terlalu kering. Pengaruh dari El Niño akan lebih terasa untuk wilayah Indonesia bagian timur, tetapi apabila terjadi gejala El Niño sangat kuat seperti kasus tahun 1997, pengaruh akan terasa hingga Indonesia bagian barat kecuali wilayah Jambi hingga Aceh karena El Niño kuat akan membuat bayangannya di Samudera Hindia (Aldrian and Susanto 2003)

Pada beberapa tahun terakhir, terlihat jelas bahwa peristiwa kekeringan di Indonesia akibat El Niño kerap kali terjadi akibat peningkatan fluktuasi anomali suhu muka laut Samudera Pasifik. Hal tersebut menunjukkan bahwa cuaca ekstrim regional dan anomali iklim yang direpresentasikan dengan kejadian El Niño akan mendorong peningkatan resiko iklim di wilayah Indonesia. Disamping itu anomali iklim dan cuaca regional berkaitan dengan El Niño diperburuk pula oleh peningkatan temperatur yang berkaitan dengan semakin tingginya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfir (Gambar 2.3).

Sumber : http://www.ncdc.noaa.gov/img/climate/research/1998/enso/ensotr2.gif

Gambar 2.3 Anomali temperatur permukaan global sepanjang 10 kejadian El Niño utama dalam abad ini (NCDC/NOAA)

17 Dalam dasawarsa terakhir ini frekuensi kejadian El Niño semakin sering terjadi. Selain tahun 1991, El Niño juga terjadi tahun 1994, 1997, 2002, 2003, 2006. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam tempo 12 tahun sudah terjadi enam kali El Niño.

Dokumen terkait