• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fungsi manusia terhadap Allah ditegaskan dalam al-quran surat Adz-Dzariyat ayat 56, sebagai berikut yang artinya:

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar merka beribadah kepada-Ku”.

Dengan demikian beribadah kepada Allah yang menjadi fungsi manusia terhadap Allah baik dalam bentuk umum maupun bentuk khusus. Ibadah dalam bentuk umum ialah melaksanakan hidup sesuai ketentuan-ketentuan

15 Bimo Walgito, Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), (Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM,1987), h. 41.

Allah, sebagaimana dianjurkan al-quran dan Sunnah Rasul. Sedangkan ibadah dalam bentuk khusus (mahdhah) yaitu berbagai macam pengabdian kepada Allah yang cara melakukannya sesuai dengan ketentuan syara’. Dalam bidang aqidah, fungsi manusia terhadap Allah adalah meyakini bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah.bertuhan kepada selain Allah berarti suatu penyimpangan dari fungsi manusia terhadap Allah. Bertuhan kepada Allah adalah sesuai sifat dasar manusia yaitu religius, tetapi sifat hanief yang ada pada manusia membuat manusia harus condong kepada kebenaran yaitu mentauhidkan Allah.16

Fokus utama pembangunan dalam Islam adalah pembangunan insaniah manusia itu sendiri. Pembangunan yang coba diketengahkan yang datangnya daripada kesadaran yang tinggi dari umatnya yang saling bekerjasama, mensejahterakan dalam lingkup iman kepada Allah swt, disertai dengan ketinggian moral dan akhlak.17

Konsep masyarakat Islam tidak seperti masyarakat yang dibentuk Barat. Elemen pembentuk masyarakat Islam itu lebih luas. Berbasis sila Pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa” dan falsafah pancasila menjadi pedoman dasar dalam mengatur aspek-aspek kehidupan, seperti ekonomi, sosial, budaya, politik dan lain-lain. Masyarakat Islam adalah komunitas individu yang bertauhid. Ekonomi harus dikaitkan dengan teologi, politik, juga wajib ditautkan dengan etika Islam. Islam sebagai pandangan hidup, perundang-undangan dalam setiap aspek-aspek yang berhubungan dengan kehidupan, baik personal maupun sosial. Demikian, ditegaskan bahwa untuk membentuk masyarakat Islam yang baik, maka harus menjunjung tinggi Etika yang diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesadaran bukanlah representasi dari sebuah dunia yang di luar organisme hidup. Kesadaran tidak lain adalah sebuah proses melahirkan terus-menerus sebuah dunia melalui proses kehidupan. Interaksi sistem kehidupan dengan

16 Ibid.

17 M. Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 124.

lingkungannya adalah interaksi kesadaran, demikian pula kehidupan itu sendiri adalah proses kesadaran, proses mental.18

Berbicara tentang bagaimana perbuatan baik dan buruk maka tidak terlepas dari pembahasan apa itu etika, seperti dijelaskan oleh Abuddin Nata dalam bukunya akhlak tasawuf, “etika adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat dan perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik dan buruk.”19

Menurut Burhanuddin Salam, etika mempunyai pengertian sama dengan kesusilaan, memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan buruk, penilaian ini menyangkut perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.20

Berbicara etika, sering kali disamakan dengan moral, susila, dan akhlak yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia dari sudut tingkah laku yang baik dan buruk, kesemua istilah sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah. Hanya saja ada perbedaan diantaranya terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik dan buruk berdasarkan pada akal pikiran dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat, maka akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik dan buruk adalah Al-quran dan al-hadis.21 Selain itu juga perbedaaan antara etika, moral dan susila terletak pada kawasan pembahasannya, jika etika lebih banyak bersifat teoritis maka moral dan susila lebih banyak bersifat praktis.

Relevan dengan pandangan diatas, Muhammad Said juga mengungkapkan perbedaan etika dan moral, jika moral atau moralitas dipakai sebagai tolok ukur untuk menilai suatu perbuatan yang dilakukan seseorang sedangkan etika

18 A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan Bersama Fritjof Capra, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), h. 117.

19 Abuddin Nata, Op. Cit. h. 92 20 Burhanuddin, Salam, Op. Cit, h. 2 21 Abuddin Nata,Op. Cit, h, 97.

dipergunakan sebagai kerangka pemikiran untuk mengkaji sistem-sistem atau nilai atau kode.22 Jadi muatan bobot etika lebih banyak pada sifat teori sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.23

Sejalan dengan pandangan diatas, Burhanuddin Salam dalam bukunya Etika Individual yang telah menukil dari W.J.S Poerwadarminto mengemukakan bahwa moral adalah ajaran tentang baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, sedangkan etika adalah ilmu pengetahuan asas-asas akhlak (moral)24.

Moralitas menurut Poespoprodjo adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruknya perbuatan manusia.25

Hal yang mendasar yang tidak dapat terlepas dari pembicaran tentang pembenaran moral adalah persoalaan yang berkenaan dengan pertanyaan bagaimana seseorang dapat hidup dengan cara yang baik setiap saat. Manusia terlahir dalam keadaan baik sehingga menjadi tugasnya untuk selalu mempertahankan kebaikan tersebut senantiasa ada dalam sebutan dirinya. Tanggung jawab dari eksitensinya didunia ini adalah memfungsikan dirinya sedemikian rupa agar meraih nilai-nilai moral menjadi miliknya yang sejati, sehingga ia pantas disebut sebagai manusia.

Standar moral manusia banyak ditentukan oleh tingkat perkembangan sosialnya, intelegensinya, dan ilmu pegetahuan yang berkembang. Moralitas tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia sebagai pembuka bagi kehidupan yang lebih maju kearah kehidupan yang membahagiakan dan penuh makna.26

22 Muhammad, Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta : Pradya Paramita, 1980), h. 23-24.

23Hamah, Ya’kub, Etika Islam :Pembinaan Akhlakul Karimah, (Bandung: Diponegoro, 1996), h. 14.

24 Burhanuddin Salam. Op. cit, h. 2.

25 Poespoprodjo, Filsafat Moral “Kesusilaan Dalam Teori Dan Praktek”, (Bandung: Pustaka Grafika, 1999), h.118.

26 Undang Ahmad Kamaluddin, Filsafat Manusia”Sebuah Perbandingan Antara Islam Dan Barat”,(Bandung: Pustaka Setia, 2012), h. 220.

Dari beberapa pemaparan tentang etika diatas, dapat dipahami bahwa etika adalah suatu kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu manusia dapat berkata perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk, dengan demikian maka etika itu mencangkup tentang benar dan salah perbuatan dari setiap manusia dalam arti bahwa benar dan salah memainkan peranan dalam hidup manusia. Etika juga merupakan fenomena manusiawi yang universal dan etika hanya terdapat pada manusia tidak pada makhluk lain.

Berbicara masalah etika, di Indonesia sendiri pembahasan mengenai etika sudah banyak diperbincangkan, kegelisahan-kegelisahan sudah mulai tampak dari berbagai kalangan, terutama pada masyarakat yang memegang jabatan penting sekarang ini sebagian etika anggotanya sudah rusak, atau mulai merosot, dimana kepentingan umum tidak lagi dinomor satukan, akan tetapi kepentingan dan keuntungan pribadilah yang menonjol pada banyak orang.

Kejujuran, kebenaran, keadilan dan keberanian telah tertutup oleh penyelewengan-penyelewengan baik yang terihat ringan maupun berat, banyak terjadi adu domba, hasad dan fitnah, menjilat, menipu, berdusta, mengambil hak orang sesuka hati, disamping perbuatan-perbuatan maksiat lainnya . Yang dihinggapi oleh kemorostan etika itu bukan hanya orang dewasa, akan tetapi telah menjalar sampai kepada tunas-tunas muda yang kita harapkan untuk melanjutkan perjuangan membela nama baik bangsa dan negara kita.

Kerusakan etika saat ini sudah sampai pada kondisi yang sangat memprihatinkan, dan itu terjadi pada semua level masyarakat. Anak-anak remaja hingga orang dewasa sudah banyak yang terjangkit penyakit ini. Para pejabat sudah tidak mempunyai rasa malu meminta dan mengambil sesuatu yang bukan haknya.

Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusakan etika adalah sebagai berikut :27 1. Kurangnya pembinaan mental,

2. Kurangnya pengenalan terhadap nilai pancasila, 3. Kegoncangan suasana dalam masyarakat, 4. Kurang jelasnya hari depan dimata anak muda, 5. Pengaruh budaya asing.

Menyikapi fenomena tersebut, penulis berharap di Indonesia sangatlah mendesak untuk dilakukannya gerakan restorasi di segala bidang. Pasalnya, bangsa ini telah mengalami gejala kemerosotan etika yang ditandai krisis kepemimpinan dan instabilitas kepentingan pribadi yang mengatasnamakan kepentingan umum.

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa dalam penelitian ini penulis mengangkat pembangunan berkelanjutan dan implementasi undang-undang desa sebagai objek material serta etika Islam sebagai objek formalnya. Dengan maksud peneliti ingin mengungkap karakteristik serta implikasi pembangunan berkelanjutan dan implementasi undang-undang desa dan meletakkan etika Islam sebagai pisau analisisnya

B. Permasalahan