• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Gambar contoh uji sebelum dan sesudah pengujian

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kayu merupakan suatu bahan baku yang memiliki manfaat yang sangat bernilai bagi manusia, diantaranya sebagai bahan konstruksi, meubel, barang kerajinan, kayu bakar, peralatan rumah tangga dan lainnya. Salah satu kayu asli Indonesia yang sudah dipakai secara komersial adalah kayu meranti (Shorea spp.). Penggunaan kayu meranti untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, tidak diimbangi dengan tersedianya pasokan kayu yang diterima dari hutan alam. Pemerintah telah memberikan kebijakan untuk membangun hutan tanaman yang menyebabkan perubahan pasokan kayu dari hutan alam ke hutan tanaman. Berdasarkan data statistik Departemen Kehutanan tahun 2010, dari 42,11 juta m3 produksi kayu di Indonesia, sebanyak 18,65 juta m3 diantaranya merupakan hasil hutan tanaman.

Perubahan ini memberikan perubahan pula terhadap karakteristik kayu yang dihasilkan. Kayu yang dihasilkan dari hutan tanaman memiliki karakteristik yang berbeda dengan kayu dari hutan alam, yaitu cepat tumbuh (fast growing), rotasi pendek, berdiameter kecil, memiliki sifat fisis mekanis yang rendah dan memiliki keawetan yang rendah (Syafii 1999).

Kayu tidak terlepas dari sasaran bagi organisme perusak, khususnya rayap. Rayap membutuhkan selulosa yang terdapat dalam kayu sebagai makanannya. Kayu dari hutan tanaman yang cepat tumbuh dan berdiameter kecil biasanya ketahanan alami yang dimiliki sangat rendah, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perbedaan ketahanan alami kayu meranti merah yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman. Selain itu, kayu teras umumnya memiliki kandungan zat ekstraktif yang lebih tinggi dari kayu gubal yang dapat mempengaruhi tingkat keawetan kayu.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Mengetahui keawetan alami kayu meranti merah yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman.

2. Mengetahui perbedaan ketahanan alami bagian kayu teras dan gubal pada bagian atas dan bawah berdasarkan asal kayu meranti merah tersebut.

1.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang perbedaan keawetan alami kayu meranti merah (Shorea sp.) yang berasal dari hutan alam dan hutan tanaman terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren).

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Meranti (Shorea spp.)

Meranti (Shorea spp.) merupakan salah satu jenis pohon hutan penghasil kayu utama yang berasal dari Indonesia dan mendominasi hutan hujan dataran rendah di wilayah Indonesia bagian barat. Meranti termasuk ke dalam famili Dipterocarpaceae, terdiri dari 194 jenis dengan empat kelompok besar yaitu meranti merah, meranti putih, meranti kuning dan meranti balau. Di kawasan Asia Tenggara (Thailand, Indonesia, dan Malaysia), meranti merah terdiri dari 70 jenis. Sementara itu, meranti putih, meranti kuning, dan meranti balau masing-masing terdiri dari 22 jenis, 33 jenis, dan 38 jenis (Mulyana & Asmarahman 2010).

Empat kelompok besar dalam genus Shorea, yaitu : 1. Meranti Merah

Pohon-pohon kelompok meranti merah umumnya besar dan berbanir. Batang merekah atau bersisik dan berdamar. Kulit luar dan kulit dalam tebal, berurat-urat, dan berwarna merah atau kemerah-merahan (Al-Rasyid et al. 1991). Warna kayu terasnya sangat bervariasi mulai hampir putih, coklat pucat, merah muda, merah kecoklatan, sampai merah tua kecoklatan. Kayu gubalnya mudah dibedakan, umumnya berwarna putih kotor, kekuningan, sampai coklat sangat muda. Meranti merah mempunyai BJ antara 0,30-0,86 dan rata-rata 0,52. Meranti merah mempunyai kelas awet III-IV dan kelas kuat III-IV. Meranti merah biasa digunakan untuk vinir dan kayu lapis, perabot rumah tangga, bahan bangunan, kayu perkapalan, daun pintu dan jendela, alat musik, dan peti pengepak. Jenis yang termasuk dalam kelompok meranti merah antara lain: Shorea leprosula Miq., Shorea acuminata, Shorea compressa, dan Shorea gysbertsiana (Pandit & Kurniawan 2008).

2. Meranti Putih

Jenis meranti putih merupakan pohon besar, batangnya berwarna coklat tua atau kelabu, dan berdamar yang warnanya kuning pucat. Kulit luarnya tebal dan kulit dalamnya berlapis-lapis (Al-Rasyid et al. 1991). Kayu terasnya berwarna hampir putih bila masih segar, lambat laun berubah menjadi kuning kecoklatan,

atau kuning muda. Kayu gubalnya juga berwarna putih kekuningan. Meranti putih mempunyai BJ antara 0,42-0,91 dan rata-rata 0,63. Meranti putih mempunyai kelas awet III-IV dan kelas kuat II-III. Meranti putih biasa digunakan untuk vinir dan kayu lapis, papan partikel, perabot rumah tangga, lantai bahan bangunan dan perkapalan. Kayu meranti putih sukar dikerjakan karena cepat menumpulkan alat. Hal ini disebabkan karena meranti putih mengandung banyak silika. Jenis yang termasuk dalam kelompok meranti putih antara lain: Shorea javanica, Shorea bracteolata, Shorea koordersii, Shorea lamellata, Shorea retinodes, dan Shorea sororia (Pandit & Kurniawan 2008).

3. Meranti Kuning

Pohon-pohon kelompok meranti kuning kecil atau besar. Kulit batangnya retak-retak, bersisik, atau merekah, dan berdamar yang warnanya coklat atau hitam. Kulit luar tipis, kulit dalam berwarna kekuningan (Al-Rasyid et al. 1991). Kayu terasnya berwarna kuning muda atau coklat kuning muda, sedangkan kayu gubalnya berwarna lebih terang dari kayu terasnya, yaitu kuning cerah bila masih segar dan lama-kelamaan berubah menjadi putih kelabu karena adanya pewarnaan akibat serangan jamur biru. Meranti kuning mempunyai BJ antara 0,37-0,86 dan rata-rata 0,56. Meranti kuning mempunyai kelas awet III-IV dan kelas kuat II-III. Meranti kuning biasa digunakan untuk vinir dan kayu lapis, pulp dan kertas, perabot rumah tangga, kayu perkapalan, dan papan partikel. Jenis yang termasuk dalam kelompok meranti kuning antara lain Shorea xanthophylla, Shorea gibbosa, Shorea multiflora, Shorea acuininatissiwa, Shorea hopeifolia, dan Shorea faguehfiana (Pandit & Kurniawan 2008).

4. Meranti Balau

Meranti balau umumnya besar dan berbanir, kulit batang retak-retak panjang, merekah atau mengelupas, dan berdamar. Kulit luar berwarna coklat hingga kemerah-merahan, kulit dalam berwarna ungu kekuningan sampai kemerahan. Jenis yang termasuk dalam kelompok meranti balau adalah Shorea atrinervosa, Shorea maxwelliana, dan Shorea elliptica (Al-Rasyid et al. 1991).

Meranti dapat tumbuh di hutan dataran rendah, hutan pegunungan, hutan rawa, hutan gambut, dan area bekas ladang (Mulyana & Asmarahman 2010). Menurut Al-Rasyid et al. (1991), di Indonesia jenis-jenis Shorea banyak tersebar

di Indonesia meliputi Sumatra, Kalimantan, Jawa, Maluku, dan Sulawesi. Sebagian besar jenis meranti terdapat pada daerah beriklim basah dan kelembaban tinggi, di bawah ketinggian tempat 800 m dpl, tipe hujan A dan B menurut Schmidt dan Ferguson (curah hujan di atas 2000 mm per tahun dengan musim kemarau yang pendek). Jenis-jenis Shorea menghendaki tanah kering yang bereaksi asam, bersolum dalam dan banyak mengandung liat. Jenis tanah tempat tumbuh Shorea adalah podsolik merah kuning, podsolik kuning, dan latosol (Al- Rasyid et al. 1991). Menurut Syamsuwida (2002) dalam Mulyana dan Asmarahman (2010), lingkungan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pertumbuhan pohon meranti, diantaranya adanya naungan pohon pionir, kelembapan udara yang rendah, suhu tanah, dan kompetisi antar vegetasi.

2.2 Hutan Alam

Hutan alam adalah hutan yang ditumbuhi pohon-pohon secara alami dan sudah ada sejak dulu kala. Hutan alam yang dapat bertahan tanpa ada campur tangan manusia atau tidak terjadi eksploitasi hutan disebut hutan primer. Hutan primer terpelihara dengan baik sering disebut hutan perawan atau virgin forest. Sedangkan hutan yang telah terdapat intervensi manusia didalamnya atau juga faktor bencana alam dapat terbentuk hutan alam sekunder. Menurut Bruenig (1996), hutan alam disusun oleh pohon-pohon asli, tumbuh secara alami di tempat itu, dan memiliki struktur yang menyerupai atau identik dengan hutan alam primer.

Indonesia mempunyai hutan alam yang sangat luas, tetapi semakin hari luasan hutan alam ini terus berkurang. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Indonesia kehilangan 1,6-2 juta hektar hutan alam setiap tahun. Hutan alam Indonesia pada umumnya ditumbuhi oleh jenis-jenis Dipterocarpaceae, yang merupakan jenis kayu yang laku di pasaran, sehingga hutan alam ini merupakan sasaran eksploitasi.

Komposisi jenis penyusun hutan alam di Indonesia berbeda-beda tergantung lokasi tempat tumbuhnya hutan tersebut. Jenis-jenis pohon di hutan alam Indonesia bagian barat berbeda dengan Indonesia bagian timur walaupun ada juga jenis yang menyebar luas dari barat sampai ke timur. Ada beberapa zona

tumbuhan hutan alam di Indonesia yaitu zona hutan alam bagian barat, zona hutan alam bagian timur dan zona peralihan.

2.3 Hutan Tanaman

Menurut Bruenig (1996), hutan tanaman adalah hutan yang telah dibangun dengan cara penanaman atau dengan cara menyebarkan (biji) pada lahan yang gundul, padang rumput, lahan terbuka pada hutan sekunder, belukar, atau lahan bekas tebang habis pada hutan primer, yang kemudian dimodifikasi dan dimanipulasi menjadi hutan. Hutan tanaman dibangun dengan teknik silvikultur dan ditanami jenis-jenis tanaman tertentu untuk tujuan pelestarian lingkungan dan menjadi suplai bahan baku industri. Hutan tanaman yang dikelola dan diusahakan dapat dibangun oleh suatu lembaga ataupun perorangan.

Di Pulau Jawa dan Madura, Pengelolaan sumber daya hutan termasuk pembangunan hutan tanaman dikelola oleh suatu Badan Usaha Milik Negara berbentuk Perusahaan Umum yang disebut Perhutani. Telah diketahui dengan luas bahwa hutan tanaman di pulau Jawa didomimasi oleh jenis tanaman Jati (Tectona grandis) dan merupakan sisa peninggalan jaman penjajahan Belanda. Hutan-hutan tanaman ini masih terus dikelola oleh Perhutani untuk memproduksi kayu bahan baku industri.

Pada pekarangan dan lahan-lahan milik rakyat dapat ditanami jenis-jenis pohon hutan yang dijadikan hutan tanaman. Hutan tanaman seperti ini ditanam oleh perorangan atau kelompok masyarakat sebagai suatu usaha meningkatkan pendapatan. Pembuatan hutan tanaman yang dilakukan biasanya ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian atau lebih dikenal dengan istilah "agroforestry".

Hutan tanaman yang diperuntukan sebagai penghasil bahan baku industri dinamakan Hutan Tanaman Industri. Hutan tanaman dapat ditanam secara monokultur atau polikultur. Penanaman secara monokultur hanya mempergunakan satu jenis tanaman, sedangkan secara polikultur mempergunakan berbagai jenis tanaman.

Pada hutan tanaman industri komposisi tegakan hutannya terdiri dari jumlah jenis yang terbatas bahkan seringkali monokultur, dalam keadaan yang

demikian ekologinya cenderung untuk memacu peningkatan populasi hama penyakit seperti halnya yang terjadi pada ekosistem pertanian. Selain itu, hutan tanaman monokultur kurang dapat memanfaatkan total energi matahari yang jatuh karena lapisan tajuknya hanya satu, selain itu juga tidak terjadi stratifikasi perakaran yang dapat menyebabkan kebocoran hara.

2.4 Rayap Tanah

Agen-agen biologis menjadi penyebab utama dalam kemunduran kualitas kayu, seperti cendawan yang menyebabkan noda, pelunakan, dan pembusukan; pengebor laut, terutama cacing laut dan kerang-kerang laut kecil; serangga termasuk rayap dan semut (Bowyer et al. 2003).

Rayap merupakan serangga pemakan kayu (Xylophagus) dan bahan-bahan yang mengandung selulosa. Rayap dikelompokkan ke dalam tujuh famili yaitu Mastotermitidae, Kalotermitidae, Termopsidae, Hodoteritidae, Rhinotermitidae, Serritermitidae dan Termitidae. Enam famili pertama digolongkan sebagai rayap tingkat rendah dan famili Termitidae sebagai rayap tingkat tinggi. Di dalam usus belakang rayap tingkat rendah terdapat protozoa yang berperan sebagai simbion dalam proses mencerna selulosa. Sedangkan pada rayap tingkat tinggi peranan protozoa digantikan oleh bakteri (Nandika et al. 2003). Menurut Tarumingkeng (2001) pada dasarnya rayap adalah serangga daerah tropika dan subtropika. Namun kini penyebarannya meluas ke daerah beriklim sedang (temperate) dengan batas-batas 500oLU dan 500oLS. Di daerah tropika rayap dapat ditemukan mulai dari pantai sampai ketinggian 3000 meter dari permukaan laut.

Menurut Nandika et al. (2003), rayap merupakan serangga sosial yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Rayap tidak memiliki kemampuan untuk hidup lebih lama bila tidak berada dalam koloninya.

Dalam setiap koloni rayap, umumnya terdapat tiga kasta, yaitu kasta pekerja, kasta prajurit, dan kasta reproduktif (Borror et al. 1992). Dalam setiap koloni rayap umumnya terdapat tiga kasta yang diberi nama menurut fungsinya masing-masing yaitu kasta reproduktif (raja dan ratu), kasta prajurit dan kasta pekerja. Tarumingkeng (2000), menyatakan bahwa setiap koloni rayap terdapat tiga kasta sesuai dengan fungsinya masing-masing yaitu:

1. Kasta reproduktif

Kasta reproduktif terdiri dari reproduktif primer dan sekunder. Kasta reproduktif primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya bertugas menghasilkan telur. Apabila rayap kasta reproduktif mati, sepasang rayap kasta reproduktif sekunder akan menggantikannya. Pada masa persilangan (swarming), rayap kasta reproduktif akan terbang keluar sarang dalam jumlah besar. Masa persilangan merupakan masa perkawinan sepasang imago bertemu menanggalkan sayapnya kemudian mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Menurut Nandika et al. (2003), ratu rayap dapat mencapai ukuran panjang 5-9 cm atau lebih. Peningkatan ukuran tubuh ini terjadi karena pertumbuhan ovari, usus, dan penambahan lemak tubuh. Pembesaran tubuh ini menyebabkan ratu tidak dapat bergerak aktif dan tampak malas. Pekerjaan ratu semasa hidupnya hanya menghasilkan telur, sedangkan makannya dilayani oleh para pekerja. Seekor ratu dapat hidup 6 sampai 20 tahun, bahkan berpuluh-puluh tahun. Seekor ratu rayap dapat menghasilkan ribuan telur (Tarumingkeng 2001).

2. Kasta prajurit

Rayap dari kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan mempunyai mandibel yang kuat. Dalam koloni, rayap kasta prajurit bertugas untuk melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus hidup koloni. Rayap kasta prajurit menyerang musuhnya dengan mandibel yang dapat menusuk, mengiris dan menjepit. Selain menggunakan mandibel untuk menyerang musuh, juga mengeluarkan cairan hasil sekresi kelenjar frontal atau kelenjar saliva melalui mulut.

Rayap tanah kasta prajurit memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kepala berwarna kuning, antena, labrum, dan pronotum kuning pucat. Antena terdiri dari 15 segmen, segmen kedua dan keempat sama panjangnya. Mandibel berbentuk seperti arit dan melengkung di ujungnya, batas antar sebelah dalam dari mandibel sama sekali rata. Panjang kepala dengan mandibel 2,46-2,66 mm, panjang kepala tanpa mandibel 1,56-1,68 mm. Lebar kepala 1,40-1,44 mm dengan lebar pronotum 1,00-1,03 mm dan panjangnya 0,56 mm. Panjang badan 5,5-6,0 mm. Bagian abdomen ditutupi dengan rambut yang menyerupai duri. Abdomen berwarna putih kekuning-kuningan (Nandika et al. 2003).

3. Kasta pekerja

Rayap kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni rayap. Setiap populasi dalam koloni rayap tidak kurang dari 80% populasi merupakan kelompok kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai nimfa. Kasta pekerja antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni, merawat telur serta membuat dan memelihara sarang. Nandika et al. (2003) menyatakan bahwa kasta pekerja pula yang memperbaiki sarang bila terjadi kerusakan. Rayap inilah yang sering menghancurkan tanaman, kayu, mebel, dan bahan berlignoselulosa lainnya. Bahkan kadang-kadang mereka memakan rayap lain yang lemah sehingga hanya individu-individu yang kuat saja yang dipertahankan. Semua ini merupakan mekanisme pengaturan keseimbangan kehidupan di dalam koloni rayap.

Pembentukan kasta pekerja, prajurit, ratu atau raja dari nimfa muda dikendalikan secara alami oleh bahan kimia yang disebut feromon. Feromon adalah hormon yang dikeluarkan dari kelenjar endokrin, menyebar keluar tubuh dan mempengaruhi individu lain yang sejenis (Tarumingkeng 2001). Menurut Tarumingkeng (2000), kemampuan mendeteksi makanan dimungkinkan karena rayap dapat menerima setiap bau yang esensial bagi kehidupannya melalui lubang-lubang tertentu yang terdapat pada rambut-rambut yang tumbuh diantenanya. Bau yang dapat dideteksi rayap berhubungan dengan sifat kimiawi feromon itu sendiri.

Rayap tanah merupakan rayap perusak kayu yang paling ganas di Indonesia. Hal tersebut dikaitkan dengan aktifitas makan rayap yang memiliki daya cerna selulosa yang cukup tinggi diimbangi dengan tingginya populasi flagelata di usus dengan rata-rata 4.682 ekor flagelata per rayap. Jarak jelajah yang dapat ditempuh oleh rayap tanah dalam mencari makanannya sampai 480 meter (Nandika 1995 dalam Suyono 2009).

Menurut Tambunan dan Nandika (1989), di dalam hidupnya rayap mempunyai 4 sifat yang khas, yaitu:

1. Trophallaxis, yaitu sifat rayap untuk saling menjilat dan melakukan pertukaran makanan melalui anus dan mulut.

2. Cryptobiotic, yaitu sifat menyembunyikan diri, menjauhkan diri dari cahaya dan gangguan. Sifat ini tidak berlaku pada rayap yang bersayap.

3. Cannibalism, yaitu sifat rayap untuk memakan sesamanya yang telah lemah atau sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan.

4. Necrophagy, yaitu sifat rayap yang memakan bangkai sesamanya.

Menurut Yusuf dan Utomo (2006), secara umum rayap tanah dapat memakan kayu kira-kira sebanyak 2-3% dari berat badannya setiap hari. Faktor faktor yang mempengaruhi jumlah konsumsinya adalah keadaan lingkungan, ukuran badan dan besar-kecilnya koloni.

Rayap tanah Coptotermes curvignathus dikenal sebagai hama tanaman yang utama. Beberapa jenis tanaman perkebunan dan kehutanan diserang hama tersebut. Seperti rayap lainnya, Coptotermes curvignathus juga tidak suka cahaya. Untuk menghindar dari cahaya, rayap membuat lubang kembara agar bebas dari cahaya (Nandika et al. 2003). Adapun taksonomi dari Coptotermes curvignathus Holmgren antara lain:

Kelas : Insecta Ordo : Blattodea Famili : Rhinotermitidae Subfamili : Coptotermitidae Genus : Coptotermes

Spesies : Coptotermes curvignathus Holmgren.

2.5 Keawetan Alami Kayu

Menurut Martawijaya et al. (1981), keawetan alami kayu merupakan ketahanan kayu secara alamiah terhadap serangan jamur dan serangga dalam lingkungan yang sesuai bagi organisme yang bersangkutan.

Keawetan alami kayu ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu, yang tentu saja bervariasi menurut jenis kayu, umur pohon, posisi dalam batang dan lain-lain (Nandika et al. 1996). Meskipun tidak semua zat ekstraktif beracun bagi organisme perusak kayu, umumnya semakin tinggi kandungan ekstraktif dalam kayu, maka keawetan alami kayu cenderung meningkat (Wistara et al. 2002).

Menurut Hawley (1966) dalam Syafii (1996), daya racun zat ekstraktif dari kayu teras lebih tinggi dibandingkan daya racun zat ekstraktif kayu gubal pada jenis kayu yang sama. Hal ini disebabkan pada kayu teras terdapat zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat dalam kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone, dan damar (Tsoumis 1991). Daya racun zat ekstraktif yang diperoleh dari kayu teras berbagai jenis tersebut sangat berkaitan erat dengan keawetan alami jenis kayu yang bersangkutan. Hal menyebabkan keawetan alami setiap jenis kayu berbeda-beda bahkan pada jenis kayu yang sama dan pada batang kayu yang sama.

Menurut Sumarni dan Muslich (2007), terdapat variasi kelas awet pada suatu jenis kayu terhadap organisme perusak yang berbeda. Jenis kayu yang mempunyai ketahanan tinggi terhadap suatu organisme perusak belum tentu mempunyai ketahanan yang sama terhadap organisme perusak lainnya. Dengan demikian, keawetan alami suatu jenis kayu bersifat relatif karena dipengaruhi oleh faktor dari dalam (zat ekstraktif) dan luar (jenis organisme perusak, suhu dan kelembaban) kayu.

Di Indonesia penggolongan keawetan kayu dibagi menjadi lima kelas awet yaitu kelas I (yang paling awet) sampai dengan kelas V (yang paling tidak awet). Penggolongan keawetan kayu didasarkan pada umur pakai kayu dalam kondisi penggunaan yang selalu berhubungan dengan tanah lembab dimana terdapat koloni rayap (Tabel 1).

Tabel 1 Penggolongan kelas awet kayu

Sumber: Nandika et al. 1996

Kelas Awet Umur Pakai (Tahun)

I > 8

II 5-8

III 3-5

IV 1-3

Penggolongan kelas awet kayu ini hanya berlaku untuk dataran rendah tropik dan tidak termasuk ketahanan terhadap organisme penggerek di laut (Nandika et al. 1996).

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan mulai dari Desember 2011 sampai dengan Juni 2012 bertempat di Laboratorium Pengendalian Serangga Hama dan Biodegradasi UPT Balitbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Cibinong - Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain timbangan elektrik, oven, desikator, tabung acrylic, penjepit, tissue, box container, cawan petri, plastik pembungkus, alat tulis dan kamera.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain kayu meranti merah (Shorea sp.), rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren), dental cement, dan air.

3.3 Lokasi Pengambilan Contoh Uji

Contoh uji kayu meranti merah diambil dari kawasan hutan di Kalimantan Barat (Pontianak), area tersebut dibawah pengawasan PT Sari Bumi Kusuma. Kayu yang dijadikan contoh uji diambil dari pohon meranti merah hutan tanaman berumur 11 tahun dengan diameter 30 cm, dan pohon meranti merah hutan alam dengan umur tidak diketahui berdiameter 30 cm.

3.4 Cara Pengambilan Contoh Uji

Kayu meranti merah dari hutan alam dan hutan tanaman masing-masing dibagi menjadi 2 bagian posisi batang, yaitu bagian atas dan bawah. Batang yang diambil setelah 1 meter dari pangkal pohon disebut batang bawah dengan panjang 3 meter, kemudian diatas batang bawah disebut batang atas dengan panjang 3 meter.

Gambar 1 Posisi pembagian batang kayu meranti.

Batang tersebut selanjutnya diambil potongan berdasarkan bagian kayu teras dan gubalnya pada masing-masing posisi batang atas dan bawah.

Gambar 2 Penampang melintang kayu.

Pada masing-masing kayu teras dan gubal, kayu dipotong menjadi contoh uji dengan ukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm. Contoh uji yang dipakai sebanyak 3 buah untuk masing-masing asal kayu, posisi kayu, dan bagian kayu.

3.5 Persiapan Contoh Uji

Contoh uji kayu meranti merah dipilih dengan memperhatikan perbedaan asal kayu dari hutan alam dan hutan tanaman, teras atas dan bawah serta gubal atas dan bawah masing-masing berukuran 2 cm x 2 cm x 1 cm dengan ulangan pengujian sebanyak 3 kali. Contoh uji dioven selama 72 jam dengan suhu 60 ± 2°C untuk mendapatkan nilai berat kering oven kayu sebelum pengujian (W1).

Dokumen terkait