Salah satu contoh menarik lainnya datang dari The Mystical Theology karya seorang pendeta abad keempat yang memakai nama samaran “Dionysius the Areopagite”. Dengan menunjukkan kesia-siaan upaya apa pun yang hendak memerikan realitas terdalam (yang disebut “Ini” atau “Nya”), ia menyimpulkan:
Once more, ascending yet higher, we maintain that It is not soul or mind, or endowed with the faculty of imagination, conjecture, reason, or understanding; nor is It any act of
reason or understanding; nor can It be described by the reason or perceived by the understanding, since It is not number or order or greatness or littleness or equality or inequality, and since It is not immovable nor in motion or at rest and has no power and is not power or light and does not live and is not life; nor is It personal essence or eternity or time; nor can It be grasped by the understanding, since It is not
knowledge or truth; nor is It kingship or wisdom; nor is It one, nor is It unity, nor is It Godhead or Goodness ...; nor is It any other thing such as we or any other being can have knowledge of; nor does It belong to the category of
nonexistence or to that of existence; nor do existent beings know It as it actually is, nor does It know them as they
actually are; nor can the reason attain to It to name It or to
know It; nor is It darkness, nor is It light or error or truth; nor can any affirmation or negation apply to It ..., inasmuch as It transcends all affirmation by being the perfect and unique Cause of all things, and transcends all negation by the preeminence of Its simple and absolute nature--free from every limitation and beyond them all. (MT V)
(Sekali lagi, kendati dengan mendaki lebih tinggi, kami tetap yakin bahwa Ini bukan jiwa atau pun benak, atau dianugerahi bakat imajinasi, dugaan, akal, atau pun pemahaman; Ini bukan bilangan atau urutan, atau pun kehebatan atau kesepelean, atau pun kesetaraan atau ketimpangan, dan karena Ini bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam, dan tidak
berdaya dan bukan kekuasaan atau keterangan, dan tidak hidup dan bukan kehidupan; Ini bukan esensi esensi personal atau pun keabadian atau waktu; Ini pun tidak bisa dimengerti oleh
pikiran, karena ini bukan pengetahuan atau pun kebenaran; Ini bukan kerajaan atau pun kealiman; Ini bukan satu, Ini bukan kesatuan, Ini bukan Dewa Perdana atau pun Kebaikan...; Ini bukan hal apa pun yang bisa diketahui oleh kita atau oleh segala makhluk lain; Ini bukan kategori non-eksistensi atau pun kategori eksistensi; para yang-berada pun tidak mengetahui-Nya pada aktualnya, Ia pun tidak mengetahui mereka pada
aktualnya; akal tidak bisa menjangkau-Nya untuk menamai-Nya atau mengetahui-Nya; Ini bukan kegelapan, Ini bukan cahaya
atau pun salah atau benar; tidak satu pun penegasan atau
penyangkalan bisa diterapkan pada-Nya..., karena Ini melampaui semua penegasan dengan menjadi Penyebab yang sempurna dan unik atas segala hal, dan melampaui semua penyangkalan dengan
keunggulan sifat-Nya yang sederhana dan mutlak—bebas dari segala pembatasan dan melampaui segala pembatasan.) (MT V)
Kutipan ini mengungkap keinsafan penuh, jauh sebelum Kant, akan fakta bahwa sedikit-banyak kita tidak bisa mengetahui realitas terdalam sama sekali. Namun jika kita bersikeras untuk
menafsirkan kata-kata tersebut menurut hukum-hukum logika
analitik, maka sebagian besar dari itu merupakan omong kosong!
Bagaimana bisa, misalnya, sesuatu “bukan tak bisa digerakkan dan tidak bergerak dan tidak diam”? Pernyataan-pernyataan semacam ini pasti tertolak lantaran jelas-jelas kontradiktif, sampai kita menyadari bahwa klaim-klaim tersebut harus ditafsirkan dengan logika sintetik; hal ini mengingat bahwa kontradiksi tersebut bisa mengarahkan kita ke wawasan-wawasan yang lebih mendalam mengenai Yang-Berada yang biasanya kita sebut “Tuhan”.
Walaupun jarang terdapat isyarat, sedikit sekalipun, tentang keberadaan logika sintetik di kebanyakan buku-ajar logika, ada beberapa gelintir cendekiawan di abad ini yang mengakui
kebermaknaannya dan berupaya memaparkan cara kerjanya. Setahu saya belum ada yang secara menyeluruh mengkaji sesuatu yang sedikit-banyak merupakan jenis logika yang betul-betul khas;
namun beberapa cendekiawan telah secara terbuka mengakui
kemungkinan penggunaan hukum-hukum alternatif sebagai landasan bagi cara pakai kata-kata kita. Umpamanya, sebagian antropolog, dalam penelitian mereka tentang bagaimana orang-orang di
masyarakat primitif berpikir, menyimpulkan bahwa otak mereka berjalan menurut suatu hukum yang terkadang mereka sebut “hukum partisipasi” (yang berarti bahwa mereka memandang bahwa suatu konsep itu turut serta di dalam lawanannya). Beberapa
cendekiawan lain pun menyarankan nama-nama lain untuk hukum yang saya sebut “hukum kontradiksi”, semisal “hukum paradoks”. Nama ini memiliki keunggulan yang menerangkan bahwa maksud sejati logika sintetik itu bukan menuturkan kontradiksi yang sia-sia, melainkan menerbangkan imajinasi kita ke titik penemuan
perspektif-perspektif baru, yang dari sini kontradiksi-kontradiksi tajam itu bisa dicairkan.
Jenis logika yang kita sebut alternatif itu dan hukum-hukum dasarnya hampir tidak sepenting pengetahuan tentang bagaimana kita menggunakannya. Dengan pikiran ini, saya akan membahas di Pekan V beberapa cara pakai logika sintetik yang sangat praktis untuk memperoleh wawasan. Untuk hari ini, mari kita
berkesimpulan dengan meninjau kembali pelajaran kita sejauh ini mengenai logika, dengan menggunakan tabel yang terdapat pada Gambar IV.8.
Analitik Sintetik
Metode argumentasi
deduksi induksi
Tipe proposisi “Merah adalah warna.”
warna merah
“Kapurtulis ini putih.”
benda putih
kapurtulis putih
kapurtulis Jenis logika Hukum Dasar
Identitas: A=A
Non-kontradiksi: A?-A
Hukum Dasar Non-identitas: A?A Kontradiksi: A=-A
IV.8 : Tiga Tipe Pembedaan Analitik-Sintetik
Pada dasarnya ada dua tipe logika yang berlainan: [1] logika analitik muncul dari hukum identitas dan hukum non-kontradiksi;
[2] logika sintetik muncul dari hukum-hukum kebalikannya, yaitu hukum non-identitas dan hukum kontradiksi. Logika analitik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang nirmustahil untuk kita
ketahui, sedangkan logika sintetik tepat untuk menerangkan segala sesuatu yang mustahil untuk kita ketahui. Proposisi
analitik adalah ungkapan logika analitik lantaran menyamakan dua konsep yang dalam pengertian tertentu keidentikannya telah
diketahui; proposisi sintetik adalah ungkapan logika sintetik lantaran menyamakan dua hal yang pada dasarnya tidak identik—
yakni konsep dan intuisi. Akhirnya, wujud logika analitik yang paling tepat adalah argumen deduktif, yang simpulannya mengikuti premis-premis sebagai persoalan kepastian matematis (yakni non-kontradiktif); wujud logika sintetik yang paling tepat adalah
argumen induktif, yang simpulannya selalu bergantung pada beberapa proposisi dugaan (yaitu pada penegasan paradoksis tentang hal-hal yang tidak kita ketahui).
Nah, dengan telah memperkenalkan kepada anda tiga pembedaan terdasar dalam logika, saya hendak mencurahkan kuliah-kuliah pekan depan untuk tugas penjelasan basis logis berbagai diagram yang saya manfaatkan di sepanjang buku-ajar ini. Lalu kita akan menyimpulkan Bagian Dua dengan melihat satu contoh aliran
filosofis abad keduapuluh yang cenderung terlalu menekankan
analisis dan satu contoh aliran lainnya yang terlalu menekankan sintesis, yang diikuti dengan aliran ketiga yang dapat dianggap sebagai upaya untuk mensintesis aspek-aspek pokok dua aliran pertama.