• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1 Luas Areal Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Luas lahan robusta sampai tahun 2006 (data sementara) sekitar 1.161.739 hektar dengan luas lahan tanaman menghasilkan (TM) seluas 878.874 hektar (Tabel 5.1). Keseluruhan data pada tabel menunjukkan bahwa luas areal TM kopi robusta memiliki persentase yang cukup besar terhadap luas lahan kopi robusta nasional dengan angka rata-rata 67,45 persen. Luas lahan kopi robusta nasional memiliki persentase 92,09 persen terhadap luas lahan kopi nasional.

Tabel 5.1 Persentase Luas TM Kopi Robusta Nasional Terhadap Luas Lahan Kopi Robusta Nasional dan Luas Lahan Kopi Nasional Pada Tahun 1994-2006 (Ha) Tahun Luas TM Kopi Robusta Nasional (A) Luas Lahan Kopi Robusta Nasional (B) Luas Lahan Kopi Nasional (C) Persentase A terhadap B (%) Persentase A terhadap C (%) Persentase B terhadap C (%) 1994 756.740 1.073.019 1.140.385 70,52 66,36 94,09 1995 790.600 1.089.171 1.167.511 72,59 67,72 93,29 1996 782.900 1.077.467 1.159.079 72,66 67,55 92,96 1997 779.274 1.079.148 1.170.028 72,21 66,60 92,23 1998 761.127 1.035.346 1.153.369 73,51 65,99 89,77 1999 756.556 1.020.714 1.134.121 74,12 66,71 90,00 2000 815.806 1.153.222 1.260.687 70,74 64,71 91,48 2001 889.549 1.230.576 1.313.383 72,29 67,73 93,70 2002 929.720 1.280.891 1.372.184 72,58 67,75 93,35 2003 873.104 1.195.495 1.294.888 73,03 67,43 92,32 2004 897.691 1.176.744 1.287.160 76,29 69,74 91,42 2005 872.899 1.153.959 1.264.445 75,64 69,03 91,26 2006* 878.784 1.161.739 1.263.203 75,64 69,57 91,97 Rata-rata 829.528 1.132.291 1.229.265 73,00 67,45 92,09 Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Keterangan: (*) Angka Sementara

5.2 Produksi Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Tingkat pertumbuhan produksi cukup kecil dengan rata-rata 3,14 persen (Tabel 5.3). Pertumbuhan yang cukup kecil ini sebagian besar dikarenakan masih rendahnya kualitas pengolahan kopi robusta khususnya mulai dari masa pra panen. Petani umumnya masih menggunakan teknologi yang sederhana atau tingkat perlakuan pada lahan masih minim. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya insentif harga yang dapat memacu petani untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas mulai dari lahan hingga hasilnya.

Produksi kopi robusta di Indonesia dari tahun 1994 hingga tahun 2006 mengalami peningkatan jumlah walaupun ada di antara tahun-tahun tertentu mangalami penurunan dengan jumlah yang tidak signifikan. Jika dilihat dari angka pertumbuhannya, maka penurunan terjadi pada tahun 1995, 1997, 2003, 2004, dan 2005. Sedangkan peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada tahun 1998, 2000, dan 2002.

5.3 Produktivitas Perkebunan Kopi Robusta Indonesia

Produktivitas lahan kopi robusta dari tahun 1994 hingga 2006 juga menunjukkan adanya peningkatan dengan persentase rata-rata angka pertumbuhan sebesar 1,67 persen (Tabel 5.3). Namun, tingkat produktivitas lahan kopi Indonesia masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara eksportir kopi utama. Hal ini dikarenakan terbatasnya penggunaan bahan tanam unggul, terlambatnya peremajaan, penanganan panen (petik merah), dan pasca panen yang belum memadai.

Tabel 5.3 Pertumbuhan Luas Areal (TM), Produksi dan Produktivitas Perkebunan Kopi Robusta Seluruh Indonesia Tahun 1994-2006.

Tahun

Luas Areal Produksi Produktivitas Total (Ha) Pertumbuhan (%) Total (Ton) Pertumbuhan (%) Total (Ton/Ha) Pertumbuhan (%) 1994 756.740 - 421.387 - 0,56 - 1995 790.600 4,47 417.972 -0,81 0,53 -5,06 1996 782.900 -0,97 421.751 0,90 0,54 1,90 1997 779.274 -0,46 384.042 -8,94 0,49 -9,26 1998 761.127 -2,22 448.485 12,21 0,59 14,76 1999 756.556 -0,60 458.923 2,33 0,61 2,95 2000 815.806 7,83 511.586 11,48 0,63 3,38 2001 889.549 9,04 546.163 6,76 0,61 -2,09 2002 929.720 4,52 656.963 20,29 0,71 15,09 2003 873.104 -6,09 628.273 -4,37 0,72 1,83 2004 897.691 2,82 598.263 -4,78 0,67 -7,38 2005 872.899 -2,76 580.110 -3,03 0,66 -0,28 2006* 878.784 0,67 591.417 1,95 0,67 1,27 Rata-rata 829.528 1,24 513.920 3,14 0,62 1,67

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: (*) Angka Sementara

5.4 Potensi Kopi Robusta Indonesia

Kopi robusta hingga saat ini merupakan jenis kopi yang paling banyak ditanam di Indonesia. Diplihnya kopi robusta sebagai jenis kopi yang paling banyak dibudidayakan di Indonesia selain karena ketahanannya terhadap penyakit karat daun yaitu mudah dalam pembudidayaannya dibandingkan arabika. Kopi robusta umumnya ditanam di dataran rendah dengan ketinggian tempat 400 sampai dengan 800 meter dpl (di atas permukaan laut).

Syarat ketinggian lahan produksi ini menuntut suhu udara yang sesuai seperti kopi robusta dapat ditanam di daerah dengan suhu udara yang agak panas. Lahan kopi robusta tidak membutuhkan banyak kadar bahan organic yaitu cukup dengan persentase sebesar 3,5-10,0 persen. Tekstur tanah yang disyaratkan untuk kopi robusta ini pun sederhana yaitu tanah yang gembur.

Tabel 5.4 Syarat Tumbuh Kopi Robusta

Kriteria Syarat Tumbuh

Garis Lintang 00 – 100 LS sampai 00 – 50 LU Tinggi Tempat 400 – 800 m dpl

Suhu Udara Rata-rata 300 – 330 C

Curah Hujan 2000 – 3000 mm/th Jumlah Bulan Kering (curah hujan <60

mm/bulan

1 – 3 bln/th

PH 5,5 – 6,5

Bahan Organik Min 2 % Kedalaman Tanah Efektif >100 cm Kemiringan tanah <25 %

Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006.

Kopi robusta ini telah ditanam oleh para petani hampir di seluruh provinsi dengan daerah penanaman utama meliputi provinsi Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan. Areal perkebunan robusta mempunyai persentase luas lahan yang lebih besar dibandingkan dengan arabika. Berdasarkan status kepemilikan areal perkebunan kopi robusta di Indonesia terdiri dari perkebunan rakyat, perkebunan besar negara serta perkebunan swasta. Perkebunan rakyat memiliki porsi terbesar dari total luas areal kopi robusta yang ada di Indonesia. Dengan demikian produksi kopi robusta dalam negeri didominasi oleh hasil perkebunan rakyat.

Hampir seluruh produksi kopi robusta di seluruh dunia dihasilkan secara kering dan dituntut tidak mengandung rasa asam dari terjadinya fermentasi, untuk mendapatkan rasa lugas (neutral taste). Kopi robusta memiliki kelebihan, seperti kekentalan yang lebih dan warna yang kuat. Oleh karena itu, kopi robusta banyak diperlukan untuk bahan campuran (blends) untuk merek-merek tertentu. Kopi ini banyak digunakan oleh industri sebagai bahan baku untuk kopi serbuk, sehingga hasilnya didapatkan kopi yang memiliki kekentalan dengan warna yang kuat. Negara utama yang merupakan penghasil kopi ini yaitu Indonesia, Pantai Gading,

Uganda, Kamerun, Madagaskar, Vietnam dan beberapa Negara lainnya. Namun berdasarkan data AEKI (2006), Kamerun dan Madagaskar saat ini tidak lagi diperhitungkan sebagai negara utama penghasil kopi robusta. Produksi kedua negara ini hanya dapat menghasilkan kopi robusta dalam jumlah yang kecil yaitu sebesar 55 juta kg dan 3 juta kg kopi Robusta.

5.5 Produksi Kopi Robusta Dunia

Pada waktu sekitar tahun 1997, kopi robusta di produksi lebih dari 36 negara terutama di benua Afrika dengan produksi yang relatif tetap yaitu sekitar 29 hingga 30 juta karung (1 karung = 60 kilogram). Bagian wilayah Asia memberikan andil terbesar sebagai produsen kopi robusta dunia yang juga ditandai dengan adanya kenaikan jumlah produksi dari 40 persen menjadi 50 persen. Kenaikan ini juga diikuti produksi kopi robusta dari wilayah Amerika. Indonesia pernah merasakan menjadi penghasil kopi robusta pertama di dunia dengan rentang waktu sekitar tahun 1980-an hingga 1998.

Pada masa itu, Indonesia menunjukkan produksi yang stabil. Kondisi ini berbeda jika dibandingkan dengan Vietnam yang mengalami kenaikan yang cukup tajam selama 17 tahun (1990-2006) terakhir ini. Sejak tahun 1999, Vietnam berhasil menggeser Indonesia sebagai negara produsen kopi robusta terbesar di dunia (Herman,2003). Selain bersaing dengan Vietnam, Indonesia juga bersaing dengan Brazil dan Pantai Gading. Pada tahun 1994, Pantai Gading melakukan konversi kakao menjadi kopi robusta sebanyak 300.000 hektar sehingga hal tersebut akan semakin meningkatkan jumlah produksinya (Warta Puslit Kopi dan Kakao,1997).

Produksi kopi robusta saat ini menempati posisi ketiga dunia, di bawah Vietnam dan Brazil (Tabel 5.5). Keadaan jumlah produksi dari Vietnam dan Brazil cukup mempengaruhi kestabilan produksi maupun harga kopi robusta di pasar internasional. Bahkan saat ini sudah berkembang beberapa negara yang semakin memantapkan produksi kopi robusta-nya baik dari segi kualitas maupun kuantitas seperti Negara Pantai Gading yang semakin meningkatkan jumlah produksinya.

Tabel 5.5 Jumlah Produksi Negara-Negara Produsen Utama Kopi Robusta di Dunia Pada Tahun 1999-2004 (000 Bags)

Negara produsen 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata Vietnam 11.631 14.775 13.133 11.555 15.320 12.500 13.152 Brazil 4.536 4.654 5.837 9.676 6.778 7.557 6.506 Indonesia 5.072 6.142 5.900 5.849 5.511 6.467 5.824 Pantai Gading 6.321 4.846 3.595 3.145 2.689 1.950 3.758 India 3.178 2.525 2.511 2.467 2.528 3.007 2.703 Uganda 2.742 2.883 2.858 2.575 2.175 2.200 2.572 Sumber: AEKI, 2006

5.6 Tingkat Harga Kopi Robusta di Indonesia

Perkembangan harga kopi robusta di Indonesia dapat dikatakan tergantung dari tingkat harga kopi dunia. Hal ini karena kopi robusta merupakan komoditas ekspor dan hampir sebagian besar kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga harga jual maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar kopi internasional. Harga kopi robusta pun berbeda dengan arabika. Harga kopi arabika cenderung lebih tinggi daripada robusta. Hal ini terjadi karena sebagian besar konsumen lebih menyukai kopi arabika. Perbedaan harga antara 31

kopi robusta dengan kopi arabika umumnya sebesar 10 hingga 30 persen ( Warta Puslit Kopi dan Kakao, 1997)

Perkembangan harga kopi robusta di pasar domestik cukup berfluktuatif dimana fluktuasi harga di pasar domestik tidak selalu sama dengan di pasar internasional.

5.7 Perkembangan Ekspor Kopi Robusta Indonesia

Sebagai komoditas perdagangan, pencapaian ekspor sangat tergantung dari harga kopi internasional yang umumnya berfluktuasi sesuai dengan perkembangan permintaan dan produksi dunia, sehingga peningkatan volume ekspor tidak selalu diikuti dengan nilai ekspornya. Namun, hal ini tidak terjadi pada periode 2004/2005, dimana nilai ekspor dapat melebihi volumenya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia pada saat itu sedang bernilai tinggi.

Tabel 5.7 Pengembangan Ekspor Kopi Robusta Indonesia Periode 2000/2001-2005/2006

Periode Robusta

Volume (Ton) Nilai (USD)

2000/2001 269.424 134.289 2001/2002 205.049 169.230 2002/2003 166.557 115.112 2003/2004 262.198 178.255 2004/2005 343.764 350.422 2005/2006* 118.691 114.476

Sumber: Dit. Ekspor, Depag RI dalam AEKI 2006 Keterangan: (*) Angka Sementara

Dengan kata lain fluktuasi nilai ekspor lebih dipengaruhi oleh perubahan harga kopi dibandingkan dengan perubahan volume ekspor. Nilai ekspor kopi

robusta Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan volume ekspornya. Namun, hal ini tidak terjadi pada periode 2004/2005, dimana nilai ekspor dapat melebihi volumenya sehingga dapat dikatakan ekspor kopi Indonesia pada saat itu sedang bernilai tinggi.

5.8 Bentuk Kopi yang Diekspor

Ekspor kopi robusta ataupun secara keseluruhan dalam ekspor komoditas kopi, masih dalam bentuk biji (green coffee) dengan jumlah yang cukup besar yaitu dengan persentase sekitar 98 persen, sedangkan bentuk olahan hanya sekitar dua persen. Bentuk ekspor ini belum banyak berubah sampai saat ini dan tidak hanya dilakukan oleh Indonesia tetapi mencakup negara-negara produsen kopi secara keseluruhan. Dengan kata lain, pangsa pasar produk kopi olahan cenderung dikuasai oleh negara-negara konsumen,yaitu negara-negara konsumen mampu mendominasi sebagai penentu harga dan nilai tambah produk akhir terbesar bagi kopi robusta. Ekspor kopi dalam bentuk olahan masih terkendala oleh masalah selera dari negara-negara konsumen yang berbeda satu dengan yang lain.

5.9 Negara Tujuan Ekspor Kopi Robusta Indonesia

Negara tujuan ekspor kopi robusta lebih banyak dibandingkan dengan kopi arabika. Berdasarkan data AEKI (2006), kopi robusta di ekspor ke 89 negara sedangkan kopi arabika di ekspor ke 54 negara. Adapun Negara-negara yang paling banyak dalam mengimpor kopi robusta Indonesia diurut dari yang paling banyak jumlahnya yaitu Jerman, Jepang, USA, Polandia, Italia dan Republik Korea.

Tujuan ekspor kopi utama Indonesia antara lain adalah ke Negara-negara anggota MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), negara kawasan Amerika khususnya negara Amerika Serikat serta negara di kawasan Asia seperti Jepang, Singapura, Korea, dan Malaysia (AEKI,2005). Perkembangan ekspor kopi Indonesia menurut negara tujuan periode 2001-2005 dapat dilihat Tabel 5.9.

Tabel 5.9 Perkembangan Volume Ekspor Kopi Indonesia Menurut Negara Tujuan, Tahun 2001-2005

(ribu ton) No Negara Tujuan Tahun

2001 2002 2003 2004 2005 1 Jepang 50.8 47.5 44.9 55.6 64.3 2 Singapura 16.9 10.8 8.8 6.7 8.2 3 USA 36.8 43.0 48.1 72.5 136.6 4 Belgia 3.4 4.5 8.4 6.2 13.6 5 Inggris 3.9 5.3 7.6 6.8 15.4 6 Perancis 0.1 1.7 4.2 1.6 3.5 7 Belanda 2.8 2.9 8.7 2.5 3.6 8 Italia 7.6 9.0 17.8 15.3 27.7 9 Denmark 1.2 1.1 1.0 1.2 0.9 10 Jerman 18.5 28.8 37.5 37.5 78.2 11 Maroko 2.6 3.4 3.9 4.5 4.4 12 Aljazair 1.0 1.5 3.0 8.4 17.4 13 Lainnya 58.6 54.0 62.3 54.7 111.9

Sumber: Badan Pusat Statistika, 2005

Jika kita mengamati perkembangan ekspor kopi Indonesia dari Tabel 5.9, Negara-negara di kawasan Asia, Amerika, dan Eropa merupakan negara-negara yang sangat potensial untuk ekspor kopi Indonesia. Berdasarkan data dari Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia hampir 90 persen pasar ekspor kopi Indonesia berada di tiga kawasan tersebut. Hal ini merupakan prospek yang cukup cerah bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan devisa negara dari ekspor kopi pada tiga kawasan tersebut.

5.10 Pasar Kakao Olahan Dunia dan Kakao Olahan Indonesia

Kakao olahan merupakan salah satu komoditas yang banyak digunakan sebagi bahan baku penunjang berbagai industri seperti industri es krim, industri biskuit, industri susu, dan lain sebagainya. Selain itu hasil akhir kakao olahan berupa cokelat batang memiliki permintaan yang cukup tinggi baik di Indonesia maupun di dunia. Eropa merupakan konsumen kakao olahan terbesar dengan total konsumsi tahun 2004 sebesar 1.405.000 ton atau setara dengan 42 persen konsumsi kakao olahan dunia. Di urutan kedua dan ketiga ditempati oleh Amerika dan Asia dengan konsumsi sebesar 852.000 ton dan 573.000 ton (Rahmanu,2009).

Permintaan dunia terhadap kakao olahan akan membuka pasar yang luas bagi hasil olahan kakao Indonesia, ditambah dengan pertumbuhan produktivitas yang baik serta didukung mutu dan kualitas hasil kakao olahan akan meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia. Akan tetapi realita justru sebaliknya pertumbuhan industri pengolahan kakao Indonesia berjalan lambat. Hal ini tentu akan membuat industri pengolahan kakao Indonesia sulit untuk meningkatkan daya saing kakao olahan Indonesia di tingkat internasional. Pasar kakao olahan Indonesia berada di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa seperti Belanda, Perancis, dan Belgia. Hal ini dikarenakan Amerika Serikat dan Eropa sebagai sentra industri cokelat membutuhkan kakao olahan sebagai bahan input industri makanan dan minuman.

Dokumen terkait