• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 6 Tipe kalus berbeda dihasilkan pada eksplan yang sama (a) atau

2 TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 6 Tipe kalus berbeda dihasilkan pada eksplan yang sama (a) atau

eksplan berbeda pada media yang sama (b) Tipe 2

Tipe 1 Tipe 1 Tipe 2

Eksplan dasar bunga dan petal dapat berkalus pada media dasar MS dan B5 tanpa ZPT. Dapat diduga bahwa kandungan hormon endogen dalam eksplan dasar bunga dan petal telah mencukupi jumlah minimal untuk pertumbuhan kalus. Pembentukan kalus pada media tanpa ZPT telah dilaporkan pada Erysimum scoparium (Perez-Frances et al. 1995), Melia azedarach (Handro dan Floh 2001) dan Lilium japonicum (Siqueira dan Ault 2008). Menurut Kahl (1983) dalam Beena dan Martin (2003), tanpa adanya ZPT eksogen, kalus terbentuk sebagai respon terhadap adanya luka, sel-sel pada bidang luka mengalami mitosis menghasilkan kalus.

Genotipe Matahari pada eksplan petal menghasilkan kalus dengan persentase lebih tinggi daripada aksesi Dramaga dan Simas. Kondisi pada eksplan dasar bunga juga demikian, walaupun pada eksplan dasar bunga secara statistik tidak berbeda nyata. Perbedaan respon genotipe terhadap regenerasi in vitro melalui organogenesis maupun embriogenesis somatik telah dilaporkan pada banyak tanaman seperti kakao (Maximova et al. 2002), kedelai (Texeiera 2011), kopi (Molina et al. 2002) dan sebagainya. Perbedaan kemampuan antar genotipe untuk regenerasi in vitro diduga terkait dengan kandungan hormon endogen pada tiap genotipe. Kopertekh dan Butenko (1995) dalam Jimenez (2005) melaporkan kandungan IAA dan ABA yang lebih tinggi dan sitokinin yang lebih rendah pada genotipe yang responsif terhadap induksi embriogenesis somatik pada tanaman gandum.

Pengaruh 14 komposisi media terhadap eksplan berkalus pada 3 genotipe durian baik pada eksplan petal maupun dasar bunga bervariasi, tetapi interaksi genotipe-komposisi media tidak berpengaruh nyata Pada eksplan dasar bunga, komposisi media yang mengandung ZPT NAA 2 sampai 6 ppm menghasilkan kalus dengan persentase relatif tinggi (90.9 sampai 97.5%), sedangkan media yang mengandung ZPT pikloram 2 sampai 6 ppm menghasilkan kalus dengan persentase relatif rendah (65.8 sampai 77.1%). Sebaliknya pada eksplan petal, komposisi media yang mengandung ZPT pikloram 2 sampai 6 ppm menghasilkan kalus dengan persentase relatif tinggi (50.2 sampai 58.7%), sedangkan media yang mengandung ZPT NAA 2 sampai 6 ppm menghasilkan kalus dengan persentase relatif rendah (35.0 sampai 48.2%). Kondisi ini menunjukkan kemungkinan terdapat respon spesifik jenis eksplan terhadap jenis ZPT. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan hormon endogen yang terkandung pada tiap jenis eksplan dan perbedaan sensitivitas tiap jenis eksplan terhadap NAA dan pikloram. NAA dan pikloram sama-sama merupakan ZPT dari kelompok auksin, namun mempunyai perbedaan struktur dasar. NAA termasuk auksin dari kelompok naphtalene sedangkan pikloram dari kelompok asam pikolinat (Arteca 1996). NAA merupakan jenis auksin kedua terbanyak yang digunakan dalam induksi embriogenesis somatik setelah 2,4-D, sementara pikloram menempati urutan kelima (Jimenez 2005).

Tiap spesies tanaman dan bagian tanaman mempunyai sensitivitas tertentu terhadap tiap jenis auksin. Kondisi ini memungkinkan suatu tanaman atau bagian tanaman memberi respon berbeda terhadap berbagai jenis auksin yang diberikan. Perbedaan respon kultur terhadap jenis auksin yang berbeda telah dilaporkan pada banyak tanaman. Pada Lilium japonicum (Siqueira 2008), dilaporkan perbedaan respon pertumbuhan tunas, akar dan kalus antar jenis auksin (NAA, pikloram, dicamba dan 2,4-D) yang diberikan. Neibaur et al.(2008) melaporkan bahwa pada

konsentrasi molar yang sama, dicamba menginduksi berat segar kalus dua kali dan jumlah tunas per eksplan sepuluh kali lebih tinggi daripada 2,4-D pada eksplan inflorescense kultur Paspalum vaginatum Swartz.

Eksplan dasar bunga merupakan eksplan yang mudah berkalus, dilihat dari variabel persentase eksplan berkalus dan waktu munculnya kalus. Kemudahan dan kecepatan eksplan dasar bunga durian berkalus diduga terkait dengan karakter eksplan dasar bunga durian yang mengandung lebih banyak berkas pembuluh angkut dan daerah luka.

Menurut Maiti et al. (2012), berkas pembuluh angkut pada tangkai bunga kapas (Malvaceae) membentuk struktur serupa cincin, kemudian meluas dan bertambah jumlahnya pada dasar bunga, selanjutnya terbagi ke bagian bunga yang lain yaitu sepal, petal, benang sari, dan ovarium. Belum didapatkan literatur susunan pembuluh angkut pada bunga durian, namun dengan kedekatan kekerabatan antara kapas dan durian (sama-sama famili Malvaceae) dapat diduga kondisi yang demikian berlaku juga pada bunga durian. Pada kebanyakan kultur jaringan dari berbagai eksplan, proses pembentukan kalus umumnya dimulai dari bagian berkas pembuluh angkut (vascular bundle), seperti dilaporkan oleh Paola et al. (1987) pada tanaman Cupressus arizonica dan Zhao et al. (2007) pada tanaman Dendrobium candidum.

Daerah luka pada eksplan dasar bunga durian dalam penelitian ini lebih banyak daripada luka pada eksplan lain. Daerah luka pada eksplan dasar bunga meliputi seluruh permukan eksplan akibat pembuangan petal, benang sari, dan ovarium (Gambar 3, hal. 19). Pelukaan eksplan dilaporkan meningkatkan pertumbuhan kalus dan morfogenesis pada berbagai penelitian kultur jaringan, seperti pada African violet (Lo 1997), dan tomat (Bhatia et al. 2005).

Eksplan dasar bunga telah digunakan dengan hasil baik pada kultur silangan interspesifik Brassica napus x Raphanus sativus (Luo et al. 2000) dan Pityopsis ruthii (Trigiano 2011). Banyak penelitian juga melaporkan hasil yang baik dari penggunaan eksplan petal, seperti Rodriguez et al. (1997) menyatakan bahwa petal merupakan eksplan yang mudah diinduksi embriogenesis somatik pada Araujia sericifera. Karami (2008) menyatakan bahwa pada kultur anyelir (Dianthus caryophillus), kalus embriogenik didapatkan hanya dari eksplan petal, sementara kalus yang didapatkan dari eksplan daun, kelopak, dasar bunga dan tangkai putik tidak embriogenik. Yeon et al. (2011) juga melaporkan bahwa eksplan petal menghasilkan frekwensi organogenesis dan rerata jumlah tunas per eksplan lebih tinggi daripada eksplan lain pada kultur Chrysanthemum morifolium.

Induksi kalus embriogenik dari eksplan endosperm

Eksplan endosperm menghasilkan kalus pada semua perlakuan kecuali perlakuan media induksi dengan tambahan 0.01 ppm TDZ tanpa BA. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa baik faktor perlakuan BA, TDZ, maupun interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap persentase eksplan berkalus, kecepatan munculnya kalus, tipe kalus dan skor ukuran kalus dari eksplan endosperm (Tabel 15). Kondisi ini berbeda dengan perkembangan kultur endosperm mulberry yang persentase respon tertinggi didapat pada media yang mengandung NAA dan BA, tetapi jumlah tunas per eksplan tertinggi diperoleh

pada media dengan tambahan TDZ. Berbeda juga dengan kondisi pada kultur endosperm Actinidia deliciosa yang tunas hanya tumbuh pada media MS + 2.27uM (0.5 ppm) TDZ (Thomas dan Chaturvedi 2008).

Tabel 15 Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan kalus dari eksplan endosperm durian Perlakuan Eksplan berkalus (%) Waktu muncul kalus (HST) Tipe kalus Skor ukuran kalus TDZ (ppm) BA (ppm) 0 0 50 11 Tipe 1 1 0 1 100 7.28 Tipe 1 2 0.01 0 0 - - - 0.01 1 80 10.5 Tipe 1 1 0.05 0 66.67 7 Tipe 1 1 0.05 1 100 8 Tipe 1 1 0.50 0 75 6 Tipe 1 1 0.50 1 60 6 Tipe 1 1 Rerata 73.08tn 7.89tn tn tn

Keterangan : Tipe 1: Kalus kompak, warna agak putih keruh sampai agak kekuningan; Skor ukuran kalus = perbandingan ukuran kalus terhadap ukuran eksplan. Skor 1: < 25%; skor 2: 25-50%; skor 3: 50-75%; skor 4: 75-100%; skor 5: > 100%; tn: tidak berpengaruh nyata; -: eksplan tidak tumbuh..

Semua kalus yang tumbuh dari eksplan endosperm adalah kalus tipe 1. Ukuran kalus asal eksplan endosperm tetap skor 1 sampai akhir pengamatan (Gambar 7). Hal ini terjadi karena umumnya kalus yang dihasilkan akhirnya mencoklat, kemudian tumbuh lagi kalus segar baru dari kalus yang sudah mencoklat tersebut. Kondisi yang demikian terjadi berulang-ulang.

Gambar 7 Kalus dari eksplan endosperm. a-d: eksplan endosperm pada media MS + vitamin media B5 yang dilengkapi dengan glutamina 100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, pikloram 0.5 ppm, dan 1 ppm BA tanpa TDZ. a: 5 HST; b: 9 HST; c: 30 HST; d: 79 HST

a b

Dari hasil pengamatan atas semua variabel pada eksplan endosperm belum didapatkan media terbaik untuk induksi kalus embriogenik dari eksplan endosperm. Perlu dilakukan optimasi komposisi media lebih lanjut untuk keberhasilan regenerasi tanaman durian dari eksplan endosperm.

Kultur endosperm merupakan metode yang dapat menghasilkan tanaman triploid lebih cepat dibandingkan dengan cara persilangan tetua diploid dengan tetua tetraploid, lebih-lebih untuk tanaman tahunan yang mempunyai masa juvenil panjang seperti durian. Tanaman triploid telah banyak diusahakan dalam perbaikan genetik tanaman. Pada umumnya tanaman triploid mempunyai sifat- sifat unggul seperti buah tidak berbiji, ukuran buah atau umbi lebih besar dan rasa yang lebih enak, pertumbuhan vegetatif lebih cepat, dan sebagainya. Kultur endosperm telah berhasil diterapkan dan menghasilkan tanaman triploid yang lebih unggul daripada spesies diploidnya pada jeruk (Gmitter 1990), nimba (Chaturvedi et.al.2003), jarak kepyar, (Johri dan Srivastava 1973 di dalam Thomas dan Chaturvedi 2008), Lonicera caerulea (Miyashita et.al 2009), pepaya (Sun et.al 2011), dan sebagainya. Tanaman triploid juga telah dilaporkan memiliki karakter yang lebih disukai pada tanaman yang digunakan untuk bubur kertas (pulp), Populus tremuloids (Bhojwani dan Razdan 1996) dan pada ubi kayu (Sreekumari et.al. 1999). Dengan keunggulan tanaman triploid yang telah diketahui ini, penelitian untuk mendapatkan tanaman triploid durian melalui kultur endosperm layak untuk terus dilakukan.

Induksi kalus embriogenik dari eksplan embrio zigotik muda

Eksplan embrio zigotik muda yang ditanam pada media dasar MS dengan tambahan pikloram 5 sampai 20 ppm mulai tumbuh kalus pada pada 18 HST (Tabel 16). Hasil analisis ragam (anova) dan uji Kruskal-Wallis menunjukkan tidak ada pengaruh nyata dari perlakuan terhadap persentase eksplan berkalus, waktu muncul kalus, dan skor ukuran kalus dari eksplan embrio zigotik durian. Walaupun demikian, telah didapatkan kalus embriogenik dan embrio somatik fase globular pada media dasar MS + pikloram 15 ppm. Dalam perkembangannya embrio somatik yang terbentuk tidak berhasil berkembang menjadi planlet (Gambar 8).

Tabel 16 Pengaruh tambahan pikloram pada media dasar MS terhadap pertumbuhan kalus dari eksplan embrio zigotik durian

Pikloram (ppm) Eksplan berkalus (%) Waktu muncul kalus (HST) Tipe kalus Skor ukuran kalus

5 50 30 Tipe 2 (non embriogenik) 1

10 50 30 Tipe 2 (non embriogenik) 1

15 50 18 Tipe 4 (embrio somatik) 5

20 50 30 Tipe 2 (non embriogenik) 1

Keterangan : Tipe 2: Kalus kompak, warna putih bersih seperti kapas; Tiipe 4: muncul embrio somatik globular dan kalus agak transparan; Skor ukuran kalus = perbandingan ukuran kalus terhadap ukuran eksplan. Skor 1: < 25%; skor 2: 25-50%; skor 3: 50- 75%; skor 4: 75-100%; skor 5: > 100%.

Gambar 8 Perkembangan kalus dan embrio somatik globular dari eksplan embrio zigotik durian pada media MS + pikloram 15 ppm; a: eksplan sebelum tanam; b: 18 HST; c: 4 MST; d: 8 MST

Embrio somatik dalam penelitian ini didapatkan hanya dari eksplan embrio zigotik muda. Proses yang terjadi adalah embriogenesis somatik langsung, mirip dengan proses yang terjadi pada embriogenesis somatik jambu monyet (Nadgauda dan Gogate 2005). Hal ini diduga terjadi karena sel-sel pada embrio zigotik muda merupakan sel-sel PEDCs (pre-embryogenic determined cells) dan media MS + pikloram 15 ppm merupakan komposisi media yang sesuai untuk perkembangan sel sel PEDCs tersebut menjadi embrio somatik. Dengan demikian ketika eksplan embrio zigotik muda dikulturkan pada media tersebut langsung masuk tahap ekspresi membentuk embrio somatik. Menurut Sharp et al. (1980), embriogenesis somatik langsung umumnya berkembang dari PEDCs. Sel-sel PEDCs belum tentu bisa berkembang menjadi embrio ketika dikulturkan, bisa saja tertahan pada kondisi PEDCs sampai kondisi memungkinkan untuk perkembangan PEDCs menjadi embrio. Kondisi yang memungkinkan perkembangan PEDCs tersebut bisa diperoleh akibat munculnya faktor penginduksi atau hilangnya faktor penghambat perkembangan. (Sharp et al. 1980).

Embrio zigotik sering digunakan sebagai eksplan untuk embriogenesis somatik melalui PEDCs (Ibaraki dan Kurata 2001). Embriogenesis langsung dari eksplan embrio zigotik telah dilaporkan berhasil pada tanaman jambu monyet (Nadgauda dan Gogate 2005), Trifolium nigrescen (Konieczny et al. 2010), Murraya koenigii (Bandyopadhyay et al. 2011), dan pisang (Uma et al. 2012).

Respon Kalus Tipe 1 Durian terhadap Konsentrasi BA pada Media Induksi Embriogenesis Somatik

Perlakuan BA 0.0-2.0 ppm pada media dasar MS dengan vitamin media B5 yang dilengkapi dengan glutamina 100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, dan pikloram 0.5 ppm dalam penelitian ini belum bisa menginduksi embriogenesis somatik kalus tipe 1 asal eksplan petal genotipe Simas yang ditanam padanya. Kondisi kalus yang disubkultur ke media tersebut tidak mengalami perubahan, tetap sebagai kalus tipe 1. Beberapa diantaranya

a b

membentuk struktur nodular, tetapi tetap keras dan sulit dipisahkan dari gumpalan kalus induknya(Gambar 9). Analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan BA 0.0-2.0 ppm tidak pengaruh terhadap pertambahan ukuran kalus, walaupun didapat kecenderungan perlakuan 0.3 ppm BA pada media induksi embriogenesis menghasilkan persentase pertambahan ukuran luas kalus lebih tinggi daripada perlakuan lain (Tabel 28).

Gambar 9 Perkembangan kondisi kalus asal eksplan petal dalam percobaan induksi embriogenesis dengan perlakuan BA. a: 0.0 ppm; b: 0.3 ppm; c: 0.5 ppm; d: 2.0 ppm. Gambar baris atas: kondisi saat penanaman; Gambar baris bawah: pada 4 MST

Tabel 17 Pengaruh tambahan BA terhadap pertambahan ukuran kalus (persen pertambahan luas kalus), jumlah kalus embriogenik dan jumlah embrio somatik dari kalus tipe 1 asal petal varietas Simas.

BA (ppm) Pertambahan ukuran kalus (%) Jumlah kalus embriogenik Jumlah embrio somatik 0.0 72.04 0 0 0.3 107.30 0 0 0.5 84.98 0 0 1.0 89.44 0 0 2.0 80.55 0 0

Determinasi sel non embriogenik menjadi sel embriogenik selama proses IEDCs biasanya memerlukan auksin atau auksin dan sitokinin (Sharp et al. 1980). Pusparani (2011) telah mendapatkan kalus bernodul yang remah (mudah dipisahkan dari gumpalan kalus induknya) yang diduga embriogenik dari kalus asal embrio zigotik dewasa durian Otong pada media dasar MS + pikloram 3 sampai 5 ppm + BA 1 ppm. Namun dalam penelitian ini perlakuan BA 0.0-2.0 ppm pada media dasar MS dengan vitamin media B5 yang dilengkapi dengan glutamina 100 ppm, asparagina 100 ppm, kasein hidrolisat 500 ppm, dan pikloram 0.5 ppm tidak berhasil menginduksi kalus non embriogenik asal petal menjadi embriogenik.

Embriogenesis somatik tidak langsung memerlukan proses yang lebih panjang daripada embriogenesis somatik langsung. Sel-sel somatik yang tidak

a b c d

a

embriogenik diinduksi menjadi sel yang kompeten (memiliki kompotensi embriogenik) dan selanjutnya menjadi sel yang embriogenik (Namasivayam 2007). Proses induksi dari sel non embriogenik menjadi embriogenik tersebut merupakan proses dengan banyak tahapan, yang masing-masing tahapan melibatkan pengaktifan gen-gen tertentu dan bisa jadi memerlukan kondisi lingkungan termasuk komposisi nutrisi media dan kandungan ZPT yang berbeda. Proses induksi bisa terhenti pada tahap mana saja, sampai dijumpai kondisi yang sesuai untuk maju ke tahapan berikutnya hingga menjadi sel yang embriogenik (Sharp et al. 1980). Berdasarkan uraian ini dapat kita pahami adanya protokol embriogenesis somatik yang melibatkan beberapa media berbeda secara berurutan seperti pada kakao (Maximova et al. 2005). Belum berhasilnya induksi kalus embriogenik dalam penelitian ini dapat disebabkan karena media induksi yang mengandung auksin, sitokinin dan senyawa organik komplek dalam penelitian ini bukan media yang sesuai untuk menginduksi kalus asal petal durian yang non embriogenik menjadi embriogenik.

Respon suatu tanaman terhadap induksi regenerasi dengan kultur jaringan baik melalui jalur organogenesis maupun embriogenesis somatik beragam antar famili atau genus atau spesies, bahkan antar genotipe dalam satu spesies. Menurut Yildiz (2012), beberapa famili dan genus tertentu seperti solanaceae (Nicotiana, Petunia dan Datura), Cruciferae (Brassica dan Arabidopsis), Gesneriaceae (Achimenes dan Streptocarpus), Asteraceae (Chichorium dan Chrysanthemum) dan Liliaceae (Lilium dan Allium) mempunyai daya regenerasi dalam kultur in vitro yang tinggi sementara famili lain seperti Malvaceae dan Chenopodiaceae sulit diregenerasikan. Durian termasuk anggota famili Malvaceae, sehingga dapat dikatakan bahwa durian termasuk kelompok tanaman yang sulit diregenerasikan dengan kultur jaringan. Oleh karena itu, upaya untuk mendapatkan protokol perbanyakan durian melalui kultur jaringan, baik dengan jalur embriogenesis somatik maupun organogenesis perlu terus dilakukan.

Pembahasan Umum

Kultur jaringan durian merupakan teknik yang dapat diharapkan untuk perbanyakan bibit durian secara cepat dan perbaikan genetik durian untuk menghasilkan varietas unggul baru. Penelitian tentang kulttur jaringan durian hingga saat ini masih sangat terbatas. Chartisathian (2001) telah menginduksi kalus dari eksplan nuselus durian pada 5 komposisi media yang terdiri atas media dasar Murashige-Skoog, Murashige-Tucker, DKW, dan WPM. Kalus didapatkan pada 2 kombinasi media (media dasar Murashige-Tucker yang diperkaya dengan 500 ppm ekstrak malt, 0.1 ppm IAA, 1 ppm kinetin dan 50 gram sukrosa dan media dasar MS yang diperkaya dengan NAA 1 ppm dan sukrosa 30 g/l) dengan persentase eksplan berkalus 1.97% dan 2.92% sampai 12 MST. Pusparani (2011) telah berhasil menginduksi kalus dari eksplan embrio zigotik dewasa varietas Montong dan Kani.

Dalam penelitian ini telah digunakan eksplan dasar bunga, petal, endosperm dan embrio zigotik muda. Penelitian dengan eksplan dasar bunga dan petal menggunakan 3 genotipe, yaitu Dramaga, Matahari dan Simas; media dasar MS dan B5, dan ZPT pikloram dan NAA. Genotipe Matahari merupakan genotipe

yang paling responsif terhadap induksi kalus dilihat dari persentase eksplan berkalus dan kecepatan muncul kalus. Dengan adanya perbedaan respon genotipe terhadap induksi kalus dalam penelitian ini maka penelitian-penelitian kultur jaringan durian selanjutnya, jika menggunakan genotipe selain yang digunakan dalam penelitian ini, masih perlu dilakukan optimasi-optimasi berkaitan dengan prosedur maupun komposisi media yang digunakan, walaupun hasil-hasil dari penelitian ini dapat dijadikan acuan.

Mengingat hasil-hasil yang didapatkan dalam penelitian ini, penelitian- penelitian kultur jaringan durian selanjutnya dapat dilakukan sesuai tujuan pengembangan. Eksplan embrio zigotik muda dapat dijadikan eksplan untuk tujuan perbanyakan batang bawah yang selanjutnya akan digunakan untuk penyambungan mikro atau penyambungan dan okulasi konvensional. Masih perlu dilakukan optimasi untuk meningkatkan jumlah embrio somatik yang diperoleh per eksplan, induksi embriogenesis somatik sekunder dari embrio somatik primer yang terbentuk, sampai konversi embrio somatik menjadi planlet.

Eksplan dasar bunga relatif lebih responsif daripada eksplan petal, endosperm, dan embrio zigotik muda dalam induksi kalus. Masih diperlukan optimasi protokol kultur guna mengkonversi kalus yang didapatkan dari dasar bunga tersebut agar menjadi planlet baik melalui jalur organogenesis maupun embriogenesis somatik. Jika protokol lengkap tersebut telah diperoleh, eksplan dasar bunga dapat dimanfaatkan sebagai eksplan untuk tujuan perbanyakan klonal durian unggul, perbanyakan batang atas yang selanjutnya akan digunakan untuk penyambungan mikro atau penyambungan dan okulasi konvensional. Dapat juga digunakan sebagai bahan transformasi genetik yang akan membuka bidang bioteknologi durian.

5

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari hasil penelitian induksi kalus embriogenik durian in vitro ini dapat disimpulkan bahwa:

1. Media yang baik untuk induksi kalus dari eksplan dasar bunga adalah media dasar B5 dengan tambahan NAA 2 ppm.

2. Media yang baik untuk induksi kalus dari eksplan petal adalah media dasar B5 dengan tambahan pikloram 2 ppm

3. Respon eksplan dasar bunga dan eksplan petal terhadap induksi kalus dipengaruhi oleh genotipe durian. Varietas Matahari lebih responsif daripada varietas Simas dan aksesi Dramaga.

4. Perlakuan yang berpotensi menghasilkan embrio somatik durian dalam penelitian ini adalah dengan eksplan embrio zigotik muda pada media dasar MS dengan ZPT pikloram 15 ppm.

Saran

Penelitian kultur jaringan durian melalui jalur embriogenesis somatik dengan eksplan embrio zigotik muda perlu dilanjutkan untuk mendapatkan prosedur yang lengkap hingga didapatkan planlet untuk perbanyakan batang bawah. Penggunaan eksplan dasar bunga juga perlu diteliti lebih lanjut diperoleh planlet untuk mendapatkan bibit durian dengan sifat sama dengan induknya (true to type) dan membuka peluang penerapan bioteknologi durian.