• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formalisasi Fikih dalam Peraturan Perundang-

BAB II RELEVANSI SYARIAH, FIKIH, FATWA DAN

D. Formalisasi Fikih dalam Peraturan Perundang-

1. Transformasi Fatwa dalam Peraturan Bank Indonesia

Terkait Bank Syariah.

Transaksi keuangan dalam industri perbankan syariah sangat dinamis sesuai dengan tuntutan dan keinginan nasabah.Karena itu, industri perbankan syariah juga harus merespons dengan akad-akad transformatif.Dewasa ini perbankan syariah mengembangkan inovasi akad dalam bentuk multi akad untuk merespons transaksi keuangan nasabah yang cenderung mengikuti perkembangan transaksi keuangan modern.Aspek penting yang harus diperhatikan dalam perbankan syariah bahwa setiap transaksi harus didasarkan atas

55

Imam Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazariyah al-‘Aqd fi al- Syari’ah al-Islamiyah (cet. I; Kairo: Daar el-Fikr, 1976), h. 261-262

56

Imam Muhammad Abu Zahra, al-Milkiyah wa Nazariyah al-‘Aqd fi al- Syari’ah al-Islamiyah h. 262

akad.Akad ini menjadi domain Dewan Pegawas Syariah (DPS) dalam memberikan fatwa legislasi terhadap transaksi keuangan perbankan syariah. Fatwa dewan pengawas syariah dapat memiliki kepastian hukum dan berlaku mengikat dalam sistem perundang- undangan di Indonesia setelah melalui proses transformasi dalam bentuk peraturan bank Indonesia.

Atas dasar itu, dapat dikatakan bahwa bidang ekonomi syariah kontemporer merupakan medan ijtihad baru. Bentuk ijtihad baru tersebut adalah dengan lahirnya fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN- MUI) sebagai sebuah hasil ijtihad kolektif di bidang ekonomi syariah yang merupakan jawaban atas permasalahan atau perkembangan aktivitas ekonomi yang muncul di Indonesia. Fatwa DSN-MUI di bidang ekonomi dan keuangan syariah lahir untuk merespons permasalahan-permasalahan ekonomi syariah yang muncul pada ranah empirik. Karena itu, hasil fatwa DSN-MUI itu disatu sisi dapat menguatkan apa yang telah dianalisis oleh para ulama klasik atau disisi lain dapat menjadi sebuah solusi baru yang berbeda dengan kesimpulan hukum yang ada dalam kitab-kitab fikih klasik.57

Fatwa DSN-MUI sekaligus menjadi hukum materil sebagai pedoman dalam menjalankan kegiatan ekonomi syariah secara praksis. Dalam Surat Keputusan DSN-MUI No. 02 Tahun 2000 tentang Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasonal Majelis Ulama Indonesia, Pasal 1 ayat (2) disebutkan peran dan fungsi DSN- MUI sebagai berikut:

“DSN merupakan satu-satunya badan yang berwenang dan

mempunyai tugas utama untuk mengeluarkan fatwa atas jenis- jenis kegiatan, produk, dan jasa keuangan syariah serta

57Ma’ruf Amin,

Pembaruan Hukum Ekonomi Syariah dalam Pengembangan Produk Keuangan Kontemporer (Transformasi Fikih Muamalat dalam Pengembangan Ekonomi Syariah), Naskah pidato Ilmiah pada Penganugerahan Gelar Doktor Kehormatan dalam Bidang Hukum Ekonomi Syariah pada Rapat Senat Terbuka UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012

mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga keuangan

syariah di Indonesia”.58

Kedudukan fatwa-fatwa DSN-MUI dalam sistem perundang- undangan di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, karena tidak dibuat oleh lembaga negara yang berwenang untuk membuat peraturan, namun hanya dibuat oleh lembaga sosial kemasyarakatan, sehingga secara formil hanya berlaku sebagai himbauan moral yang sifatnya tidak mengikat.59Namun fatwa-fatwa DSN-MUI dapat menjadi sumber hukum materil, karena sifatnya sebagai doktrin ahli hukum.Fatwa DSN-MUI di bidang ekonomi syariah dan keuangan dapat berlaku sebagai hukum formil yang mengikat apabila telah ditetapkan dalam peraturan pemerintah, sebagaimana yang ditunjuk oleh UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 7 ayat (4) bahwa

“Jenis peraturan perundang-undangan lain selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.60

Dalam bagian penjelasan Pasal 7 ayat (4) dijelaskan bahwa

“jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini

antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, DPD, MA, MK, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati, Walikota, Kepala Desa atau setingkat.

58

Mejelis Ulama Indonesia, Pedoman Rumah Tangga Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Pasal 1 ayat (2)

59

Menurut UU No. 10 Tahun 2004 Pasal 1 ayat (1) angka 2 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah “Peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum”.

60

UU No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan Pasal 7 ayat (4).

Sumber hukum perbankan syariah di Indonesia terdiri dari: 1. Undang-undang Dasar 1945 (pasal 33)

2. Undang-undang No. 13 Tahun 1968 Tentang Bank Sentral 3. Undang-undang No. 14 Tahun 1967 Tentang Pokok-pokok

Perbankan

4. Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 5. Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas

Undang-undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan 6. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 Tentang Bank

Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil 7. Kitab Undang-undang Hukum Perdata

8. Kitan Undang-undang Hukum Dagang dan UU Kepailitan 9. Peraturan Pemerintah

10.Surat Keputusan Presiden (Keppres) 11.Instruksi Presiden

12.Surat Keputusan Menteri Keuangan 13.Surat Edaran Bank Indonesia

14.Peraturan lainnya yang berhubungan erat dengan kegiatan perbankan syariah.61

Sumber hukum perbankan di Indonesia tidak hanya bersumber dari hukum formil semata, tetapi dimungkinkan juga bersumber dari hukum tidak tertulis. Perbankan syariah memiliki karakteristik hukum yang berbeda dengan perbankan konvensional. Karakteristik hukum perbankan syariah adalah hukum Islam yang bersumber dari fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang mengeluarkan

61

Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (cet. I; Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), h. 14-15. Lihat juga

fatwa di Indonesia, yaitu Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan struktur lembaga yang berwenang mengeluarkan peraturan perundang-undangan, maka DSN-MUI tidak memiliki kewenangan mengeluarkan peraturan yang sifatnya mengikat dan memiliki kepastian hukum.Fatwa-fatwa DSN- MUI dapat dikategorikan sebagai doktrin hukum yang menjadi faktor pembentuk peraturan di bidang ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, diantaranya adalah perbankan syariah.62 Sebab ciri utama perbankan syariah adalah sistem operasionalnya yang harus sesuai dengan prinsip syariah.63 Kedudukan Dewan Pengawas Syariah (DPS) dalam struktur perbankan syariah di Indonesia diakui sebagai bagian dari pihak terafiliasi.

Berdasarkan praktik peradilan agama di Indonesia, fatwa dikategorikan ke dalam pendapat para ahli hukum atau doktrin ahli hukum. Penggunaan fatwa sebagai sumber dan faktor pembentuk hukum antara lain disebabkan:

1. Isi fatwa yang berdasarkan pada hukum Islam dengan menggunakan metodologi penetapan hukum Islam

2. Fatwa dikeluarkan oleh mufti atau ulama yang telah

memenuhi syarat, sehingga produk hukum yang

dikemukakannya adalah tidak sembarangan

3. Materi fatwa adalah sesuatu yang belum diatur dalam suatu hukum yang mengikat. Apabilamateri fatwa mengatur sesuatu yang bertentangan dengan peraturan perundang-

62Faktor-faktor yang membantu pembentukan hukum perbankan di

Indonesia adalah, pertama, Perjanjian (akad), kedua, Yurisprudensi, ketiga, Doktrin. Lihat, Muhammad Djumhana, h. 19-20

63

Menurut UU No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Pasal 1 angka 12 bahwa yang dimaksud dengan prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Lihat. M. Amin Summa, Himpunan Undang-undang Perdata Islam dan Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia,.h. 1457

undangan, maka fatwa diposisikan sebagai bahan untuk menafsirkan perundang-undangan.64

Fatwa DSN-MUI tidak hanya menjadi hukum materil bagi hakim dalam penyelesaian sengketa bisnis syariah, tetapi juga menjadi sumber utama dalam pembentukan peraturan perundang- undangan yang berkaitan ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Produk fatwa DSN-MUI telah ditransformasikan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, yaitu UU. No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Peraturan Menteri Keuangan, dan Peraturan Bank Indonesia, Mahkamah Agung dengan PERMA untuk membentuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Sepanjang sejarahnya, bangsa Indonesia mengenal tiga sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, sistem hukum Islam, dan sistem hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini memiliki ciri dan karakter tersendiri. Hukum adat telah menjadi living law dan menjadi hukum tidak tertulis dalam kehidupan masyarakat Indonesia, sebagian hukum adat itu telah ada yang ditransformasi menjadi peraturan perundang-undangan.65 Hukum Islam mulai tumbuh dan berkembang di Indonesia sejak masuknya Islam di bumi pertiwi ini.66 Analisis tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari berbagai teori yang dipaparkan oleh pakar hukum Islam maupun hukum Barat.67 Sedangkan hukum Barat (civil law)

64

Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, h. 98

65

Di antara hukum adat yang ditransformasi menjadi peraturan perundang- undangan adalah UU Pokok Agraria Tahun 1960

66Di kalangan sejarahwan terjadi perbedaan pendapat tentang pengenalan

hukum Islam di Indonesia. Ada yang berpendapat bahwa hukum Islam telah dikenal sejak masuknya Islam di bumi pertiwi, yaitu abad ke-1 H atau abad ke-7 M. Pendapat lain mengatakan masuknya Islam di Indonesia terjadi pada abad ke-7 H atau abad ke-13 M. Lihat, Mohammad Daud, Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (cet. XVI; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), h. 209

67

Teori-teori pemberlakuan hukum Islam di Indonesia adalah, (1) Teori penaatan hukum Islam, yaitu adanya kesadaran umat Islam untuk melaksanakan

diperkenalkan di Indonesia bersamaan dengan kedatangan penjajah Belanda di bumi Nusantara. Awalnya hanya berlaku bagi orang Belanda dan Eropa, serta orang yang statusnya disamakan dengan orang Eropa, baik dari kalangan orang Cina maupun orang Indonesia.68 Dalam perkembangan produk hukum selanjutnya, perundang-undangan bangsa Indonesia, terutama Kitab Hukum Pidana (KUH-Pidana) dan Kitab Hukum Perdata (KUH-Perdata) merupakan bukti warisan produk hukum bangsa Belanda. Lembaga legislatif belum mampu membuat KUH-Pidana dan KUH-Perdata yang sesuai dengan nilai dan norma, serta cita hukum bangsa

Indonesia dalam rangka mewujudkan unifikasi sistem

hukum69Ketiga sistem hukum tersebut diatas hidup dan menjadi dinamis ditengah masyarakat Indonesia, karena itu, ketiga sistem

hukum Islam sesuai perintah al-Qur’an. (2) Teori penerimaan autoritas hukum, yaitu, pemberlakuan hukum Islam dengan sendirinya berlaku bagi penganutnya setelah mengucapkan dua kalimat syahadat, karena itu teori ini juga dikenal dengan teori syahadat. (3) Teori receptio in complexu, yaitu hukum Islam telah dterima secara keseluruhan oleh orang Indonesia sejak agama Islam itu diajarkan dan mengakar dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia. Teori ini diperkenalkan oleh Van den Berg. Kemudian muncul receptie theorie/teori resepsi (menurut teori ini, hukum Islam akan berlaku bagi penganutnya apabila telah diresepsi oleh hukum adat), teori ini dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje yang kemudian dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh Cornelis van Vollenhoven dan Betrand ter Haar. Selanjutnya, teori receptie exit, yaitu setelah berlakunya UU Dasar 1945 dengan mencantumkan pasal 29 ayat (1) dengan sendirinya membatalkan teori resepsi. Teori resepsi exit diperkenalkan oleh Prof. Hazairin. Kemudian teori ini dikembangkan oleh Sayuti Thalib dengan mengemukakan teori receptie a contrario, yaitu bahwa setelah pemberlakuan UU Dasar 1945 mengindikasikan adanya kebebasan untuk mengamalkan ajaran agama dan hukum agama. Maka dihasilkan prinsip bahwa bagi orang Islam diberlakukan hukum Islam.Hukum adat dapat diberlakukan bagi orang Islam kalau hukum adat tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Juhaya S. Praja, Hukum Islam Di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan (cet. II; Bandung: Remaja Rosda Karya, 1994), h. XV, juga, Moehammad Daud Ali, ibid., h. 242-264

68

Juhaya S. Praja, Hukum Islam Di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, h. 210

69

A. Qadri Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional, Kompetensi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, h. 114

hukum ini menjadi bahan baku sistem perundang-undangan Nasional.

Hukum Islam sebagai salah satu bahan baku sistem hukum dan perundang-undangan Nasional telah memberikan andil yang cukup signifikan terciptanya suatu perundang-undangan. Hukum Islam sebagai sumber bahan baku perundang-undangan Nasional didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025. Salah satu isi ketentuan UU tersebut menyebutkan bahwa arah pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025 di bidang pembangunan hukum adalah mewujudkan sistem hukum Nasional yang mantap bersumber pada Pancasila dan UUD 1945.70 Yeni Salma Barlinti menganalisis bahwa secara eksplisit Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar penggunaan hukum Islam sebagai sumber perundang-undangan Nasional.71 Dengan diundangkannya UU No. 17 Tahun 2007 ini, maka GBHN 1999 tidak berlaku lagi, GBHN 1999 secara jelas menyatakan bahwa agama menjadi salah satu sumber perundang-undangan Nasional.

Materi hukum Islam tersebar pada tiga tempat, Pertama, terkandung dalam kitab-kitab fikih. Kedua, berbentuk peraturan perundang-undangan yang bermuatan hukum Islam, diantara hukum Islam yang dilegislasi itu adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, dan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Ketiga, Putusan hakim yang telah dikodifikasi dalam bentuk yurisprudensi. Namun dilematisnya, karena ketiga sumber hukum Islam tersebut sering terjadi kontradiksi satu sama lainnya, baik antara fikih dengan perundang-undangan, maupun antara

70

UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 Pasal 3

71Yeni Salma Barlinti, Kedudukan Fatwa Dewan Syariah Nasional dalam

Sistem Hukum Nasional di Indonesia (cet. I; Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), h. 39

putusan hakim dengan perundang-undangan.72Kelihatannya, fikih yang berbentuk fatwa maupun yang termaktub dalam kitab-kitab fikih klasik tidak dapat diperhadapkan dengan peraturan perundang- undangan ketika terjadi kontradiktif, karena bentuk dan substansi fikih belum mengikat dan memaksa. Karena itu, melalui proses legislasi fikih diharapkan mampu untuk menafsirkan sesuatu yang sifatnya umum dalam peraturan perundang-undangan.

Untuk menjelaskan peraturan perundang-undangan yang kelihatannya saling kontradiktif, maka dibutuhkan sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang ditelaah secara vertikal dengan memperhatikan tiga asas, yaitu, pertama, asas lex superior derogat legi inferiori (undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan yang lebih rendah), kedua, asas lex specialis derogat legi generali

(undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang- undang yang bersifat umum), ketiga, asas lex posterior derogat legi priori (undang-undang yang berlaku belakangan mengalahkan undang-undang yang terdahulu).73

Fatwa sebagai bagian dari proses dan produk ijtihad, karena itu, fatwa sangat erat kaitannya dengan fikih. Sebab salah satu sumber materi fatwa adalah berasal dari opini syariah yang dikeluarkan oleh para ulama klasik. Pendekatan tarjih dan ilhaqi merupakan salah satu bentuk metodologi untuk melahirkan keputusan hukum berbentuk fatwa. Antara fikih dengan fatwa saling melengkapi satu sama lainnya. Fikih dipandang sebagai kitab hukum Islam (rechtsboeken)

yang menjadi referensi penting dalam mengkaji dan

mengembangkan pemikiran hukum Islam untuk merespons realitas kekinian. Sedangkan fatwa sebagai jawaban atas persoalan yang

72

Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (cet. I; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), h. 11

73

Amiruddin dan Zainal Azikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (cet. VI; Jakarta: PT. RajaGarafindo Persada, 2012), h. 129

dihadapi umat Islam dapat berbentuk resume dari kitab fikih dan dapat memunculkan opini hukum baru yang berbeda dengan fikih.

Implementasi ajaran-ajaran Islam dalam ranah publik dapat terlihat pada lembaga keuangan syariah.Dasar hukum pelaksanaan lembaga keuangan syariah, khususnya perbankan syariah diautur dalam UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998, yang kemudian disempurnakan dengan diundangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah. Untuk selanjutnya UU tersebut dirinci lagi dalam UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana diubah dengan UU No. 23 Tahun 2004.74 Adanya payung hukum ini memperjelas sistem operasional perbankan syariah, yaitu sebagai bank yang beroperasi dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Sebelumnya dengan UU No. 7 Tahun 1992, belum dicantumkan dengan jelas dasar operasional perbankan syariah, yang tercantum hanya dibolehkan pihak perbankan melaksanakan prinsip bagi hasil dalam operasionalnya. Lahirnya UU perbankan tersebut memperjelas sistem operasional perbankan syariah, yaitu berdasarkan prinsip syariah, sehingga lembaga yang berwenang dapat mengawasi kinerja perbankan dan memiliki kekuatan hukum untuk menegur, mengontrol dan membina perbankan syariah agar beroperasi sesuai dengan aturan yang diberlakukan dalam UU perbankan.

Sistem perbankan syariah di Indonesia diwujudkan dalam kerangka sistem perekonomian Indonesia, khususnya berdasarkan UU No.7/1992 tentang Perbankan, yakni menerapkan dual banking system (mengakomodir penerapan bank syariah dalam sistem perbankan konvensional).Kemudian UU tersebut diganti dengan UU No.10/1998 yang mengatur dengan rinci landasan hukum serta jenis- jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh

74

Amir Machmud dan H. Rukmana, Bank Syariah, Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia (Cet. I; Jakarta: Erlangga, 2010), h. 59

bank syariah. Kemudian dipertegas dengan UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. Payung hukum tersebut telah mendorong penguatan eksistensi perbankan syariah di Indonesia.75 kemudian diikuti dengan berbagai peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga yang berwenang menjustifikasi kesyariahaan produk lembaga keuangan syariah di Indonesia.

Secara formal, eksistensi perbankan syariah di Indonesia diakui melalui Undang-undang No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah yang mengakomodasi keberadaan bank yang beroperasi dengan prinsip bagi hasil.Secara filosofis-normatif, pengaturan bank berdasarkan prinsip bagi hasil dilandasi oleh pemikiran bahwa bank syariah sebagai suatu system lembaga intermediary yang terintegrasi dalam system perbankan nasional merupakan bank alternatif yang berdasarkan pada nilai-nilai Islam yang sesuai dengan keyakinan sebagian masyarakat Indonesia.Aktualisasi nilai-nilai Islam di bidang ekonomi dan keuangan merupakan bentuk akomodatif terhadap konsep pemikiran bahwa ajaran Islam dapat diimplementasikan di Indonesia melalui internalisasi nilai-nilai (value) Islam dalam kehidupan sosiologis masyarakat.Bukan melalui formalisasi ajaran dalam bentuk mendirikan Negara Islam. Disisi lain, sebagian masyarakat beranggapan bahwa ajaran Islam hanya dapat diaktualisasikan secara sistematis dan melembaga apabila diformalkan melalui suatu lembaga yang dipanyungi oleh peraturan perundang-undangan.76

75Wirdyaningsih, dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia (cet. III;

Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), h.2. Lihat juga, Amir Machmud dan Rukmana, Bank Syariah, Teori, Kebijakan, dan Studi Empiris di Indonesia, (cet. I; Jakarta; Erlangga, 2010), h. i

76Sepanjang sejarah wacana pemberlakuan hukum Islam di Indonesia,

telah melahirkan dua kelompok dengan tokoh dan kecenderungan pemikiran yang berbeda secara diametral. kelompok pertama, mewacanakan pemberlakuan hukum

Praktek transaksi dalam perbankan syariah tidak boleh mengandung unsur maysir (judi), gharar (ketidakpastian), dan riba. Dalam penjelasan pasal 2 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, dijelaskan sebagai berikut:

1. Gharar adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak, sehingga pihak lain dirugikan.

2. Maysir adalah transaksi yang mengandung unsur perjudian, untung-untungan, atau spekulatif yang tinggi

3. Riba adalah transaksi dengan pengambilan tambahan

4. Zalim adalah tindakan atau perbuatan yang mengakibatkan kerugian dan penderitaan pihak lain

5. Barang haram dan maksiat adalah barang atau fasilitas yang dilaran dimanfaatkan atau digunakan menurut hukum Islam.77

Islam dengan pendekatan formal-tekstualis, yaitu bahwa hukum Islam secara tekstual harus diterapkan dan diberlakukan untuk seluruh orang Islam Indonesia. Pemberlakuan hukum Islam secara formal-tekstual di Indonesia dapat terwujud jika didukung dengan perjuangan politik. Kelompok yang getol menyuarakan wacana ini antara lain adalah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbur Tahrir Indonesia (HTI), dan Front Pembela Islam (FPI). Garis perjuangan kelompok ini cenderung radikal-konservatif dengan memadukan sarana dialogis dan anarkisme parlemen jalanan. Kelompok kedua, menggunakan pendekatan kultural-substansial, yaitu bahwa hukum Islam tidak perlu diformalkan dalam bentuk legislasi, tetapi yang terpenting adalah penyerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan muslim Indonesia. Akulturasi nilai-nilai Islam, seperti kejujuran, kebebasan, keadilan, dan persamaan di muka hukum perlu dikulturisasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat muslim Indonesia jauh lebih penting daripada formalisasi ajaran agama. Karena wilayah agama merupakan domain individu dengan penciptanNya. Kelompok ini dimotori oleh Jaringan Islam Liberal (JIL). Lihat, Agus Moh. Najib, Pengembangan Metodologi Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, (cet. I; Jakarta: Kementerian Agama, 2011), h. 46-47

77

Abd. Shomad, Hukum Islam, Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 125

Prinsip-prinsip yang digunakan perbankan syariah dalam operasionalnya memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Prinsip bagi hasil (profit and loss sharing) yang diaplikasikan pada empat akad, yaitu Musyarakah

(kerjasama atau partnership), Mudarabah (bagi hasil),

Muzara’ah, dan Masaqat.

2. Prinsip jual beli yang dikembangkan dalam akad, yaitu,

Murabahah (sistem margin), as-Salam (pembayaran dimuka), dan al-Istishna’.

3. Prinsip sewa yang dikembangkan dalam beberapa akad, yaitu, al-Ijarah dan al-Ijarah Muntahia bi al-Tamlik (sewa yang diakhiri dengan kepemilikan).

4. Prinsip jasa yang dikembangkan melalui akad-akad seperti

al-Qardh (pinjaman sosial), al-Sharf (pertukaran valuta), al- Hiwalah, Rahn (gadai).78

Akad atau transaksi yang berhubungan dengan kegiatan usaha bank syariah dapat digolongkan ke dalam transaksi untuk mencari keuntungan (tijarah) dan transaksi tidak untuk mencari keuntungan (tabarru’). Transaksi untuk mencari keuntungan terbagi kepada transaksi yang mengandung kepastian, yaitu kontrak dengan prinsip