• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan non-sianotik

E. PERTUMBUHAN ANAK DENGAN PENYAKIT JANTUNG BAWAAN Penyakit jantung bawaan menyabebkan retardasi pertumbuhan baik prenatal

3. Gagal jantung pada penyakit jantung bawaan non-sianotik

Penyakit jantung bawaan sianosis lebih menekankan pada keadaan hipoksia, sedangkan pada PJB non-sianotik pada gagal jantung kongestif (Tamamoto, 2013). Penyakit PJB non-sianotik akan terjadi beban volume yang berlebih yang menyebabkan gagal jantung (Advani, 2015). Gagal jantung kongestif ditandai adanya retensi air dan natrium yang disertai tanda gejala kongesti pulmonal (dispnue, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea) dan kongesti vena sistemik (edema, asites, dan hepatomegali). Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri tanpa adanya gejala klinis merupakan kongesti hemodinamik yang memprediksi gagal jantung yang tidak terkompensasi. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel yang meningkat kronis memainkan peranan terjadinya remodeling jantung yang disebabkan aktivasi neurohormonal, peningkatan stress dinding miokardium, peningkatan kebutuhan oksigen miokardium karena iskemi dan meningkatnya regurgitasi mitral. Dari peristiwa ini dapat digambarkan sebuah siklus dari penurunan cariac output dengan retensi air dan garam secara progresif (Shchekochikhin dkk., 2013).

Pada anak sehat, hubungan jantung dan ginjal terjadi melalui reflek atrial-renal yang mempertahankan volume tubuh normal. Peningkatan tekanan atrial menekan pengeluaran arginine vasopressin (AVP) melalui Henry-Gaurer

Refelex dan penurunan tonus simpatis ginjal. Peningkatan tekanan pengisian atrium dan ventrikel juga menyebabkan pengeluaran peptide natriuretic (ANP dan BNP). Hasil dari reflek atrial-renal meningkatkan ekskresi air dan natrium ginjal. Sedangkan pada gagal jantung didapatkan respon normal yang dilemahkan oleh penurunan efektivitas volume atrial, atau disebut penurunan pengisian arterial. Penurunan pengisian sirkulasi arteri terjadi karena penurunan cardiac output pada gagal jantung dengan low-output dan vasodilatasi arterial primer pada gagal jantung dengan high-output. Pada kedua tipe gagal jantung terjadi penurunan dari efek penghambatan perenggangan baroreseptor arterial pada sistem neurohormonal (sistem renin-angiotensin-aldosteron, katekolamin dan AVP). Pada gambar 6 menunjukkan vasokonstriksi arteriol sistemik dan intrarenal, peningkatan reabsorbsi natrium dan retensi air yang dimediasi AVP (Shchekochikhin dkk., 2013). 4. Hipoksia pada penyakit jantung bawaan sianotik

Hipoksia merupakan hasil dari ketidakseimbangan antara kebutuhan dan ketersediaan oksigen. Pada penyakit jantung bawaan didapatkan hipoksia kronis. Etiologi retardasi pertumbuhan pada pasien penyakit jantung bawaan masih belum jelas. Retardasi pertumbuhan dapat merupakan hasil penurunan energi bersamaan dengan kehilangan nafsu makan, utilisasi nutrisi yang tidak adekuat yang disebabkan hipoksia, malabsorbsi karena kongesti vena, dan peningkatan kebutuhan nutrisi relatif atau peningkatan kebutuhan energi pada penyakit infeksi dan peningkatan kebutuhan oksigen. Telah dilaporkan juga bahwa didapatkan rendahnya kadar IGF-1 pada pasien PJB (Rodica, 2013). 5. Peran ghrelin pada penyakit jantung bawaan

Ghrelin merupakan ligan endogen dari reseptor sekretoris growth hormon (GHS-R). Ghrelin disekresi oleh sel X/A dalam mukosa oxintik oleh sel lambung, disintesis sebagai preprohormon dan kemudian diproses secara proteolitik menghasilkan asam amino peptide 28. Ghrelin dikode oleh gen 117 peptida asam amino. Peptida ini dilaporkan menginduksi pelepasan growth hormone, regulasi keseimbangan asupan makanan dan energi, metabolisme lipid dan glukosa. Reseptor ghrelin terdapat di hipotalamus,

v

pituitari, dan sistem kardiovaskuler, dimana ghrelin berguna pada aktivitas hemodinamik (Tamamoto, 2013). Ghrelin pada plasma dalam bentuk des-acylated dan des-acylated, hasil akhir dari post-translational octanoylation dari pro-ghrelin oleh enzim ghrelin-O-acyltransferase (GOAT). Acylated ghrelin merupakan ligan alami growth hormone secretagogue receptor tipe 1a (reseptor ghrelin, GHS-R1a) yang menstimulasi growth hormone. GHS-R tipe 1b telah ditemukan pada beragam jaringan termasuk organ limfoid. Acylated ghrelin memberikan sinyal ke hipotalamus untuk meningkatkan napsu makan, penyimpanan makanan, dan regulasi berat badan jangka panjang. Ghrelin berfungsi meningkatkan sekresi growth hormone, keseimbangan energi, nafsu makan, asupan makanan, dan regulasi BB jangka panjang (Delporte, 2013; Dixit dkk, 2004; Spencer dkk, 2013).

Gambar 2. Fungsi ghrelin (Dixit dkk, 2004)

Ghrelin dianggap sebagai orexigen yang beredar dan mempunyai efek antagonis leptin. Ghrelin menyebabkan inhibisi leptin. Leptin merupakan anggota dari gp130 keluarga sitokin. Leptin diregulasi oleh ekspresi GHS-R pada limfosit T. Leptin menginduksi penurunan asupan makanan melalui aktivasi jalur neuropeptida Y-Y1 (NPY-Y1) di hipotalamus. Reseptor sekretoris growth hormon (GHR-S) jaringan tersebar luas di sitem limfoid.

Ghrelin dan ligan GHS-R dapat berfungsi sebagai sinyal modulator sistem endokrin, saraf, dan imun. Ghrelin dan GHS-R diekspresi di limfosit T dan monosit serta menghambat ekspresi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, dan TNF ) yang berperan penting dalam terjadinya suatu sindroma anorexia-cachexia. Sindroma anorexia-cachexia adalah kondisi metabolik dengan multifaktorial yang kompleks, yang menyebabkan anoreksia, keseimbangan energi negatif, penurunan BB, dan atrofi otot (Al-Asy, 2012).

Leptin yang meningkat menyebabkan penurunan BB dan anorexia pada pasien gagal jantung serta menyebabkan aktivasi sistem melanocortin yang meningkatkan energi ekspenditur dan menurunkan nafsu makan. Leptin juga menyebabkan cachexia pada pasien dengan gagal jantung dan kardiomiopati yang disebabkan obesitas melalui mekanisme kardiovaskular meliputi peningkatan aktivitas simpatis dan produksi vasodilatasi oleh mekanisme endothelium-dependen secara perifer. Sitokin proinflamasi memainkan peranan penting pada pathogenesis gagal jantung. Peningkatan TNF-α, IL-1, IL-6 mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, TNF-α menginduksi apoptosis dan aktivasi pemecahan protein di berbagai jaringan. TNF-α meningkatkan pengeluaran leptin. Peningkatan kadar leptin dihubungkan dengan adanya kodisi gagal jantung (Enginer dkk, 2012).

Chaiban (2008) melaporkan adanya penurunan ghrelin dalam sirkulasi disebabkan kondisi hipoksia. Penelitian lain oleh Yilmaz (2007) pada pasien PJB dimana kadar ghrelin serum tinggi dibanding kontrol dan dihubungkan dengan kadar TNF alfa. Peningkatan kadar ghrelin merupakan respon adanya malnutrisi dan retardasi pertumbuhan. Hubungan ghrelin dan sitokin dengan gagal jantung kongestif dan hipoksemia akibat adanya pirau kronis.

Asupan kalori yang tidak adekuat

Penurunan asupan kalori menjadi penyebab terjadinya malnutrisi pada pasien PJB. Penelitian Hansen dan Dorup menunjukkan asupan kalori pasien PJB sebesar 76% dibanding kontrol. Kelelahan saat makan merupakan kemungkinan penyebab dari penurunan asupan kalori. Hipoksia kronis menyebabkan dispneu dan takipneu selama makan, menyebabkan anak

v

mudah lelah dan menurunkan kuantitas makanan yang dikonsumsi (Rodica, 2013). Asupan kalori yang tidak adekuat menyebabkan malabsorbsi atau kelainan metabolisme karbohidrat yang menunjukkan penyebab penting terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak dengan PJB (Eren dkk., 2013; Al-Asy dkk., 2014; Batrawy dkk., 2015; Bernstein, 2015).

Absorbsi dan utilisasi yang tidak efisien

Disfungsi intestinal yang disebabkan penurunan aliran darah dari dan menuju ke sirkulasi splanchnic sering didapatkan pada pasien PJB dan menyebabkan terjadinya malabsorbsi. Hal ini yang menyebabkan pasien PJB tidak dapat mencapai BB normal meskipun sudah mendapatkan asupan kalori yang cukup. Masih banyak kontroversi mengenai peran malabsorbsi pada gangguan pertumbuhan, oleh karena itu mekanisme ini masih perlu dipertimbangkan sampai ada penelitian lebih lanjut (Da Silva dkk., 2007). Kebanyakan pasien penyakit jantung bawaan mengalami gizi kurang sebesar 82%. Seperlima pasien mengalami malnutrisi berat dan terjadi pada kedua tipe penyakit jantung bawaan dengan gizi kurang (47%) dan marasmik (33%) (Dinleyici dkk., 2007).

Gambar 3. Axis IGF-1/GH dan ghrelin (Salas, 2013) 6. Peran IGF-1 pada penyakit jantung bawaan

Insulin like growth factor-1 (IGF-1) merupakan peptida yang sekresinya bergantung pada hormon pertumbuhan. Insulin like growth factor-1 mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan jaringan dan diferensiasi sel. Malnutrisi pada anak dapat dihubungkan dengan IGF-1 yang khususnya pada anak dengan PJB. Beratnya defek jantung kongenital (ukuran pirau, jenis sianotik atau non sianotik) merupakan indikator resistensi perifer juga akan berpengaruh pada kadar IGF-1 (Dinleyici dkk., 2007). Eren dkk (2013) meneliti efek hipoksia kronis terhadap fungsi endokrin pada pasien PJB, dimana didapatkan bahwa hipoksia kronis mempunyai dampak negatif pada pertumbuhan dengan mereduksi IGF-1 selama terjadi defisiensi gizi pada pasien PJB (Rodica, 2013).

v

Batrawy dkk (2015) melaporkan hubungan antara hipertensi pulmonal dan insidens keterlambatan usia tulang. Insidens keterlambatan usia tulang pada pasien dihubungkan dengan tekanan pulmonal berturut-turut adalah dengan tekanan pulmonal normal (39,2%), ringan (42,8%), sedang (80%), dan berat (100%). Penurunan berat badan (pada 60% kasus) dan tinggi badan (pada 56% kasus) secara statistik signifikan, dimana penurunan lingkar kepala (pada 24% kasus) tidak signifikan secara statistik. Pasien dengan penyakit jantung bawaan sianotik (60%) mengalami keterlampatan usia tulang. Keadaan sianotik menyebabkan lebih sedikit keterlambatan usia tulang dibanding pada hipertensi pulmonal. Keterlambatan usia tulang dan retardasi pertumbuhan umumnya ditemukan pada anak-anak PJB, baik pada keadaan sianotik maupun hipertensi pulmonal, keduanya menyebabkan pertumbuhan yang buruk.

Adanya perbedaan tipe malformasi dapat mempengaruhi status gizi dan pertumbuhan dengan bermacam derajat. Hipoksemia kronis menurunkan konsentrasi insulin like growth factor I (IGF-I) serum, meningkatkan risiko gagal tumbuh pada pasien sianotik. Pasien dengan peningkatan aliran darah pulmonal dan hipertensi pulmonal dan cenderung berkembang menjadi malnutrisi dan retardasi pertumbuhan terutama pada pasien PJB sianotik yang disertai pulmonal hipertensi (Batrawy, 2015). Dinleyici dkk. (2007) dan Nygren (2012) melaporkan kadar IGF-1 serum rendah pada pasien PJB sianotik dibandingkan dengan subjek dan diperkirakan karena hambatan ikatan hormon pertumbuhan dengan reseptornya pada hipoksia kronis.

Penelitian Shiva dkk (2013) mengenai kadar IGF-1 pada anak PJB secara signifikan lebih rendah dibanding anak PJB non-sianotik dan anak normal. Rendahnya saturasi oksigen pada anak PJB sianotik merupakan indikasi adanya hipoksia kronis. Didapatkan hubungan positif antara IGF-1, saturasi oksigen, usia, BMI, TB dan lingkar kepala (Livingstone, 2013).

Soliman dkk (2012) melaporkan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan pertumbuhan linier pada pasien PJB antara lain karena hipoksia dan kegagalan perfusi jaringan pertumbuhan termasuk epifisial lempeng

pertumbuhan, peningkatan angka metabolisme yang menyebabkan status hipermetabolik, malnutrisi yang menyebabkan penurunan nafsu makan dan atau malabsorbsi, dan efek dari aksis GH/IGF-1 (Soliman dkk., 2012; Atwa dkk., 2014).

Telah dilaporkan bahwa usia tulang anak-anak dengan PJB dapat terhambat. Hal ini dikarenakan hipoksemia kronis menyebabkan penurunan kadar insulin like growth factor I (IGF-1) dalam serum yang akan meningkatkan kegagalan tumbuh pada anak-anak dengan PJB. Adanya peningkatan aliran darah pulmonal dan hipertensi pulmonal akan lebih rentan menjadikan malnutrisi dan retardasi pertumbuhan, dimana penyakit jantung bawaan sianosis yang disertai hipertensi pulmonal adalah paling banyak (Batrawy dkk., 2015). Penurunan kadar insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dengan peningkatan kadar growth hormone selanjutnya akan menyebabkan malnutrisi (Vogt dkk., 2007).

Malnutrisi pada anak-anak dengan penyakit jantung bawaan secara luas berkisar dari gizi kurang ringan hingga kegagalan yang berat sampai terjadi failure to thrive (FTT). Failure to thrive dikenal baik sebagai masalah serius pada anak dengan penyakit jantung bawaan dimana didapatkan adanya penurunan pemasukan energi, peningkatan kebutuhan energi dan infeksi respiratori yang berulang. Pemasukan kalori yang inadekuat, disebabkan malabsorbsi atau kelainan metabolisme karbohidrat, menunjukkan etiologi penting terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak dengan penyakit jantung bawaan (Batrawy dkk., 2015).

v F. Kerangka teori Keterangan gambar = Variabe bebas = Variabel tergantung = Variabel perancu

Penjelasan kerangka teori

Penyakit jantung bawaan secara garis besar dibedakan menjadi dua yaitu penyakit jantung bawaan sianotik dan non-sianotik. Pada penyakit jantung sianotik ditekankan terjadinya hipoksia, sedangkan pada penyakit jantung bawaan non-sianotik pada gagal jantung kongesti. Gagal jantung menyebabkan low cardiac output syndrome dimana selanjutnya menyebabkan hipoperfusi di jaringan yang menyebabkan penurunan dari ghrelin. Penurunan ghrelin juga disebabkan oleh hipoksia pada penyakit jantung bawaan sianotik. Ghrelin yang menurun menyebabkan penurunan growth hormon yang menyebabkan penuruanan IGF-1. Ghrelin juga menyebabkan peningkatan leptin, IL-1, IL-6, dan TNF yang menyebabkan penurunan asupan kalori, absorbsi dan utilisasi (malabsorbsi). Hal tersebut menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan yang mana gangguan tersebut diperberat dengan adanya peningkatan penggunaan energi. Hipoksia pada penyakit jantung bawaan sianotik menyebabkan penurunan growth hormone dan IGF-1. Insuline like growth factor-1 (IGF-1) memainkan peranan penting dalam pertumbuhan jaringan dan diferensiasi sel, sehingga penurunan IGF-1 juga menyebabkan gangguan percepatan pertumbuhan. Variabel perancu yang mempengaruhi percepatan pertumbuhan selain penyakit jantung bawaan antara lain malnutri akut, diare, infeksi pernapasan.

v G. Keranga konsep Keterangan gambar = Variabe bebas = Variabel tergantung = Variabel perancu H. Hipotesis

Hipotesis kerja pada penelitian ini adalah terdapat pengaruh penyakit jantung bawaan sianotik dan non sianotik terhadap percepatan pertumbuhan anak.

BAB III

Dokumen terkait