• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 20 Rerata konsentrasi PO4-P di permukaan perairan Teluk Ambon Dalam Silika Inorganik Terlarut

Kandungan silika pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I berturut-turut berkisar antara 19.07 sampai 82.84 µM (42.82±24.45), 13.23 sampai 26.03 µM (18.99±3.92), 14.36 sampai 56.32 µM (25.43±14.24), dan 4.28 sampai 37.97 µM (14.99±10.33). Konsentrasi silika yang paling tinggi pada Musim Timur, dan terjadi penurunan pada setiap musim (Gambar 21). Tingginya silika pada Musim Timur disebabkan oleh tingginya curah hujan (12.9 sampai 27.9 mm), Hal ini ditunjang oleh (Damar 2013), rata- rata nilai maksimum silika di estuari Porong pada musim hujan (12 µM) dan rendah pada musim panas (4 µM). Silika yang masuk dalam sistem perairan pantai terutama berasal dari darat yang dibawa oleh air hujan (Livingston 2001), pada musim hujan konsentrasi DSi lebih tinggi di perairan (Wang et al. 2006).

Secara temporal, distribusi konsentrasi silika di perairan menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), artinya musim sangat berpengaruh terhadap perubahan konsentrasi silika di perairan. Selanjutnya konsentrasi silika pada Musim Peralihan I (4.28 sampai 37.97µM), Musim Peralihan II (13.23 sampai 26.03 µM) dan Musim Barat (14.36 sampai 56.32 µM) sangat berbeda terhadap Musim Timur (19.07 sampai 82.84 µM).

Secara spasial pada Musim Timur, Musim Peralihan II dan Musim Barat distribusi konsentrasi silika di permukaan perairan berturut-turut menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya masing-masing stasiun memberi pengaruh yang sama terhadap konsentrasi silika. Sedangkan pada Musim Peralihan I distribusi konsentrasi silika di permukaan perairan menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), selanjutnya Stasiun 8 (0.15µM) menunjukkan perbedaan terhadap Stasiun 5 (1.89µM) dan Stasiun 4 (2.10µM). Menurut Dortch and Whitledge (1992) diacu dalam Domingues et al. (2005), silika menjadi faktor pembatas jika DSi <2 µM. Salinitas dengan silika memiliki hubungan yang sangat berbeda nyata (ANOVA; P<0.01), namun analisis korelasi linear diperoleh nilai koefisien korelasi sebesar 48%. Maier et al. (2009)

40

konsentrasi silika paling tinggi di perairan tawar dan menurun dengan meningkatnya salinitas

Gambar 21 Rerata konsentrasi SiO2-Si di permukaan perairanTeluk Ambon

Dalam

Rasio DIN dan DIP serta DSi dan DIN

Tabel 17 menunjukkan bahwa pada Musim Timur, Peralihan II, dan Barat rata-rata rasio DIN/DIP di perairan rendah, sedangkan pada Musim Peralihan I rata-rata rasio DIN/DIP lebih tinggi, bila rasio DIN/DIP mendekati rasio Redfield (N/P=16) menunjukkan bahwa terjadi pertumbuhan fitoplankton yang optimum (Jie et al. 2013). Rendahnya rasio N/P diduga karena perbedaan kondisi dan proses yang terjadi di lingkungan perairan. Apabila laju pemakaian nitrogen oleh fitoplankton berlangsung cepat dan tidak sebanding dengan laju pemakaian fosfat maka rasio N/P akan mengecil. Hal lain juga dapat terjadi, dimana laju regenerasi fosfat dari bahan tersuspensi atau sedimen berlangsung lebih cepat dan tidak disertai penyediaan nitrogen yang cukup (Pirzan dan Pong-Masak 2008).

Bila rasio DIN dan DIP tinggi atau lebih besar dari 16, maka yang menjadi pembatasan pertumbuhan fitoplankton adalah DIP. Selanjutnya bila rasio DIN dan DIP rendah atau lebih kecil dari 16, maka yang menjadi pembatas pertumbuhan fitoplankton adalah DIN. Selain rasio Redfield dapat pula digunakan sebagai indikator struktur komposisi komunitas fitoplankton (Sommer 1989). Pada umumnya Bacillariophyceae lebih dominan pada rasio DIN dan DIP yang rendah (Lagus et al. 2004).

Rasio DSi dan DIN di perairan ini memperlihatkan nilai yang yang tinggi, kecuali pada Musim Peralihan I (Tabel 17). Rasio DSi:DIN dapat digunakan sebagai indikator pembatas pertumbuhan fitoplankton (Ragueneau et al. 1994). Si menjadi faktor pembatas jika Si:N < 1 dan DSi < 2 µM) (Dortch dan Whitledge (1992). Rasio normal DSi:DIN adalah 1:1, dan umumnya Bacilariophyceae menyerap DSi dan DIN pada rasio 1. Pada rasio DSi:DIN lebih kecil dari 1 menunjukkan DSi sebagai pembatas pertumbuhan fitoplankton khususnya Bacillariophyceae atau sebaliknya (Brzezinski et al. 2003).

41 Tabel 17 Rerata Rasio DIN:DIP dan Rerata Rasio DSi:DIN di Perairan TAD

Tropik Indeks (TRIX) dan Waktu Pembilasan

Analisis trofik indeks dilakukan untuk menjelaskan status nutrien pada suatu perairan, perhitungan didasarkan pada nilai minimum dan maksimum dari DIN, PO4, biomassa fitoplankton (klorofil-a), dan oksigen saturasi. Pada Musim

Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I nilai trofik indeks berturut-turut berkisar dari 1.52 sampai 2.30 (1.90±0.29), 0.97 sampai 3.01 (2.13±0.65), 0.58 sampai 3.20 (1.85±0.92), dan 0.83 sampai 2.28 (1.53±0.50)) (Gambar 22 dan 23). Rata-rata nilai trofik indeks lebih rendah pada musim Peralihan I. Rendahnya rata-rata nilai trofik indeks pada musim Peralihan I disebabkan karena pengaruh rata-rata DIP yang rendah 0.07 sampai 0.33 µM (0.18±0.10). Konsentasi fosfat yang rendah, maka diatom yang berukuran besar seperti Skeletonema costatum tidak dapat bertumbuh (Qui et al. 2010), Hal ini akan mempengaruhi konsentrasi klorofil-a dalam kolom air dan juga mempengaruhi nilai trofik.

42

Gambar 23 Rerata nilai TRIX pada empat musim di Teluk Ambon Dalam Rata-rata nilai trofik indeks secara temporal berkisar dari 1.01 sampai 3.38. Nilai terendah pada bulan Januari dan tertinggi pada bulan Februari (Gambar 24). Menurut Caiaffa (1999) diacu dalam Damar (2003), mengklasifikasi tingkat trofik yang terdiri dari oligotrofik (0-2), mesotrofik (2-4), eutrofik (4-6), dan hyper eutrofik (> 6 ). Jadi secara temporal dan spasial Teluk Ambon Dalam berada dalam kondisi oligotrofik dan mesotrofik. Konsentrasi nutrien Teluk Jakarta, Lampung dan Semangka, di bandingkan Teluk Ambon Dalam, maka konsentrasi TAD berada pada konsentrasi yang rendah (Tabel 18). Walaupun sumber nutrien yang masuk kedalam TAD bersumber dari teluk sendiri, sungai-sungai di sekitar TAD dan juga dari TAL terutama saat terjadi upwelling di Laut Banda, namun indeks trofik di TAD rendah disebabkan terjadinya pembilasan (flushing time) saat terjadi pasang surut.

Tabel 18 Rerata konsentrasi nutrien anorganik (µM/Tahun)

Teluk Rerata konsentrasi nutrien (µM/Tahun)

DIN PO4 SiO2 Sumber

Jakarta 20.1 5.1 39.3 Damar et al. 2012

Lampung 14.3 2.3 39.3 sda

Semangka 3.5 0.4 28.4 sda

43

Gambar 24 Rerata nilai TRIX (Juni 2011 s/d Mei 2012) di Teluk Ambon Dalam Volume air tawar yang masuk ke dalam Teluk Ambon Dalam sebanyak 1204228 m3/hari yang bersumber dari 8 sungai di sekitar teluk. Sungai Waetonahitu dengan debit air terbesar 636369 m3/hari, dan volume air laut yang masuk dari TAL ke dalam TAD sebanyak 31680000 m3/8 jam saat air pasang yang membawa nitrat dan fosfat pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I (Tabel 19).

Tabel 19 Masukan Nitrat dan Fosfat ke Teluk Ambon Dalam (Ton/ Bulan)

Musim Sungai Teluk Ambon Luar

NO3 PO4 NO3 PO4

Timur 0.16 1.43 104.86 61.05

Peralihan II 0.56 11.50 2.85 18.18

Barat 4.45 0.72 8.90 10.26

Peralihan I 0.82 0.19 12.13 4.18

Tabel 19 memperlihatkan bahwa masukan nitrat dan fosfat dari TAD sangat besar pada Musim Timur dibandingkan dari sungai. Tingginya konsentrasi nitrat dan fosfat pada Musim Timur ada hubungannya dengan upwelling yang terjadi di Laut Banda. Menurut Wyrtki (1961) upwelling di Laut Banda berlangsung selama Musim Timur yakni dari bulan Juni sampai Agustus. Dengan demikian konsentrasi nitrat dan fosfat lebih tinggi di Musim Timur sebagai akibat adanya upwelling. Berdasarkan hasil analisis flushing time yang terjadi di Teluk Ambon Dalam selama 14 hari. Hal ini memungkinkan selalu terjadi pergantian massa air di dalam teluk, walaupun terdapat masukan beban nutrien yang banyak.

44

SIMPULAN

Beban masukan di perairan TAD dari sungai dan TAL berdasarkan musim memperlihatkan perbedaan. Beban masukan nutrien (NO3-N dan PO4-P) dari TAL

di Musim Timur lebih tinggi, dibandingkan musim lainnya disebabkan oleh pengaruh upwelling di Laut Banda. Rata-rata rasio DIN:DIP tinggi, dan DSI:DIN lebih rendah pada Musim Peralihan I dibandingkan dengan Musim Timur, Barat dan Peralihan II.

45

PENGARUH MUSIM TERHADAP KOMPOSISI DAN

KELIMPAHAN FITOPLANKTON

DI TELUK AMBON DALAM

PENDAHULUAN

Perairan Teluk Ambon terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam dan Teluk Ambon Luar yang dibatasi oleh ambang yang dangkal, sehingga membatasi sirkulasi air di Teluk Ambon Dalam (Anderson dan Sapulete 1981). Kondisi massa air di perairan Teluk Ambon pada Musim Timur (musim penghujan) dengan suhu udara yang rendah mempengaruhi lapisan permukaan Teluk Ambon. Musim Barat dengan suhu udara yang tinggi dan angin yang kencang menyebabkan suhu air permukaan tinggi (Wenno 1979).

Teluk Ambon Dalam dan sekitarnya memiliki beberapa fungsi dan kegunaan yaitu sebagai daerah perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan pangkalan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dan Polisi Air, pelabuhan kapal tradisional antar pulau dan ferry penyeberangan, pelabuhan perikanan, jalur transportasi laut, pembuangan limbah air panas oleh Perusahan Listrik Negara, darmaga tempat perbaikan kapal, daerah konservasi, tempat pendidikan dan penelitian, tempat rekreasi dan olah raga serta pemukiman penduduk. Teluk Ambon Dalam juga mendapat masukkan nutrien dari darat melalui sungai-sungai dan Teluk Ambon Luar. Menurut Tuhumury et al. (2007), akibat pembangunan perumahan di lahan atas telah berdampak hingga ke laut, pada saat curah hujan yang tinggi maka warna air laut berubah menjadi kecoklatan. Pusat perkembangan populasi manusia di daerah pantai, terutama di daerah estuari mempunyai pengaruh yang besar terhadap eutrofikasi yang dapat dihubungkan dengan masalah blooming algae berbahaya dan memburuknya kualitas perairan (Domingues et al. 2010). Teluk Ambon Dalam, terjadi blooming alga berbahaya dari species Pyrodinium bahamense pada tahun 1993 yang menelan korban manusia (Wiadnyana 1996), Alexandrium affine pada tahun 1997 (Wagey 2001),

Pyrodinum spp, dan Alexandrium spp (Tuhepaly 2012).

Menurut Qiu et al. (2010), eutrofikasi adalah salah satu faktor utama yang menyebabkan memburuknya lingkungan akuatik di estuari. Oleh karena itu peranan nutrien, terutama nitrogen dan fosfor sebagai faktor pembatas fitoplankton adalah aspek penting untuk mengurangi dan mengatur eutrofikasi (Paerl 2009). Menurut Pello dan Huliselan (2007) di Teluk Ambon Dalam fitoplankton terdiri atas 35 genera yang ditemukan, terdapat genus Trichodesmium

(Cyanobacteria) dengan kepadatan sebesar 36.79% dari total sel yang ada. Menurut Mulholland et al. 1999b diacu dalam LaRoche and Breitbart (2005),

Trichodesmium dapat tumbuh dengan baik pada temperatur 28oC, tetapi dapat

toleransi bertumbuh pada temperatur antara 20 sampai 34oC.

Penelitian ini bertujuan menganalisis komposisi dan sebaran fitoplanton dalam kaitannya dengan karakteristik perairan di Perairan Teluk Ambon Dalam.

46

METODE PENELITIAN

Pengambilan contoh fitoplankton dilakukan secara vertikal pada zona eufotik dengan menggunakan net plankton tipe KITAHARA yang berdiameter mulut jaring 0.30 m, panjang 1 meter dan ukuran porositasnya 60 µm. Sampel plankton yang diperoleh diawetkan dengan menggunakan lugol 1%.

Zona eufotik ditentukan berdasarkan persentase penetrasi intensitas cahaya matahari sampai kedalaman intensitas cahaya tinggal 1% dari cahaya permukaan air. Intensitas cahaya matahari permukaan diukur dengan alat Automatic Weather Station (AWS) tipe JY 106 dari Badan Meteorologi dan Geofisika Ambon. Besarnya intensitas cahaya di tiap kedalaman dihitung berdasarkan persamaan Beer-Lambert (Walsby 2001) sebagai berikut:

Iz = Ioe-kz

Izadalah intensitas cahaya pada kedalaman z,

Io adalah intensitas cahaya permukaan,

k adalah koefisien peredupan (attenuation coefficient).

Koefisien peredupan dapat dihitung berdasarkan persamaan matematis yang dikemukakan oleh Tillman et al. 2000 sebagai berikut :

k = 0.191 + 1.242/Sd

Sd (dalam satuan meter) adalah kedalaman penetrasi cahaya yang diukur mempergunakan cakram sechi (secchi disc) berdiameter 30 cm.

Suhu, salinitas, densitas, turbiditas dan biomassa fitoplankton (Chl-a) diukur menggunakan CTD-ALEC, Model ASTD-687. Penentuan posisi stasiun menggunakan GPS-Garmin, Model 76CSx. Sampel air yang digunakan untuk mengukur pH, oksigen terlarut, nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika diambil dengan botol Nansen. pH diukur dengan pH meter, oksigen terlarut dihitung dengan cara titrasi Winkler, sedangkan nitrat, nitrit, amonia, fosfat, dan silika menggunakan metode standar (Parson et al. 1984). Identifikasi fitoplankton dilakukan menurut Yamaji (1984) dan Newell and Newell (1977) hanya pada tingkat genus. Formula untuk menghitung kelimpahan fitoplankton adalah :

D = C * V’ / V’’*V’’’ (sel/m3) Dimana :

D = Jumlah sel per m3

C = Jumlah sel yang dihitung

V’ = Volume sampel yang terkonsentrasi

V’’ = Volume yang dihitung

V’’’ = Volume air yang tersaring oleh plankton net (m3)

Volume air yang tersering oleh plankton net (V’’’) dihitung menggunakan

rumus :

V’’’ = a.s

Dimana,

A = Luas penampang jaring

S = Jarak penarikan plankton net (s = v.t) V = Kecepatan penarikan (ms-1)

47 Selanjutnya untuk mengetahui distribusi fitoplankton secara temporal dan spasial dianalisis dengan ANOVA satu arah (one-way ANOVA), dan jika terdapat perbedaan yang nyata, maka analisis dilanjutkan dengan uji Post-doc Duncan. Untuk mendeterminasi variasi karakteristik variabel lingkungan dengan komunitas fitoplankton digunakan perhitungan ordinasi Canonical Correspondence Analysis

(CCA) dilakukan dengan menggunakan software MVSP versi 3.1.

HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi dan Kelimpahan Fitoplankton

Hasil analisis terhadap komposisi dan distribusi fitoplankton di 10 stasiun pengamatan ditemukan 4 kelas yakni Bacillariophyceae (Diatom), Dinophyceae, Cyanophyceae, dan Chrysophyceae. Fitoplankton terdiri atas 38 genera Bacillariophyceae, 12 genera Dinophyceae, 1 genus Cyanophyceae, dan 2 genera Chrysophyceae. Tabel 20 memperlihatkan bahwa kelimpahan sel fitoplankton yang mendominasi perairan pada Musim Timur, Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I adalah kelas Cyanophyceae dari genus

Trichodesmium dengan persentase tertinggi. Pello dan Huliselan (2007)

menemukan bahwa Trichodesmium yang dominan di perairan Teluk Ambon Dalam pada Musim Timur. Dwiono dan Rahayu (1984) mendapatkan genus

Chaetoceros mendominasi perairan pada keempat musim.

Tabel 20 Jenis-jenis fitoplankton yang dominan pada ke empat musim (%).

Secara temporal (antar musim), kelimpahan fitoplankton di perairan menunjukkan ada perbedaan nyata (ANOVA; P<0.01), lagi pula musim sangat berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton pada Musim Peralihan II lebih tinggi sedangkan Musim Timur lebih rendah (Gambar 25). Tingginya kelimpahan fitoplankton pada musim ini, karena merupakan peralihan dari Musim Timur (musim hujan) ke Musim Barat (musim panas), lagi pula pada musim ini kondisi perairan tenang. Pada Musim Peralihan II dengan rata-rata intensitas cahaya 619.16 µmol foton/m2/det dengan kedalaman zona eufotik 10.8 m, sehingga memicu fitoplankton untuk bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Sementara distribusi kelimpahan fitoplankton secara spasial (antar stasiun) pada Musim peralihan II menunjukkan perbedaan nyata (ANOVA;

P<0.01). Analisis lanjutan menunjukkan Stasiun 1 kelimpahan fitoplankton lebih

48

Rendahnya kelimpahan fitoplankton pada Stasiun 1 disebabkan oleh kecerahan dan zona eufotik yang lebih dangkat masing-masing 5.17 m dan 9.13 m.

Gambar 25 Kelimpahan fitoplankton (sel/m3) pada Musim Timur (MT), Peralihan II (MPII), Barat (MB) dan Peralihan I (MP I).

Pada Musim Timur (musim hujan), di Teluk Ambon Dalam kelimpahan

Trichodesmium (Cyanophyceae) 2.5x108 sel/m3 (67.86% dari total sel yang ada),

kemudian diikuti oleh Bacillariophyceae 21.49% dan Dinophyceae 10.65 %, sedangkan Pello (2010) memperoleh kelimpahan Trichodesmium 1.4x104 sel/m3 (46.96% dari total sel yang ada). Tingginya kelimpahan Trichodesmium sangat dipengaruhi oleh rata-rata intensitas cahaya yang rendah (253.81 µmol foton/m2/det) yang mempengaruhi suhu permukaan perairan. Menurut Rodier and Borgne (2010), diatom muncul dengan kelimpahan yang lebih besar setelah

blooming Trichodesmium pada musim hujan. Trichodesmium sp mulai

berkembang pada temperatur 24.2 sampai 28.6 oC (Rodier and Borgne 2008). Terjadinya blooming Trichodesmium pada Musim Timur di TAD disebabkan oleh suhu perairan yang rendah (26.08 sampai 27.57 oC)

Musim Peralihan II, Musim Barat dan Musim Peralihan I terjadi suksesi dengan terjadi peningkatan Bacillariophyceae berturut-turut 47.11%, 48.19% dan 60,48% dengan kehadiran genus Chaetoceros berturut 22.63%, 31.21% dan 30.40%. Kelimpahan Chaetoceros yang tinggi pada Musim Peralihan II, Barat, dan Peralihan I disebabkan oleh rata-rata intensitas cahaya yang tinggi berturut- turut 619.16 µmol foton/m2/det, 530.41 µmol foton/m2/det, dan 528.53 µmol foton/m2/det, yang meningkatkan rata-rata suhu perairan pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I berturut-turut (28.32 sampai 29.94 oC, 30.25 sampai 30.86 oC dan 29.78 sampai 30.36 oC), akan tetapi di Teluk Jakarta marga

Chaetoceros mendominasi perairan pada musim hujan (Sidabutar 2008).

Gambar 26 memperlihatkan bahwa Musim Timur terjadi pertumbuhan yang pesat (blooming) dari genus Trichodesmium pada Stasiun 8 (bagian tengah antara Lateri dan Waiheru) dengan kelimpahan 1.3 x 109 sel/m3 (1.3x 106 sel/l) dengan kelimpahan Trichodesmium 1.1 x 106 sel/l (83%), peristiwa blooming

terjadi diperairan jika kelimpahan mencapai 106 sel/l (Sidabutar 2006). Sedangkan di perairan Laut Banda pada Musim Peralihan II (November) kelimpahan

Trichodesmium thiebautii antara 0 sampai 8.8 x 102 sel/m3 pada permukaan

perairan (Sediadi 2004). Tingginya kelimpahan Trichodesmium pada Stasiun 8, disebabkan karena pada stasiun ini terdapat kedalaman penetrasi cahaya

49 (kecerahan) dan zona eufotik yang lebih dalam, masing-masing 6 m dan 10 m dan ditunjang dengan konsentrasi PO4-P yang tinggi (2.81 µM), sehingga memicu

Trichodesmium untuk tumbuh dan berkembang. Menurut Effendi (2003) perairan

yang miskin nitrogen tetapi tersedia fosfor maka beberapa jenis algae Cyanobacteria masih dapat tumbuh karena mampu mengikat nitrogen bebas, akan tetapi menurut Nontji (2007), Trichodesmium sering ditemukan di perairan Indonesia, kadang-kadang muncul dengan ledakan populasi yang amat besar dan tak lama kemudian menghilang lagi dengan cepat. Pada Musim Peralihan II, Musim Barat, dan Musim Peralihan I di setiap stasiun pada umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi, selanjutnya terjadi penurunan kelimpahan Cyanophyceae dan Dinophyceae.

Gambar 26. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada Musim Timur, Peralihan II, Barat dan Peralihan I

Gambar 27 memperlihatkan bahwa umumnya Bacillariophyceae dengan kelimpahan tertinggi kemudian diikuti Cyanophyceae dan Dinophyceae. Cyanophyceae (Trichodesmium) pada bulan Agustus, Oktober dan Maret masing- masing (7.3 x109 sel/m3), (4.6 x 109 sel/m3), dan (3.6 x 109 sel/m3). Bacillariophyceae memiliki kelimpahan yang tinggi pada bulan September dengan kehadiran genus Chaetoceros 35.34%(4.3 x 109sel/m3) dan Bacteriastrum

9.76%, November kehadiran Bacteriastrum 26.93% dan Chaetoceros 21.13% (2.8x109sel/m3), Februari kehadiran Chaetoceros 40.99% (43x109sel/m3) dan

Bacteriastrum 17.54%, Maret kehadiran Chaetoceros 42.75% (4.2x109sel/m3)

dan Bacteriastrum 17.54% dan pada bulan Mei kehadiran genus Chaetoceros

22.40% (2.5x109sel/m3) dan Thalassiothrix 15.59%. Selanjutnya, Dinoflagellata meningkat pada bulan September dengan kehadiran Alexandrium (3.0x109sel/m3) 24.48%, November dengan kehadiran Ceratium 13.57% (1.8x109sel/m3) dan Januari dengan kehadiran Alexandrium 35.41% (2.2x109sel/m3). Pada umumnya Dinoflagellata berada pada konsentrasi yang rendah dibandingkan dengan yang

50

lain. Menurut Madhu et al. (2007), komunitas dinoflagellata kurang melimpah di daerah estuari sepanjang tahun dibandingkan dengan diatom.

Gambar 27. Komposisi dan kelimpahan fitoplankton setiap bulan di Teluk Ambon Dalam

Hubungan Kelimpahan Fitoplankton dengan Parameter Fisik-Kimia Perairan

Hubungan antara kelimpahan fitoplankton dengan parameter fisik-kimia perairan dijelaskan dengan menggunakan analisis korespondensi kanonikal (Canonical Correspondence Analysis) pada setiap musim dalam grafik triplot (Gambar 28). Pada tiga sumbu utama grafik triplot didapatkan nilai eigenvalue sebesar 0.111, 0.094 dan 0.053 dengan informasi persentasi kumulatif yang terjelaskan sebesar 61.54%. Pada grafik triplot secara umum memperlihatkan tiga kelompok fitoplankton berdasarkan musim. Kelompok I mewakili Musim Timur yang didominasi oleh Gonyaulax (Dinophyceae) dan Bellerochea

(Bacillariophyceae) yang dipengaruhi oleh pH, fosfat, silika, amonia, turbiditas dan DIN:DIP. Kelimpahan genus Gonyaulax dan Bacillaria sangat ditentukan oleh fosfat dan Zhou et al. (2008) menyatakan pertumbuhan diatom dibatasi oleh rendahnya konsentrasi fosfat di laut, dengan fosfat yang terbatas dan peningkatan nitrogen akan terjadi blooming dinoflagellata. Kelompok II mewakili musim Peralihan I dan Musim Barat yang didominasi oleh Triceratium, Skeletonema,

Bacillaria, Planktoniella, Ditylum, Diploneis dan Prorocentrum yang dipengaruhi

oleh suhu, salinitas, nitrit dan DIN:DSi, kedalaman penetrasi cahaya (secchi

depth) dan zona eufotik. Huang et al. (2004), Diatom (Skeletonema costatum)

adalah spesies fitoplankton yang bersifat eurihalin dan euritermal, yang tumbuh dengan cepat pada kondisi eutrofik. Kelompok III mewakili Musim Peralihan II yang didominasi oleh Noctiluca, Streptotheca, dan Eucampia. Semakin panjang panah variabel yang mengarah pada genus dan stasiun pengamatan, maka kontribusi variabel tersebut pada genus maupun stasiun pengamatan semakin besar.

51

Gambar 28 Grafik triplot hasil ordinasi kelimpaham fitoplankton dengan parameter fisik-kimia di Teluk Ambon Dalam

SIMPULAN

Komposisi fitoplankton pada TAD terdiri dari 53 genera yang didominasi oleh Bacillariophyceae. Pertumbuhan yang pesat (blooming) Trichodesmium dari kelas Cyanophyceae dijumpai pada Musim Timur. Hasil analisis hubungan antara karakteristik fisik-kimia dengan kelimpahan fitoplankton menunjukkan bahwa genus Gonyaulax (Dinophyceae) dan genus Bellerochea (Bacillariophyceae) sangat dipengaruhi oleh fosfat, silika, amonia, turbiditas, pH, dan DIN:DIP pada Musim Timur, sedangkan genus Triceratium, Skeletonema, Bacillaria,

Planktoniella, Ditylum, Diploneis (Bacillariophyceae), dan Prorocentrum

(Dinophyceae) sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, nitrit, DIN:DSi, secchi

52

PERUBAHAN MUSIMAN TERHADAP TINGKAT

PRODUKTIVITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN TELUK

AMBON DALAM

PENDAHULUAN

Klorofil-a pada fitoplankton merupakan parameter yang sangat penting dalam menentukan produktivitas primer di laut. Sebaran dan tingkat konsentrasi klorofil-a berhubungan dengan kondisi oseanografi suatu perairan, lagi pula konsentrasi klorofil-a yang tinggi terdapat pada daerah yang salinitasnya mendekati 30 (Qiu et al. 2010). Sebaran klorofil-a di laut bervariasi secara geografis maupun berdasarkan kedalaman perairan. Lebih spesifik Nontji (2007) menyatakan bahwa cahaya sangat mempengaruhi distribusi vertikal fitoplankton di laut. Hal ini disebabkan oleh fitoplankton biasa ditemukan di seluruh massa air, mulai dari permukaan sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya masih memungkinkan terjadinya fotosintesis.

Produktivitas primer ialah laju pembentukan senyawa-senyawa organik yang kaya energi dari senyawa-senyawa anorganik (Nybakken 1992), sedangkan Parsons et al. (1984) menyatakan bahwa produktivitas primer adalah jumlah bahan organik yang dihasilkan oleh organisme autotrop yaitu organisme yang mampu menghasilkan bahan organik (bahan berenergi tinggi) dari bahan anorganik dengan bantuan energi matahari. Reaksi fotosintesis dapat terjadi pada semua tumbuhan yang mengandung pigmen klorofil-a, dan dengan adanya cahaya matahari.

Menurut Putri dan Suciaty (2009), produktivitas primer di perairan Teluk Ambon memiliki variasi musiman. Nilai produktivitas primer pada saat Musim Timur lebih tinggi dibandingkan saat musim barat. Selama periode upwelling di Laut Banda produktivitas primer berkisar dari 675.25 gC.m-2tahun-1 di laut terbuka sampai 2555 gC.m-2tahun-1 di perairan pantai yang tertutup di Irian Jaya, sedangkan selama tidak terjadi upwelling rata-rata 332.15 gC.m-2tahun-1 (Gieskes

et al. 1990). Nixon (1995) mengklasifikasi perairan berdasarkan produksi primer

fitoplankton dimana oligotrofik: < 100 gC m-2tahun-1, mesotrofik 100–300 gC m-

2

tahun-1, eutrofik: 301–500 gC m-2tahun-1, dan hypertrofik: > 500 gC m-2tahun-1. Produktivitas primer di perairan Teluk Ambon, baik di Teluk Ambon Dalam maupun Teluk Ambon Luar yang menghadap ke Laut Banda, memiliki nilai yang seragam. Hal ini menunjukkan bahwa perairan ini mendapat pengaruh dominan dari laut Banda.

Penelitian ini bertujuan menganalisis tingkat perubahan musiman produktivitas fitoplankton pada Perairan Teluk Ambon Dalam.

METODE PENELITIAN

Berdasarkan pertimbangan karakteristik perairan, maka perairan TAD dibagi atas 3 zona. Zona-1 sangat dipengaruhi oleh perairan dari Teluk Ambon Luar, Zona-2 yang terletak dibagian tengah teluk, dan Zona-3 yang sangat dipengaruhi oleh ekosistem mangrove dan sungai-sungai.

53 Tabel 21 Kedalaman masing-masing stasiun (m) pada TAD

Tabel 21 memperlihatkan kedalaman total masing-masing stasiun, Stasiun 2 mewakili Zona-1, Stasiun 5 mewakili Zona-2 dan Stasiun 8 mewakili Zona-3. Setiap zona terdiri dari tiga titik kedalaman dengan persentase intensitas cahaya matahari 50%, 25% dan 1% dari cahaya permukaan. Penentuan zonasi secara vertikal berdasarkan pada metode standar inkubasi secara in situ (Gocke dan Lens 2004). Biomassa fitoplankton (Chl-a) diukur menggunakan CTD-ALEC, Model

Dokumen terkait