• Tidak ada hasil yang ditemukan

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian analisis respon produksi, permintaan domestik dan penawaran ekspor kopi robusta Indonesia, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Produksi harga dari tahun ke tahun meningkat sebesar 3.14 per tahun. Peningkatan produksi ini lebih banyak disebabkan oleh peningkatan luas areal tanpa oleh produktivitas. Keadaan ini juga terlihat dari pengaruh yang nyata luas areal terhadap produksi. Selain itu perubahan produksi juga dipengaruhi oleh peubah harga domestik dan kondisi perekonomian Indonesia.

2. Konsumsi kopi dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan konsumsi disebabkan jumlah penduduk yang meningkat dan juga disebabkan oleh peningkatan harga kakao.

3. Ekspor kopi berfluktuasi dengan kecenderungan yang meningkat dengan rata-rata 0.67 persen. Harga ekspor kopi dipengaruhi oleh kondisi perekonomian Indonesia dan volume ekspor lag satu tahun sebelumnya. Sementara harga ekspor dan harga domestik tidak menyebabkan peningkatan pada ekspor kopi.

7.2 Saran

Produksi kopi merupakan salah satu variabel yang paling besar pengaruhnya terhadap penawaran ekspor kopi Indonesia akan tetapi produktivitas kopi Indonesia masih belum optimal. Oleh karena itu, pemerintah

dan pihak terkait yaitu AEKI dapat melakukan pengolahan ulang tanah seperti pemupukan dan melakukan regenerasi tanaman kopi agar produksi kopi meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

Edizal. 1998. Analisis ekonomi kopi arabika Muntok dan daya saing kopi arabika Indonesia. Tesis Fakultas Pascasarjana IPB, Bogor.

Gonarsyah, I. 1987. Landasan Perdagangan Internasional. Departemen Ilmu-Ilmu social Ekonomi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Gujarati, D. 1999. Ekonometrika Dasar. Erlangga. Jakarta.

Hasyim, A.L. 1994. Analisis ekonomi kopi dunia dan dampaknya terhadap pengembangan kopi nasional, Disertasi ProgramPascasarjana IPB, Bogor International Coffee Organization. 2000. Coffee Market Report (years and

months).http://www.ico.org/.

Juanda, B. 2007. Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis. IPB Press, Bogor. Komalasari, I. 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penawaran

Ekspor Biji Kakao Indonesia [skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Lipsey, R.G., P.N Courant, D.D. Purvis and P.O. Steiner. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Jilid Kesatu. Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara. Jakarta. Lipsey, S. 1995. Pengantar Makroekonomi, Edisi ke-10. Binarupa Aksara,

Jakarta.

Mankiw, N.G. 2003. Teori Makroekonomi, Edisi ke-5. Erlangga, Jakarta.

Nicholson, W. 2001. Teori Ekonomi Mikro, Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Deliarnov [penerjemah]. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Nicholson, W. 1999, Teori Mikroekonomi : Prinsip Dasar dan Pengembangannya. Edisi Kedua. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Erlangga. Jakarta.

Siswoputranto, P. S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Sumarni, M. 1998. Pengantar Bisnis. Liberty, Yogyakarta.

Sunarni, Y.D. 2002. Analisis Industri dan Strategi Peningkatan Daya Saing Industri Kopi Indonesia. Skripsi . Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

45 Supranto, J. 2004. Ekonometri. Ghalia Indonesia, Jakarta.

Suryono D.W. 1991. Analisis Perdagangan Kopi Indonesia di Pasar Dalam Negeri dan Internasional. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Turnip, C.E. 2002. Analisis Faktor-faktor yang mempengaruhi Penawaran Ekspor dan Aliran Perdagangan Kopi Indonesia. Skripsi . Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

TAHUN LL HD HP HS POP E_1 HI HD_1 P KO E D Tren 1988 953486 2320,580 150,59 2253,57 121606,0 273017 1,830 2424,77 374833 90294 284539 0 1 1989 968051 1425,100 175,91 1869,39 142454,7 284539 1,790 2320,580 374274 37446 336828 0 2 1990 922211 1176,550 188,39 1705,62 166518,4 336828 1,330 1425,100 412767 33788 378979 0 3 1991 912871 1144,570 199,01 1603,25 192803,1 378979 0,900 1176,550 428305 85944 342361 0 4 1992 1115878 1043,890 196,38 1356,34 227795,5 342361 0,880 1144,570 436930 190663 246267 0 5 1993 1102592 1275,980 208,28 1299,62 187589,0 246267 1,250 1043,890 389968 54134 335834 0 6 1994 1143028 2673,160 212,85 1625,78 190676,0 335834 1,250 1275,980 413224 185854 227370 0 7 1995 1089171 2710,580 219,32 1693,10 193755,0 227370 2,650 2673,160 417972 250036 167936 0 8 1996 1098486 2269,200 234,55 1428,66 196813,0 167936 2,800 2710,580 438148 103933 334215 0 9 1997 1098805 2349,030 244,35 2273,46 199867,0 334215 1,860 2269,200 544756 34260 510496 1 10 1998 1153369 3856,940 193,45 1577,91 200753,0 510496 1,250 2349,030 514451 36373 478078 1 11 1999 1127277 3491,520 319,76 2057,21 202831,0 478078 1,250 3856,940 531687 30842 500845 1 12 2000 1153222 2204,400 307,81 1700,38 205843,0 500845 1,370 3491,520 554574 223544 331030 1 13 2001 1161818 2801,560 303,77 2289,10 208437,0 331030 0,830 2204,400 569234 335635 233599 1 14 2002 1162000 2335,930 273,42 2815,77 210736,0 233599 0,500 2801,560 682019 415511 266508 1 15 2003 1195495 2191,520 264,87 2819,63 213551,0 266508 0,830 2335,930 671255 452662 218593 1 16 2004 1190580 2948,120 249,00 2253,78 216382,0 218593 0,690 2191,520 647386 350643 296743 1 17 2005 1153959 1811,090 236,29 2911,82 218869,0 296743 0,670 2948,120 640365 85908 554457 1 18 46

The SAS System The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model PRODUKSI

Dependent Variable P

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 1.608E11 4.02E10 14.34 0.0002

Error 12 3.363E10 2.8023E9

Corrected Total 16 1.76E11

Root MSE 52936.3075 R-Square 0.82703

Dependent Mean 509842.059 Adj R-Sq 0.76937

Coeff Var 10.38288

Parameter Estimates

Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Esr Intercept 1 66582.15 224138.6 0.30 0.387 LL 1 0.454324 0.229949 1.98 0.036 0.99 HD 1 73.6408 28.06228 2.62 0.011 0.33 HP 1 -3.32577 437.3229 -0.01 0.497 _ D 1 200855.7 43214.76 4.65 0.0002 _ 48

The SAS System The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model KONSUMSI

Dependent Variable KO

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 3 1.371E11 4.571E10 2.66 0.0917

Error 13 2.232E11 1.717E10

Corrected Total 16 3.339E11

Root MSE 131036.579 R-Square 0.38053

Dependent Mean 171010.353 Adj R-Sq 0.23757

Coeff Var 76.62494

Parameter Estimates

Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Esr Intercept 1 -561513 323310.1 -1.74 0.053 HD 1 -39.6018 48.77988 -0.81 0.216 _ HS 1 113.1465 67.83314 1.67 0.059 1,34 POP 1 3.015882 1.787683 1.69 0.057 3,52 49

50

The SAS System The SYSLIN Procedure

Two-Stage Least Squares Estimation

Model EKSPOR

Dependent Variable E

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F

Model 4 5.573E10 1.393E10 1.16 0.3777

Error 12 1.447E11 1.206E10

Corrected Total 16 2.061E11

Root MSE 109800.561 R-Square 0.27810

Dependent Mean 338831.706 Adj R-Sq 0.03747

Coeff Var 32.40563

Parameter Estimates

Variable DF Parameter

Estimate

Standard Error t Value Pr > |t|

Esr Elr Intercept 1 130317.3 128523.3 1.01 0.165 E_1 1 0.433142 0.306156 1.41 0.091 0,41 0,72 HI 1 38651.41 61493.54 0.63 0.270 0,15 _ HD 1 -12.7091 68.80136 -0.18 0.428 _ _ D 1 87972.89 103182.2 0.85 0.025 _ _

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK

DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA

OLEH

MEIKHAL SAPUTRA H14050518

DEPARTEMEN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai dengan penanganan industri hilir. Kopi memiliki sejarah yang panjang dan memiliki peranan penting bagi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Indonesia dengan letak geografisnya yaitu 6oLU – 11oLS dan 95oBT – 141oBT, sangat menguntungkan bagi tanaman kopi. Letak Indonesia sangat ideal bagi iklim mikro untuk pertumbuhan dan produksi kopi. Dari 40 jenis varietas kopi yang ada di dunia, terdapat dua jenis kopi utama yang paling banyak diperdagangkan yaitu kopi arabika dan kopi robusta. Komoditas kopi merupakan salah satu komoditas pertanian (subsektor perkebunan) yang telah terbukti dapat dijadikan sebagai andalan devisa bagi negara melalui kegitan ekspor kopi. Pada saat Indonesia mengalami krisis ekonomi, komoditas kopi mampu menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu katup penyelamat perekonomian nasional. Komoditas kopi bersama komoditas pertanian lainnnya tetap mampu menjadi sumber devisa bagi negara yang sangat dibutuhkan untuk membiayai pembangunan dan membayar cicilan hutang luar negeri (ICO, 2000).

Kemampuan ini bersumber dari struktur biaya sektor pertanian, terutama subsektor perkebunan yang didominasi oleh komponen biaya yang berasal dari sumberdaya domestik sehingga tidak bergantung pada nilai mata uang asing. Dari sisi teknologi, sebagian besar industri pengolahan kopi Indonesia merupakan industri rumah tangga yang masih menggunakan teknologi konvensional

sehinggga praktis tidak tergantung pada impor. Sekalipun industri swasta umumnya sudah menggunakan teknologi pengolahan modern yang diimpor, seperti mesin pengering dan mesin penggilingan, namun pengaruh krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia relatif kecil. Jadi perusahaan tidak akan gulung tikar disebabkan karena mesin-mesin tersebut merupakan barang investasi yang bersifat jangka panjang (International Contact Business System dalam Sunarni (2002)).

Pengusahaan perkebunan kopi di Indonesia dilakukan oleh tiga kelompok pengusaha perkebunan yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta.(Tabel1.1).

Tabel 1.1 Luas Areal dan Produksi Perkebunan Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan Pada Tahun 2000-2009.

Tahun Luas Areal (Ha)

PR/Smallholders PBN/Government PBS/Private Jumlah 2000 1.192.322 40.654 27.720 1.260.687 2001 1.258.628 26.954 27.801 1.313.383 2002 1.318.020 26.954 27.210 1.372.184 2003 1.240.222 26.597 25.0991 1.291.910 2004 1.251.326 26.597 26.020 1.303.943 2005 1.202.392 26.641 26.239 1.255.272 2006*) 1.210.445 26.776 26.405 1.263.203 2007**) 1.255.793 27.116 26.385 1.263.220 2008*) 1.241.141 27.455 26.716 1.295.237 2009**) 1.256.489 27.795 27.046 1.311.254 Sumber:Direktorat Jenderal Perkebunan, 2006. Keterangan: (*) Angka Sementara

Pengusahaan kopi pada perkebunan rakyat umumnya masih menggunakan teknologi sederhana dan produksi mengacu pada harga kopi yang berlaku. Pada saat harga kopi jatuh maka sejumlah petani kopi tidak akan menjual kopinya. Petani dapat meninggalkan begitu saja lahannya dan mereka dapat beralih usaha pada tanaman perkebunan lainnya yang lebih menguntungkan. Masalah lain yang

masih terjadi sampai saaat ini di dalam perkebunan rakyat, yaitu mengenai kualitas kopi yang dihasilkan yang sebagian besar bermutu rendah. Hal ini berkaitan dengan masalah produksi, yaitu petani seringkali melakukan panen sebelum masak atau dikenal dengan istilah petik hijau, yang seharusnya biji kopi dipetik setelah biji berwarna merah (Meryana,2007).

Sekitar sepertiga produksi kopi dunia ialah kopi robusta, kopi ini lebih

mudah perawatannya dibandingkan jenis lainnya sehingga biaya produksinya juga

murah dan karena kopi arabika dikenal dengan kualitas yang lebih baik, kopi

robusta biasanya dibuat kopi instant, espresso dengan tingkat caffeine hampir 2

kali lipat dibandingkan Arabika. Posisi Indonesia juga cukup strategis dalam

perdagangan kopi dunia, karena Indonesia menempati posisi keempat sebagai negara produsen dan pengekspor kopi terbesar dunia (Tabel1.2).

Tabel 1.2 Perkembangan Produksi dan Ekspor Kopi di dunia, Tahun 2002

No Negara Produksi (Ribu Ton) Ekspor (Ribu Ton)

1 Brazil 48480 23809 2 Colombia 11889 10625 3 Vietnam 11555 11966 4 Indonesia 6785 5173 5 India 44683 3441 6 Guatemala 4070 3330 7 Mexico 4000 2893 8 Ethiopia 3693 1939 9 Uganda 2900 3153 10 Peru 2900 2638 Sumber: AEKI,2005 3

Ekspor kopi mencapai jumlah sekitar 70 persen dari total produksi nasional dan sisanya digunakan untuk konsumsi dan stok nasional. Masalah mutu kopi yang rendah dan kuantitas produksi yang tidak konsisten tentunya mempengaruhi perkembangan ekspor kopi robusta Indonesia pada masa mendatang. Hal ini merupakan masalah yang cukup mempengaruhi perkembangan industri kopi robusta Indonesia. Masalah ini perlu dengan segera dibenahi sehingga industri ini dapat bertahan dan berkembang di pasar domestik maupun internasional.

Pembenahan produksi kopi perlu segera ditindaklanjuti guna mencapai kualitas dan kuantitas produksi yang maksimal. Hal ini disebabkan sebagian besar produksi kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga kontinuitas dan kualitas biji kopi merupakan syarat mutlak jika ingin tetap berada di puncak persaingan pasar kopi robusta. Adanya kecenderungan akan meningkatnya tingkat konsumsi kopi dunia tentu merupakan peluang tambahan bagi perindustrian kopi robusta Indonesia untuk meningkatkan dan menjamin adanya kontinuitas jumlah produksi.

Dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, komoditas kopi robusta Indonesia diharapkan mampu untuk terus memberikan devisa bagi negara. Selain bagi devisa negara, komoditas kopi robusta juga diharapkan mampu memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat di sentra-sentra produksi kopi. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, yang peduli terhadap pembangunan perkopian Indonesia untuk selalu mengkaji setiap permasalahan perkopian Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Tantangan yang dihadapi saat ini dan saat mendatang adalah bagaimana meningkatkan pangsa pasar kopi Indonesia sehingga kecendrungan masalah surplus produksi dapat dikurangi. Konsumsi per kapita kopi di Indonesia relatif masih rendah dan berfluktuasi. Tahun 1994 hanya sebesar 0.695 Kg, bahkan pada tahun 1994 hanya 0.129 Kg. Di Brazil angka tersebut mencapai 2.39 Kg, dan Columbia 4.00 Kg. Oleh sebab itu, mengapa di tengah-tengah relatif berhasilnya peningkatan produksi kopi, tapi tidak diikuti dengan kenaikan konsumsi dalam negeri atau pada pasar domestik (Ditjenbun, 1994). Mutu bibit yang digunakan pada perkebunan rakyat kebanyakan merupakan bibit dengan mutu klon yang rendah (Absenia). Selain itu perkembangan harga kopi robusta di Indonesia dapat dikatakan tergantung dari tingkat harga kopi dunia. Hal ini karena kopi robusta merupakan komoditas ekspor dan sebagian besar kopi robusta Indonesia dijual ke luar negeri sehingga harga jual maupun harga beli mengikuti harga yang terbentuk dalam pasar kopi internasional.

Harga kopi robusta pun berbeda dengan harga kopi arabika. Harga kopi arabika cenderung lebih tinggi daripada harga kopi robusta. Adapun hal-hal yang yang tidak dapat dikendalikan dalam mengontrol harga kopi adalah jumlah produksi dari negara-negara eksportir kopi utama seperti Vietnam dan Brazil. Pada saat Brazil mengalami frost atau Vietnam mengalami kekeringan sehingga produksi dunia berkurang dapat menyebabkan harga kopi menguat. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama, karena ketika kondisi alam kedua negara tersebut telah kembali normal atau mereka dapat mengatasinya (ICO,2000), menyebabkan harga mengalami penurunan kembali. Permintaan kopi dunia dari tahun ke tahun

mengalami peningkatan. Kondisi tersebut merupakan peluang bagi Indonesia untuk dapat meningkatkan ekspor kopinya. Dalam perkembangannya, ekspor kopi Indonesia dipengaruhi oleh beberapa faktor sehingga menyebabkan fluktuasi seperti kebijakan ekspor dan harga kopi dunia yang terus berubah.

Dalam menjaga kestabilan dari harga kopi, sejumlah program telah dijalankan, seperti adanya pembatasan kuota dan retensi kopi oleh ICO dan ACPC. Namun, kebijakan-kebijakan tersebut ternyata tidak dapat menjaga keseimbangan dari harga kopi. Produksi yang menurun tentunya juga berimbas pada volume ekspor kopi nasional. Kondisi tersebut sangat membahayakan posisi Indonesia sebagai negara eksportir pada perdagangan kopi dunia, karena posisinya dapat tergeser oleh negara-negara pesaing dan permintaan konsumen dunia dapat pula berpindah karena ketidakmampuan kopi Indonesia untuk memenuhinya. Terkait dengan persaingan lahan, selain untuk pengembangan biofuel lahan kopi bersaing dengan komoditi lain seperti; kakao, kelapa yang merupakan komoditi kompetitif.

Program pengendalian ekspor (retensi) kopi yang dimulai sejak bulan mei 2000 tidak membuahkan hasil karena menghadapi kendala financial dan sejumlah negara yang awalnya menyatakan setuju untuk melakukan retensi kopi ternyata tidak melaksanakan sesuai dengan yang dilaporkan. Harga kopi pun semakin memburuk sehingga program retensi dibubarkan pada akhir bulan September 2001. Kegagalan ACPC untuk memulihkan harga kopi membuat organisasi ini diyakini oleh para anggotanya tidak layak lagi untuk dipertahankan sehingga ACPC resmi dibekukan pada akhir Januari 2002 (Herman, 2003).

Komoditas kopi robusta cukup mempunyai sumberdaya yang mendukung perkembangannya. Produk kopi robusta Indonesia pun masih tetap diperhitungkan di pasar kopi internasional. Penulis mencoba untuk menggambarkan secara detail yang menjadi menghambat perkembangan kopi robusta nasional dalam merumuskan permasalahan yang terjadi.

1) Luas lahan kopi yang meningkat.

Industri pengolahan kopi robusta mempunyai potensi besar untuk dikembangkan sebagai pemasukan yang besar bagi devisa negara. Lahan perkebunan kopi diramalkan akan semakin bertambah hingga tahun 2009 sampai dengan seluas 1.256.489 hektar. Dengan lahan yang semakin luas tentunya dapat menghasilkan produksi kopi yang lebih besar.

2) Konsumsi kopi yang cenderung meningkat.

Pasar kopi masih terbuka lebar sebagai minuman favorit bagi masyarakat Indonesia maupun dunia. Saat ini kopi pun tidak hanya diminati sebagai minuman saja, tetapi juga sebagai bahan tambahan (penyedap) untuk industri makanan. Oleh karena itu, dapat dikatakan banyak industri pendukung yang turut berperan dalam peningkatan konsumsi kopi. Hal ini merupakan potensi yang dapat mendukung perkembangan industri kopi Robusta nasional.

3) Produksi yang meningkat dihadapkan pada permintaan dunia yang kecil. Jumlah produksi kopi robusta saat ini cukup besar yaitu sebesar 90 persen dari produksi kopi nasional. Permintaan kopi robusta didunia relatif kecil dibandingkan dengan kopi arabika, yaitu hanya sekitar 30 persen. Keadaan produksi dalam negeri yang meningkat sementara permintaan dunia yang

masih kecil merupakan suatu kesenjangan yang perlu diperhatikan agar dapat bersaing di pasar kopi dunia.

4) Industri hilir kopi kurang berkembang.

Pemasaran kopi di negara kita dapat dikatakan lebih berorientasi pada pasar ekspor dan umumnya sebagian ekspor yang dilakukan dalam bentuk biji kopi. Ekspor kopi dalam bentuk olahan masih dalam persentase yang sangat kecil. Keadaan seperti ini telah lama terjadi dan sepertinya masih sulit untuk berubah.

Dalam pasar ekspor, masalah yang dihadapi Indonesia bukan hanya kebijakan perdagangan, tetapi juga mutu, khususnya kopi robusta yang sering dianggap sebagai kopi bermutu rendah. Berbagai upaya telah dilakukan untuk peningkatan mutu antara lain kebijakan standarisasi dan pengawasan mutu kopi. Standarisasi mutu tersebut terus ditingkatkan , dan hasilnya adalah bahwa pangsa pasar kopi untuk mutu tinggi menjadi 11.65 persen, mutu sedang 70,8 persen dan mutu rendah turun menjadi 17,5 persen. Permasalahannya adalah sejauh mana mutu tersebut dapat meningkatkan ekspor dan tambahan benefit yang diperoleh eksportir yang dapat ditransmisikan kepada petani. Secara ringkas permasalahan kopi di Indonesia adalah jumlah produksi yang terus meningkat yang dihadapkan dengan kemungkinan penetrasi pasar yang harus bersaing dengan negara produsen lainnya pada pasar internasional (Hasyim A.L, 1994).

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis respon produksi, permintaan domestik dan penawaran ekspor kopi robusta Indonesia yang secara spesifik dapat dijabarkan menjadi :

1. Menganalisis respon produksi kopi robusta Indonesia terhadap harga.

2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan domestik kopi robusta Indonesia.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran ekspor kopi robusta Indonesia.

1.4 Kegunaan Penelitian

Kegunaaan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi penulis, penelitian ini berguna untuk mengembangkan dan mengimplementasikan ilmu yang sudah dipelajari agar lebih bermanfaat lagi. 2. Bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan bisa memberikan rekomendasi

kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan ekspor kopi Indonesia

3. Bagi akademisi, penelitian ini berguna sebagai sumber informasi atau rujukan untuk menganalis masalah yang sama.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Sedangkan, menurut Lindert dan Kindleberger (1995), perdagangan internasional dianggap sebagai suatu akibat dari adanya interaksi antara permintaan dan penawaran yang bersaing. Pada prinsipnya, perdagangan antara dua negara timbul akibat adanya perbedaan permintaan dan penawaran.

Perbedaan permintaan disebabkan oleh selera dan tingkat pendapatan, sedangkan perbedaan penawaran disebabkan oleh jumlah dan kualitas faktor produksi serta tingkat teknologi. Selain itu, perdagangan dua negara juga timbul karena adanya keinginan untuk memperluas pasar komoditas untuk menambah devisa negara. Karenanya, di banyak negara, perdagangan internasional menjadi salah satu faktor utama untuk meningkatkan pendapatan nasional.

Perdagangan merupakan faktor penting dalam merangsang pertumbuhan ekonomi di setiap negara karena perdagangan akan memperbesar kapasitas konsumsi suatu negara dan akan meningkatkan output dunia. Perdagangan juga cenderung meningkatkan pemerataan atas distribusi pendapatan dan kesejahteraan dalam lingkup domestik ataupun internasional. Perdagangan dapat membantu semua negara dalam menjalankan usaha-usaha pembangunan mereka melalui

promosi serta pengutamaan sektor-sektor ekonomi yang mengandung keunggulan komperatif. Jika perdagangan dunia yang bebas benar-benar tercipta, maka harga dan biaya-biaya produksi internasional akan mampu berfungsi sebagai suatu determinan pokok mengenai seberapa negara harus berdagang dalam rangka memaksimalkan kesejahteraan nasionalnya (Todaro, 2003).

Perkembangan teori perdagangan internasional dimulai dari teori merkantilisme yang menyatakan bahwa sebuah negara hanya akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan mengorbankan negara lainnya, sebagai akibatnya, mereka menganjurkan agar dilakukan pembatasan yang ketat terhadap impor, memberikan insentif terhadap ekspor serta memberlakukan aturan pemerintah yang ketat terhadap ekonomi (Salvatore, 1997).

Selanjutnya, Adam Smith menyatakan bahwa perdagangan didasarkan pada keunggulan absolut dan akan menguntungkan kedua belah pihak. Jika sebuah negara lebih efisien daripada negara lain (memiliki keunggulan absolut) dalam memproduksi sebuah komoditi, namun kurang efisien (memiliki kerugian absolut) dibanding negara lain dalam memproduksi komoditi lainnya, maka kedua negara tersebut akan sama-sama memperoleh keuntungan jika masing-masing negara melakukan spesialisasi untuk memproduksi komoditi yang memiliki keunggulan absolut dan menukarkan sebagiannya dengan komoditi yang memiliki kerugian absolut.

Sementara, David Ricardo memperkenalkan hukum keunggulan komperatif (Salvatore, 1997). Menurutnya, walaupun salah satu negara kurang efisien dari negara lainnya dalam memproduksi kedua komoditi, masih terdapat dasar untuk melakukan perdagangan yang saling menguntungkan. Caranya,

negara yang kurang efisien tersebut harus melakukan spesialisasi untuk memproduksi komiditi yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (yaitu komoditi yang memilki keunggulan komparatif).

2.2 Teori Penawaran

Penawaran (supply) didefinisikan sebagai hubungan fungsional yang menunjukkan berapa banyak suatu komoditas akan ditawarkan (untuk dijual) pada suatu tempat dan waktu tertentu pada berbagai tingkat harga, faktor lain tidak berubah (Tomek and Robinson, 1981). Sementara, menurut Lipsey (1995), penawaran merupakan sejumlah barang dan jasa yang disediakan untuk dijual pada berbagai tingkat harga, pada waktu dan tempat tertentu. Penawaran menunjukkan apa yang ingin dijual oleh perusahaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah penawaran suatu komoditas secara umum adalah harga komoditas, harga komoditas alternatif, tujuan perusahaan, harga faktor produksi dan tingkat teknologi.

Kurva penawaran menunjukkan hubungan yang positif antara jumlah komoditas yang akan dijual dengan tingkat harga dari komoditas tersebut (Lantican, 1990). Kurva penawaran tersebut menggunakan asumsi bahwa produsen bertindak rasional yang selalu berusaha untuk memaksimumkan keuntungan.

2.3 Teori Permintaan Domestik

Permintaan adalah keinginan konsumen untuk membeli suatu barang pada berbagai tingkat harga selama periode waktu tertentu (Rahardja dan Manurung,

2001). Sementara, Kotler dan Armstrong (1992) menyatakan bahwa konsumen akan memilih produk yang menghasilkan kepuasan yang tertinggi dan keinginan konsumen tersebut akan menjadi permintaan jika didukung oleh daya beli .

Menurut Rahardja dan Manurung (2001), kurva permintaan merupakan tempat titik yang masing-masing menggambarkan tingkat maksimum pembelian dengan harga tertentu cateris paribus. Kurva permintaan memiliki slope negatif dari kiri atas ke kanan bawah, dimana jika terjadi penurunan harga akan menambah jumlah komoditi yang diminta (Nicholson, 2001).

2.4 Elastisitas Penawaran

Elastitas penawaran adalah suatu nilai untuk mengetahui ukuran ketanggapan komoditas yang ditawarkan terhadap perubahan harga komoditas tersebut (Samuelson dan Nordhaus, 2003). Penawaran suatu barang dikatakan elastis jika perubahan harga menyebabkan perubahan yang cukup besar pada jumlah yang ditawarkan. Sebaliknya penawaran dikatakan inelastis jjika perubahan jumlah yang ditawarkan hanya sedikit ketika terjadi perubahan harga. Faktor utama yang dapat mempengaruhi elastisitas penawaran adalah kemudahan-kemudahan yang menyebabkan produksi dalam industri dapat ditingkatkan. Faktor penting lainnya yang mempengaruhi elastisitas penawaran adalah rentang waktu yang ada.

2.5 Penelitian Terdahulu

Suryono (1991) dalam tesisnya membahas tentang Analisis Perdagangan Kopi Indonesia di Pasar Dalam Negeri dan Internasional secara umum membahas

struktur kopi Indonesia serta penawaran dan permintaan kopi di dalam negeri. Alat analisis yang digunakannya berupa dua macam Model Ekonometrika yaitu Model Sistem Persamaan Simultan dan Model Regresi Linear Berganda. Perubahan nilai tukar mata uang asing dan kebijakan devaluasi diduga berpengaruh terhadap ekspor kopi Indonesia maupun penawaran kopi di dalam

Dokumen terkait