• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 5 Struktur daun tebu

Gambar 5 Struktur daun tebu.

Ketika tebu sudah mulai memasuki masa panen, daun tebu tumbuh sebagai lamina dengan panjang daun berdasarkan pengukuran di lapangan berkisar 120 – 160 cm dan lebar daun 3.5 – 6 cm seperti terlihat pada Gambar 6. Daun tebu inilah yang merupakan salah satu serasah tebu paling banyak jumlahnya pada saat setelah pemanenan.

10

Pucuk Tebu

Pucuk tebu terjadi pada perubahan dari fase vegetative ke fase reproduktif. Menurut Steven (1965) pucuk tebu tumbuh setahun dua kali dengan penyinaran matahari yang baik. Pucuk tebu tumbuh di ujung batang tebu dengan pajang 90 cm atau lebih seperti terlihat pada Gambar 7 (James 2004).

Gambar 7 Struktur pucuk tebu. Sistem Pemanenan Tebu

Pemanenan yang biasanya dilakukan adalah dengan penebangan yang dilakukan secara manual. Alat yang digunakan untuk menebang adalah sabit. Alat ini telah disediakan oleh Perkebunan Tebu yang harus dibeli oleh penebang. Ada juga penebang yang membawa sendiri alat sabitnya. Tenaga tebang ada 2 macam yaitu tenaga tebang lokal dan tenaga tebang luar. Tenaga tebang lokal adalah tenaga tebang yang berasal dari masyarakat sekitar pabrik, sedangkan tenaga tebang luar merupakan tenaga tebang yang berasal dari luar daerah yang tidak melakukan panen padi. Alat angkut yang digunakan oleh Perkebunan adalah trailer dengan kapasitas 10–13 ton sedangkan kapasitas truk antara 6-8 ton seperti terlihat pada Gambar 7 (Tajalli 2009). Setelah tebu bersih dan dipotong kemudian diikat per 12-15 batang tebu. Biasanya tenaga lokal mengikat tebu dengan menggunakan tali tulus sedangkan tenaga tebang luar menggunakan tali tebu yang dibelah menjadi 2 atau 4 bagian. Tebu kemudian ditumpuk di lahan untuk menunggu angkutan datang.

Gambar 8 Penebangan dan pengangkutan tebu (Tajalli 2009).

Sistem penebangan yang diterapkan di PG Subang dikatakan sebagai sistem tebang 4-2 (Gambar 8a) atau sistem tebang 2-2 (Gambar 8b). Sistem tebang yang biasa dilakukan adalah 4-2, sedangkan untuk sistem 2-2 biasanya untuk lahan yang sulit seperti banyak tebu yang roboh atau tebu yang melilit. Sistem tebang 4-2 artinya adalah empat juring atau barisan digunakan sebagai tempat meletakkan batang tebu hasil panen, dan 2 juring di sebelah empat juring tersebut menjadi tempat meletakkan sampah tebu berupa pucuk dan daun tebu yang disebut trash atau serasah. Begitu juga untuk sistem 2-2 hanya bedanya jumlah barisan tebu bersihnya hanya 2 barisan. Tujuan dari penerapan sistem 4-2 yaitu untuk menekan tunggak dan mempermudah dalam pembersihan lahan.

.

(a) Sistem penebangan 4 – 2 (b) Sistem penebangan 2 – 2 Gambar 9 Sistem tebang tebu di PG Subang (Tajalli 2009).

Batang tebu yang telah ditebang harus segera diangkut dengan truk ke pabrik. Tebu yang telah ditebang, jika dibiarkan cukup lama di lahan bahkan sampai menginap akan mengalami penurunan rendemen. Jika ini terjadi, pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian perusahaan. Setelah pemanenan, biasanya

12

serasah terebut dibakar untuk memudahkan operasi persiapan lahan atau pemeliharaan tanaman selanjutnya. Pembakaran serasah tebu yang terhampar di lahan dimaksudkan selain menghemat biaya diharapkan lahan tersebut bersih dari serasah. Karena serasah ini sangat mengganggu proses pengolahan tanah maupun pemeliharaan tanaman selanjutnya.

Gambar 10 Tanaman tebu yang telah ditebang (Tajalli 2009).

Meskipun membakar daun tebu setelah panen memiliki keunggulan bisa memusnahkan penyakit dan serangga di lahan tebu serta bisa menyediakan potasium dan pospat, tetapi bila serasah dipertahankan sebagai mulsa daun, akan dapat menjaga kelembaban tanah, perlindungan tanah dari erosi dan kebocoran nutrisi, dapat membunuh gulma, dan untuk meningkatkan bahan organik dalam tanah. Hanya dengan membiarkan daun tebu di lahan setelah panen, ternyata dapat meningkatkan produktifitas tebu, dan kesuburan tanah dan meningkatkan karbon dalam tanah (Tan 1995).

Bobot tanaman tebu terdiri dari 75%-80% batang dan 20-25% terdiri dari daun dan pucuk daun yang kelak akan menjadi serasah (sering dikatakan sebagai sampah kebun tebu) (Anonymous 2000). Dengan membakar tebu sebelum panen akan dapat meniadakan 50% dari sampahnya. Cara ini tidak berkontribusi apapun terhadap produksi gula.

Hatermink dan Wood (1998) mengatakan bahwa penyebab utama yang mempengaruhi kesinambungan pengelolaan lahan perkebunan tebu adalah: (i) penggunaan alat-alat berat, (ii) penggunaan pupuk anorganik, dan (iii) sejumlah

besar material yang terambil ketika panen. Meskipun akibat yang ditimbulkan oleh praktek managemen seperti itu masih bisa ditanggulangi, tapi akan sangat mahal. Oleh sebab itu sistem pengolahan lahan untuk produksi tebu secara berkelanjutan harus lebih proaktif dilakukan. Strategi-strategi berdasarkan pengelolaan lahan berdasarkan jenis tanah, pemanfaatan residu tanaman (serasah), dan nutrient recycling akan banyak membantu pengembangan sistem produksi tebu berkelanjutan.

Di Brasil ada dua sistem panen tebu yaitu dengan tenaga manusia dan mesin combine (Gambar 11). Bila tebu dibakar sebelum panen, pekerja dapat memotong tebu dengan tangan dengan arit sebanyak 5-8 ton/hari. Bila dipanen dengan mesin, kapasitasnya adalah 25-55 ton/hari. Bila panen tidak didahului dengan pembakaran, kapasitas panen orang menjadi turun seper-limanya, sedangkan kapasitas panen mesin turun menjadi 25-45 ton.hari. Panen dengan tanpa bakar ini juga meningkatkan jumlah serasah (sampah daun tebu) (Ripoli et al. 2000).

Gambar 11 Serasah yang dihasilkan setelah tebu dipanen dengan dengan combine, tanpa didahului dengan pembakaran tebu (Ripoli et al. 2000).

Pembakaran tebu (Gambar 12) ternyata menimbulkan masalah lingkungan. Masalah tersebut antara lain polusi udara, kemungkinan tidak bisa mengendalikan api di kebun, semakin sulit dalam menggunakan kendali serangga secara biologis, bahkan dapat mengganggu aliran listrik yang dekat kebun (Ripoli et al. 2000). Indeks serasah dari tebu adalah 25%. Dengan kata lain seperempat dari massa tanaman tebu terdiri dari pucuk tebu dan daun. Dengan mempertimbangkan ekonomi dan keseimbangan energi, salah satu pemanfaatan dari serasah tebu ini di

14

Brasil adalah untuk bahan bakar di pabrik, karena dengan tidak melakukan pembakaran, diketahui bahwa satu ton serasah equivalen dengan 1.28 barel bahan bakar.

Gambar 12. Pembakaran tebu sebelum panen (Ripoli et al. 2000)

Menurut Dahiya (2001) ketertarikan dalam penggunaan bahan organik sebagai mulsa semakin meningkat karena bahan organik memberikan keuntungan dan efek terhadap ketersediaan hara (nutrient) dan perannya yang besar dalam memperbaiki produktivitas tanah. Mereka mempelajari bahwa baik Sesbania aculeata dan serasah tebu telah meningkatkan ketersediaan N dan P pada tanah ketika digunakan sebagai mulsa hijauan. Hal ini dapat menjaga kesinambungan produktivitas tanah.

Mekanisme Pengumpul Pakan Ternak

Dalam penanganan mesin pemanen pakan ternak ada 2 tipe mekanisme dalam mengambil/pengumpul pakan ternak yaitu tipe roda silinder yang dilengkapi dengan pegas dan yang satunya dengan tipe konveyor seperti yang terlihat pada Gambar 13. Panjang pemotongan dapat dihitung berdasarkan kecepatan roda pengumpan (feed rolls) dibagi dengan kecepatan silinder pencacah (cutterhead). Secara teori panjang pemotongan dapat dihitung dengan persamaan (Srivastava 1993) :

(1)

Lc

: kecepatan roda pengumpan (m/s) : panjang pemotongan (mm)

: jumlah pisau pada cutterhead

: kecepatan putar pada cutterhead (rpm)

Gambar 13 Mekanisme pengambil/pengumpul rumput makanan ternak.

Secara teoritis panjang pemotongan berkisar antara 3 sampai 90 mm. Panjang pemotongan aktual berkisar 50% lebih panjang dari panjang teoririts secara perhitungan. Pengaturan panjang pemotongan dapat juga diatur dari kecepatan silinder pengumpanan. Kecepatan putar pada cutterhead berkisar antara 850 rpm sampai 1000 rpm. Dengan diameter silinder 520 mm sampai 620 mm dan panjang silinder 450 mm sampai 620 mm (Srivastava 1993).

Perhitungan kapasitas pengumpanan dapat didekati dengan persamaan berikut (Srivastava 1993) :

(2)

Di mana :

Mf : kapasitas pengumpanan (kg/s)

ρf : berat jenis bahan dalam silinder (kg/m3) At : luas penanpang silinder (m2)

. Lc

: kecepatan roda pengumpan (m/s) : panjang pemotongan (mm) : jumlah pisau pada cutterhead

16

Mesin pengumpul pakan ternak ditarik oleh traktor dan sumber penggeraknya adalah PTO. Power take off (PTO) adalah sumber tenaga yang disediakan oleh traktor yang bersifat tenaga putar untuk mentransmisikan daya dari traktor kepada mesin yang akan digandengkan dengan traktor. Biasanya PTO letaknya dibelakang traktor seperti yang pada Gambar 14 (a) (Srivastava 1993).

PTO berbentuk poros yang berputar dengan dimensi yang sudah distandarkan oleh American Society Agricultural Engineering (ASAE) pada tahun 1926. Untuk ukuran poros yang berdiameter 35 mm mempunyai putaran 540 rpm dan 1000 rpm seperti pada gambar 14(b). Untuk putaran 540 rpm biasanya traktor yang digunakan mempunyai daya 65 kW atau lebih. Sedangkan untuk putaran 1000 rpm daya yang tersedia pada traktor 45 kW sampai 120 kW.

(a) (b)

Gambar 14 Power take off (PTO).

Mekanisme Pengaturan Kecepatan Linier Reel Pengambil

Pada mesin pemanen biji-bijian (grain combine harvester), pengaturan kecepatan linier reel sangat menentukan dalam meminimalkan kehilangan bahan pertanian pada saat pengambilan dan penghancuran. Jika reel diatur terlalu cepat akan terjadi kehilangan pada tahap penghancuran yang berlebihan. Jika reel diatur terlalu lambat maka terjadi kehilangan pada cutter bar. Wilkinson dan

Braumbeck (1977) merekomendasikan bahwa kecepatan linier reel sebaiknya diatur 25%-50% lebih cepat daripada kecepatan maju dari combine, atau dengan kata lain, bahwa reel index diatur antara 1.25 – 1.5. Reel index didefiniskan sebagai perbandingan antara kecepatan linier reel dengan kecepatan maju combine. v c v r = Index Reel (3) Dimana :

Vr = kecepatan linier dari reel (m/s) Vc = kecepatan maju dari combine (m/s).

Gambar 15 Persentase kehilangan dengan berbagai pengaturan reel index (Wilkinson dan Braumbeck 1977).

Sangwijit dan Chinsuwan (2010) menggunakan variasi reel index 1.38 - 4.46 untuk memprediksi kehilangan pada axial flow rice combine. Hasil prediksi kehilangan adalah 1.26% -12.96%.

Gambar 16 Hubungan antara reel index dengan kehilangan (Sangwijit dan Chinsuwan 2010).

Dokumen terkait