BAB II LANDASAN TEORI
2.3 Forwarding pada Jaringan Openflow
Openflow switch melakukan proses forwarding berdasarkan informasi yang ada pada tabel flow. Informasi pada tabel flow diperoleh dari instruksi yang diberikan controller.
Tabel flow berisi parameter MAC address, IP address, nomor port dan parameter lainnya yang dapat dikonfigurasi sesuai kebutuhan. Berdasarkan informasi dalam tabel flow, instruksi terhadap paket data yang datang dapat diatur, misalnya berupa forwarding ke port tertentu, dilakukan drop paket dan apabila parameter untuk paket tersebut tidak ditemukan pada tabel flow, dapat dikirim ke controller untuk ditanyakan mengenai instruksi yang perlu dilakukan.
Penggunaan tabel flow dalam Openflow mengalami perkembangan. Pada protokol Openflow versi 1.0 hanya 1 tabel flow yang didukung, tetapi dimulai versi 1.1 dan seterusnya, sebuah Openflow switch dapat mendukung lebih dari satu tabel flow.
Misalnya dengan Open vSwitch, dapat menggunakan 254 tabel flow. Tujuan didukungnya beberapa tabel flow dalam switch adalah optimisasi jaringan data, misalnya apabila terdapat terlalu banyak informasi flow data yang tersimpan dalam
sebuah tabel flow. Dengan menggunakan banyak tabel, sebuah data dapat diproses langsung ke tabel yang berisi informasi forwarding dari paket tersebut, sehingga tidak perlu mencari dari keseluruhan data flow seperti apabila hanya menggunankan satu tabel flow (Open Networking Foundation, 2014). Penulis mengilustrasikan konsep multiple flow table ini pada Gambar 2.2. Dapat dilihat proses paket data yang diterima dapat dilakukan drop, pencocokakn terhadap tabel flow lain atau ditanyakan ke controller.
Gambar 2.2. Multiple flow table.
Menurut prinsip kerjanya, proses forwarding dalam Openflow switch dibagi tiga, yaitu :
- Reactive Forwarding.
Ketika sebuah paket data atau flow dalam jaringan Openflow diterima sebuah Openflow switch, switch agent di dalam switch tersebut melakukan pencarian dalam tabel flow. Jika tidak ditemukan pasangan instruksi untuk flow tersebut, switch akan membuat paket bernama packet-in dan dikirimkan ke controller. Fungsinya adalah untuk menanyakan instruksi yang perlu
packet-in yang diterima, controller juga secara dinamis dapat mempelajari perangkat yang berada dalam topologi jaringan.
- Proactive Forwarding.
Berbeda dengan reactive forwarding, proactive forwarding tidak bereaksi terhadap jenis paket/flow data baru yang baru diterimanya. Switch telah menerima informasi flow dari controller mengenai seluruh flow/paket data yang kemungkinan akan diterima switch tersebut. Dengan begitu, sebelum menerima sebuah flow/paket baru, switch telah mengetahui instruksi yang perlu dilakukannya terhadap jenis flow tersebut. Hal tersebut membuat komunikasi dengan controller, misalnya packet-in tidak perlu diinisiasi, sehingga akan mengurangi latency. Prinsip ini mirip dengan routing table pada router, dimana seluruh alamat trafik telah tersimpan sebelum paket dari trafik tertentu diterima (Nadeau & Grey, 2013).
Proses awal dari switching tradisional dimulai ketika sebuah frame data diterima oleh switch. Kemudian algoritma pencarian data MAC address pun dimulai oleh switch itu sendiri. Proses tersebut dapat dilihat pada penjelasan berikutnya.
Gambar 2.3. Proses switching pada jaringan tradisional
Pada Gambar 2.3. dapat dilihat prinsip switching pada jaringan tradisional, dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Komputer A hendak mengirimkan data ke komputer B. Diterima switch X pada port 1.
2. Karena switch X tidak mengetahui arah tujuan data tersebut, sehingga dikirimkan ke seluruh port kecuali port asalnya, yaitu port 2. Switch X
kemudian menyimpan informasi bahwa MAC address komputer A terhubung ke port 1 pada tabel CAM. Data yg dikirimkan diterima switch Y pada port 1.
3. Switch Y tidak mengetahui arah tujuan data tersebut, sehingga dikirimkan ke seluruh port kecuali port asalnya, yaitu port 2. Switch Y kemudian menyimpan informasi bahwa MAC address komputer A terhubung ke port 1 pada tabel CAM. Data yang dikirimkan diterima komputer B.
4. Komputer B menjawab data yg dikirimkan . Data tersebut diterima switch Y pada port 2. Switch Y kemudian menyimpan informasi bahwa MAC address komputer B terhubung ke port 2.
5. Berdasarkan informasi sebelumnya, diketahui bahwa tujuan data adalah komputer A, sehingga switch Y mengirimkan data tersebut melalui port 1 ke switch X.
6. Berdasarkan informasi pada tabel CAM, switch X mengetahui bahwa tujuan data adalah komputer A, sehingga switch X mengirimkan data tersebut melalui port 1 ke komputer A.
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat dilihat bahwa setiap switch membuat keputusan secara lokal, setiap switch memiliki otaknya masing-masing dan pembaharuan tabel CAM dilakukan secara individu.
Sementara disisi lain, protokol Openflow menerapkan algoritma yang berbeda untuk skenario jaringan sederhana yang sama. Dengan reactive forwarding, untuk jenis paket baru yang baru diterima, prosesnya akan dijelaskan berikutnya.
Gambar 2.4. Prinsip forwarding pada Openflow
Pada Gambar 2.4. dapat dilihat proses dalam jaringan Openflow, yaitu : 1. Komputer A mengirimkan data dengan tujuan komputer B.
2. Prinsip kerja switch pada Openflow dalam reactive forwarding yaitu ketika menerima paket data yang tidak diketahui tujuannya, akan dikirimkan pesan ke Openflow controller untuk menanyakan instruksi berikutnya yaitu melalui pesan packet-in. Pada switch X, ketika mengirimkan pesan ke controller, controller juga tidak mengetahui arah tujuan pengiriman data, sehingga mengirimkan pesan ke switch untuk melakukan broadcast. Pesan ini dinamakan packet-out. Disaat yang bersamaan controller mempelajari bahwa komputer A terhubung pada port 1 di switch X. Informasi tersebut disimpan oleh controller.
3. Switch X kemudian broadcast ke port lain, yaitu port 2.
4. Switch Y tidak mengetahui arah tujuan paket, sehingga mengirimkan Packet-in ke controller. Controller mengirimkan packet-out berisi instruksi untuk melakukan broadcast.
5. Switch Y mengirimkan broadcast. Komputer B menerima paket yang dikirimkan.
6. Komputer B menjawab paket tersebut lalu dikirimkan ke switch Y.
7. Switch Y tidak mengetahui kemana tujuannya sehingga mengirimkan pesan Packet-in ke controller. Ketika menerima pesan tersebut, controller mempelajari bahwa komputer B terhubung pada port 2 di switch B.
Digabung dengan informasi sebelumnya, controller melakukan update pada tabel flow di seluruh switch mengenai informasi yang dimilikinya, sehingga switch Y mengetahui arah pengiriman, yaitu ke switch X.
8. Paket tidak dilakukan broadcast, tetapi dikirimkan ke switch X sesuai informasi terbaru pada tabel flow yang diterima dari controller.
9. Switch X kemudian mengirimkan paket ke komputer A. Untuk pengiriman berikutnya dari komputer A ke B ataupun sebaliknya, switch X dan Y tidak lagi menanyakan instruksi ke controller, dikarenakan sudah memiliki informasi pada tabel flow masing-masing. Paket langsung dikirimkan sesuai informasi dari tabel flow.
Dari proses tersebut, dapat dilihat bahwa controller mempelajari bagaimana switch terhubung dan informasi pada controller dibagikan ke tabel flow pada switch, sehingga pengiriman data yang sama pada giliran berikutnya tidak perlu melibatkan controller lagi.
Melalui penjelasan prinsip kerja switching tradisional dan reactive forwarding pada protokol Openflow pada skenario yang sama, dapat dilihat perbedaan algoritma dalam proses pengaluran data. Dalam pencarian proses instruksi terhadap sebuah paket data baru yang baru diterima, reactive forwarding cenderung menimbulkan latency dikarenakan membutuhkan komunikasi dengan perangkat eksternal.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian terhadap hasil virtualisasi pada sebuah controller. Melalui virtualisasi, sebuah controller dibagi menjadi beberapa instansi controller dan berada dalam perangkat yang sama. Dengan konsep ini, setiap switch hanya berkomunikasi dengan controller yang menjadi master baginya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.1.
Gambar 3.1. Pembagian instansi pada controller
Penelitian akan dilakukan dengan dua komponen perangkat lunak yaitu Mininet (untuk emulasi jaringan Openflow) dan menggunakan controller Open Network Operating System (ONOS) yang diinstalasi ke dalam sistem operasi Linux Ubuntu Server 14.04 LTS 64 bit. Controller ONOS yang telah terinstalasi
dihubungkan dengan skenario topologi/sistem jaringan yang telah diemulasi dengan Mininet.
3.1 Rancangan Penelitian
Adapun rancangan yang akan dilakukan untuk dapat melakukan penelitian adalah sebagai berikut :
1. Perancangan topologi dan emulasi dengan konfigurasi Mininet.
2. Instalasi ONOS pada sistem operasi server.
3. Konfigurasi container dengan Linux Containers (LXC) 4. Konfigurasi ONOS terhadap tiap container yang terbentuk.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan 3 topologi masing-masing menggunakan satu, dua dan tiga instansi controller dalam sebuah controller. Skenario ini dapat dilihat pada Gambar 3.2.
Gambar 3.2. Skenario topologi penelitian
Dari ketiga skenario tersebut, akan diukur nilai throughput dan latency antar host yang didapat. Nilai throughput akan dilihat dan dibandingkan dengan keadaan tanpa pembagian instansi. Dari rencana penelitian ini, akan dilihat efektifitas dan pengaruh dari pembagian fungsi kontrol pada controller. Flowchart dari proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.3.
3.2 Proses Penelitian
3.2.1 Emulasi jaringan dengan Mininet
Mininet merupakan perangkan lunak yang dapat membangun emulasi sebuah jaringan Openflow, dimana Mininet mendukung Openflow versi 1.0, namun dapat dirancang untuk dapat menjalankan perangkat lunak switch yang menggunakan versi yang terbaru (Azodolmolky, 2013). Dalam sebuah mesin tunggal baik perangkat keras komputer, virtual maupun melalui media cloud, Mininet dapat membangun sebuah jaringan dengan komponen virtual seperti switch, controller maupun link yang menghubungkan. Jaringan yang dibentuk oleh Mininet menjalankan code yang sesungguhnya, termasuk aplikasi jaringan Unix/Linux yang sesungguhnya termasuk kernel yang sesungguhnya juga.
Dengan demikian, jaringan maupun code yang dikembangkan dan diuji pada Mininet untuk controller Openflow, swith maupun host dapat dipindahkan ke sistem yang sesungguhnya dengan perubahan yang minimal, untuk uji coba pada sistem yang sesungguhnya, evaluasi performa, maupun pengembangan dan penelitian (Mininet Overview, 2016).
Tampilan awal dari Mininet dapat dilihat pada Gambar 3.4. Apabila tidak dilakukan perintah untuk topologi yang dikembangkan, Mininet akan jalan dengan topologi awal yang terdiri dari sebuah swith (s1), dua buah host (h1 dan h2) dan sebuah controller (c0), dimana controller akan menggunakan alamat 127.0.0.1 sebagai identitasnya. Pada tampilan tersebut akan terlihat juga link yang diemulasi untuk menghubungkan host dan switch dalam jaringan.
Gambar 3.4. Tampilan awal Mininet
Sesuai skenario pada Gambar 3.1, Mininet akan digunakan untuk membangun topologi jaringan. Adapun informasi mengenai parameter perangkat yang akan dilakukan emulasi dalam Mininet dapat dilihat pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1. Tabel informasi perangkat jaringan
Nama Jenis Alamat
c0 Controller (instansi 1) 10.0.3.11 c1 Controller (instansi 2) 10.0.3.12 c2 Controller (instansi 3) 10.0.3.13
s1 Switch 1 00:00:00:00:00:01
s2 Switch 2 00:00:00:00:00:02
s3 Switch 3 00:00:00:00:00:03
s4 Switch 4 00:00:00:00:00:04
s5 Switch 5 00:00:00:00:00:05
s6 Switch 6 00:00:00:00:00:06
h1 Host 1 10.0.0.1
h6 Host 6 10.0.0.6
3.2.2 Konfigurasi Open Network Operating System (ONOS)
ONOS merupakan sistem operasi jaringan SDN bersifat open source yang pertama. Fokus untuk ONOS adalah jaringan service provider dan ONOS telah dilengkapi fasilitas untuk mempermudah melakukan kontrol terhadap seluruh perangkat yang mendukung protokol Openflow (The Open Networking Lab, 2014). Spesifikasi perangkat keras minimum yang diperlukan untuk menjalankan ONOS untuk diinstalasi dalam sebuah virtual machine adalah :
- Ubuntu Server 14.04 LTS 64-bit - 2 GB RAM atau lebih
- 2 atau lebih processor
Untuk membangun dan menjalankan ONOS diperlukan : - Java 8 SDK
- Apache Maven 3.3.9
- Git - Bash
- Apache Karaf 3.0.5
Tampilan CLI dari ONOS setelah instalasi berhasil, dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5. Tampilan CLI dari ONOS
3.2.3 Konfigurasi Linux Containers (LXC)
Linux Containers (LXC) merupakan teknologi virtualisasi ringan. Berbeda dengan virtualisasi penuh seperti Qemu ataupun VMware, container tidak mengemulasikan perangkat keras dan setiap container yang dibentuk berbagi sistem operasi yang sama sebagai host (Ubuntu Documentation, 2015). Hal ini dapat menghemat sumberdaya seperti CPU, memory dan lain-lain. Dalam penelitian ini penulis akan melakukan pembagian instansi pada controller ONOS dengan melalui konfigurasi pada LXC dengan menggunakan sumberdaya pada sebuah server dengan sistem operasi Ubuntu Server.
Setiap container membutuhkan alamat IP agar dapat terdeteksi dan terhubung dalam jaringan. Linux bridges digunakan untuk menghubungkan container yang dibentuk. Pada LXC, bridges yang digunakan dinamai lxcbr0.
Setiap container akan menggunakan virtual Ethernet bridge interface (veth) yang akan terhubung melalui bridge. Konfigurasi LXC akan dilakukan dalam penelitian ini untuk melakukan virtualisasi pada sebuah controller, sehingga
terlihat seperti tiga unit controller, dimana ketiganya terhubung melalui sebuah bridge.
3.2.4 Konfigurasi Wireshark
Wireshark merupakan perangkat lunak open source yang dapat menangkap dan melakukan decode terhadap paket data dalam jaringan. Proses decode menggunakan dissector yang dapat mengidentifikasi dan menampilkan nilai dari paket data dalam jaringan (Chappel, 2013). Untuk instalasi perangkat lunak ini, dilakukan terhadap sistem operasi utama.
3.2.5 Pengukuran Performa Jaringan
Pengukuran performa jaringan dilakukan dengan dua cara, yaitu pengukuran throughput dan latency, dimana throughput merupakan jumlah bit yang dapat dikirimkan dalam jaringan pada periode waktu tertentu dan latency merupakan lama waktu yang dibutuhkan sebuah pesan data untuk dikirim dari satu titik awal ke titik akhir. Pengukuran latency diutamakan untuk pengiriman data dari titik awal ke titika akhir, lalu kembali lagi. Proses ini dinamakan round-trip time atau RTT ( Peterson & Davie, 2003). Pada penelitian ini, penulis mengukur throughput dengan menggunakan aplikasi iperf. Iperf merupakan perangkat lunak open source yang dapat melakukan pengukuran parameter jaringan menggunakan komunikasi data bidirectional maupun unidirectional melalui paket Transmission Control Protocol (TCP) maupun User Datagram Protocol (UDP) dalam prosesnya (Duarte & Pujolle, 2013). Untuk pengukuran latency, penulis menggunakan protokol ICMP.
3.2 Integrasi Komponen Penelitian
Tampilan hasil dari konfigurasi Mininet dan integrasinya terhadap controller dapat dilihat pada CLI dari Mininet di Gambar 3.6. Dapat dilihat pada skenario pertama seluruh switch terhubung pada sebuah controller yaitu c1. Pada skenario kedua ada 2 controller yaitu c1 dan c2, dan pada skenario ketiga terdapat tiga controller yaitu c1, c2 dan c3. Pada tampilan tersebut terlihat terhubungnya jaringan dengan jumlah controller
Gambar 3.6. Tampilan Mininet untuk skenario penelitian
ONOS dilengkapi dengan GUI untuk melihat tampilan topologi yang dibentuk.
Gambar hasil konfigurasi jaringan terhadap tiga skenario penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.7 dan Gambar 3.8. Dapat dilihat pada GUI, setiap pasangan controller dan switch digambarkan dengan warna yang sama. Pada CLI, terlihat pasangan dari switch dengan controller yang menjadi master terhadapnya.
Gambar 3.7. Tampilan GUI pada ONOS untuk skenario penelitian
Gambar 3.8. Tampilan CLI pada ONOS terhadap skenario penelitian
Pada penelitian ini, penulis menamai container yang dibentuk pada LXC dengan nama instansi-satu, instansi-dua dan instansi-tiga. Untuk veth pada tiap container penulis menamainya veth-satu, veth-dua dan veth-tiga. Hasil konfigurasi tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.9. Tiap container diberi alamat IP sesuai alamat pada tiap controller.
Gambar 3.9. Tampilan konfigurasi LXC untuk penelitian
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Perhitungan Pada Penelitian 4.1.1 Hasil Perhitungan Latency
Pengukuran latency dilakukan terhadap host 1 dan host 6 dengan pengiriman paket ICMP. Untuk tiap skenario penelitian, dilakukan tiga kali percobaan, dimana setiap percobaan dilakukan pengiriman paket ICMP sebanyak 20 sequence/urutan. Hasil pengukuran dapat dilihat pada Tabel 4.1, Tabel 4.2, dan Tabel 4.3. Satuan latency adalah milliseconds (ms).
Tabel 4.1. Nilai latency pada penilitian untuk skenario 1
Urutan Skenario 1
Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3
1 57.2 105 62.5
19 0.137 0.155 0.107
20 0.156 0.174 0.167
Tabel 4.2. Nilai latency pada penilitian untuk skenario 2
Urutan Skenario 2
Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3
1 91 118 94.1
Tabel 4.3. Nilai latency pada penilitian untuk skenario 3
Urutan Skenario 3
Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3
1 105 100 113
2 1.98 1.98 2.44
3 0.136 0.124 0.149
4 0.091 0.129 0.088
5 0.103 0.096 0.14
7 0.098 0.137 0.231
4.1.2 Hasil Perhitungan Throughput
Pengukuran throughput dilakukan dengan aplikasi iperf dengan mengirimkan paket TCP antara host 1 dan host 6. Pengiriman iperf dilakukan sebanyak 10 kali. Hasil pengukuran terlihat pada Tabel 4.4, dimana satuan dari throughput dalam Gigabit tiap detik (Gbit/s).
Tabel 4.4. Nilai throughput pada tiap skenario penelitian Percobaan Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
1 17.7 18.4 19.5
4.2 Analisis Hasil Penelitian
4.2.1 Analisis Hasil Virtualisasi terhadap Container
Dilihat dari output CLI pada ONOS, identitas setiap switch yang berada pada emulasi jaringan ketika berkomunikasi dengan controller dalam control network menggunakan alamat IP dari lxcbr0 namun dengan port komunikasi yang berbeda-beda. Nomor port ini diberi secara acak. Untuk analisis, penulis mengunakan instansi 2 pada skenario penelitian 3. Pada gambar tersebut tampak perangkat pada jaringan yang dilihat oleh instansi 2 dari controller.
Gambar 4.1. Tampilan perangkat yang dilihat oleh instansi 2
Pada Gambar 4.1 juga dapat dilihat bahwa instansi 2 menjadi controller untuk switch 2 dan 5 (sesuai dengan skenario 3) dimana switch 2 terhubung dengan controller melalui port 36234 dan switch 5 melalui port 36243. Sebuah controller dalam jaringan Openflow mengirimkan paket broadcast secara periodik untuk mendeteksi topologi jaringan. Dalam hal ini, controller menggunakan Link Layer Discovery Protocol atau LLDP (Hu, 2014).
Berdasarkan pengamatan penulis, controller ONOS yang digunakan dalam penelitian menggunakan alamat de:ad:be:ef:ba:11 untuk pengiriman paket LLDP. Pada Gambar 4.2 dapat dilihat controller hanya mengirimkan pakett LLDP ke switch yang dikontrolnya.
Gambar 4.2. Paket Link Layer Discovery Protocol (LLDP)
Untuk melihat alur paket komunikasi controller dan switch, dijalankan paket ICMP antara host 1 dan host 6 (yang melewati switch yang dikontrol controller yang berbeda). Pada gambar 4.3, dapat dilihat bahwa instansi 2 hanya menerima packet-in dan packet-out dari switch yang menjadi bawahannya yaitu switch 2 dan 5.
Gambar 4.3. Komunikasi packet-in dan packet-out pada instansi 2
Paket packet-in dan packet-out yang diterima oleh instansi 2 berupa pertanyaan dari switch mengenai proses yang perlu dilakukan seputar paket ICMP yang diterima. Pada Gambar 4.3 tersebut juga tampak jenis paket ICMP tersebut, dimana Type 8 adalah echo request dan 0 adalah echo reply. Dari pengiriman paket ICMP tersebut, dapat dilihat bahwa switch 2 dan 5 berkomunikasi dengan instansi ke 2 dari controller, sehingga virtualisasi dan pemisahan kontrol dapat dikatakan telah berhasil.
4.2.2 Analisis Terhadap Jaringan Data
Berdasarkan hasil pengukuran pada Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan Tabel 4.3, dapat dilihat bahwa nilai latency tertinggi terletak pada 2 sequence pertama. Grafik yang menunjukkan hasil pengukuran latency tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.4, Gambar 4.5 dan Gambar 4.6.
Gambar 4.4. Grafik perhitungan latency pada percobaan 1
Gambar 4.5. Grafik perhitungan latency pada percobaan 2
Gambar 4.6. Grafik perhitungan latency pada percobaan 3
Berdasarkan grafik pada Gambar 4.4, Gambar 4.5, dan Gambar 4.6 dapat dilihat bahwa latency komunikasi pada jaringan data tidak berbeda jauh. Skenario satu digambarkan dengan warna biru, skenario dua warna merah, dan skenario tiga dengan warna hijau. Adapun latency tertinggi terjadi pada awal komunikasi.
Selain karena delay untuk packet-in dan packet-out yang dijelaskan pada sub bab 4.2.1, paket baru yang terlihat pada Wireshark adalah Address Resoulution Protocol (ARP), dimana host 1 mengirimkan paket broadcast ARP untuk mencari host 6. Dapat dilihat pada Gambar 4.7, yang merupakan daftar paket ARP yang muncul dan ditangkap pada lxcbr0 sejak paket ICMP dijalankan.
Gambar 4.7. Paket ARP pada awal komunikasi jaringan data
Untuk nilai latency terhadap sequence ICMP setelah proses ARP, pada tiap skenario memiliki nilai dibawah 1 ms. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada standarisasi kelayakan nilai latency pada jaringan LAN. Nilai latency terbaik yang diharapkan tentunya adalah 0 ms. Namun hal tersebut tidak memungkinkan dikarenakan ada faktor sumber datangnya latency, mulai dari delay propagasi sinyal, delay antarmuka jaringan untuk serialisasi, delay pemrosesan jaringan, delay di dalam perangkat dan delay antrian (Kay, 2016).
Melihat faktor tersebut dan membandingkan latency pada skenario penelitian mendekati 0 ms, maka penulis melihat trafik cukup baik dan normal.
Grafik pengukuran throughput dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Percobaan pengukuran throughput dilakukan sebanyak 10 kali terhadap ketiga skenario penelitian.
Gambar 4.8. Grafik pengukuran throughput
Pada gambar tersebut dapat dilihat throughput yang diperoleh dari ketiga skenario bervariasi dengan percobaan ketiga skenario setelah dilakukan percobaan sebanyak sepuluh kali dari host 1 ke host 6. Ketika penulis mengirimkan paket TCP untuk mengukur throughput melalui iperf dari host 1 ke host 6 , penulis menemukan adanya delay berupa TCP retransmisson dan TCP out of order. Seperti pada Gambar 4.9 dalam skenario 1. TCP retransmission dan TCP out of order terlihat pada komunikasi antara switch dengan controller yang menjadi pusatnya.
0 5 10 15 20 25
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Throughput (Gb/s)
Nomor Percobaan
Skenario 1 Skenario 2 Skenario 3
Gambar 4.9. Delay terhadap TCP pada skenario 1
Pada skenario tiga, seluruh instansi controller juga menerima TCP retransmission dan TCP out of order lebih sedikit, dikarenakan fungsi controller telah dibagi sehingga tidak seperti skenario 1 dimana controller melakukan kontrol terhadap seluruh switch. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.10.
Gambar 4.10. Delay terhadap TCP pada instansi 3 dalam skenario 3.
Peringatan retransmission pada Wireshark muncul ketika Wireshark mendeteksi dua paket data dengan urutan/sequence yang sama. Pengirim akan mengirimkan kembali (retransmit) data tersebut ketika dia tidak menerima acknowledgement dari paket yang dikirimkan dalam jangka waktu yang ditentukan. Sementara peringatan out of order mengindikasikan bahwa Wireshark mendeteksi paket yang bergerak melalui jalur yang tidak tepat.
Peringatan ini pada umumnya tidak menjadi masalah, kecuali batas waktu penerima untuk menerima paket out of order tersebut telah lewat (Chappel, 2013). Berdasarkan hasil pengamatan penulis, tidak ditemukan indikasi lain dari komunikasi data melalui ONOS dan switch, yang berpengaruh terhadap throughput. Throughput yang diterima pada ketiga skenario berada pada rentang 17.7 s/d 22.1 dimana rata-rata throughput dalam sepuluh kali percobaan untuk skenario 1, skenario 2 dan skenario 3 masing-masing adalah 194.5, 193.1 dan 194.5. Berdasarkan data tersebut, penulis melihat throughput tetap stabil dalam keadaan dilakukan virtualisasi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran dan analisis yang dilakukan pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :
1. Konsep virtualisasi dapat diterapkan dengan baik pada controller dalam jaringan LAN berbasis Openflow yang diemulasikan, dimana komunikasi switch dalam control network dapat dibagi sesuai dengan jumlah instansi yang dibentuk. Trafik data dari switch pada control network tetap berkomunikasi pada instansi controller yang menjadi pusatnya.
1. Konsep virtualisasi dapat diterapkan dengan baik pada controller dalam jaringan LAN berbasis Openflow yang diemulasikan, dimana komunikasi switch dalam control network dapat dibagi sesuai dengan jumlah instansi yang dibentuk. Trafik data dari switch pada control network tetap berkomunikasi pada instansi controller yang menjadi pusatnya.