• Tidak ada hasil yang ditemukan

PESISIR TELUK LAMPUNG

4.1 Fisik Wilayah 1 Luas wilayah

4.1.3 Fisik kimia perairan Batimetr

Teluk Lampung merupakan salah satu dari dua teluk di ujung paling Selatan Pulau Sumatera, Kota Bandar Lampung terletak pada pangkal teluk, dan bagian mulut teluk (arah Selatan-Tenggara) berhadapan langsung dengan Selat Sunda yang merupakan perairan penghubung antara Laut Jawa di sebelah utara dan Samudera Hindia di selatan. Deskripsi batimetri Teluk Lampung didasarkan pada Peta Sumatera-Pantai Selatan, Teluk Kalumbayan hingga Pulau-pulau Tiga skala 1:75.000 dengan inset Pelabuhan Panjang skala 1:25.000 dan Pelabuhan Batubara Tarahan skala 1:20.000 (Dishidros TNI-AL 1998).

Dasar laut di sisi utara teluk (pangkal teluk) relatif landai, dengan kedalaman -5 sampai dengan -20 m LWS. Semakin ke arah selatan, kedalaman dasar laut semakin meningkat, dan cenderung semakin curam, di Tanjung Tua dan arah selatan Pulau Legundi (Kabupaten Pesawaran), dasar laut menjadi sangat curam dengan kedalaman mencapai -100 m LWS pada jarak sekitar 1 km dari pantai. Pada sisi timur teluk (Kabupaten Lampung Selatan), dasar laut masih relatif landai, dengan kedalaman terdalam sekitar -40 m LWS, seperti disajikan pada Gambar 20.

 Tipe pasut semi diurnal campuran, yaitu terjadi dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya. Pasang dan surut pertama akan berbeda dengan yang kedua, yang biasa disebut sebagai ketidaksamaan harian.

Pasang surut

Deskripsi mengenai pasang surut (pasut) Teluk Lampung didapatkan dari informasi Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), PT. Pelindo II Cabang Panjang (2001), serta pengolahan data pasut dari Dishidros TNI-AL (2003). Karakteristik pasut Teluk Lampung adalah sebagai berikut:

 Dalam satu bulan terjadi dua kali pasang tinggi dan dua kali pasang rendah. Pada saat pasang tinggi maka akan terjadi pasang yang sangat tinggi dan surut yang sangat rendah. Sedangkan pada saat pasang rendah akan terjadi pasang dan surut yang sangat kecil.

 Pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung mempunyai kisaran tunggang pasut maksimal sebesar 143,8 cm.

 Satu periode pasut di kawasan pantai Teluk Betung, Bandar Lampung adalah antara 10 jam hingga 14,5 jam.

No.

Arus dan Sedimen

Arus di Teluk Lampung utamanya dibangkitkan oleh pergerakan massa air Samudera Hindia dan Laut Jawa. Massa air laut pasang Samudera Hindia dan Laut Jawa, masuk ke dalam teluk dari arah selatan ke arah utara dengan volume massa air yang cukup besar. Pulau-pulau yang berada di selatan menyebabkan terjadinya pembelokan arah massa air, sebagian kecil berbelok ke barat daya (sisi kiri teluk) dan sebagian besar ke timur laut (sisi kanan teluk) dengan arah akhir barat daya. Pembelokan gerakan massa air pasang sisi kanan membentur sisi kanan teluk, dan selanjutnya, terjadi pembelokan dengan arah timur-barat. Pada waktu air laut surut massa air akan keluar dari teluk (Helfinalis 2000).

Arus di Teluk Lampung terdiri dari arus pasut yang dibangkitkan oleh pasut, dan arus non pasut yang utamanya dibangkitkan oleh angin. Data mengenai arus pasut yang diacu dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Arus pasut di Teluk Lampung

Kedalaman Kondisi Pasut V maks (knot) Arah (o)

1 0,2 D Surut 0,34 258 Pasang 0,40 344 2 0,5 D Surut 0,26 206 Pasang 0,36 294 3 0,8 D Surut 0,34 103 Pasang 0,34 334

Keterangan: D = kedalaman -16 m, lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung

Sumber : Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)

Berdasarkan hasil kajian pada Atlas Sumberdaya Wilayah Pesisir Lampung (Wiryawan et al. 1999), iklim di perairan pesisir, terutama Pantai Barat Lampung dipengaruhi oleh Samudera Hindia yang dicirikan oleh adanya angin muson dan curah hujan yang tinggi. Angin berhembus dari arah Selatan selama bulan Mei sampai September, dan dari arah yang berlawanan selama bulan November sampai Maret. Berlawanan dengan arah angin, arus musim di Pantai Barat Lampung sepanjang tahun mengalir ke arah tenggara hingga barat daya.

90

Gambar 20 PETA PERAIRAN

Kondisi angin musim tersebut mempengaruhi gradien tekanan antara perairan di barat laut dan tenggara dari pantai barat Sumatera. Kekuatan arus berkisar antara 0,02-0,87 knot. Pada musim barat antara bulan november hingga maret, arus mengalir dengan kecepatan 0,52-0,87 knot dan mencapai kecepatan maksimum pada bulan desember. Arus pada musim barat ini mengalir dengan tetap menuju ke arah tenggara. Sedangkan arus pada musim timur antara bulan april hingga oktober melemah dengan kisaran kecepatan 0,02-0,70 knot. Pada bulan juli arus mencapai minimum, berkisar antara 0,02-0,10 knot.

Pada mulut Teluk Lampung, kekuatan arus rata-rata bulanan berkisar antara 0,02-0,87 knot, dimana kecepatan maksimum terjadi pada bulan januari dan februari, dan kecepatan minimum pada bulan maret dan april. Arus rata-rata bulanan di Selat Sunda ini umumnya mengalir ke arah Samudera Hindia, kecuali pada bulan maret, agustus, dan oktober. Pada bulan maret, arus mengalir ke timur laut (dari Samudera Hindia menuju Laut Jawa) dengan kecepatan rata-rata 0,02 knot. Pada bulan agustus dan oktober, arus mengalir ke timur dengan kecepatan 0,45 knot pada agustus dan 0,10 knot pada oktober.

Sebaran sedimen di Teluk Lampung cukup bervariasi mengikuti pola arus yang terjadi (Helfinalis 2000; Witasari dan Wenno 2000). Hasil penelitian Helfinalis (2000) di Teluk Lampung, menunjukkan bahwa pada lokasi-lokasi dasar perairan yang dipengaruhi oleh arus pasut yang cepat akan didominasi pasir; dan sebaliknya yang dipengaruhi oleh pergerakan arus pasut lemah akan didominasi sedimen lumpur. Sedimen pasir yang berasal dari aliran sungai akan diendapkan di sekitar muara sungai, sedangkan lanau dan lempung diendapkan di dasar perairan lepas pantai.

Hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) menunjukkan bahwa gelombang di Teluk Ratai pada musim barat memiliki ketinggian antara 0,5-0,75 m, dan pada saat cuaca buruk dapat mencapai lebih dari 1,5 m. Pada musim timur, tinggi gelombang antara 0,3-0,6 m. Menurut pencatatan Dishidros TNI-AL antara

Gelombang

Informasi gelombang di Teluk Lampung didasarkan pada hasil survei Dishidros TNI-AL (1994) di Teluk Ratai (bagian dari Teluk Lampung), serta data pengamatan gelombang dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999).

tanggal 8 Januari sampai dengan 16 Februari 1994, menunjukkan tinggi gelombang berkisar antara 0,2-1,0 m.

Berdasarkan data pengamatan tinggi gelombang maksimum dari Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999), didapatkan informasi tambahan informasi gelombang Teluk Lampung. Pergerakan gelombang dominan yang terjadi adalah dari arah tenggara dan selatan dengan persentase kejadian berturut-turut sebesar 26,48% dan 31,83%. Tinggi gelombang maksimum yang paling dominan adalah >50 cm dengan persentase kejadian sebesar 58,59%. Secara ringkas data gelombang disajikan pada Tabel 10.

Arah tenggara merupakan arah dominan berhembusnya angin. Hal ini terkait dengan orientasi Teluk Lampung yang menghadap ke arah Tenggara. Dengan kata lain, jika arah angin terbesar adalah dari barat laut misalnya, maka untuk pembangkitan gelombang di kawasan pantai Teluk Betung Bandar Lampung, tidak akan berpengaruh banyak. Oleh karena itu, pada pangkal teluk (Kota Bandar Lampung), gelombang mejadi relatif rendah, disebabkan semakin dangkalnya kedalaman air (batimetri). Dalam perambatan ke arah pantai, gelombang akan mengalami proses refraksi, shoaling (pendangkalan), difraksi, serta refleksi. Proses refraksi merupakan pembelokan arah gelombang untuk mendekati ke arah tegak lurus terhadap kontur dasar pantai. Hal ini menyebabkan gelombang yang datang di pantai akan mempunyai orientasi yang mendekati tegak lurus terhadap garis pantai. Proses pendangkalan adalah berkurangnya secara berangsur-angsur tinggi gelombang sebagai akibat pendangkalan kontur laut ke arah pantai. Dengan demikian proses refraksi dan pendangkalan berkait erat dengan profil pantai.

Tabel 10 Arah dan tinggi maksimum kejadian gelombang Tinggi

Gelombang H maks

(cm)

Arah Datang Gelombang

Jumlah (%) Utara Timur Laut Timur Teng- gara Sela- tan Barat Daya Barat Barat Laut Persentase Kejadian (%) 25-30 0,00 0,00 0,00 0,28 0,56 0,28 0,28 0,00 1,41 30-40 0,56 0,00 0,85 2,82 4,23 3,66 0,86 0,00 12,96 40-50 0,26 1,41 1,69 9,58 7,89 3,94 2,25 0,00 27,04 >50 0,00 4,51 7,32 13,80 19,15 9,86 3,94 0,00 58,59 Jumlah (%) 0,85 5,92 9,86 26,48 31,83 7,75 7,32 0,00 100,00 Keterangan : Lokasi perairan pantai di Kel. Srengsem, Kec. Panjang, Kota Bandar Lampung Sumber: Bapedalda Prov. Lampung dan PT. TELPP (1999)

Kondisi fisik dan profil pantai terbentuk sebagai akumulasi pengaruh kondisi-kondisi batas yang ada seperti gelombang, arus dan transportasi sedimen baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap pantai. Pengaruh kondisi- kondisi batas ini akan menentukan bentuk pantai, keberadaan vegetasi penutup pantai, kemiringan pantai, dan sebagainya. Proses difraksi adalah proses yang dialami oleh gelombang jika menemui suatu rintangan. Rintangan tersebut bisa berupa bangunan pemecah gelombang penghalang akan menjadi kecil dibanding tinggi gelombang datang. Di Teluk Lampung terdapat banyak pulau dengan beraneka ragam ukuran. Dengan demikian pulau-pulau tersebut juga berfungsi sebagai rintangan yang akan menyebabkan terdifraksinya gelombang yang datang dari laut lepas. Tinggi gelombang yang sampai di pangkal teluk (Bandar Lampung) tidak akan terlalu besar karena telah tereduksi oleh proses difraksi.

Sedangkan proses refleksi atau pemantulan adalah terpantulnya gelombang oleh karena mengenai suatu lereng tertentu. Jika pengembangan kawasan pesisir Bandar Lampung dengan menggunakan tanggul yang berdinding tegak maka gelombang yang dipantulkan akan relatif besar, sedangkan jika menggunakan dinding dengan sisi miring maka gelombang yang dipantulkan akan relatif sedikit dan sebagian besar gelombang akan berubah menjadi gelombang rayapan.

No.

Kualitas air

Kualitas air Teluk Lampung ditunjukkan dengan penggambaran beberapa parameter yang dirujuk dari berbagai sumber, seperti disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Kualitas air Teluk Lampung

Parameter Satuan Kisaran Nilai Baku Mutu 3)

1 Suhu oC 28,0-31,5 1) alami

2 Salinitas ‰ 32-35 1) alami

2 Padatan tersuspensi (TSS) mg/l 35,0-55,4 2) <20 3 Oksigen terlarut (DO) mg/l 6,4-7,5 2) >5 4 Kebutuhan oksigen biologi (BOD) mg/l 22,8-29,2 2) <20 5 Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) mg/l 45,8-75,7 2) - Sumber : 1) Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bandar Lampung (2007); 2) Yusuf

(2005); 3) Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Lampiran III (Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut)

Padatan tersuspensi (TSS) merupakan indikasi beban pencemaran berupa padatan tersuspensi yang dapat berasal dari berbagai sumber. Pada perairan Teluk Lampung, padatan tersuspensi dapat berasal dari berbagai sumber seperti limbah

permukiman (perkotaan), industri, dan suspensi yang dibawa oleh aliran sungai. Secara umum, TSS perairan Teluk Lampung sudah melampaui ambang batas baku mutu kualitas air laut untuk biota laut, dan dapat dindikasikan sudah tercemar.

Oksigen terlarut (DO) merupakan indikasi ketersediaan oksigen di dalam air yang dibutuhkan oleh mahluk hidup. secara umum peraian Teluk Lampung menunjukkan indikasi DO masih memenuhi prasyarat yang dapat mendukung kehidupan biota laut.

Kebutuhan oksigen biologi (BOD) dan kimiawi (COD) merupakan parameter kualitas perairan yang mengindikasikan tingkat pencemaran. BOD dan COD merupakan jumah oksigen (dalam satuan mg/l) yang diperlukan untuk mendegradasi (oksidasi) polutan di dalam air secara biologi dan kimiawi. Baku mutu kualitas air laut untuk biota laut (Lampiran III, Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004), hanya mensyaratkan nilai BOD. Perairan yang memiliki BOD <20 mg/l, dapat dinyatakan sebagai perairan yang mampu mendukung kehidupan biota laut dengan baik, dan sebaliknya bila nilai BOD sudah melebihi nilai ambang tersebut. Secara umum terlihat bahwa poerairan Teluk Lampung sudah melampaui ambang batas baku mutu BOD, dan dapat dindikasikan sudah tercemar.

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap mengenai kualitas air di perairan Teluk Lampung, maka dilakukan analisis data menggunakan metode STORET-EPA (United States-Environmental Protection Agency). Pada metode tersebut kualitas air diklasifikasikan dalam empat kelas, yaitu (Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 115 Tahun 2003):

(1) Kelas A: baik sekali, skor = 0, yaitu memenuhi baku mutu (2) Kelas B: baik, -1≥ skor ≥ -10, yaitu tercemar ringan (3) Kelas C: sedang, -11≥ skor ≥ -30, yaitu tercemar sedang (4) Kelas D: buruk, skor ≤ -31, yaitu tercemar berat

Dengan mengacu pada baku mutu kualitas air laut untuk biota laut (Lampiran III, Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004), dilakukan penilaian (skoring) pada beberapa paramater kualitas air. Hasil analisis Storet disajikan pada Tabel 12, yang menunjukkan bahwa kualitas air Teluk Lampung, baik di pangkal maupun di mulut teluk tergolong tercemar sedang. Skor nilai pada pangkal dan

mulut teluk berturut-turut bernilai -19 dan -20. Parameter kualitas air yang menunjukkan terjadinya pencemaran adalah meliputi kekeruhan, TSS, dan BOD.

Hasil analisis dengan metode STORET-EPA, semakin mempertegas bahwa air Teluk Lampung sudah terindikasi tercemar. Oleh karena itu, pengelolaan perairan Teluk Lampung harus mendapat perhatian yang lebih serius, dan dilakukan secara terintegrasi dengan pengelolaan wilayah daratan. Tabel 12 Kualitas air Teluk Lampung berdasarkan Metode STORET

No Parameter Satu- an Baku Mutu*) Pangkal Teluk (5°29’22,8” LS dan 105°15’9,0” BT) Mulut Teluk (5°50’02,4” LS dan 105°37’8,8” BT) Pasang Surut Rata-

rata Skor Pasang Surut

Rata- rata Skor Fisika 1 Kekeruhan NTU <5 10,8 4,6 7,7 -4 6,4 6,7 6,5 -5 2 TSS mg/l <20 50,4 55,4 52,9 -5 38,0 35,0 36,5 -5 Kimia 1 pH - 7,0-8,5 7,6 7,7 7,6 0 7,7 7,8 7,8 0 2 Salinitas ‰ 33-34 32,7 35,6 34,1 0 32,6 32,7 32,6 0 3 DO mg/l >5 7,5 7,4 7,4 0 6,8 6,4 6,6 0 4 BOD mg/l <20 29,2 28,4 28,8 -10 24,8 22,8 23,8 -10 5 Amonia mg/l <0,3 <0,05 <0,05 <0,05 0 <0,05 <0,05 <0,05 0 6 Sianida mg/l <0,5 <0,01 <0,01 <0,01 0 <0,01 <0,01 <0,01 0 7 Hg mg/l <0,001 <0,001 <0,001 <0,001 0 <0,001 <0,001 <0,001 0 8 As mg/l <0,012 <0,002 <0,002 <0,002 0 <0,002 <0,002 <0,002 0 9 Ni mg/l <0,05 <0,02 <0,02 <0,02 0 <0,02 <0,02 <0,02 0 Jumlah Skor -19 -20

Keterangan: *) Kep-Men-LH No. 51 tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut, Lampiran III (Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut)

Sumber: Yusuf (2005) 4.1.4 Biologi perairan

Perairan Teluk Lampung dihuni berbagai jenis ikan, baik demersal maupun pelagis. Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menunjukkan bahwa di lima lokasi pengamatan di Teluk Lampung didapatkan 7.072 individu dari 31 suku dan 162 jenis ikan, 40 jenis diantaranya merupakan ikan target (pangan). Kategori “major fish” yang terdiri dari 22 suku dengan 160 jenis. Untuk ikan target terdiri dari 9 suku dan 10 jenis, sedangkan ikan indikator terdiri dari 1 suku dengan 16 jenis kelimpahan ikan tertinggi terdapat di Pulau Puhawang sisi barat dengan nilai 1.556 individu. Berdasarkan kategori ikan,

kelimpahan ikan “major” tertinggi didapatkan di Pulau Puhawang sisi barat, sedangkan kelimpahan ikan target tertinggi dijumpai di Pulau Tegal sisi barat, dan kelimpahan ikan indikator tertinggi sebanyak 31 individu ditemukan pada Pulau Puhawang sisi timur. Jumlah jenis ikan “major” tertinggi dijumpai di Pulau Legundi sisi timur, sedangkan untuk ikan target dan indikator jumlah jenis tertinggi dijumpai di Pulau Sebuku pada sisi barat.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa ikan yang terdapat pada lima pulau di Teluk Lampung menunjukkan kondisi yang kurang baik. Kondisi ini disebabkan banyaknya penangkapan ikan menggunakan cara-cara yang merusak karang sebagai habitat ikan tersebut. Jenis ikan karang dan ekonomis penting masih dapat ditemukan, tetapi pada keragaman yang mendekati jarang. Kerusakan karang juga akan mengakibatkan rendahnya ruang hidup bagi ikan karang.

Terumbu karang dan padang lamun

Hasil penelitian Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung (2007) menunjukkan bahwa Perairan Teluk Lampung mempunyai ekosistem terumbu karang yang luas, umumnya tipe terumbu karang di Teluk Lampung adalah jenis

fringing reefs (karang tepi). Pertumbuhan karang secara umum didominasi oleh karang yang bentuk hidupnya merayap (encrusting), bercabang (branching) dan lembaran (foliose) terutama dari famili Acroporidae, Pocilloporidae, Poritidae

dan Faviidae.

Kondisi penutupan karang hidup pada 44 lokasi di Teluk Lampung, tergolong dalam kriteria buruk (rusak) sampai baik. Terumbu karang dalam kondisi baik terdapat di perairan Pulau Kelagian, Pulau Balak, Tanjung Putus, dan Pantai Ketapang. Laju penurunan tutupan terumbu karang di perairan Teluk Lampung pada lokasi tertentu di Pulau Tangkil, Pulau Tegal, Pulau Condong Darat, Pulau Kelagian, dan Pulau Puhawang selama kurun waktu 8 tahun (1998- 2007) adalah 3% pertahun. Kerusakan terumbu karang Teluk Lampung di sebabkan oleh: Kegiatan Pemboman dan pemutasan karang untuk mencari ikan karang, Penambangan karang untuk bahan bangunan, jalan dan perhiasan, Sedimentasi akibat penebangan hutan dan pembukaan pertambakan dan Kerusakan karang akibat pembuangan jangkar kapal di pulau-pulau kecil karena kurangnya pelampung tambat (mooring buoy) dan dermaga.

Ekosistem padang lamun tersebar di beberapa pantai dan pulau di kawasan Teluk Lampung. Ekosistem padang lamun menyediakan fungsi ekologis sebagai pelindung pantai dari gelombang dan berfungsi sebagai filter alami yang menjaga kualitas perairan supaya tetap jernih, dengan mengendapkan material tersuspensi dari pelumpuran (siltasi) di daratan. Padang lamun dengan kondisi baik yang terdapat di kawasan Teluk Lampung menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 dalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) adalah pada Pulau tangkil, Pulau Puhawang, Pulau Tegal dan Pulau Legundi menunjukkan spesies yang beragam dan persentase penutupan lamun yang bervariasi karena letak, tipe dan substrat perairannya.

Plankton

Hasil penelitian Damar (2003) menunjukkan bahwa komunitas fitoplankton di perairan Teluk Lampung didominasi oleh diatome (Chaetoceros danicus, C. cf. debilis dan Pseudonitzschia spp). Sedangkan dinoflagellata dan cyanophyceae hanya terdapat kurang dari 15%, dengan sebaran tertinggi pada perairan sekitar muara sungai. Spesies tipikal dari dinoflagellata adalah Ceratium furca, C. tripos spp., dan Dinophysis spp., serta cyanophyceae terutama adalah

Trichodesmium spp., yang biasa terdapat sekitar lokasi pertambakan di pantai barat dan timur Teluk Lampung.

Secara umum komunitas zooplankton di Teluk Lampung didominasi oleh copepoda laut dan protozoa. Jumlah zooplankton terbesar dijumpai pada perairan sekitar muara-muara sungai, dengan jumlah dapat mencapai lebih dari 50.000 individu/m3, jumlah tersebut semakin menurun pada area tengah dan ke luar teluk. Pola tersebut bersesuaian sebaran fitoplankton, yang mengindikasikan hubungan erat antara predator (zooplankton) dan mangsa (fitoplankton) (Damar 2003).

Dari analisis plankton dan pasokan nutrien ke perairan, Damar (2003) menyimpulkan bahwa peningkatan penduduk di wilayah Teluk Lampung telah dan akan menimbulkan masalah pencemaran (eutrofikasi) perairan. Peningkatan dan perluasan sistem pengelolaan air limbah merupakan langkah yang harus segera dilakukan, di samping meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan perairan Teluk Lampung.

Produktivitas primer perairan

Produktivitas primer perairan merupakan laju pembentukan senyawa organik yang kaya energi dari senyawa anorganik, yang seringkali dianggap sama dengan laju fotosintesis. Produktivitas primer perairan merupakan parameter penting yang menunjukkan tingkat kesuburan perairan, dan juga dapat menjadi indikasi bagi terjadinya pasokan nutrien yang berlebihan (eutrofikasi) perairan. Acuan produktivitas primer perairan yang utama adalah aktivitas fotosintesis fitoplankton (Nybaken 1982). Penggambaran produktivitas primer perairan Teluk Lampung, dilakukan dengan merujuk pada penelitian Damar (2003).

Hasil penelitian Damar (2003) menunjukkan bahwa estimasi produksi primer tahunan lebih tinggi pada perairan di dekat pantai (kawasan perkotaan), dan cenderung lebih rendah pada bagian tengah, dan bagian ke arah luar perairan Teluk Lampung. Di sekitar muara sungai Kota Karang (di Bandar Lampung), produksi primer tahunan sebesar 196,68 g C m-2 tahun-1, sedangkan pada bagian tengah dan arah luar teluk, berturut-turut hanya 40,12 g C m-2 tahun-1 dan 30,78 g C m-2 tahun-1

Penyebaran hutan mangrove di wilayah pesisir Teluk Lampung terdapat pada kawasan pulau-pulau kecil dan di sepanjang pantai yang umumnya digunakan untuk pemukiman dan pertambakan. Hasil penelitian CRMP (1998a) menunjukkan bahwa mangrove yang terdapat di pesisir Teluk Lampung tersebar mulai dari wilayah pantai sampai pulau kecil dengan jumlah dan keragaman yang tinggi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanografi (2000 diacudalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menyebutkan bahwa terdapat 27 jenis mangrove dan termasuk dalam 17 marga yang terdapat di pulau kecil dan sepanjang pantainya. Secara umum mangrove yang dijumpai pada pulau-pulau kecil adalah jenis Rhizopora spp. dengan ketebalan 100 m. Pada kawasan pantai . Berdasarkan tingkat trofik-nya, perairan di dekat pantai Teluk Lampung diklasifikasikan sebagai mesotrophic, dan perairan bagian tengah dan arah luar teluk sebagai oligotrophic.

Damar (2003) menyimpulkan bahwa produksi primer tahunan fitoplankton perairan Teluk Lampung dipengaruhi oleh pasokan nutrien dan intensitas penyinaran matahari.

yang merupakan daerah pemukiman, tempat wisata dan pertambakan, hutan mangrove yang dijumpai tinggal memiliki ketebalan <50 m, karena sudah dikonversikan sehingga diperlukan penanaman kembali.

Hasil penelitian CRMP (1998a) juga mengungkapkan bahwa pada kawasan mangrove yang terdapat di Teluk Lampung memiliki luas sekitar 700 ha. Hasil penelitian Zieren (1998 diacudalam Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Lampung 2007) menunjukkan bahwa pada tahun 1970-an luas mangrove kawasan ini sekitar 1.000 ha. Penurunan kawasan magrove dapat diindikasikan turunnya luas kawasan mangrove disebabkan konversi kawasan mangrove menjadi pemukiman, tempat wisata dan pertambakan. Pemanfaatan mangrove pada tahun 1970-an hanya untuk penyangga dan pagar rumah serta kayu bakar. Pada tahun 1990-an mulai terjadi konversi besar-besaran menjadi tambak dan tempat wisata. 4.2 Kependudukan