• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

H. Kerangka Teoretis

2. Fenomenologi

18

Pemujaan roh dan benda-benda itu muncul, karena sebelum Hinduisme datang, orang Jawa telah hidup teratur dengan animisme-dinamisme sebagai akar religiusitasnya, dan hukum adat sebagai pranata sosial mereka. Akar agama itu yang menyebabkan hadirnya ruang-ruang spiritual semakin bertambah.30

2. Fenomenologi

Pemilihan teori fenomenologi bertujuan untuk mengungkap makna tradisi sesusi diri di candi Jolotundo Desa Seloliman Kecamatan Trawas Mojokerto, sehingga makna tindakan manusia dapat diketahui melalui berbagai tindakan yang mereka lakukan. Fenomenologi adalah salah satu kerangka teori dalam filsafat yang berfokus pda kesadaran dan makna di balik suatu fenomena.

Kerangka teoretis fenomenologi yang dipakai dalam penelitian ini adalah fenomenologi Martin Heidegger. Perbedaan fenomenologi dan Heidegger adalah Edmund Husserl menekankan pada kesadaran intensionalitas (keterarahan) dan relasi antara subjek dan objek sehingga diperoleh pengetahuan yang mendalam antara subjek dan objek, sedangkan fenomenologi Martin Heidegger lebih condong kepada fenomenologis-eksistensialistik dalam suatu permasalahan manusia dan sekitarnya.

Istilah fenomenologi berasal dari bahasa Yunani yaitu fenomenon, yaitu sesuatu yang tampak, yang terlihat bercahaya, yang di dalam bahasa Indonesia berarti “gejala”. Jadi fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan suatu gejala atau fenomena yang menampakkan diri. Kata fenomenon (fenomen) atau

19

gejala dapat dipakai dalam bermacam-macam arti. Kata fenomen atau gejala dapat dipertentangkan dengan “kenyataan”. Fenomen bukanlah hal yang nyata, tetapi yang semu, demikianlah arti dari kata fenomen berarti “semu”. Kecuali kata fenomen dapat dipakai sebagai lawan “bendanya sendiri”, sehingga fenomen atau gejala berarti “petampakan”.31

Kata fenomenlogi lebih sering dipakai untuk mengungkap fenomena atau gejala yang dapat diamati oleh panca indra, dalam arti ini fenomenologi dipakai dalam ilmu pengetahuan alam. Namun para penganut fenomenologi juga berpendapat bahwa fenomenologi tidak hanya digunakan untuk mengamati suatu peristiwa yang dapat ditangkap oleh panca indra namun juga dapat dipakai untuk mengamati hal yang tidak tampak oleh panca indra tapi juga dapat digunakan untuk mengamati fenomen secara rohani.32

Fenomenologi dapat dijadikan sebagai metode filsafat dan dapat juga sebagai ajaran, pertama fenomenologi sebagai metode filsafat bertujuan untuk bahwa pengetahuan manusia betul-betul mempunyai, “Rechtsanspruch auf Gegestanliehkeit”, artinya kita mengerti dan dalam pengertian itu kita dapat mengatakan bahwa pengertian itu mempunyai obyek (Gegenstand). Tetapi benarkah begitu? Inilah sebenarnya yang dipersoalkan, yaitu kebenaran pengertian

31 Zaprulkhan, Filsafat Ilmu: Sebuah Analisis Kontemporer, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), 222.

20

manusia pada umumnya, dan kemudian Husserl mempersoalkan kebenaran ilmu pada khususnya.33

Untuk mematok suatu dasar yang tidak dapat dibantah bagi ilmu pengetahuan, Husserl memakai apa yang disebut sebagai metode fenomenologis. Metode ini dimulai dengan reduksi (pengurungan) ganda: (a) reduksi eidetik dan (b) reduksi fenomenologis. Reduksi eidetik menangguhkan keyakinan akan adanya ego, adanya kegiatan persepsi dan adanya keyakinan mengenai objek. Reduksi eidetik ini hanya mementingkan sesensi (eidos) objek-objek, tetapi dalam konkretnya yang purna. Dalam reduksi fenomenologi ketidaktergantungan objek-objek ini juga diletakkan dalam tanda kurung untuk sementara.34 Mudahnya, kegiatan reduksi eidetik bertujuan untuk menguak isi terpendam yang murni dari objek, yakni mengenai hal yang diketahui, keliru, ataupun tidak mendalam, sedangkan reduksi fenomenologi adalah menundanya putusan atau suspensi putusan awal terhadap objek.

Sedangkan fenomenologi sebagai ajaran, Husserl mengemukakan bahwa kata yang dipakai manusia mempunyai dua arti, yaiutu arti yang menunjuk dari jauh disebut intendeirende bedeutung, kata yang digunakan ketika orang tidak melihat barangnya. Arti yang lain adalah erfullende bedeutung, dugunakan ketika manusia melihat langsung barang yang dimaksudkan. Obyek yang kita lihat sesungguhnya unik, karena ia menghubungkan dengan sesuatu yang diluar dirinya, yang disebut sifat “intentional” maksudnya menuju ke suatu obyek lain.

33 Sudarman, “Fenomenologi Husserl sebagai metode Filsafat Eksistensial”, A-Adyan, No.2, Vol. IX (Juli-Desember, 2014), 109.

21

Obyek yang nampak dalam kesadaran manusia disebut oleh Husserl dengan Noema. Noema hanya satu meskipun penangkapan manusia berubah-ubah.35

Obyek yang sesungguhnya menurut Husserl adalah noema. Ia terdiri dari beberapa unsur (noemata), tetapi unsur-unsur tidaklah sentral. Obyek bisa betul-betul ada, tetapi bisa juga tidak ada. Jika betul-betul-betul-betul ada disebut obyek transenden, artinya da betul diluar pikiran. Lebih dari itu intelek manusia sangat konstruktif, ia membuat obyek. Maka menurut Husserl ketika kesadaran kita menangkap (Wahrnemung) berarti membuat atau mengkonstruksi.

Husserl mengatakan bahwa tidak ada kepastian tentang pengertian realitas. Sebab, barang-barang dunia (Dingwelt) tidak ada satupun yang dapat kita mengerti secara penuh, artinya tidak ada satupun realitas yang nampak secara definitif. Untuk menghadapi kesulitan ini maka kita harus mengadakan penyaringan yang terakhir. Semua yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak tentu harus kita “kurung” dulu. Termasuk “aku” yang terkungkung oleh jasmani atau “aku” yang empiris harus dikurung dulu. Jika semua sudah dikurung yang tinggal adalah kesadaran yang tidak empiris lagi, aku yang berada di atas segala pengalaman. Dengan demikian kita mengerti “das ich” yang transendental atau di atas segala yang tidak tentu, maka ditemukanlah “absolute apodiktische voraussetzung” atau dasar yang pasti dan tidak dapat dibantah lagi.36

Selanjutnya adalah kerangka teoretis fenomenologis-eksistensialistik dari Martin Heidegger . hal yang paling fundamental dari filsafat Heidegger adalah

35

Ibid., 110.

22

gagasan fenomenologis-eksistensialistik tentang keberadaan Dasein (ada atau eksistensi). Percakapan perihal Dasein tersebut tidak dimungkinkan tanpa pengetahuan tentang dunianya. Totalitas realitas Heidegger menempatkan Dasein mengada di tengah dunianya. Dunia (World) harus diklarifikasi serta dibedakan dari Alam (Nature). Alam adalah ide primordial yang melatarbelakangi dorongan Dasein membangun dunianya bersama alam tersebut.37

Dunia memang persatuan dari yang alamiah dan primordial dari kultural serta inventif dari subjek. Heidegger menggarisbawahi fusi ini, ada proses keterlemparan subjek ke dalam dunianya, ia mesti bertahan. Survivalitas itu, resistensi atau rekognisi terhadap dunianya, penanda dari otentisitas Dasein. Keseharian Dasein menjadi petunjuk betapa berdampaknya dunia terhadap proses kesadaran subjek. Mulanya, subjek merasakan ambiguitas, rasa heran, rasa ingin tahu yang menggerakkan dirinya ke arah pemahaman dunianya. Ia menyimpulkan ia terjatuh ke dalam dunia ini. Ia harus mampu beradaptasi dengan keterlemparan tersebut.38

Menurut Heidegger manusia mencoba untuk menghilangkan ketakutannya dengan menyamarkannya dengan kehidupan yang konvensional dan „tidak autentik‟.39 Sehingga untuk melihat keautentikan Dasein tidak melalui keseharianya, apabila Dasein tidak larut dalam kesaharian dan rutinitas maka dia akan terkucilkan dari kelompok, begitupun sebaliknya apabila Dasein lebih

37 Saras Dewi, Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia Dengan Alam, (Tangerang Selatan:Marjin Kiri, 2018), 104.

38 Ibid..

39

Henryk Misiak, Virginia Staud Sexton, Psikologi Fenomenologi, Eksistensial Dan Humanistik:

23

memilih untuk untuk larut dalam kesehariannya maka Dasein akan kembali terlempar dari dirinya sendiri, sehingga Dasein di sini memikul dua nasib dirinya.

Satu yang penting yang kerap diabaikan begitu saja oleh manusia atau Dasein, berada-di-dalam-dunia (Sein). Tetapi sebutan In-der-Welt-Sein untuk manusia itu merupakan sebuah pendirian mendasar bahwa eksistensi manusia (Dasein) terbatas di dunia ini. Dengan menyebut Dasein sebagai In-der-Welt-Sein berarti tidak ada dunia kedua bagi Dasein. Manusia adalah makhluk yang hidup di dunia ini. Titik. Begitu dia tidak lagi ada di dalam dunia ini, dia tidak lagi Dasein.

Kata „dunia‟ (Welt) bisa berarti ontis yakni seluruh Mengada atau realitas, bisa ontologis, yaitu Ada dari Mengada, tapi juga bisa eksistensial, yaitu sifat keduniaan Dasein. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa dunia yang dimaksud bukan bumi atau alam semesta belaka, melainkan sudut pandang Dasein terhadap tempat yang dia mukimi (bewohnt). Hanya Dasein-lah Mengada yang bisa menduniakan ruang tempat dia berada. Karena itu subjek mengenal dunia artis, dunia olahraga, dunia ilmu dan lain sebagainya. Dunia-dunia ini bukan ruang kosong yang netral, melankan telah dimaknai oleh keberadan Dasein. Dari sini dapat dipahami mengapa ruang fisik mendapat pemaknaan yang berbeda-beda. Bagi orang Jawa, misalnya, arah-arah mata angin bisa sangat berarti untuk memberi rasa memiliki orientasi hidup, seperti juga letak-letak rumah dan tata ruang dalam Feng Shui merupakan pemaknaan terhadap ruang fisik.. shalat yang

24

berkiblat ke Mekkah menduniakan ruang kecil di pojok kantor sebagai dunia religius mini.40

Dalam hal ini, sketsa fenomenologis adalah sebuah metodologi berfikir yang mengutamakan aktivitas pemikiran akal budi yang sifatnya memberikan refleksi dan gambaran terhadap berbagai aktivitas yang berkesinambungan. Setiap peristiwa dan berbagai pengalaman hidup bukanlah sekedar kejadian biasa. Melainkan kejadian yang memiliki arti, makna mendalam dan saling berelasi atau berkesinambungan membentuk sebuah makna mendasar terhadap peristiwa dan pengalaman hidup manusia pada umumnya.41

Tidak ada peristiwa atau pengalaman hidup manusia yang sama sekali tidak memiliki makna bagi individu. Peristiwa sekecil apapun dianggap sebagai kejadian yang penting menjadi pengalaman hidup seseorang. Bahkan kejadian atau peristiwa hidup yang kecil itu, bukan mustahil memiliki relevansi atau keterkaitan dengan pengalaman hidup manusia lainnya. Atau juga, pengalaman-pengalaman kecilpun bukan tidak mustahil merupakan refleksi dari berbgai peristiwa yang berada di luar pengalaman individu yang mengalami peristiwa itu.