Nilai pH kombinasi 70LC:10LA pada kedua digester terlihat pada Gambar 13. Pada digester tahap I keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai pH (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi sangat rendah, bernilai positif, dan tidak nyata sebesar 0,168. Waktu fermentasi (Xi) tidak memberikan pengaruh nyata terhadap nilai pH (Yi), sehingga tren nilai pH selama waktu fermentasi tidak bisa ditentukan.
Pada digester tahap II keeratan hubungan antara waktu fermentasi (Xi) dan nilai pH (Yi) yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi cukup tinggi, bernilai positif, dan nyata sebesar 0,682. Sekitar 46,58% nilai pH ditentukan oleh lamanya waktu fermentasi sedangkan sekitar 53,42% ditentukan oleh faktor lain. Waktu fermentasi (Xi) memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai pH (Yi) dengan garis regresi yang diperoleh yaitu Y = 0,049X + 5,866, perubahan sebesar satu hari akan berpengaruh terhadap nilai pH sebesar 0,049. Nilai pH ini mengalami tren peningkatan selama 40 hari waktu fermentasi .
Nilai pH tertinggi pada digester tahap I sebesar 6,67 dan pada digester tahap II sebesar 8,67. Hasil persamaan garis regresi antara waktu fermentasi dan nilai pH kombinasi 70LC:10LA pada digester tahap I dan digester tahap II dapat dilihat pada Lampiran 15 dan Lampiran 16.
Gambar 13. Nilai pH kombinasi 70LC:30LA pada digester tahap I dan digester tahap II
Nilai pH seluruh kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada digester tahap II berada pada rentang 5,33-8,67 dan mengalami tren peningkatan di setiap perlakuan, nilai ini lebih tinggi
26
dibandingkan nilai pH pada digester tahap I yang berada diantara rentang 5,00-6,67. Hal ini menunjukkan bahwa waktu fermentasi pada digester tahap II mempunyai korelasi positif terhadap nilai pH dan dapat dijelaskan melalui garis regresi. Sedangkan garis regresi tidak dapat diterima pada seluruh kombinasi pada digester tahap I. Nilai pH harian dapat dilihat pada Lampiran 17.Pada awal reaksi fermentasi anaerobik, nilai pH akan menurun seiring produksi VFA. Setelah itu, bakteri pembentuk methan akan mengkonsumsi VFA dan alkalinitas diproduksi, pH akan meningkat dan mencapai kestabilan (Gerardi, 2003). Pembentukan VFA banyak terjadi pada digester tahap I dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana banyak terjadi pada digester tahap II.
4.3.2 Nilai pH pada Digester Tahap I dan Digester Tahap II
Pada digester tahap I nilai pH pada seluruh kombinasi tidak bisa ditentukan trennya, seperti terlihat pada Gambar 14a. Sedangkan pada digester tahap II, nilai pH ketiga kombinasi limbah cair dan lumpur aktif mengalami tren peningkatan dan tidak berbeda signifikan satu sama lain, seperti terlihat pada Gambar 14b. Namun, nilai pH tertinggi pada kombinasi 70LC:30LA dan nilai pH terendah pada kombinasi 80LC:20LA.
(a) (b)
Gambar 14. Nilai pH pada : (a) digester tahap I kombinasi 90LC:10LA, 80LC:20LA dan 70LC:30LA (b) digester tahap II kombinasi 90LC:10LA, 80LC:20LA dan 70LC:30LA
Nilai pH berbagai kombinasi limbah cair dan lumpur aktif pada kedua digester terlihat tidak berbeda secara signifikan. Rentang nilai pH berturut-turut pada kombinasi 90LC:10LA; 80LC:20LA dan 70LC:30LA adalah 5,00-7,33; 5,00-7,67; dan 5,00-8,67. Nilai pH setiap harinya berfluktuasi karena pada masing-masing digester terdapat aktivitas produksi VFA oleh bakteri pembentuk asam dan konsumsi VFA oleh bakteri pembentuk metana, jumlah VFA ini yang menentukan nilai pH setiap harinya.
Nilai pH kombinasi 80LC:20LA berada pada rentang terendah dibandingkan dengan nilai pH kombinasi lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap rendahnya produksi biogas pada kombinasi 80LC:20LA. Fenomena ini telah disebutkan sebelumnya, bahwa tingginya TVS pada substrat menyebabkan tingginya VFA yang terbentuk. Apabila terjadi ketidakseimbangan dalam produksi VFA dan konsumsi VFA, nilai pH akan semakin menurun dan menghambat produksi biogas.
4.3.3 Suhu
Selain pH, faktor lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap produksi gas adalah suhu. Rentang suhu pada kombinasi 90LC:10LA pada digester tahap I; 90LC:10LA pada digester tahap II; 80LC:20LA pada digester tahap I; 80LC:20LA pada digester tahap II; 70LC:30LA pada digester tahap I; dan 70LC:30LA pada digester tahap II berturut-turut adalah 25,8-27,8°C; 25,7-27,3°C; 26,0-27,5°C;
26,2-27
27,8°C; 26,0-27,5°C; dan 26,2-27,5°C. Nilai suhu harian dapat dilihat pada Lampiran 18. Suhu dalam penelitian ini adalah kondisi mesofilik, yaitu berkisar antara 25,7-27,8°C, seperti terlihat pada Gambar 15.Gambar 15. Suhu digester
Nilai suhu yang digunakan pada penelitian ini mengalami fluktuasi mengikuti perubahan suhu lingkungan dan lebih tinggi ± 2°C dari suhu lingkungan. Pada proses fermentasi anaerobik, reaksi yang terjadi selama degradasi bahan organik tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan suhu digester, karena energi yang dihasilkan oleh fermentasi anaerobik sangat kecil. Saat substrat didegradasi di dalam sel bakteri, sejumlah energi dihasilkan dari elektron yang dilepaskan dari pemutusan ikatan kimia pada substrat. Elektron ini akan melalui sejumlah molekul pembawa elektron-sistem transpor elektron, menuju akseptor elektron akhir. Akseptor elektron akhir yang digunakan tiap bakteri berbeda-beda dipengaruhi oleh ketersediaan oksigen di lingkungan dan kemampuran molekul dalam menangkap dan melepaskan elektron, yang disebut oksidasi-reduksi potensial (ORP). Akseptor elektron yang digunakan dapat berupa O2, NO2
-, SO4 2
-, CH2O*, atau CO2
(Gerardi, 2003).
Pada fermentasi anaerobik, oksigen tidak tersedia untuk digunakan sebagai akseptor elektron akhir dan mikroorganisme tidak mempunyai kemampuan dalam menggunakan senyawa inorganik seperti NO2
-, SO4 2
-. Mikroorganisme hanya menggunakan CO2 dan intermediate organic (CH2O*) sebagai akseptor elektron, sehingga energi yang dihasilkan hanya 2 ATP/mol glukosa. Menurut Gerardi (2003), yang menggunakan glukosa sebagai sampel untuk menjelaskan perolehan energi yang terjadi dalam fermentasi glukosa sebagai berikut :
Glikolisis :
Glukosa (+2ADP + 2 NAD+) 2 Piruvat + 2 ATP + 2 NADH Fermentasi :
2 Piruvat 2 Asetaldehid + 2 CO2
2 Asetaldehid + 2 NADH 2 Etanol + 2 NAD+
4.4 TOTAL VOLATILE SOLID (TVS)
Total volatile solid adalah nilai yang menunjukkan jumlah padatan dalam bahan yang menguap
pada pembakaran di atas suhu 550 °C. Total padatan menguap sering disebut juga sebagai organik total. Nilai ini dapat digunakan sebagai parameter pendegradasian bahan organik. Perubahan nilai TVS dari awal fermentasi hingga akhir fermentasi dapat dilihat pada Gambar 16.
Nilai TVS mengalami perubahan selama masa fermentasi anaerobik. Pada akhir masa fermentasi, nilai TVS mengalami penurunan karena terjadi proses pendegradasian bahan organik