METODOLOGI PENELITIAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Hasil
Gambaran Umum Industri Batik
Menurut Hurlock (1980), pakaian memiliki peran sebagai berikut: (1) meningkatkan penampilan, dimana seseorang memiliki kecenderungan untuk memilih pakaian yang dapat menonjolkan segi-segi positifnya dan menutupi segi negatifnya; (2) indikasi status sosial, pakaian digunakan sebagai simbol status yang mengidentifikasikannya sebagai suatu kelompok sosial tertentu; (3) individualitas, seseorang berupaya agar pakaiannya tetap menunjukkan identitasnya sebagai individu agar diperhatikan dan dikagumi oleh anggota-anggota kelompoknya; (4) prestasi sosio-ekonomi, pakaian dapat menunjukkan keberhasilan ekonomi seseorang secara cepat; dan (5) meningkatkan daya tarik.
Industri pakaian batik merupakan industri pakaian yang tergolong industri kecil menengah dengan produk khas Indonesia. Berkembangnya batik membuat batik kian digemari. Motif batik di Indonesia dapat dibedakan atas motif batik modern dan tradisional. Motif batik tradisional cenderung membentuk motif geometris (garis-garis). Sedangkan menurut Suhendra (2003) motif batik modern lebih mengacu pada selera konsumen dan tren yang berkembang, dimana motifnya dapat berupa motif binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya (nongeometris). Berkembangnya disain batik dari segi motif, serta model membuat batik kian popular di mata dunia.
Berdasarkan data BPS yang telah diolah oleh Departemen Perindustrian, nilai ekspor batik Indonesia ke mancanegara terus mengalami peningkatan dengan rata-rata 10–15 persen setiap tahunnya (Anonim 2009). Pada tahun 2010, nilai produksi industri batik menembus Rp 732.670.000.000,00 atau menunjukkan adanya peningkatan industri sebesar 13 persen dari periode sebelumnya Rp 648.940.000.000 (Suhendra 2011). Peningkatan tenaga kerja pada industri batik pun terjadi setiap tahunnya. Tercatat pada tahun 2007 industri batik hanya menyerap 51.074 tenaga kerja, pada tahun 2008 menyerap 58.735 tenaga kerja, pada tahun 2009 menyerap 64.479 tenaga kerja, kemudian pada tahun 2010 industri batik mampu menyerap 70.395 tenaga kerja (Gambar 4).
Gambar 4 Peningkatan tenaga kerja pada industri batik (Suhendra 2011)
Adanya perdagangan bebas yang telah membuat mudahnya produk impor masuk ke Indonesia kian mengancam industri produk pakaian batik. Sebut saja pakaian batik asal Cina dan Malaysia yang kini tengah beredar bebas dan membanjiri Indonesia dengan harga yang jauh lebih murah. Batik memang merupakan warisan budaya Indonesia, namun di dalamnya terdapat proses kreatif yang melahirkan nilai ekonomis yang harus diperjuangkan.
Karakteristik Contoh
Usia Contoh
Memahami usia konsumen adalah penting, karena konsumen dengan usia yang berbeda akan mengkonsumsi produk dan jasa yang berbeda. Selain itu, perbedaan usia juga akan mengakibatkan perbedaan selera dan kesukaan konsumen terhadap barang dan jasa (Sumarwan 2004). Menurut Kotler dan Armstrong (1999), seseorang merubah barang dan jasa yang mereka beli selama hidup mereka. Selera terhadap pakaian pun seringkali berhubungan dengan usia.
Menurut Hurlock (1980), masa dewasa awal dimulai pada usia 18-40 th. Pada penelitian ini, rentang usia contoh berkisar antara 18-24 th. Oleh karena itu rentang usia ini termasuk ke dalam kategori dewasa awal. Dewasa awal merupakan periode dimana penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Hurlock (1980) menambahkan, pada periode masa dewasa awal perhatian terhadap pakaian berperan kuat. Pada masa ini penampilan dianggap menjadi sebuah hal penting bagi keberhasilan di semua bidang kehidupan, sehingga seringkali seseorang menghabiskan banyak waktu dan uang untuk mendapatkan pakaian. Pada periode dewasa awal ini, minat terhadap penampilan fisik mulai berkurang, namun minat terhadap pakaian tidak
0 20000 40000 60000 80000 2007 2008 2009 2010
43
menjadi berkurang seiring dengan pertambahan usia. Bahkan perhatian terhadap pakaian cenderung bertambah apabila orang tersebut merasakan manfaat pakaian yang mahal dan menarik dalam pergaulannya.
Hasil penelitian menunjukkan rentang usia contoh berkisar antara 18-24
th. Hasil analisis uji t-test menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara usia
contoh laki-laki dan perempuan (p-value=0,135). Hal ini diduga karena contoh
laki-laki dan perempuan berada pada kelompok usia dengan rentang yang sama. Namun nilai rata-rata usia contoh laki-laki (20,7 th) sedikit lebih tinggi daripada nilai rata-rata usia contoh perempuan (20,6 th).
Jenis Kelamin
Laki-laki dan perempuan cenderung memiliki orientasi afektif dan perilaku yang berbeda, sebagian didasarkan pada unsur genetik dan sebagian pada praktik sosialisasi. Sebuah hasil penelitian yang mengkaji bagaimana laki-laki dan perempuan berbelanja, menemukan bahwa laki-laki seringkali harus diundang dalam menyentuh produk, sedangkan wanita cenderung mengambilnya tanpa diminta (Kotler 2008). Tabel 6 menunjukkan lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan (59,1%), sedangkan sisanya berjenis kelamin laki-laki (40,9%).
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin
Jenis kelamin Jumlah
n %
Laki-laki 143 40,9
Perempuan 207 59,1
Total 350 100,0
Uang Saku
Uang merupakan sumber daya material yang sangat penting bagi konsumen. Besarnya uang saku contoh diasumsikan sebagai pendapatan contoh setiap bulannya yang akan menggambarkan daya beli pakaian batik dari seorang konsumen. Menurut Sumarwan (2004), daya beli konsumen akan menggambarkan banyaknya produk yang dapat dibeli oleh konsumen. Tabel 7 dibawah ini memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan besarnya uang saku per bulan yang dikategorikan ke dalam kategori rendah, sedang, dan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, sebaran uang saku per bulan contoh berkisar antara Rp 200.000,00 sampai Rp 3.500.000,00/bl. Persentase terbesar sebesar
58,6 persen uang saku per bulan contoh berada pada kategori sedang dengan kisaran uang saku Rp 600.001,00 – Rp 1.200.000,00/bln. Kategori rendah untuk uang saku contoh kurang dari Rp 600.000,00 sebanyak 37,4 persen. Hanya sebagian kecil contoh (4,0%) memiliki jumlah uang saku kategori tinggi. Rata-rata besar uang saku contoh per bulan adalah Rp 771.000,00. Hasil uji beda
independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara uang saku contoh laki-laki dan perempuan (p=0,437; p>0,05). Akan tetapi pada Tabel 7 terlihat bahwa rata-rata besar uang saku per bulan yang diterima pada contoh perempuan (Rp 782.000,00) lebih besar daripada rata-rata uang saku contoh laki-laki (Rp 754.000,00). Hal ini diduga karena contoh perempuan memiliki kebutuhan lebih banyak daripada contoh laki-laki dalam memenuhi kebutuhan pribadi.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan uang saku
Uang saku contoh (Rp/bl) Laki-laki Perempuan Jumlah n % n % n % Rendah (≤600.000) 56 39,2 75 36,2 131 37,4 Sedang (600.001- 1.200.000) 81 56,6 124 60,0 205 58,6 Tinggi (>1.200.000) 6 4,2 8 3,8 14 4,0 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Min-max 200.000-3.000.000 200.000-3.500.000 200.000-3.500.000 Rataan±SD 754.000 ±319.600 782.000 ±338.500 771.000 ±330.700 p-value 0,437 Daerah Asal
Asal daerah contoh merupakan unsur geografis yang menandakan daerah kelahiran ataupun tempat contoh tinggal sebelum berkuliah di IPB. Menurut Sumarwan (2004), lokasi geografik seorang konsumen akan mempengaruhi pola konsumsinya, dimana orang yang tinggal di desa akan memiliki akses terbatas kepada berbagai produk dan jasa.
Tabel 8 memperlihatkan sebaran contoh berdasarkan daerah asal contoh yang dikelompokkan menjadi tujuh daerah. Persentase terbesar sebesar 26.9 persen contoh berasal dari daerah Bogor dan Depok. Hal ini diduga karena daerah Bogor merupakan lokasi dimana IPB berada, dan daerah Depok merupakan daerah yang paling dekat dengan IPB dibandingkan daerah lainnya, sehingga jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan daerah lain. Persentase terkecil sebesar 1,7 persen contoh berasal dari daerah Bali, Nusa Tenggara,
45
Maluku, dan Papua. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara daerah asal contoh laki-laki dan perempuan (p=0,198; p>0,05).
Tabel 8 Sebaran contoh berdasarkan asal daerah
Daerah asal Laki-laki Perempuan Jumlah n % n % n %
Jakarta 25 17,5 41 19,8 66 18,9
Bogor dan Depok 34 23,8 60 29,0 94 26,9
Jawa Barat (selain Bogor dan Depok) dan Banten
34 23,8 33 15,9 67 19,1
Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur
14 9,8 32 15,5 46 13,1
Sumatera 23 16,1 33 15,9 56 16,0
Kalimantan dan Sulawesi 9 6,3 6 2,9 15 4,3
Bali, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua 4 2,8 2 1,0 6 1,7 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 p-value 0,198 Karakteristik keluarga Pekerjaan Orangtua
Pendidikan dan pekerjaan merupakan dua karakteristik konsumen yang saling berhubungan. Pendidikan akan menentukan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh seorang konsumen. Selanjutnya, pekerjaan seseorang akan mempengaruhi pendapatan yang diterimanya. Pendapatan dan pendidikan tersebut kemudian akan mempengaruhi proses keputusan dan pola konsumsi seseorang (Sumarwan 2004). Kotler (1991) diacu dalam Sari (2010) menyatakan bahwa pola konsumsi seseorang dipengaruhi oleh pekerjaan yang dimilikinya. Terkait dengan pakaian, Kotler dan Armstrong (1999) menyatakan bahwa pekerja kasar cenderung membeli pakaian kerja kasar, sedangkan pekerja kantoran membeli setelan bisnis.
Pekerjaan ayah contoh didominasi oleh PNS dengan persentase sebesar 35,1 persen. Pekerjaan ayah contoh lainnya adalah wiraswasta sebesar 24,6 persen, pegawai swasta sebesar 17,7 persen, dosen/guru sebesar 3,7 persen, tentara/polisi sebesar 3,4 persen, tidak bekerja sebesar 4,0 persen, dan lain-lain (BUMN, buruh, pensiun, perangkat desa, petani, psikolog, dan supir angkot)
sebesar 11,4 persen. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan
bahwa tidak ada perbedaan antara pekerjaan ayah pada contoh laki-laki dan perempuan (p=0,185; p>0,05).
Tabel 9 Sebaran contoh berdasarkan jenis pekerjaan orangtua
Pekerjaan Ayah
Laki-laki Perempuan Jumlah
n % n % n % Tentara/polisi 4 2,8 8 3,9 12 3,4 PNS 50 35,0 73 35,3 123 35,1 Wiraswasta/pengusaha 31 21,7 55 26,6 86 24,6 Perusahaan/swasta 24 16,8 38 18,4 62 17,7 Dosen/guru 8 5,6 5 2,4 13 3,7 Tidak bekerja 7 4,9 7 3,4 14 4,0 Lainnya 19 13,3 21 10,1 40 11,4 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 p-value 0,185 Pekerjaan Ibu Tentara/polisi 0 0,0 0 0,0 0 0,0 PNS 39 27,3 36 17,4 75 21,4 Wiraswasta/pengusaha 16 11,2 23 11,1 39 11,1 Perusahaan/swasta 6 4,2 12 5,8 18 5,1 Dosen/guru 12 8,4 14 6,8 26 7,4 Tidak bekerja 65 45,5 116 56,0 181 51,7 Lainnya 5 3,5 6 2,9 11 3,1 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 p-value 0,048*
Jenis pekerjaan ibu contoh didominasi oleh ibu rumah tangga atau tidak bekerja. Lebih dari separuh contoh (51,7%) merupakan keluarga dengan ibu yang bekerja pada sektor domestik sebagai ibu rumah tangga. Selain itu, pekerjaan ibu lainnya adalah sebagai PNS sebesar 21,4 persen, wiraswasta sebesar 11,1 persen, dosen/guru sebesar 7,4 persen, pegawai swasta sebesar 5,1 persen, dan pekerjaan lainnya (notaris, pensiun, dan petani) sebesar 3,1
persen. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan antara pekerjaan ibu pada contoh laki-laki dan perempuan (p=0,048; p<0,05).
Pendapatan Keluarga
Pendapatan merupakan imbalan yang diterima oleh seorang konsumen dari pekerjaan yang dilakukannya untuk mencari nafkah. Menurut Jayanti (2010), sebagian dari pendapatan keluarga kemudian akan dialokasikan untuk uang
saku contoh. Berdasarkan uji korelasi yang dilakukan, uang saku contoh
berhubungan dengan pendapatan keluarga (p-value=0,000; r=0,583). Artinya, semakin besar pendapatan keluarga maka uang saku contoh akan semakin besar. Dalam penelitian ini, besar pendapatan perkapita keluarga tiap bulan
47
diperoleh dari total jumlah penghasilan anggota keluarga, dengan asumsi anak belum bekerja.
Tabel 10 menunjukkan bahwa sebaran pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh sangat beragam, yaitu berkisar antara Rp 55.555,00 sampai Rp 6.666.700,00. Rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh adalah sebesar Rp 857.230,00. Persentase terbesar sebesar 60,3 persen pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh berkisar antara Rp 500.001,00 sampai Rp 1.500.000,00. Sebesar 30,9 persen pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh kurang dari Rp 500.000,00. Persentase contoh yang memiliki pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh antara Rp 1.500.001,00 sampai Rp 3.000.000,00 adalah sebesar 8,0 persen. Hanya sebagian kecil keluarga contoh (0,8%) yang memiliki pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh diatas Rp 3.000.001,00. Pendapatan keluarga mengacu pada garis kemiskinan Kota Jawa Barat yaitu sebesar Rp 212.210,00 (BPS 2011). Rata-rata pendapatan per kapita per bulan keluarga contoh diatas Rp 212.210,00. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ekonomi keluarga contoh berada di atas garis kemiskinan. Hasil uji beda
independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara pendapatan orangtua contoh laki-laki dan perempuan (p=0,900, p>0,05).
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan keluarga (Rp/Kap/bl)
Pendapatan orangtua (Rp/Kap/Bl)
Laki-laki Perempuan Jumlah
n % n % n % ≤500.000 49 34,3 59 28,5 108 30,9 500.001-1.500.000 80 55,9 131 63,3 211 60,3 1.500.001-3.000.000 13 9,1 15 7,2 28 8,0 ≥3.000.001 1 0,7 2 1,0 3 0,8 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Min-max (rupiah/bulan) 60.000-6.666.700 55.555-4.000.000 55.555-6.666.700 Rataan±SD (rupiah/bulan) 862.200±683.893 853.810±555.780 857.230±610.445 p-value 0,900 Besar Keluarga
Keluarga adalah organisasi pembelian konsumen yang paling penting dalam masyarakat. Jumlah anggota keluarga dapat sangat mempengaruhi perilaku pembeli (Kotler & Armstrong 1999). Jumlah Anggota keluarga akan
menentukan jumlah dan pola konsumsi suatu barang dan jasa (Sumarwan 2004). Sumarwan (2004) menambahkan jumlah anggota keluarga akan menggambarkan potensi permintaan terhadap suatu produk dari sebuah rumah tangga. Jumlah anggota keluarga dijadikan acuan untuk mengukur besar keluarga. Besar keluarga dikategorikan menjadi keluarga kecil (jumlah anggota keluarga kurang dari atau sama dengan empat orang), keluarga sedang (jumlah anggota keluarga lima sampai dengan enam orang), dan keluarga besar (jumlah anggota keluarga lebih dari atau sama dengan tujuh orang).
Berdasarkan Tabel 11, diketahui bahwa kurang dari separuh contoh (46,3%) berasal dari keluarga sedang. Contoh yang berasal dari keluarga kecil berada pada urutan kedua, yaitu sebesar 46,0 persen. Contoh dengan persentase terkecil berasal dari keluarga besar dengan persentase 7,7 persen.
Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang signifikan antara jumlah anggota keluarga pada contoh laki-laki dan perempuan (p=0,299; p>0,05).
Tabel 11 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga
Besar keluarga (org) Laki-laki Perempuan Jumlah n % n % n % Keluarga kecil (≤4) 65 45,5 96 46,3 161 46,0 Keluarga sedang (5-6) 65 45,5 97 46,9 162 46,3 Keluarga besar (≥7) 13 9,0 14 6,8 27 7,7 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Min-max 3-10 3-9 3-10 Rataan±SD 4,9±1,35 4,8±1,14 4,8±1,23 p-value 0,299 Suku Keluarga
Pembelian konsumen secara kuat dipengaruhi oleh karakteristik budaya. Budaya merupakan penyebab paling mendasar dari keinginan dan perilaku seseorang (Kotler & Amstrong 1999). Kotler dan Amstrong (1999) menambahkan bahwa setiap kebudayaan mengandung subkebudayaan yang lebih kecil, atau kelompok orang-orang yang mempunyai sistem nilai yang sama berdasarkan pengalaman dan situasi kehidupan yang sama. Suku merupakan kelompok lokalitas masyarakat yang mempunyai tingkat homogenitas yang dilatarbelakangi oleh letak geografis, nilai-nilai, dan budaya. Indonesia merupakan negara kepulauan dengan suku bangsa yang beranekaragam. Contoh yang merupakan mahasiswa IPB terdiri dari berbagai suku dan dianggap telah mewakili beragam suku di Indonesia. Tabel 12 memperlihatkan bahwa proporsi contoh terbesar
49
berasal dari suku Jawa (40,3%) dan suku Sunda (23,1%). Suku contoh selain kedua suku tersebut yaitu Minang sebesar 10,6 persen, Betawi sebesar 6,3 persen, Melayu sebesar 5,7 persen, Batak sebesar 5,4 persen, Bugis sebesar 1,7 persen, Kutai sebesar 0,6 persen dan lain-lain (Aceh, Bali, Banjar, Dayak, Lampung, Maluku, Mbojo, Palembang, dan Tionghoa) sebesar 6,3 persen. Hasil
uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
yang signifikan antara suku contoh laki-laki dan perempuan (p=0,287; p>0,05). Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan suku keluarga
Suku keluarga Laki-laki Perempuan Jumlah n % n % n % Jawa 49 34,3 92 44,4 141 40,3 Sunda 35 24,5 46 22,2 81 23,1 Melayu 9 6,3 11 5,3 20 5,7 Betawi 13 9,1 9 4,3 22 6,3 Minang 16 11,2 21 10,1 37 10,6 Batak 7 4,9 12 5,8 19 5,4 Bugis 5 3,5 1 0,5 6 1,7 Kutai 2 1,4 0 0,0 2 0,6 Lainnya 7 4,9 15 7,2 22 6,3 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 p-value 0,287
Persepsi terhadap Pakaian Batik
Sebaran contoh berdasarkan item pertanyaan persepsi terhadap pakaian batik dapat dilihat pada Tabel 13. Persentase terbesar jawaban yang diberikan tersebar merata pada jawaban setuju pada seluruh item pernyataan. Persentase terbesar jawaban yang diberikan antara lain, contoh setuju bahwa pakaian batik dapat dikenakan sebagai pakaian kuliah (50,0%), pakaian batik memiliki motif yang menarik dan beragam (50,6%), model pakaian batik berkembang sesuai dengan perkembangan tren mode (51,7%), dan contoh pun setuju bahwa pakaian batik yang berbahan kain katun lebih murah dibandingkan kain sutera (51,7%). Kemudian, contoh setuju bahwa motif pakaian batik berkembang sesuai dengan perkembangan tren mode (52,3%), dan pakaian batik cocok digunakan oleh semua kalangan (50,9%). Selanjutnya, hampir separuh contoh (47,7%) setuju bahwa pakaian batik dapat dikenakan sebagai pakaian santai dan jalan-jalan, 47,7 persen contoh pun setuju bahwa pakaian batik lokal lebih berkualitas dibandingkan pakaian batik impor, serta 47,1 persen contoh setuju bahwa penting untuk memiliki satu buah pakaian batik diantara koleksi pakaian lainnya
dan setuju bahwa mengenakan pakaian batik dianggap sebagai salah satu cara untuk menunjukkan rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia.
Tabel 13 Sebaran contoh menurut jawaban persepsi terhadap pakaian batik
No Persepsi terhadap pakaian batik Total (%) (n=350) Rata-rata ± SD 6 (SS) 5 (S) 4 (CS) 3 (KS) 2 (TS) 1 (STS) 1 Dapat dikenakan
sebagai pakaian kuliah
38,6 50,0 8,9 1,7 0,6 0,3 5,23±0 ,77 2 Motifnya beragam dan
menarik 34,9 50,6 13,7 0,6 0,3 0,0 5,19±0 ,71 3 Modelnya berkembang sesuai dengan perkembangan mode 31,4 51,7 14,3 2,3 0,3 0,0 5,12±0 ,75 4 Jenis bahan kain katun
lebih cocok digunakan untuk berbagai aktivitas
10,3 57,1 23,4 7,4 1,7 0,0 4,67±0 ,83
5 Batik lokal lebih berkualitas
dibandingkan batik impor
30,0 47,7 17,1 4,3 0,9 0,0 5,02±0 ,85
6 Jenis kain katun lebih murah dibandingkan kain sutera
20,0 51,7 19,1 6,6 2,0 0,6 4,79±0 ,94 7 Penting untuk memiliki
satu buah pakaian batik
38,6 47,1 12,3 1,4 0,6 0,0 5,22±0 ,76 8 Mengenakan pakaian
batik menunjukkan rasa cinta terhadap kebudayaan Indonesia
45,7 47,1 5,4 1,1 0,6 0,0 5,36±0 ,69
9 Dapat dikenakan sebagai pakaian santai dan jalan-jalan 23,4 47,7 20,9 6,3 1,7 0,0 4,85±0 ,91 10 Motifnya berkembang sesuai perkembangan tren mode 32,3 52,3 10,9 4,0 0,6 0,0 5,12±0 ,79 11 Cocok digunakan oleh
semua kalangan
43,4 50,9 4,9 0,3 0,3 0,3 5,36±0 ,66
Pada tabel 13 pun dapat dilihat bahwa lebih dari separuh contoh (57,1%) setuju bahwa jenis bahan kain pakaian batik yang cocok digunakan untuk berbagai aktivitas yaitu kain katun (57,1%), namun masih terdapat 7,4 persen contoh (26 org) yang kurang setuju dengan persepsi ini. Hal ini diduga karena aktivitas contoh yang berprofesi sebagai mahasiswa,terkadang cenderung menggunakan pakaian berbahan kaos atau pun jenis bahan pakaian lainnya untuk menunjang aktivitasnya.
51
Pada Tabel 14 disajikan sebaran contoh berdasarkan kategori persepsi terhadap pakaian batik. Terlihat bahwa hampir seluruh contoh (97,1%) setuju pada item pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi terhadap pakaian batik.
Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan yang nyata antara nilai rata-rata skor persepsi pada contoh laki-laki dan perempuan (p=0,332; p>0,05). Namun berdasarkan nilai rata-rata yang diperoleh terlihat bahwa persepsi contoh terhadap pakaian batik kelompok contoh perempuan cenderung lebih tinggi (85,08) dibandingkan laki-laki (84,24). Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan kategori persepsi terhadap pakaian batik
Kategori persepsi (%) Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Kurang setuju (16,67-66,67) 2 1,4 8 3,9 10 2,9 Setuju (68,18-100,00) 141 98,6 199 96,1 340 97,1 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Rata-rata ± SD 84,24 ±5,14 85,08±5,30 84,73 ± 5,24 Min-max 41-66 23-66 23-66 p-value 0,332
Afektif terhadap Pakaian Batik
Sebaran contoh berdasarkan item pernyataan afektif (perasaan) terhadap pakaian batik terpapar pada Tabel 15. Lebih dari separuh contoh (54,6%) menyatakan setuju bahwa sebagai warga Indonesia bangga mengenakan pakaian batik. Kemudian, hampir separuh contoh (48,6%) setuju bahwa sebagai warga Indonesia harus mencintai batik, dan hampir separuh contoh (49,4%) menyatakan bahwa sebagai warga Indonesia harus melestarikan batik.
Selanjutnya, hampir separuh contoh (49,7%) berpendapat setuju bahwa sebagai warga Indonesia sebaiknya memiliki pakaian batik, dan kurang dari separuh contoh (46,0%) tertarik dengan pakaian batik asli Indonesia. Namun masih terdapat 22,3 persen contoh yang kurang setuju jika membeli pakaian batik dengan uang sendiri, serta 20,0 persen contoh yang menganggap bahwa cukup jika hanya memiliki satu buah pakaian batik saja. Hal ini diduga karena contoh yang berprofesi sebagai mahasiswa cenderung masih belum memiliki penghasilan sendiri, sehingga ada kemungkinan contoh mendapatkan pakaian batik sebagai hadiah dari orangtua.
Tabel 15 Sebaran contoh menurut jawaban afektif terhadap pakaian batik No Afektif terhadap pakaian batik Total (%) (n=350) Rata-rata ± SD 6 (SS) 5 (S) 4 (CS) 3 (KS) 2 (TS) 1 (STS) 1 Harus memiliki satu
buah pakaian batik
41,4 45,1 11,1 1,4 0,9 0,0 5,25±0,77 2 Sebagai warga Indonesia, harus mencintai batik 44,9 48,6 5,1 1,1 0,0 0,3 5,36±0,68 3 Sebagai warga Indonesia, harus melestarikan batik 43,7 49,4 6,0 0,6 0,0 0,3 5,35±0,66 4 Warga Indonesia sebaiknya rutin menggunakan pakaian batik 17,7 34,9 30,3 14,3 2,6 0,3 4,50±1,04 5 Sebagai warga Indonesia, bangga mengenakan pakaian batik 37,4 54,6 7,4 0,6 0,0 0,0 5,29±0,62 6 Warga Indonesia sebaiknya memiliki pakaian batik 36,6 49,7 11,4 2,0 0,0 0,3 5,20±0,75
7 Membeli pakaian batik dengan uang sendiri
7,4 32,3 32,3 22,3 4,6 1,1 4,12±1,06 8 Merasa tidak cukup
jika hanya memiliki satu pakaian batik
10,9 32,9 32,9 20,0 2,3 1,1 4,27±1,04
9 Sebagai warga Indonesia hanya tertarik dengan pakaian batik asli Indonesia
22,3 46,0 22,0 8,6 1,1 0,0 4,80±0,92
Gambaran sebaran contoh berdasarkan afektif terhadap pakaian batik yang telah dikategorikan ke dalam kategori negatif dan positif dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini. Terlihat bahwa hampir seluruh contoh (94,9%) memiliki afektif (perasaan) yang positif terhadap pakaian batik. Hasil uji beda dengan kontrol jenis kelamin menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara afektif terhadap pakaian batik yang terbentuk pada kelompok contoh laki-laki dan perempuan (p=0,926; p>0,05). Meskipun tidak terdapat perbedaan yang nyata, berdasarkan nilai rata-rata skor yang diperoleh, dapat diketahui bahwa afektif yang terbentuk pada kelompok contoh perempuan (81,78) sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok contoh laki-laki (81,69).
53
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan kategori afektif terhadap pakaian batik
Kategori afektif (%) Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Negatif (16,67-66,67) 7 4,9 11 5,3 18 5,1 Positif (68,52-100,00) 136 95,1 196 94,7 332 94,9 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Rata-rata ± SD 81,69±4,62 81,78±4,75 81,74±4,69 Min-max 32-54 21-54 21-54 p-value 0,926
Preferensi terhadap Pakaian Batik
Tabel 17 merupakan hasil analisis Konjoin yang menunjukkan fungsi utilitas dan kepentingan relatif atribut pakaian batik. Berdasarkan tabel tersebut, dapat terlihat bahwa nilai kepentingan tertinggi dimiliki oleh atribut harga (56,46%), diikuti oleh model pakaian batik (19,33%), lalu kain pakaian batik (19,16%), dan yang terakhir adalah motif pakaian batik (5,05%). Hasil analisis Konjoin kemudian menunjukkan kombinasi atribut yang disukai oleh contoh, yaitu pakaian batik dengan harga kurang dari Rp 100.000,00, dengan model formal yang berupa jas/blazer/dress/kemeja/atasan, dengan jenis bahan kain sutera, serta dengan motif nongeometris yang berupa motif binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya.
Tabel 17 Fungsi utilitas dan kepentingan relatif atribut pakaian batik
Attribute Utility Importance (%
Utility Range) Model Santai (kaos/jaket/daster) -0,0629 19,33 Formal (jas/blazer/dress/kemeja/atasan) 0,0629 Harga < Rp 100.000,00 0,1836 56,46 > Rp 100.000,00 -0,1836 Motif
Nongeometris (binatang, tumbuh-tumbuhan, dan makhluk hidup lainnya)
0,0164 5,05
Geometris (garis-garis) -0,0164
Jenis kain
Katun -0,0623 19,16
Sutera 0,0623
Gambaran sebaran contoh berdasarkan preferensi terhadap pakaian batik yang telah dikategorikan ke dalam kategori suka dan kurang suka dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini. Terlihat bahwa sebagian besar contoh
(82,6%) menyukai pakaian batik. Hasil uji beda independent sample t-test
terhadap pakaian batik kelompok contoh laki-laki dan perempuan (p=0,110; p>0,05). Akan tetapi pada Tabel 18 terlihat bahwa rata-rata preferensi contoh terhadap pakaian batik pada kelompok contoh laki-laki (62,48) lebih besar dibandingkan kelompok contoh perempuan (60,21).
Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan kategori preferensi terhadap pakaian batik
Kategori preferensi (%) Laki-laki Perempuan Total n % n % n % Kurang suka (10,00-50,00) 22 15,4 39 18,8 61 17,4 Suka (60,00-100,00) 121 84,6 168 81,2 289 82,6 Total 143 100,0 207 100,0 350 100,0 Rata-rata ± SD 62,48±13,87 60,21±12,46 61,14±13,08 Min-max 17-99 11-84 11-99 p-value 0,110 .
Minat Beli terhadap Pakaian Batik
Tabel 19 menunjukkan sebaran contoh terhadap item pertanyaan yang berkaitan dengan minat beli terhadap pakaian batik. Persentase terbesar jawaban yang diberikan antara lain, contoh setuju bahwa alasan membeli pakaian batik dikarenakan oleh tertarik akan motifnya (54,0%), modelnya kian menarik dan beragam (45,4%), dan setuju bahwa salah satu alasan contoh membeli pakaian batik yaitu setidaknya contoh memiliki satu pakaian batik yang dapat dikenakan ketika menghadiri acara resmi (47,7%). Hampir separuh contoh (41,7%) setuju bahwa mereka akan merekomendasikan kepada teman/saudara agar mengenakan pakaian batik ketika menghadiri acara-acara resmi.
Hasil penelitian pun menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh (52,9%) menyatakan kurang setuju pada item pernyataan yang mengemukakan bahwa pakaian batik merupakan pakaian yang pertama kali dicari ketika mengunjungi tempat perbelanjaan. Selain itu, hampir separuh contoh (40,9%) menyatakan kurang setuju pada item pernyataan yang mengemukakan kesediaan contoh menyisihkan uang saku untuk membeli pakaian batik.