• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar IV.7: Metode Dialektis Hegel

Salah satu contoh menarik lainnya datang dari The Mystical Theology karya seorang pendeta abad keempat yang memakai nama samaran “Dionysius the Areopagite”. Dengan menunjukkan kesia-siaan upaya apa pun yang hendak memerikan realitas terdalam (yang disebut “Ini” atau “Nya”), ia menyimpulkan:

Once more, ascending yet higher, we maintain that It is not soul or mind, or endowed with the faculty of imagination, conjecture, reason, or understanding; nor is It any act of

reason or understanding; nor can It be described by the reason or perceived by the understanding, since It is not number or order or greatness or littleness or equality or inequality, and since It is not immovable nor in motion or at rest and has no power and is not power or light and does not live and is not life; nor is It personal essence or eternity or time; nor can It be grasped by the understanding, since It is not

knowledge or truth; nor is It kingship or wisdom; nor is It one, nor is It unity, nor is It Godhead or Goodness ...; nor is It any other thing such as we or any other being can have knowledge of; nor does It belong to the category of

nonexistence or to that of existence; nor do existent beings know It as it actually is, nor does It know them as they

actually are; nor can the reason attain to It to name It or to

know It; nor is It darkness, nor is It light or error or truth; nor can any affirmation or negation apply to It ..., inasmuch as It transcends all affirmation by being the perfect and unique Cause of all things, and transcends all negation by the preeminence of Its simple and absolute nature--free from every limitation and beyond them all. (MT V)

(Sekali lagi, kendati dengan mendaki lebih tinggi, kami tetap yakin bahwa Ini bukan jiwa atau pun benak, atau dianugerahi bakat imajinasi, dugaan, akal, atau pun pemahaman; Ini bukan bilangan atau urutan, atau pun kehebatan atau kesepelean, atau pun kesetaraan atau ketimpangan, dan karena Ini bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam, dan tidak

berdaya dan bukan kekuasaan atau keterangan, dan tidak hidup dan bukan kehidupan; Ini bukan esensi esensi personal atau pun keabadian atau waktu; Ini pun tidak bisa dimengerti oleh

pikiran, karena ini bukan pengetahuan atau pun kebenaran; Ini bukan kerajaan atau pun kealiman; Ini bukan satu, Ini bukan kesatuan, Ini bukan Dewa Perdana atau pun Kebaikan...; Ini bukan hal apa pun yang bisa diketahui oleh kita atau oleh segala makhluk lain; Ini bukan kategori non-eksistensi atau pun kategori eksistensi; para yang-berada pun tidak mengetahui-Nya pada aktualnya, Ia pun tidak mengetahui mereka pada

aktualnya; akal tidak bisa menjangkau-Nya untuk menamai-Nya atau mengetahui-Nya; Ini bukan kegelapan, Ini bukan cahaya

atau pun salah atau benar; tidak satu pun penegasan atau

penyangkalan bisa diterapkan pada-Nya..., karena Ini melampaui semua penegasan dengan menjadi Penyebab yang sempurna dan unik atas segala hal, dan melampaui semua penyangkalan dengan

keunggulan sifat-Nya yang sederhana dan mutlak—bebas dari segala pembatasan dan melampaui segala pembatasan.) (MT V)

Kutipan ini mengungkap keinsafan penuh, jauh sebelum Kant, akan fakta bahwa sedikit-banyak kita tidak bisa mengetahui realitas terdalam sama sekali. Namun jika kita bersikeras untuk

menafsirkan kata-kata tersebut menurut hukum-hukum logika

analitik, maka sebagian besar dari itu merupakan omong kosong!

Bagaimana bisa, misalnya, sesuatu “bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam”? Pernyataan-pernyataan semacam ini pasti tertolak lantaran jelas-jelas kontradiktif, sampai kita menyadari bahwa klaim-klaim tersebut harus ditafsirkan dengan logika sintetik; hal ini mengingat bahwa kontradiksi tersebut bisa mengarahkan kita ke wawasan-wawasan yang lebih mendalam mengenai Yang-Berada yang biasanya kita sebut “Tuhan”.

Walaupun jarang terdapat isyarat, sedikit sekalipun, tentang keberadaan logika sintetik di kebanyakan buku-ajar logika, ada beberapa gelintir cendekiawan di abad ini yang mengakui

kebermaknaannya dan berupaya memaparkan cara kerjanya. Setahu saya belum ada yang secara menyeluruh mengkaji sesuatu yang sedikit-banyak merupakan jenis logika yang betul-betul khas;

namun beberapa cendekiawan telah secara terbuka mengakui

kemungkinan penggunaan hukum-hukum alternatif sebagai landasan bagi cara pakai kata-kata kita. Umpamanya, sebagian antropolog, dalam penelitian mereka tentang bagaimana orang-orang di

masyarakat primitif berpikir, menyimpulkan bahwa otak mereka berjalan menurut suatu hukum yang terkadang mereka sebut “hukum partisipasi” (yang berarti bahwa mereka memandang bahwa suatu konsep itu turut serta di dalam lawanannya). Beberapa

cendekiawan lain pun menyarankan nama-nama lain untuk hukum yang saya sebut “hukum kontradiksi”, semisal “hukum paradoks”. Nama ini memiliki keunggulan yang menerangkan bahwa maksud sejati logika sintetik itu bukan menuturkan kontradiksi yang sia-sia, melainkan menerbangkan imajinasi kita ke titik penemuan

perspektif-perspektif baru, yang dari sini kontradiksi-kontradiksi tajam itu bisa dicairkan.

Jenis logika yang kita sebut alternatif itu dan hukum-hukum dasarnya hampir tidak sepenting pengetahuan tentang bagaimana kita menggunakannya. Dengan pikiran ini, saya akan membahas di Pekan V beberapa cara pakai logika sintetik yang sangat praktis untuk memperoleh wawasan. Untuk hari ini, mari kita

berkesimpulan dengan meninjau kembali pelajaran kita sejauh ini mengenai logika, dengan menggunakan tabel yang terdapat pada Gambar IV.8.

Analitik Sintetik

Metode argumentasi

deduksi induksi

Tipe proposisi “Merah adalah warna.”

warna merah

“Kapurtulis ini putih.”

benda putih

kapurtulis putih

kapurtulis Jenis logika Hukum Dasar

Identitas: A=A

Non-kontradiksi: A?-A

Hukum Dasar Non-identitas: A?A Kontradiksi: A=-A

IV.8 : Tiga Tipe Pembedaan Analitik-Sintetik

Pada dasarnya ada dua tipe logika yang berlainan: [1] logika analitik muncul dari hukum identitas dan hukum non-kontradiksi;

[2] logika sintetik muncul dari hukum-hukum kebalikannya, yaitu hukum non-identitas dan hukum kontradiksi. Logika analitik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang nirmustahil untuk kita

ketahui, sedangkan logika sintetik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang mustahil untuk kita ketahui. Proposisi

analitik adalah ungkapan logika analitik lantaran menyamakan dua konsep yang dalam pengertian tertentu keidentikannya telah

diketahui; proposisi sintetik adalah ungkapan logika sintetik lantaran menyamakan dua hal yang pada dasarnya tidak identik—

yakni konsep dan intuisi. Akhirnya, wujud logika analitik yang paling tepat adalah argumen deduktif, yang simpulannya mengikuti premis-premis sebagai persoalan kepastian matematis (yakni non-kontradiktif); wujud logika sintetik yang paling tepat adalah

argumen induktif, yang simpulannya selalu bergantung pada beberapa proposisi dugaan (yaitu pada penegasan paradoksis tentang hal-hal yang tidak kita ketahui).

Nah, dengan telah memperkenalkan kepada anda tiga pembedaan terdasar dalam logika, saya hendak mencurahkan kuliah-kuliah pekan depan untuk tugas penjelasan basis logis berbagai diagram yang saya manfaatkan di sepanjang buku-ajar ini. Lalu kita akan menyimpulkan Bagian Dua dengan melihat satu contoh aliran

filosofis abad keduapuluh yang cenderung terlalu menekankan

analisis dan satu contoh aliran lainnya yang terlalu menekankan sintesis, yang diikuti dengan aliran ketiga yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mensintesis aspek-aspek pokok dua aliran pertama.

Dokumen terkait