• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM HAKIM PENGADILAN AGAMA

C. Fungsi dan Peran Hakim Agama

Tentang kedudukan Hakim Pengadilan Agama dalam kurun waktu peroide 1970-1989, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah Agung RI dalam simposium sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter”

zaman dahulu.

Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 di mana dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan Peradilan yang diakui Negara, maka Hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah Hakim Negara dengan tugas mengadili perkara-perkara tertentu yang masuk kewenangannya.12 Lebih lanjut dikemukakan dalam Undang-Undang bahwa sesuai dengan tugas dan sumpah jabatannya, maka Hakim Peradilan Agama berkewajiban mengadili dan memutuskan perkara yang menjadi wewenangnya berdasarkan hukum Islam dan peraturan yang berlaku.13 Jadi, kedudukan Hakim

11

Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 7.

12

A. Manan Chik Lamkuta, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, Artikel dalam Harian Pelita, terbitan hari Rabu tanggal 7 Maret 1984, h. 3.

13

Ibid, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, Artikel dalam Harian Pelita, terbitan hari Rabu tanggal 7 Maret 1984, h. 4.

46

Agama adalah Hakim Negara dan sama dengan Hakim dalam lingkungan peradilan lainnya, tidak ada perbedaan dan tidak ada diskriminasi.14

Pasca Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, menunjukkan banyak peran hakim peradilan agama yang harus dilaksanakan antara lain sebagai berikut;

a. Sebagai Penegak Hukum

Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas tersebut dibebankan kepada Hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar.15

Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan Hakim Agama mengemukakan bahwa Hakim Agama harus dapat menggali, memahami, dan menghayati hukum yang hidup dalam masyarakat dengan

14

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam), (Jakarta: Kencana, 2007), Ed. 1, Cet. Ke-1, h. 176.

15

Ibid, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam), h. 177.

cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila Hakim tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.16

b. Sebagai Pembentuk Undang-Undang atau Penemu Hukum

Oleh karena Undang-Undang sering tidak lengkap atau tidak jelas, maka Hakim harus mencari hukumnya dan menemukan makna normatif hukumnya. Penemuan hukum (rechtsvinding) lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Ini merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengikat peristiwa konkret.17

c. Sebagai Penafsir Undang-Undang

Interprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terhadap undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat searah dengan peristiwa tertentu. Penafsiran Hakim mengenai peraturan hukum merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pemahaman terhadap peristiwa yang konkret yang dapat diterima oleh masyarakat. Penggunaan penafsiran ini dengan baik, mensyarakatkan Hakim

16

A. Manan Chik Lamkuta, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5.

17

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suara Pengantar, (Yogyakarta: Liberty), h. 135-137.

48

dengan sungguh-sungguh memahami berbagai macam metode penafsiran hukum, atau Undang-Undang, antara lain metode dramatikal, teleologis, historis, komperatif, faturistis, restriktif dan ekstensif, serta moteda

contrario.18

d. Sebagai Anggota Masyarakat

Hakim Pengadilan Agama dipandang oleh masyarakat19 bukan sebagai pegawai negeri dan aparat penegak hukum semata, tetapi juga dianggap sebagai tokoh masyarkat yang mempunyai ototoritas. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Agama harus menjadi teladan dalam masyarakat sekitarnya. Hakim pengadilan agama harus membawa diri sebaik-baiknya, sehingga di dalam bekerja tidak direpotkan oleh tindakan yang tidak bertanggung jawab dari masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.20

Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman pasal 10 ayat (1) Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud

18

Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 179.

19

Ibid, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan,h. 180.

pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

D. Seputar Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa

Dalam Laporan Kinerja Tahun 2009, Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa berjumlah 11 (sebelas) orang, yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang dan 1 (satu) orang wanita. Adapun yang menjadi narasumber dalam penilitian ini adalah:

1) Drs. Haryadi Hasan, M.H.

2) Drs. Sodikin, S.H.

3) Drs. Soleman, M.H.

4) Drs. Saprudin, S.H.

BAB IV

PORBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA

A. Kedudukan Talak di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Sebelum mengetahui kedudukan talak di luar Pengadilan, baik menurut hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perlu diketahui bahwa yang terkandung di dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan yang berwenang” adalah landasan dalam perceraian yang terkandung di dalam Undang-Undang yang cenderung kepada persaksian talak.1 Oleh sebab itu, kedudukan talak di luar Pengadilan lebih difokuskan kepada persaksian talak, sebagai implementasi yang dituangkan dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut.

Kebanyakan fuqaha (jumhur ulama) berpendapat bahwa talak itu dapat terjadi tanpa persakian, yakni dipandang sah oleh hukum Islam suami menjatuhkan talak kepada isterinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua orang

1

Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Premena Jaya, 2006, Cet. Ke-2, h. 191.

saksi, karena talak itu menjadi hak suami sehingga berhak sewaktu-waktu menggunakan haknya tanpa harus menghadirkan dua orang saksi.2

Menurut ketentuan hukum Islam, talak adalah termasuk salah satu hak suami, Allah menjadikan hak talak di tangan suami, tidak menjadikan hak talak itu di tangan orang lain, baik orang lain itu isteri, saksi ataupun Pengadilan.3

Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 menyatakan sebagai berikut:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Q.S. al-Ahzab: 49)

Ibnu Qayyum berkata bahwa talak itu menjadi hak bagi orang yang menikahi, karena itulah yang berhak menahan isteri yakni merujuknya, suami tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya.

2

Ibid, Fiqh Munakahat, h. 208.

3

49

Berbeda dengan ulama fuqaha Syi’ah Imamiyah berbeda pendapat dengan fuqaha Jumhur, yaitu mereka berpendapat persaksian dalam talak adalah syarat bagi sahnya talak, yang dilandaskan dengan firman Allah dalam surat at-Thalaq ayat 2:

☯ ⌧

Artinya: “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”

(Q.S. At-Thalaq: 2)

Adapun talak di luar Pengadilan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal persaksian talak rupanya Pemerintah Indonesia cenderung kepada keharusan adanya persaksian talak dimaksud. Hal ini dapat dilihat pada pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah disebut di atas, yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan”, kemudian pasal 14 Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1974 menyatakan bahwa “suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan isterinya, harus mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu”.4

Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri bersangkutan tidak mungkin didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

B. Pandangan Hakim Tentang Talak di Luar Pengadilan

Mengenai perceraian di luar Pengadilan, masih ada sebagian pendapat fuqaha bahwa perceraian itu sah apabila dilakukan hanya dilakukan di hadapan beberapa saksi, ini hanya sebahagian kecil saja. Tapi jika belajar dari pasal perundang-undangan, bahwa perceraian itu hanya sah dilakukan di hadapan

4

51

persidangan, maka siapa pun yang melakukan perceraian di luar pengadilan maka dinyatakan tidak sah.5

Dalam pandangannya Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa mengenai talak di lura Pengadilan menyatakan pula bahwa hukum itu pertimbangannya adalah fikih, dan fikih itu bukanlah hukum, fikih adalah sebuah faham, fikih itu menjadi hukum jika sudah diundang-undangkan. Seperti pendapat Imam Hanafi, Syafi’i, jika melihat dari sana harus mengambil pendapat Imam Hanafi, termasuk pendapatnya itu adalah marsalah mursalah, pernikahannya harus dicatat, jika mereka yang mengatakan tidak harus dicatat yang penting ada saksi dan adanya wali, maka perceraian pun tidak harus dicatat, jadi menurut Syafi’iyah sah-sah saja, tetapi menurut Imam Hanafi itu harus dicatat. Ketika zaman Rasulullah ada sahabat yang datang ya Rasulullah isteri saya mempunyai penyakit dan isterinya juga sama menghadap Rasulullah, bahwa ya Rasulullah suami saya tidak memberikan nafkah, kemudian Rasulullah membawa mereka ke Masjid untuk diceraikan, artinya ketika mereka hendak bercerai, mereka menghadap kepada Rasulullah, dan dilakukanlah perceraiannya di masjid. Ketika perceraian tersebut dilakukan, maka perceraian itu dicatat.6

Namun, perlu diingat pula bahwa berdasar kepada landasan al-Qur’an yang menyatakan bahwa selain kita patuh kepada Allah dan Rasulnya, kita juga harus

5

Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

6

patuh kepada para pemimpin. dalam hal perceraian, pemimpin negara telah mempercayakan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berhak menyelesaikan perceraian bagi orang Islam sehingga perceraian harus mengikuti produk Undang-Undang yaitu harus melalui persidangan.7

Talak yang dilakukan di luar Pengadilan tidak memiliki sebuah pembuktian perdata karena bahwa lembaga Pengadilan Agama sudah ditunjuk menjadi satu-satunya lembaga dalam Islam di negara Indonesia yang berhak mengeluarkan pernyataan perceraian.

C. Dampak Talak di Luar Pengadilan

Yang paling mendasar sebagai dampak dari talak di luar Pengadilan adalah tidak adanya kepastian hukum untuk perceraiannya, maka dianggap tidak ada perceraian bagi suami isteri yang bercerai di luar Pengadilan tersebut karena tidak ada legal formalnya, padahal legal formal mengenai perceraian bagi orang Islam itu hanya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama8 dan tidak akan mendapatkan hak apapun bagi suami isteri yang melakukan percerain tersebut.9 Sehingga, dari ketiadaan hukum secara pasti itulah akan berakibat kepada:

1. Tidak ada kepastian hukum

7

Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

8

Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

9

53

Bagi keduanya (suami isteri) tidak mempunyai kepastian hukum dalam penjatuhan talaknya. Akibat dari tidak ada kepastian hukum tersebut, jika salah satu atau kedua belah pihak ingin menikah kembali dengan orang lain maka pernikahannya tidak akan diterima atau tidak akan sah karena dianggap masih memiliki ikatan perkawinan dengan pasangan sebelumnya.10

2. Ada kesewenangan suami terhadap isteri11

Jika perceraian tidak dilakukan di depan Pengadilan, akan menimbulkan kesewengan suami terhadap isterinya, di antaranya isteri cenderung akan dirugikan karena anggapannya adalah talak termasuk ke dalam haknya suami dan jika hal ini terjadi, maka suami akan melakukan hal yang diinginkan suami semaunya.

3. Akan menimbulkan prioritas suami lebih dari pada isteri12

Jika talak dilakukan di luar Pengadilan, maka suami akan mentalak isteri dengan tidak beraturan, karena menganggap talak adalah hak suami. Akibatnya isteri cenderung dirugikan, padahal dalam rumah tangga didasari dengan rasa cinta, kasih dan saling menjaga keutuhan rumah tangga.

4. Anak

10

Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

11

Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

12

Anak dalam posisi ini bisa diasumsikan akan dirugikan.13 Karena, dengan bercerainya orang tua anak tersebut, anak harus mendapatkan haknya untuk hidup berkembang dengan mendapatkan pendidikan yang layak dan kebutuhan kehidupan sehari-hari. Namun, jika orang tua anak dimaksud melakukan talak di luar Pengadilan dan kemudian anak tidak mendapatkan haknya, maka tidak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk mendaptkan hak anak tersebut karena talak yang dilakukan di luar Pengadilan tidak akan mendapatkan legalitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

5. Harta Bersama14

Di dalam pengajuan cerai di Pengadilan baik melalui proses permohonan atau gugatan, harta bersama dijadikan sebagai objek gugatan dan bisa didapatkan oleh kedua belah yang bercerai. Akan tetapi, jika oleh kedua pihak melakukan talak di luar Pengadilan, maka harta bersama tidak akan bisa digugat, karena yang akan mengeluarkan legalitas adalah Pengadilan Agama.

6. Kewarisan15

Waris hanya berasal karena ada kematian di antara anggota keluarga, dan ahli warisnya adalah anggota keluarga yang masih sah masuk ke dalam

13

Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

14

Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.

15

55

hubungan perkawinan, sahnya hubungan perkawinan bisa dilihat dari legalitas perkawinan tersebut, dan apabila tidak terjadi pemutusan hubungan suami isteri melalui pengadilan, maka hubungan perkawinan masih memiliki largalitas. Walaupun antara suami isteri telah melakukan talak di luar Pengadilan, hubungan perkawinannya masih sah, sehingga jika salah satu pihak meninggal dunia maka pihak yang lainnya dapat mengajukan gugatan/permohonan untuk harta warisan yang ditinggalkan, karena dianggap masih dalam hubungan suami isteri yang sah menurut ketentuan yang berlaku.

D. Problematika Talak Di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat Di Wilayah Tigaraksa

Berbagai masalah timbul akibat tidak berperan andil dalam berpartisipasi untuk menjalankan tatanan peraturan yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak sedikit hak-hak yang tidak bisa didapatkan karena itu. Namun, dalam segala sesutu yang berhubungan dengan masyarakat tentang aturan-aturan perkawinan, tidak lepas dengan kondisi tertentu baik kebiasaan, kondisi perekonomian, ketidaktahuan/ketidakpahaman akan peraturan, enggannya berproses yang rumit, atau bahkan keacuhan terhadap aturan itu sendiri.

Dalam skripsi ini, penulis meneliti sebagian kecil masyarakat yang berada di wilayah Tigaraksa tentang problematika talak di luar Pengadilan yang dirasakan oleh masyarakat tersebut dalam berbagai kondisi.

Kondisi masyarakat yang dimaksud penulis adalah kondisi masyarakat yang berada di wilayah Tigaraksa dalam melakukan talak, yang dilihat dari usia pernikahan, cara melakukan pernikahan, cara melakukan talak dan hak-hak yang terpenuhi atau tidak setelah terjadi talak, dengan hasil dari penelitian lapangan yang mengikut sertakan responden dengan jumlah 25 orang di wilayah Tigaraksa yang dipilih secara acak.

Hasil penelitan dilihat dengan persentase responden dengan rumus:

P

P adalah persentase

J adalah jumlah peryataan

R adalah jumlah responden keseluruhan

Responden yang dipilih melakukan perkawinan pada usia tertentu dapat dilihat dari daftar tabel berikut:

Usia Perkawinan

Jumlah

57

< 15 Tahun 2 8 15-30 Tahun 22 88 30-50 Tahun 1 4

Total 25 100

Dari hasil peneletian, rata-rata dengan persentase 88 % responden melakukan perkawinan pada usia antara 15-30 Tahun.

Selanjutnya mengenai tata cara talak yang dilakukan oleh banyak kalangan di masyarakat. Namun, sebelum penulis menjelaskan tata cara talak yang dilakukan oleh responden, dipandang penting untuk mengetahui tata cara perkawinan yang dilakukan responden, mengingat kriteria yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah responden yang melakukan perkawinan yang dicatat melalui Kantor Urusan Agama (KUA) akan tetapi tidak melakukan talak melalui proses Pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai kriteria responden yang melakukan perkawinan yang dicatat melalui Kantor Urusan Agama (KUA) dengan menanyakan pernyataan “ya” atau “tidak” kepada responden, apakah menikah melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu melalui KUA? Hasilnya dapat dilihat dari tabel berikut:

Jawaban Jumlah

Ya 13 52

Tidak 12 48

Total 25 100

Dengan tabel di atas dapat diketahui bahwa sekitar 52 % dari jumlah responden mencatatkan perkawinannya melalui Kantor Urusan Agama (KUA) yaitu berjumlah 13 orang responden, dan kemudian dari 13 orang tersebut akan dipilih untuk menentukan berapa jumlah yang masuk ke dalam kriteria penilitian ini, yaitu dengan mananyakan bagaimana melakukan talak yang dilakukan oleh para responden tersebut, dengan menanyakan pernyataan apakah melakukan talak melalui Pengadilan dengan pilihan jawaban “ya” atau “tidak”.

Hasil penelitian dapat dilihat dari tabel berikut:

Jawaban Jumlah

Responden %

Ya 3 23

Tidak 10 74

Total 13 100

Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis mendapatkan jawaban bahwa sebanyak 10 orang responden dengan presentase 74 % melakukan talak di luar

59

Pengadilan, dengan hasil tersebut dapat diketahui bahwa responden yang masuk ke dalam kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berjumlah 10 orang.

Dari responden yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini telah ditanyakan mengenai alasan-alasan tidak melakukan talak melalui Pengadilan, dan hasilnya dapat dilihat pada tabel berikut:

Alasan Jumlah Responden % Rumit 5 50 Lama 1 10 Alasan lain 4 40 Total 10 100

Yang menganggap bahwa porses talak di Pengadilan rumit hanya 5 orang dengan presentase 50 % dari jumlah responden yang ke dalam kriteria penelitian ini, dan dengan alasan lama prosesnya adalah 1 orang dengan presentase 10 %, tetapi lebih banyak bersalasan talak tidak di Pengadilan dengan alasan lain. Maksud alasan lain, di antaranya adalah tidak mengetahui proses yang berlaku mengenai talak, terdapat sebagian yang menyatakan bahwa ketika responden tersebut melakukan talak belum ada peraturan yang mengatur karena responden melakukan talak bertepatan sebelum tahun 1974.

Sesuai dengan pernyataan Empat Patmawati melalui wawancara, bahwa jika melakukan talak melalui Pengadilan prosesnya rumit dan tidak mendapatkan pengarahan langsung bagaimana cara berporses di Pengadilan Agama untuk melakukan talak, ditambah dengan biaya mahal yang akhirnya mengurungkan niat untuk memproses talaknya melalui Pengadilan.16

Adapun dampak dari talak yang dilakukan di luar Pengadilan adalah bisa dilihat dari hasil peneletian yang dilakukan dengan pertanyaan pernyataan “ya” atau “tidak” terhadap pertanyaan hak-hak yang didapat dari talak tersebut yang dituangkan oleh penulis ke dalam tabel berikut:

Jawaban Iddah % Anak %

Ya 4 40 5 56

Tidak 6 60 4 44

Jumlah 10 100 9 100

Sebanyak 60 % para responden yang melakukan talak di luar Pengadilan tidak mendapatkan hak iddahnya, untuk anak baik dari segi pengasuhan dan nafkah untuk anak tersebut dengan presentase yang mendapatkan haknya 56 % dan yang tidak mendapatkan haknya 44 % dari jumlah 9 responden dari 10 responden yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini, adapun 1 orang responden tersebut tidak memiliki keturunan (anak) ketika melakukan talak tersebut.

16

61

Adapun mengenai dampak yang dirasakan oleh salah seorang responden dalam wawancara khusus yaitu merasakan sulitnya untuk menikah lagi dengan orang lain karena tidak memiliki legalitas untuk perceriannya tersebut, pihak KUA tidak memberkan izin karena masih berstatus sebagai isteri dari suami yang pertama.17

Adapun hasil penelitian dari seluruh responden baik yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini ataupun tidak mengenai dampak yang dirasakan ketika melakukan perkawinan ataupun perceraian tidak melalui prosedur yang berlaku adalah bisa dilihat pada tabel berikut:

Jawaban Iddah % Anak %

Ya 6 24 8 32

Tidak 19 76 10 40

Jumlah 25 100 18 100

Dengan jumlah yang sangat besar di atas, memberikan kejelasan bahwa jika melakukan perkawinan atau perceraian dengan tidak mengikuti prosedur yang berlaku maka kerugian yang seperti dicantukan dalam tabel di atas akan didapatkan oleh para pihak yang melakukannya tanpa prosedur.

Namun, di antara kemajemukan masyarakat di wilayah tigaraksa ternyata masih ada yang menganggap bahwa baik perkawinan atau perceraian seutuhnya mengikuti para Imam Madzhab khususnya madzhab syafi’i dan timbah dengan keteranga ulama setempat, sehingga jika ingin melakukan cerai yang dipandang

17

penting adalah seorang suami telah mengucapkan talak maka talak itu sudah jatuh untuk isteri tanpa harus melalui proses Pengadilan dan Pengadilan hanya mengurus hal yang bersifat administratif, dan dirasa cukup jika talak disampaikan oleh suami ditambah dengan surat pernyataan yang ditandatangani di atas materai.18

Apalagi ketika harus berhadapan dengan lembaga penegak hukum, yang dirasakan adalah ketakutan untuk berperkara di Pengadilan19 karena lembaga pengadilan dianggap sebagai yang memberatkan kepada kehidupan selanjutnya.

E. Analisis Penulis Tentang Talak di Luar Pengadilan

Adanya Pengadilan Agama sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk oleh negara dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara orang Islam di antaranya adalah perceraian, merupakan langkah tepat untuk menghindari dari kesewenangan seorang suami terhadap isterinya dengan mudah menjatuhkan

Dokumen terkait