• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP REVOLUSI INDONESIA, PASCAKOLONIAL, DAN FUNGSI HUKUM DALAM PERUBAHAN SOSIAL

D. Fungsi Hukum untuk Perubahan Sosial

Secara sosiologis, fungsi hukum yang paling pokok adalah untuk mengendalikan masyarakat (social control). Hukum dalam konteks ini didefinisikan secara sederhana sebagai governmental social control, pengendalian sosial secara kepemerintahan.28 Dalam pengertian ini hukum bukan hanya sebagai alat pengendalian untuk memelihara ketertiban sosial (social order) tetapi juga untuk mengendalikan perubahan masyarakat ke arah yang dikehendaki. Berkenaan dengan fungsi hukum untuk perubahan sosial itu, Donald J. Black menyebutkan bahwa sistem hukum memiliki salah satu dimensi penting, yakni mobilisasi hukum (the mobilization of law).

Black memberikan gambaran dengan mobilisasi hukum sebagai berikut:

The day-by-day entry of cases into any legal system cannot be taken for granted. Cases of alleged illegality and disputes do not automatocally to legal agencies for disposition or settlement. Without mobilization of the law, a legal control system lies out of touch with the human problems it is designed to oversee. Mobilization is the link between the law and the people served or controlled by the law.... Legal mobilization mediates between the prescription of law and the disposition of cases, between rules or their application.29

Jadi pengertian mobilisasi hukum bukan dalam pengertian hukum secara normatif yang bersifat preskriptif melainkan dalam pengertian hukum secara empiris yang bersifat dinamik. Dalam ungkapan Black, “how the law is

set into motion.”30 Black meyakini bahwa, mobilisasi hukum akan

mempengaruhi berbagai aspek kehidupan hukum.31

28

Donald J. Black, “The Mobilization of Law,” dalamThe Journal of Legal Studies, Vol. II (1) January 1973, hlm. 126. 29 Ibid., hlm. 126 dan 127. 30 Ibid., hlm. 127. 31 Ibid.

Dalam prakteknya terdapat dua macam proses mobilisasi hukum, yakni proses mobilisasi hukum yang bersifat reaktif (reactive mobilization process) dan yang bersifat proaktif (proactive mobilization process). Pada model mobilisasi reaktif posisi hukum cenderung bereaksi terhadap tuntutan warganegara. Sebaliknya, pada mobilisasi proaktif pihak negara mengambil prakarsa untuk menangani tuntutan masyarakat, dengan atau tanpa partisipasi warganegara.32

Kedua proses mobilisasi hukum itu bekerja dalam struktur mobilisasi hukum yang terdiri atas empat aspek, yakni:

1. Penyelidikan hukum (legal intelligence), yakni berkenaan dengan bagaimana hukum diorganisasikan untuk menemukan pelanggaran hukum di tengah masyarakat. Dalam perkataan lain, bagaimana akses sistem hukum terhadap masalah-masalah hukum yang berada dalam yurisdiksinya. Pada sistem yang reaktif, hukum hanya bersifat menunggu tuntutan warganegara. Sebaliknya, pada sistem yang proaktif negara mengambil inisiatif untuk menangani tuntutan warganegara.

2. Ketersediaan hukum (the availability of law) adalah sebaliknya dari aspek yang pertama. Ketersediaan hukum berkenaan dengan bagaimana akses warganegara terhadap hukum. Terdapat dua model ketersediaan hukum, yakni model hukum entrepreneurial (entrepreneurial model of law) yang bersifat reaktif dan model hukum kesejahteraan-sosial (social-welfare model of law) yang bersifat proaktif. Ketersediaan hukum ini memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial atau kelas sosial. Pada model hukum entrepreneurial warganegara yang berasal dari stratifikasi sosial tinggi

32

memiliki akses yang kuat pada hukum dan sebaliknya pada warganegara yang berasal dari stratifikasi rendah. Sementara pada model hukum kesejahteraan-sosial, pemerintah memiliki inisiatif untuk melakukan pengendalian sosial agar terwujud kesejahteraan sosial.

3. Organisasi diskresi (the organization of discretion). Organisasi dalam suatu sistem hukum menyediakan kewenangan diskresi manakala intervensi legal diperkenankan. Diskresi terkait dengan diversitas moral dan diskriminasi hukum. Diskresi diperlukan manakala muncul persoalan antara hukum dan stratifikasi sosial. Pada mobilitas reaktif, diskresi cenderung tidak dikehendaki karena menimbulkan persoalan diversitas moral dan bersifat diskriminatif. Sebaliknya, pada mobilitas proaktif, diskresi justru dikehendaki agar dapat melakukan intervensi secara legal kepada kelas sosial yang tidak kuat.

4. Perubahan hukum (legal change). Perubahan hukum selalu terjadi sesuai dengan perkembangan masyarakat. Pada sistem kontrol yang reaktif, perubahan hukum relatif lebih mudah terjadi sesuai dengan perkembangan nilai-nilai masyarakat. Tetapi, pada sistem kontrol proaktif, perubahan hukum cenderung kaku atau rigid karena negara secara agresif menegakan kebijakan hukum terhadap masyarakat.33

Konsep mobilisasi hukum itu menunjukkan adanya interaksi dinamis antara hukum dan masyarakat. Pada model mobilisasi hukum yang reaktif terdapat kecenderungan hukum mengikuti perubahaan masyarakat dan karenanya perubahan hukum relatif lebih mudah. Keuntungannya, hukum bersifat lebih demokratik. Tetapi, kelemahannya hukum mudah tunduk pada 33

kepentingan kelas atau stratifikasi sosial tinggi. Sebaliknya pada mobilisasi proaktif hukum cenderung digunakan untuk mengendalikan masyarakat ke arah tujuan tertentu. Dalam model hukum kesejahteraan, pemerintah proaktif menggunakan hukum untuk memajukan kesejahteraan sosial. Tetapi, kelemahannya hukum menjadi kaku terhadap perubahan dan karenanya dapat berkembang menjadi otoriter.

Dalam kaitan dengan pembahasan fungsi hukum untuk perubahan sosial, model mobilisasi hukum yang relevan adalah mobilisasi hukum proaktif. Hukum secara proaktif dimobilisasi untuk mengendalikan perubahan sosial ke arah tujuan tertentu, yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial.

Aspek Mobilisasi Hukum Proses Mobilisasi hukum Penyelidikan hukum Ketersediaan hukum Organisasi

diskresi Perubahan hukum

Reaktif Hukum tidak memiliki akses terhadap tuntutan warga Model hukum entrepreneeurial– akses tergantung stratifikasi sosial Diskresi tidak dikehendaki krn menimbulkan diversitas moral dan diskriminatif Fleksible dan cenderung demokratis, tetapi mudah tunduk pada kepentingan kelas tinggi Proaktif Hukum berinisiatif mengakses tuntutan warga Model hukum kesejahteraan sosial –akses warga diintervensi oleh negara Diskresi dilakukan intervensi legal terhadap kelas sosial rendah Rigid dan pengendalian sosial kuat, tetapi cenderung kurang demokratis

Konsep mobilisasi hukum proaktif tersebut menjelaskan fungsi hukum dalam kaitan dengan revolusi. Hubungan antara hukum dan revolusi sendiri memiliki jalinan rumit karena pada dasarnya hukum adalah instrumen perubahan dan objek perubahan sekaligus. Tetapi secara umum hukum dapat difungsikan sebagai instrumen revolusioner yang berdampak pada perubahan secara revolusioner terhadap sistem aturan dan institusi hukum.34 Dalam konteks ini, hukum dimobilisasi untuk melakukan perubahan sosial

34

Michael Barkun, “Law and Social Revolution: Millenarianism and the Legal System,” dalam

secara besar-besaran hingga mencapai tujuan kesejahteraan sosial. Dalam ungkapan Massell, fungsi hukum revolusioner seperti itu terkait dengan upaya rekayasa sosial melalui instrumen hukum.35

Berkenaan dengan fungsi hukum untuk merekayasa sosial tersebut, Roscoe Pound menyebutkan:

So there is, as one might say, a great task of social engineering. There is a task a making goods of existence, the means of satisfying the demands and desires of men living together in a politically organized society, if they cannot satisfy all the claims that men make upon them, at least go around as far as possible. This is what we mean when we say the end of law is justice. We do not mean justice as an individual virtue. We do not mean justice as the ideal relation among men. We mean a regime. We mean such an adjustment of relations and ordering of conduct as will make the goods of existence, the means of satifying human claims to have things and do things, go round as far as possible with the least friction and waste.36

Pendangan Pound itu jelas menyebutkan adanya “a politically organized society” dan “a regime” yang tiada lain menunjukkan adanya peran negara atau pemerintahan dalam melakukan rekayasa sosial. Tugas ini dilakukan dengan memobilisasi hukum secara proaktif agar dapat mencapai tujuan keadilan, yakni terpunuhinya kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam memiliki sesuatu (to have thing) dan melakukan sesuatu (to do thing) dengan sebebas mungkin. Makna keadilan seperti itu dalam model hukum kesejahteraan sosial dari Black tiada lain adalah kesejahteraan sosial.

Teori mobilisasi hukum proaktif dan rekayasa sosial tersebut relevan untuk menjelaskan konsep UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet. Dalam konteks itu, UUD 1945 adalah instrumen revolusioner yang dimobilisasi

35

Gregory J. Massell, “Law as an Instrument of Revolutionary Change in a Traditional Milieu: The Case of Soviet Central Asia,” dalam Law and Society Review, Volume II, Number 2, February 1968, hlm. 193.

36Roscoe Pound,

Social Control Through Law, New Jersey: New Brunswick, 1997, hlm. 64- 65.

secara proaktif untuk melakukan rekayasa sosial ke arah pemenuhan tujuan revolusi Indonesia. Sesuai dengan struktur mobilisasi hukum proaktif, maka UUD 1945 diorganisasikan secara aktif dan agresif oleh pemerintah agar dapat mengendalikan perubahan sosial ke arah tercapainya tujuan revolusi nasional. Sesuai dengan model hukum kesejahteraan sosial, pengendalian sosial itu dilakukan agar negara mampu melayani kebutuhan dan kepentingan seluruh masyarakat sehingga terwujud kesejahteraan sosial. Dalam kaitan itu, pengorganisasian diskresi dilakukan untuk melakukan afirmasi secara terukur pada kelas sosial tertentu agar pada titik tertentu tercapai kesetaraan sosial- ekonomi secara relatif. Tetapi, di pihak lain, sistem hukum menjadi kaku untuk menerima perubahan karena tuntutan negara untuk melaksanakan tujuan revolusi Indonesia. Pada titik tertentu, situasi tersebut dapat mengarah pada terbentuknya pemerintahan otokratis.

BAB I

PENDAHULUAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 – selanjutnya disingkat UUD 19451 – telah mengalami perubahan sebanyak empat kali, yakni Perubahan Pertama pada tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001, dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan UUD 1945 tersebut merupakan salah satu agenda reformasi politik selepas berhentinya Soeharto dari jabatan Presiden pada tanggal 21 Mei 1998. Dengan dilakukannya Perubahan UUD 1945 diharapkan dapat mencegah terbentuknya kembali sistem otoriter seperti pada masa Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru dan pada gilirannya akan terbentuk sistem politik dan pemerintahan yang lebih demokratis.

Kehendak untuk membentuk sistem demokrasi melalui Perubahan UUD 1945 didasari oleh pandangan bahwa UUD 1945 mengandung muatan yang berwatak otoriter. Watak otoriter itu terutama karena adanya ketentuan UUD 1945 yang cenderung menimbulkan pemusatan kekuasaan pada Presiden. Ketentuan tersebut di antaranya adalah masa jabatan Presiden dan kewenangan Presiden untuk membentuk Undang-Undang (UU).

Ketentuan Pasal 7 UUD 1945, yang mengatur masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden meskipun menyebutkan masa jabatan Presiden selama

1

Penamaan UUD 1945 secara resmi digunakan dalam Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang secara yuridis telah dimuat dalam LNRI No. 75 Th. 1959. Setelah amandemen UUD 1945 digunakan penamaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disingkat UUD NRI 1945 untuk menyebut UUD 1945 hasil amandemen dan membedakan dengan UUD 1945 sebelum amandemen. Tulisan ini menggunakan pembedaan serupa untuk membedakan antara UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

masa lima tahun, tetapi tidak memberikan pembatasan yang tegas mengenai berapa kali masa jabatan itu. Ketentuan pasal itu hanya menyebutkan “masa jabatan lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.” Ketentuan tersebut menimbulkan banyak penafsiran (multi-tafsir) sehingga dalam prakteknya memungkinan Soeharto dapat berkuasa selama 32 tahun karena dipilih berkali-kali.

Demikian pula ketentuan tentang kekuasaan membentuk UU pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, yang memberikan kekuasaan membentuk Undang-Undang kepada Presiden sementara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hanya memberikan persetujuan saja. Selengkapnya ketentuan itu berbunyi: “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Dengan demikian, DPR hanya sebagai pelengkap saja dari kekuasaan Presiden dalam membentuk UU. Implikasinya, terjadi pemusatan kekuasaan pada Presiden karena Presiden memegang dua kekuasaan sekaligus, yakni kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan kekuasaan membentuk UU (legislatif).

Pemusatan kekuasaan tersebut ditambah lagi dengan kurangnya pengaturan tentang perlindungan HAM serta terlalu banyaknya ketentuan yang memberikan delegasi pengaturan dalam bentuk UU. Ketentuan tentang perlindungan HAM hanya diatur dalam beberapa pasal saja, terutama pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945. Terutama dalam hak-hak politik, kurangnya pengaturan HAM itu telah menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM dalam bidang politik yang berimplikasi pada rendahnya perwujudan kedaulatan rakyat dalam DPR dan MPR. Konsekuensinya, terbentuk sistem politik yang

semakin memperkuat pemusatan kekuasaan pada Presiden menjadi tidak terhindarkan.

Di satu sisi, rendahnya perwujudan kedaulatan rakyat di DPR menyebabkan UU yang dihasilkannya hanya mencerminkan kehendak pemerintah semata. Di sisi lain, banyaknya ketentuan UUD 1945 yang mendelegasikan pengaturan dalam bentuk UU menyebabkan pemerintah menggunakan UU sebagai cara untuk memusatkan kekuasaannya. Hal itu, di antaranya, terjadi dalam pengaturan atas kekuasaan kehakiman yang seharusnya merdeka atau independen menjadi berada di bawah kendali Presiden.

Ketentuan Pasal 24 UUD 1945 menyatakan:

(1) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.

(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang.

Ketentuan tersebut jelas mendelegasikan kewenangan pengaturan kepada pembuat UU. Dengan sistem politik yang dikendalikan oleh Pemerintah, maka penyusunan UU tentang kekuasaan kehakiman juga berada di bawah kepentingan pemerintah. Hasilnya adalah UU Nomor 14 Tahun 1970, yang menempatkan kedudukan kekuasaan kehakiman di bawah Pemerintah.

Terjadinya pemusatan kekuasaan itulah yang kemudian menjadi alasan utama perlunya perubahan atas UUD 1945. Tujuannya jelas untuk membatasi kekuasaan Pemerintah agar tidak terjadi lagi sistem yang otoriter, dan sebaliknya, memungkinkan terbentuknya sistem demokrasi di Indonesia. Tujuan ini sesuai dengan paham konstitusionalisme yang menghendaki

adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan (the limited government). Dengan adanya pembatasan kekuasaan maka UUD 1945 bukan semata- mata UUD yang bersifat formal belaka tetapi secara substansial sudah mencerminkan paham konstitusionalisme.

Namun, di samping alasan konstitusionalisme seperti itu terdapat pula alasan yang berkenaan dengan sifat keberlakuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa UUD 1945 adalah UUD yang bersifat sementara. Alasan keberlakuan ini didasarkan pada pidato Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 yang menyatakan:

Tuan-tuan tentu mengerti, bahwa ini adalah sekedar Undang-Undang Dasar , Undang-Undang Dasar kilat, bahwa barangkali boleh dikatakan pula, inilah revolutiegrondwet. Nanti kita membuat Undang-undang Dasar yang lebih sempurna dan lengkap.

Berdasarkan pidato Bung Karno itu disimpulkan bahwa UUD 1945 memiliki sifat keberlakuan sementara. Hal itu diperkuat dengan pandangan yang mengatakan, bahwa UUD 1945 tidak pernah ditetapkan menjadi UUD sebagaimana ketentuan Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan:

(1) Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar ini. (2) Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat

dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang- Undang Dasar.

Dalam sejarah memang Presiden tidak pernah melaksanakan Aturan Tambahan UUD 1945, oleh karena situasi pada awal kemerdekaan tidak memungkinkan untuk melaksanakannya. Selain pemerintah terlibat dalam perang kemerdekaan melawan Belanda, situasi politik pada waktu itu juga berkembang ke arah pelaksanaan demokrasi parlementer yang menyimpang

dari UUD 1945. Akibatnya, UUD 1945 tidak pernah ditetapkan karena MPR yang berwenang menetapkan UUD tidak pernah terbentuk. MPR baru terbentuk setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden, tertanggal 5 Juli 1959, dalam bentuk MPR Sementara karena dibentuk bukan dari hasil Pemilu.

Masalah keberlakuan UUD 1945 tersebut menjadi alasan untuk melakukan perubahan UUD 1945 karena secara tekstual memang Bung Karno menyatakan UUD 1945 adalah “Undang-Undang Dasar kilat” yang belum “sempurna dan lengkap”. Artinya, secara substansial keberlakuan UUD 1945 bersifat sementara. Konsekuensinya, UUD 1945 harus mengalami perubahan atau amandemen.

Sifat kesementaraan UUD 1945 itu sering diajukan sebagai argumentasi untuk menghadapi kelompok yang hendak mempertahankan UUD 1945 secara mutlak.2 Dengan mengajukan argumen sifat kesementaraan UUD 1945 yang dikemukakan oleh Bung Karno, maka perubahan UUD 1945 justru merupakan kehendak dari para pendiri negara sendiri. Dengan demikian, perubahan atas UUD 1945 justru merupakan keharusan. Bahkan bukan hanya mengubah UUD 1945, tetapi harus mengganti dengan UUD yang baru.

Namun, argumen mengenai kesementaraan ini menjadi persoalan manakala secara formal UUD 1945 sudah dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) tanggal 16 Februari 1946 dan Lembaran Negara RI (LNRI) No. 75 Tahun 1959. Pemuatan di dalam BRI dan LNRI mengandung arti UUD 2

Dalam proses perubahan UUD 1945 terbentuk tiga kelompok besar dalam menyikapi perubahan UUD 1945. Pertama, adalah kelompok yang hendak mengganti UUD 1945 dengan UUD yang baru sama sekali. Kedua, adalah kelompok yang tidak menghendaki adanya perubahan atas UUD 1945. Ketiga, adalah kelompok yang setuju terhadap perubahan tetapi tetap mempertahankan UUD 1945.

1945 berlaku secara formal dan mengikat secara yuridis bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam pengertian lain, UUD 1945 telah menjadi UUD yang tetap.3

Selain itu secara sosiologis UUD 1945 telah berlaku secara efektif selama lebih dari 5 dekade, yakni pada masa Revolusi, Republik Indonesia Serikat (RIS), Demokrasi Terpimpin, Orde Baru, dan era kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Jika UUD 1945 berlaku efektif selama 5 dekade maka artinya UUD 1945 tersebut bukan UUD yang bersifat sementara melainkan UUD yang sudah bersifat tetap.

Namun demikian, tidak berarti UUD 1945 tidak boleh diubah. Ketentuan Pasal 37 UUD 1945 telah mengatur tata cara perubahan UUD 1945. Hanya saja yang menjadi persoalan berkenaan dengan substansi perubahannya. Sebagian kalangan menghendaki agar UUD 1945 diganti sama sekali dengan UUD yang baru karena dianggap mengandung materi muatan yang otoriter dan bahkan buatan Jepang. Sebagian kalangan yang lain menghendaki agar substansi perubahan dilakukan dengan tetap mempertahankan UUD 1945 yang asli sehingga perubahan hanya menyangkut beberapa pasal atau ketentuan UUD 1945. Hal ini mengacu pada model perubahan UUD Amerika Serikat yang menggunakan model

adendum.

Lepas dari rumusan normatif mengenai tata cara perubahan UUD 1945 tersebut terdapat kontradiksi antara sifat kesementaraan UUD 1945 yang diungkapkan oleh Bung Karno dan fakta yuridis-historis UUD 1945 yang memperlihatkan kenyataan sebaliknya. Ironisnya, kontradiksi ini secara personal mengacu pada sosok yang sama, yaitu Bung Karno, yang

3

Simorangkir, J.C.T., Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

mengungkapkan sendiri kesementaraan UUD 1945 tetapi menetapkan sendiri UUD 1945 sebagai UUD yang bersifat tetap melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Pada satu pihak, sikap Bung Karno itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk inkonsistensi. Tetapi, di pihak lain, sikap tersebut justru dapat ditafsirkan juga sebagai konsistensi pemahaman Bung Karno atas maksud asli (original

meaning) dari pernyataannya pada pidato tanggal 18 Agustus 1945.

Pemaknaan atas maksud asli ini terkait dengan istilah Revolutiegrondwet

yang digunakan oleh Bung Karno pada pidato tersebut.

Pemaknaan atas UUD 1945 sebagai Revolutiegrondwet dapat diungkap dari pernyataan Bung Karno beberapa tahun kemudian dalam pidatonya yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” tertanggal 17 Agustus 1959 yang kemudian ditetapkan menjadi Ketetapan MPRS RI No. I/MPRS/1960 tentang Garis-garis Besar Daripada Haluan negara (LN 1960- 138). Dalam pidatonya itu, Bung Karno menyatakan kembali, bahwa “Undang- Undang Dasar 1945 – Undang-Undang dasar Revolusi.”4

Pada bagian lain secara tersirat Bung Karno memberikan penjelasan tentang makna UUD 1945 sebagai UUD revolusi dengan pernyataan:

Di hadapan konstituante, dalam tahun 1956, tatkala saya membuka sidang pertama Konstituante itu, sudah saya mulai memberikan peringatan ke arah itu. Dengan jelas saya katakan kepada Konstituante pada waktu itu: “Buatlah Undang-Undang Dasar yang cocok dengan jiwa Revolusi.”5

Apabila dikaitkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945, maka pernyataan Bung Karno tersebut

4

Soekarno, “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pidato pada tanggal 17 Agustus 1959 dalam Muhono, Ketetapan MPRS dan Peraturan Negara Yang Penting Bagi Anggauta Angkatan Bersenjata, tanpa penerbit, 1966, hlm. 55.

5

bermakna bahwa UUD yang “cocok dengan jiwa Revolusi” adalah UUD 1945. Karena Konstituante tidak berhasil menyelesaikan pekerjaannya membuat UUD baru, maka Bung Karno mengambil putusan untuk memberlakukan UUD 1945 yang cocok dengan jiwa Revolusi.

Dengan demikian, terdapat konsistensi antara pernyataan Bung Karno pada tanggal 18 Agustus 1945 dan sikap serta tindakannya pada tahun 1959 yang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang memberlakukan kembali UUD 1945. Hubungan antara dua peristiwa tersebut dapat dimaknai bahwa tindakan Bung Karno pada tahun 1959 menjelaskan pernyataannya pada tanggal 18 Agustus 1945.6Hal itu berarti juga bahwaRevolutiegrondwet

tidak dapat dimaknai semata-mata sebagai proses – yaitu “Undang-Undang Dasar [yang dibuat secara] kilat” melainkan secara substansial bermakna UUD yang memiliki jiwa Revolusi.

Makna Revolutiegrondwet seperti itu menjelaskan pula bahwa UUD 1945 memiliki tujuan untuk mencapai cita-cita revolusi di Indonesia. Berkenaan dengan hal ini, Bung Karno mengungkapkan, “Dengan Undang- Undang Dasar 1945 itu kita sekarang dapat bekerja sesuai dengan dasar dan tujuan revolusi.... Dasar dan tujuan revolusi Indonesia adalah kongruen dengan Social Conscience of Man, [yakni] keadilan sosial dan kemerdekaan Indonesia.”7 Dalam konteks itu, UUD 1945 adalah “alat perjuangan” untuk mencapai keadilan dan kemerdekaan Indonesia.

Buku ini akan membahas lebih lanjut makna UUD 1945 sebagai

Revolutiegrondwet. Ada dua pendekatan teoretis yang digunakan untuk 6

Dalam kajian bahasa hukum tindakan Bung Karno tersebut merupakan “symbolic speech” atau “expressive conduct” yang menjelaskan makna linguistik dari ungkapan yang dinyatakan Bung Karno dalam suatu konteks tertentu. Lihat Paul Berckmans, “The Semantics of Symbolic Speech,” dalamLaw and Philosophy16:1997, hlm. 145-176.

7

menjelaskan makna Revolutiegrondwet tersebut, yakni pendekatan berdasarkan teori pascakolonial dan pendekatan fungsi hukum untuk perubahan sosial. Pendekatan pascakolonial digunakan untuk menjelaskan UUD 1945 sebagai teks yang mengandung gagasan-gagasan yang berkaitan dengan kolonialisme dan perlawanannya atas kolonialisme tersebut. Studi pascakolonial sendiri umumnya dipakai dalam bidang sastra dan sosial. Penggunaan dalam bidang hukum bagaimanapun sangat relevan karena pada dasarnya hukum adalah teks sebagaimana teks sastra ataupun teks sosial lainnya. Dengan menggunakan pendekatan pascakolonial akan diperoleh penjelasan mengenai makna UUD 1945 dalam kaitan dengan