• Tidak ada hasil yang ditemukan

Film Dokumenter dan Klaim Kebenaran

Dalam dokumen Rekonstruksi Memori Tahun 1965 Film. (Halaman 30-34)

Film dokumenter dipilih oleh LKK sebagai medium untuk menceritakan sejarah tentang peristiwa 1965 dari sudut pandang yang mereka pilih. Mengenai film dokumenter, Bill Nichols (dalam Casebier, 1991) mengajukan dua proposisi: What you see is what there was. What there was is what there would have been. (Apa yang Anda lihat adalah apa yang terjadi. Apa yang terjadi adalah apa yang akan berlangsung[di dalam film tersebut]). Proposisi “what you see is what there was”, mengajak kita untuk meyakini bahwa akses khalayak terhadap peristiwa pro-filmis (pro-filmic event) itu utuh dan tidak dimediasikan. Artinya, persepsi yang dibangun oleh khalayak mengenai peristiwa yang diangkat melalui film tersebut tidak dipengaruhi atau diintervensi oleh kamera ataupun aspek sinematik lainnya – what there was is what there would have been.

Dengan klaim ontologis sebagai yang “riil” ini pula, rejim Orde Baru juga menggunakan film dokumenter untuk membangun struktur logika berpikir masyarakat tentang tragedi 1965. Sejak awal berkuasa, militer – sebagai kekuatan utama pendukung Orde Baru, telah memahami kekuatan film sebagai alat propaganda. Ariel Heryanto (Tempo, 2012) menyebutkan bahwa pada 15 April 1969, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)5 mengeluarkan keputusan tentang dibentuknya “Projek film Kopkamtib” untuk memproduksi film dokumenter sebagai “media psywar”. Bahkan jauh sebelum “Djakarta 1966” diedarkan, rezim Orde Baru telah membuat sejumlah film propaganda. Selain “Janur Kuning” (Alam Surawidjja, 1979) dan “Serangan Fajar” (Arifin C. Noer, 1981) yang membesar-besarkan jasa Soeharto dalam perang di Yogyakarta 1945, ada dua film lain bertema gejolak politik 1965: “Pengkhianatan G30S/PKI” (1984) dan “Penumpasan Sisa PKI Blitar Selatan” (1986). Film Operasi X (Misbach Yusa Biran, 1968) bertema mirip, dengan intelijen militer sebagai pahlawan. Sementara itu, beredar sebuah film drama produksi swasta hampir bersamaan waktu dengan “Djakarta 1966”, yakni “Gema Kampus 66” (Asrul Sani, 1988). Puncak dari semua film propaganda antikomunis adalah film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer. Bagi

        5

Menurut Laporan Komnas HAM 2012, Kopkamtib merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab atas kejahatan berat kemausiaan dalam kurun 1965-1966.

sebagian besar masyarakat, film ini menjadi satu-satunya sumber informasi resmi (sekaligus disinformasi dan misinformasi) yang tersedia, tentang apa yang mungkin terjadi di Jakarta pada 1965. Segala bentuk diskusi dan terbitan yang meragukan, apalagi berbeda dengan propaganda pemerintah, dilarang dengan ancaman hukuman pidana bagi pelanggarnya. Kerangka bertutur dalam film ini membentuk kerangka utama logika-retorika masyarakat puluhan tahun berikutnya, hingga kini. Mengenai hal ini, Wiranegara mengungkapkan bahwa klaim atas kebenaran yang menjadi kelebihan dari film dokumenter, pada saat yang bersamaan juga akan menjadi kelemahan jika tidak digunakan dengan bijak. “Yang harus diperhatikan adalah jangan sampai film dokumenter digunakan untuk kebohongan. Kita tahu bahwa film itu media yang tanpa tuan. Kalau kita salah-gunakan, ya kita tahu sendiri lah akibatnya. Orang lain mungkin tidak tahu, tapi batin kita lah yang tahu”.

Selain menjadikan film sebagai alat propaganda politik, berbagai kebijakan pemerintah Orde Baru ditujukan untuk mematikan berbagai gagasan atau pemikiran yang berseberangan dengan kepentingan politik mereka. Kurnia (2004) mengatakan bahwa Orde Baru telah menggunakan kebijakan sensor untuk mengendalikan film sebagai instrumen pendidikan politik. Dalih menjaga stabilitas dan keamanan nasional menjadikan arah kebijakan sensor sangat politis. Namun pada September 1998, Wapres Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Soeharto, mencabut kewajiban tayang film Pengkhianatan G30S/PKI. Hal ini dilakukan untuk memberi kesan pemerintahannya berbeda dengan Orde Baru. Disusul kemudian, para sineas – baik aktivis, organisasi-organisasi HAM, maupun sineas profesional, mulai melakukan gugatan atas diskursus politik Orde Baru melalui film-film produksi mereka. Salah satunya adalah LKK yang secara sadar ingin memberikan kontribusi bagi upaya untuk membangun kembali memori kolektif Bangsa Indonesia mengenai peristiwa 1965 melalui film-film produksi mereka.

V. KESIMPULAN

Peristiwa 1965 di Indonesia melahirkan berbagai intentional memory6 mengenai siapa korban, siapa pelaku kejahatan, berapa korban yang jatuh, berapa yang terbunuh saat ‘operasi penumpasan’, berapa yang dipenjarakan, dan lain-lain. Sementara memori yang spontan (spontaneous memory), khususnya yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, nyaris tenggelam dalam wacana besar ‘operasi ketertiban untuk menumpas pemberontakan G 30 S/PKI’ sebagai sebuah struktur ingatan yang ingin dibangun oleh rejim Orde Baru. Elit politik memang seringkali mengambil keuntungan dari struktur memori kolektif yang mereka bangun tersebut. Namun setelah rejim Orde Baru tumbang, struktur ingatan tersebut mulai mendapatkan tantangan dari berbagai pihak yang mencoba mendekonstruksi realitas bentukan Orde Baru tersebut. Melakukan dekonstruksi terhadap memori kolektif yang telah mapan selama berpuluh-puluh tahun dalam masyarakat, yang pada akhirnya menjadi struktur diskursif yang dominan, bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Tetapi juga tidak mustahil. Menurut Maurice Halbwachs (dalam Veorvsek, 2013), memori kolektif adalah hasil konstruksi sosial yang karenanya dapat di-dekonstruksi. Memori bukan-lah sejarah, meskipun batas-batas antara keduanya seringkali kabur. Tidak seperti sejarah, memori tidak berkaitan dengan fakta-fakta objektif, melainkan bagaimana sebuah peristiwa di masa lalu dipahami. Mengenai memori, sejarawan Amerika Martin Duberman menambahkan, “The past will always remain ‘uncompleted’: we will never grasp its meaning whole, never understand its influence over our lives to the extent we might like, nor be able to free ourselves from that influence to the degree may might wish”. Pada

       

6

 Filsuf Henri Berson mengatakan ada dua aspek dalam memori, yaitu intentional dan spontaneous memory.

Intentional memory tersusun atas kode-kode dan dapat dilacak (encoding and retrieval); ingatan ini bertujuan, biasanya muncul dalam bentuk kuantitatif. Misalnya ingatan mengenai kapan suatu peristiwa terjadi, berapa korbannya, siapa saja, dari mana saja, berapa kerugian, dan lain-lain. Sedangkan spontaneous memory tidak terencana, tidak terorganisir, insidental, biasanya bersifat kualitatif. Misalnya ingatan mengenai rasa sakit yang ditimbulkan pada saat suatu peristiwa terjadi, perasaan yang muncul pada saat itu, reaksi emosional sesudahnya, dan lain-lain. Intentional memory dapat memudar seiring berjalannya waktu jika ada informasi lain yang dianggap lebih relevan, sementara spontaneous memory akan terus ‘dibawa’ oleh orang-orang yang mengalami suatu peristiwa.

Spontaneous memory akan luntur jika ingatan tersebut tidak diwariskan (dituturkan dan dicatatkan). Orang-orang yang hidup pada saat suatu peristiwa terjadi akan berbagi kedua memori tersebut. Proses mengingat yang dilakukan sedemikian banyak orang pada suatu waktu, kemudian akan diwariskan ke generasi berikutnya untuk membentuk struktur ingatan kolektif tertentu. Ingatan kolektif ini akan terus ada, meski waktu dan tradisi berubah. Tapi bagi generasi yang datang berikutnya, mereka hanya akan berbagi memori yang intentional saja. Padahal memori yang

spontaneous-lah yang akan mengidentifikasikan seseorang sebagai bagian dari sebuah kolektivitas. Karenanya, ingatan yang spontaneous ini juga harus dijaga dan diwariskan.

akhirnya, memori kolektif adalah hasil dari proses konstruksi yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan manusia. Karenanya, memori muncul dalam banyak ‘wajah’ yang akan saling melengkapi sehingga narasi tentang masa lalu akan menjadi ‘utuh’. Sebagai sebuah upaya untuk melengkapi narasi masa lalu inilah, LKK memproduksi film-film bertema 1965 dengan memberikan ruang bagi para korban dan keluarganya untuk menuturkan ingatan mereka. Pilihan perspektif ini tentu saja membuat film LKK memiliki ‘wajah’ yang berbeda dengan film-film propaganda Orde Baru yang selama ini menjadi acuan sejarah bagi Bangsa Indonesia.

Pada akhirnya, setiap (film) dokumenter akan mencoba mengajukan “klaim kebenaran”-nya masing-masing dan memposisikan diri mereka dalam hubungannya dengan sejarah. Begitu juga dengan film-film dokumenter mengenai peristiwa 1965 yang diproduksi pada masa dan pasca Orde Baru, masing-masing mencoba untuk mengajukan klaim kebenaran sejarahnya. Klaim-klaim ini akan saling berkontestasi dalam interaksinya dengan khalayak. Dalam konteks inilah, “pembacaan teks” menjadi proses penting yang menentukan klaim kebenaran siapa yang akan memenangkan pertarungan di medan wacana ini.

Dalam dokumen Rekonstruksi Memori Tahun 1965 Film. (Halaman 30-34)

Dokumen terkait