• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori maqasid syariah dalam ilmu hukum Islam dipopulerkan oleh Abu Ishaq as-Syatibi pada abad 8 H. Imam Syatibi melalui bukunya al-Muwafaqat telah meletakkan pondasi untuk kajian ini. Idenya adalah mengkategorikan maqasid syari'ah ke dalam dua kelompok besar. pertama, maqasid as syari' (tujuan pembuat syari'ah yaitu Allah swt. dan Rasul-Nya), kedua, maqasid al-mukallaf (tujuan para hamba yang menjadi target hukum). Dengan dua kategori pokok ini, imam Syatibi kemudian menekankan kajiannya seputar maqasid syari'ah pada enam point berikut:62

1. Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membuat syari'at agama bagi umat manusia.

2. Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam memberikan pemahaman tentang syari'at kepada umat manusia.

3. Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam membebankan hukum syari'at pada umat manusia.

4. Tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam mentargetkan hukum syari'at hanya pada kalangan mukallaf (orang dewasa dan berakal sehat) saja.

5. Tujuan manusia dalam menjalankan hukum-hukum syari'at. 6. Metode untuk menguak maqasid syari' (tujuan Allah dan

Rasul-Nya)

Teori maqasid syari’ah Syatibi, yang dibagi kepada 5 jenis dan 3 tingkatan, kemudian menjadi sangat populer dan mempengaruhi berbagai tokoh pemikir Hukum Islam. Mayoritas ulama yang mempunyai pemikiran tentang maqasid syari’ah mempunyai kemiripan atau kesamaan dengan konsep Syatibi.

62 Nuruddin Mukhtar, al-Ijtihad al-Maqasidi (Qatar: Maktabah Surah, 1998), h. 50.

Maqasid syariah, maqasid syar'i dan al-maqasid al-syar'iyyah

adalah istilah-istilah yang mempunyai maksud yang sama.63 Para ulama terdahulu tidak mendefinisikan maqasid syariah secara jelas dan terperinci. Ibnu Qayyim umpanya, ia hanya menyatakan bahwa

maqasid adalah maslahah. Syariat Islam didasarkan pada hikmah dan

maslahah. Baik hikmah dan masalahah tersebutlah yang disebut dengan maqasid.

Pembahasan definitif istilah ini banyak dipelopori oleh ulama kontemporer. Seperti Muhammad al-Tahir bin 'Asyur yang menyatakan bahwa maqasid syariah ialah makna dan hikmah yang menjadi perhatian syarak dalam semua keadaan pensyariatan atau dalam sebahagian besar pensyariatannya.64

Al-Husni mengemukakan bahwa yang dimasud dengan maqshid syari’ah adalah tujuan yang memberikan kebaikan yang dikehendaki oleh hukum-hukum syari‟at dan makna yang dikehendaki

oleh Allah.65

Pemikiran tentang maqashid as-syari’ah dihubungkan kepada Ibnu Taimiyah sebagai tokoh pertama paling populer yang mengembangkan teori maqashid as-syari’ah. Yusuf Ahmad al-Badwi, menyimpulkan dari penelitiannya terhadap berbagai karya Ibn Taimiyyah bebrapa poin yang berhubungan dengan maqasid syariah

menurut pandangan Ibnu Taimiyah sebagai berikut:66

1. Akibat, tujuan, kebaikan, objektif, hikmah, kehendak, keperluan adalah istilah yang mempunyai maksud yang sama.

2. Allah mempunyai tujuan dan kehendak dalam penciptaan dan perintah-Nya.

63Ahmad al-Rusaini, Nazariyat al-Maqashid Inda al-Imam al-Syathibi (Beirut: Muassasah al-Jamiah, 1992), h. 17.

64Moh Thahir Ibn „Asyur, Maqashid Syari‟at al-Islamiyah, (Yordan: Dar Nafais, 2001), h. 251.

65 al-Rusaini, Nazariyat , h. 119.

66Yusuf Ahmad Muhammad al-Badwi, Maqasid al-Syari'ah 'Inda Ibn Taimiyyah

3. Tujuan-tujuan tersebut tersebut merupakan kehendak Allah dalam syarak-Nya dan disukai olehNya karena mencerminkan penghambaan kepada-Nya.

Secara definitif, maqasid Syaria‟ah ialah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan ini dapat ditelusuri dalam ayat-ayat al-Qur‟an dan Sunnah Rasul sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.67

Maqasid Syaria‟ah yang ditujukkan melalui hukum-hukum Islam dan ditetapkan berdasarkan nash-nash agama adalah maslahat hakiki. Maslahat ini mengacu terhadap pemeliharaan terhadap lima hal: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Kehidupan dunia ditegakkan atas lima pilar tersebut, tanpa terpeliharanya kelima hal ini tidak akan tercapai kehidupan manusia yang luhur secara sempurna.

Kemuliaan manusia tidak bisa dipisahkan dari pemeliharaan lima hal yang merupakan inti dari maqasid syari’ah. Abu Zahrah menjelaskannya sebagai berikut:68:

1. Memelihara Agama (al-Muhafazhah ala al-Diin)

Agama merupakan keharusan bagi manusia, dengan nilai-nilai kemanusiaaan yang dibawa oleh ajaran agama, manusia lebih tinggi derajatnya dari derajat hewan. Sebab keagamaan adalah ciri khas manusia.

Dalam rangka memelihara dan mempertahankan kehidupan beragama serta membentengi jiwa dengan nilai-nilai keagamaan itulah, maka berbagai macam ibadah disyariatkan. Ibadah-ibadah itu dimaksudkan untuk membersihkan jiwa dan menumbuhkan semangat keberagamaan.

2. Memelihara Jiwa (al-Muhafazhah ala an-Nafs)

67 M. Zein Satria Efendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), h. 233.

Ialah memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa agar terhindar dari tindakan pengganiayaan, berupa pembunuhan, pemotongan anggota badan maupun tindakkan melukai.

Termasuk juga memelihara kemuliaan atau harga diri manusia dengan jalan mencegah perbuatan qadzaf (menuduh zina), mencaci maki serta perbuatan-perbuatan serupa. Atau, berupa pembatasan gerak langkah manusia tanpa memberi kebebasan untuk berbuat baik, karenanya Islam melindungi kebebasan berkarya (berprofesi), kebebasan berfikir dan berpendapat, kebebasan bertempat tinggal serta kebebasan-kebebasan lain yang bertujuan menegakan pilar-pilar kehidupan manusia yang terhormat serta bebas bergerak ditengah dinamika sosial yang utama sepanjang tidak merugikan orang lain.

3. Memelihara Akal (al-Muhafadzah ala al-„Aql)

Ialah terjaminnya akal fikiran dari kerusakan yang menyebabkan orang yang bersangkutan tak berguna di tengah masyarakat, menjadi sumber kejahatan, atau bahkan menjadi sampah masyarakat. Upaya pencegahan yang bersifat prefentif yang dilakukan syariat Islam sesungguhnya ditujukan untuk meningkatkan kemampuan akal pikiran dan menjaganya dari berbagai hal yang membahayakannya. Diharamkannya meminum arak dan segala sesuatu yang memabukkan/menghilangkan daya ingatan adalah dimaksudkan untuk menjamin keselamatan akal. 4. Memelihara Keturunan (al-Muhafadzah ala an-Nasl)

Ialah jaminan kelestarian populasi umat manusia agar tetap hidup dan berkembang sehat dan kokoh, baik pekerti serta agamanya. Hal itu dapat dilakukan melalui penataan kehidupan rumah tangga dengan memberikan pendidikan dan kasih sayang kepada anak-anak agar memiliki kehalusan budi pekerti dan tingkat kecerdasan yang memadai.

5. Memelihara Harta (al-Muhafadzah ala al-Mal)

Mencegah perbuatan yang menodai harta, misalnya ghashab, pencurian. Mengatur sistem muamalah atas dasar keadilan dan kerelaan serta mengatur berbagai transaksi ekonomi untuk meningkatkan kekayaan secara proporsional melalui cara-cara yang halal, bukan mendominasi kehidupan perekonomian dengan cara yang lalim dan curang.

Maslahat/Maqasid Syari‟ah sebagaimana terumuskan dalam kelima segi diatas tidak berada pada satu tingkatan. Akan tetapi menurut penelitian Abu Ishaq al-Syatibi terbagi menjadi tiga tingkatan, yakni:69

1. Kebutuhan Dharuriyat (Primer)70

Ialah kemaslahatan yang menjadi dasar tegaknya kehidupan asasi manusia baik yang berkaitan dengan agama maupun dunia. Jika dia luput dari kehidupan manusia maka mengakibatkan rusaknya tatanan kehidupan manusia tersebut. Zakaria al-Biri menyebutkan bahwa maslahat dharuriyat ini merupakan dasar asasi untuk terjaminnya kelangsungan hidup manusia. Jika ia rusak, maka akan muncul fitnah dan bencana yang besar.

Yang termasuk dalam lingkup marsalah dharuriyat ini ada lima macam, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Umumnya ulama ushul fikih sependapat tentang lima hal tersebut sebagai maslahat yang paling asasi.

Imam al-Ghazali menerangkan:

Memelihara kelima hal tersebut termasuk kedalam tingkatan dharuriyat. Ia merupakan tingkatan maslahat yang paling kuat. Diantara contoh-contoh nya, syara‟ menetapkan hukuman mati

69 Romli. Muqaramah Mazahib fi Ushul (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 157.

atas orang kafir yang berbuat menyesatkan orang lain dan menghukum penganut bid‟ah yang mengajak orang lain kepada bid‟ahnya, karena hal demikian mengganggu kehidupan masyarakat dalam mengikuti kebenaran agamanya; memasyarakatkan hukuman qishas,. karena dengan adanya ancaman hukuman ini dapat terpelihara jiwa manusia; mewajibkan hukuman had atas peminum khamar, karena dengan demikian dapat memelihara akal yang menjadi sendi taklif; mewajibkan had zina, karena dengan hal itu dapat memelihara nasab (keturunan); mewajibkan mendera pembongkar kuburan dan pencuri, karena dengan demikian dapat memelihara harta yang menjadi sumber kehidupan dimana mereka sangat memerlukannya.”71

Secara umum, menghindari setiap perbuatan yang menggakibatkan tidak terpeliharanya salah satu dari kelima hal pokok (maslahat) tersebut, tergolong dharury (prinsip). Syariat Islam sangat menekankan pemeliharaan hal tersebut, sehingga demi mempertahankan nyawa (kehidupan) dibolehkan makan barang terlarang (haram), bahkan diwajibkan sepanjang tidak merugikan orang lain. Karena itu bagi orang dalam keadaan darurat yang khawatir akan mati kelaparan, diwajibkan memakan bangkai, daging babi dan minum arak.

2. Kebutuhan hajjiyat (Sekunder)

Ialah segala sesuatu yang oleh hukum syara‟ tidak dimaksudkan untuk memelihara lima hal pokok tadi, akan tetapi dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan, kesusahan, kesempitan dan ihtiyath

(berhati-hati) terhadap lima hal pokok tersebut.

Dalam lapangan ibadah Islam, mensyariatkan beberapa hukum

rukhshah (keringganan) bilamana kenyataan mendapatkan kesulitan dalam menjalankan perintah-perintah taklif. Misalnya, Islam

memperbolehkan tidak berpuasa dalam perjalankan dalam jarak tertentu dengan syarat diganti pada hari lain begitu pula untuk orang yang sedang sakit. Kebolehan meng-qasar shalat adalah juga dalam rangka memenuhi kebutuhan hajiyat ini.

Didalam lapangan muamalat, ialah diperbolehkannya banyak bentuk transaksi yang dibutuhkan manusia, seperti akad muzara‟ah, salam, murabahab, dan mudharabah.

Dilapangan ‟uqubah (sanksi hukum), islam mensyariatkan hukuman diyat (denda) bagi pembunuhan tidak disengaja.

Perlu ditegaskan bahwa termasuk dalam katagori hajjiyat

adalah memelihara kebebasan individu dan kebebasan beragama. sebab manusia membutuhkan kedua kebebasan ini. Akan tetapi terkadang manusia menghadapi kesulitan. Termasuk hajjiyah dalam keturunan, ialah diharamkan berpelukan. Sedang hajjiyat dalam hal harta, seperti diharamkan ghasab dan merampas, keduanya tidak menyebabkan lenyapnya harta, karena masih mungkin untuk diambil kembali, sebab keduanya dilakukan secara terang-terangan. Sedangkan hajjiyat yang berkaitan dengan akal seperti diharamkannya meminum khamar walau hanya sedikit.

3. Kebutuhan Tahsiniyat (Tersier) atau Kamaliyat (Pelengkap)

Ialah tingkat kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak mengancam eksistensi salah satu dari kelima pokok diatas serta tidak pula menimbulkan kesulitan.

Yang dimaksud dengan maslahat jenis ini ialah sifatnya untuk memelihara kebagusan dan kebaikan budi pekerti serta keindahan saja. Sekiranya kemaslahatan tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan tidaklah menimbulkan kesulitan dan kegoncangan serta rusaknya tatanan kehidupan manusia. Dengan kata lain

kemaslahatan ini hanya mengacu pada keindahan saja. Sungguhpun demikian kemaslahatan seperti ini dibutuhkan oleh manusia.

Dalam lapangan ibadah disyariatkan hal-hal yang berhubungan dengan kebutuhan tahsiniyat seperti islam menganjurkan berhias ketika hendak kemesjid, dan menganjurkan banyak ibadah sunnah.

Dalam lapangan muamalat Islam melarang boros, kikir, menaikan harga, monopoli dan lain-lain.

Dalam lapangan ‟uqubah islam memgharamkan membunuh anak-anak dan wanita dalam peperangan, serta melarang melakukan

muslah (menyiksa mayit dalam peperangan)

Di antara contoh tahsinat yang berkaitan dengan memelihara harta adalah diharamkan menipu atau memalsukan barang. Perbuatan ini tidak menyentuh secara langsung harta itu sendiri (eksistensinya), tetapi menyangkut kesempurnaannya. Sebab hal ini berlawanan kepentingan dengan keingginan membelanjakan harta secara terang dan jelas, serta keinginan memperoleh gambaran yang tepat tentang untung rugi. Jelaslah kiranya hal ini tidak membuat cacat terhadap harta pokok (ashul mal), akan tetapi berbenturan dengan kepentingan orang lain yang membelanjakan hartanya.

Contoh tahsinat yang berkenaan denagan memelihara keturunan adalah diharamkan seorang wanita keluar rumah dengan menggenakan perhiasan. Dalam firman Allah:

                                         

                                        

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (An-Nur : 31)72

Larangan wanita memakai perhiasan di luar rumah ini termasuk kategori tahsinat, karena memelihara kesempurnaan ashl nasl (pokok keturunan). Selain itu larangan tersebut sebagai wujud dari kehormatan, kemuliaan, dan dapat menggangkat harkat wanita yang pada dewasa ini diletakkan pada tempat yang rendah.

Tahsinat dalam kaitan dengan memelihara agama diantaranya adalah larangan terhadap dakwah yang menyimpang, yang tidak menyentuh pokok keimanan (ashlul itiqad), dimana semakin genjarnya gerakan dakwah semacam ini malah menimbulkan keraguan terhadap ajaran islam. Demikian pula larangan

mempelajari kitab-kitab yang sumber-sumber ajaran agama lain bagi orang yang tidak mampu melakukan studi perbandingan secara rasional dan mendalam diantara kebenaran-kebenaran agama.

Sedangkan tahsinat yang berkaitan dengan memelihara akal, contohnya seperti melarang kafir dzimmy meminum dan menjual

khamar ditengah masyarakat muslim, walaupun minuman keras tersbut dijual khusus untuk kalangan kafir dzimmi sendiri.

Dokumen terkait