HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.2 Data Deskriptif
4.2.2 Gambaran Antibiotika yang Diterima
Regimen antibiotika yang di teliti sebanyak 284 regimen yang diterima oleh 70 pasien paska bedah yang di ruang rawat Rindu B2A, Rindu B2B, Rindu B3 RSUP H. Adam Malik pada bulan Juli-September 2012. Penggunaan antibiotika tersebut dievaluasi berdasarkan kualitasnya
menggunakan metode Gyssens. Gambaran penggunaan antibiotika tersebut
Tabel 4.2 Gambaran Penggunaan Antibiotika
Antibiotika
Jenis Terapi Kategori Gysens
Total
Pesentase (%)
ADD ADE ADET ADP 0 II B III A III B IV A VI
Amikasin 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0,4 AmoksisillinTrihidrat 0 1 1 0 2 0 0 0 0 0 2 0,7 Amoxicillin 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0,4 Cefadroksil 1 6 5 0 9 0 2 0 0 1 12 4,2 Ceftriaxone 16 15 59 39 50 0 31 4 42 2 129 45,4 Ciprofloksasin 7 22 10 0 27 0 3 5 4 0 39 13,7 Civell 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0,4 Clindamisin 0 2 1 0 3 0 0 0 0 0 3 1,1 Ethigent 1 3 1 0 1 3 0 0 1 0 5 1,8 Gentamisin 8 5 7 0 6 0 3 6 3 2 20 7,0 Jayacin 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0,4 Ketoconazole 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0,4 Levofloxacin 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 1 0,4 Meronem 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0,4 Meropenem 6 2 1 0 4 0 0 3 2 0 9 3,2 Metronidazole 0 32 23 0 28 0 8 19 0 0 55 19,4 Ronem 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0,4 Starquin 0 2 0 0 2 0 0 0 0 0 2 0,7 Total 41 96 108 39 135 3 48 41 52 5 284 100 Persentase 14,4 33,8 38,0 13,7 47,5 1,1 16,9 14,4 18,3 1,8 100
Keterangan: ADD: Antimicrobial Drug Documented therapy ADET: Antimicrobial Drug Extended Empiric Therapy
Karakteristik antibiotika beserta hasil penelitian kualitas penggunaannya secara terinci terdapat pada lampiran 3. Antibiotika yang paling banyak digunakan di ruang rawat Rindu B2A, Rindu B2B, Rindu B3 RSUP H. Adam Malik pada bulan Juli-September 2012 adalah ceftriaxone (45,4%) diikuti oleh metronidazole (19,4%) dan ciprofloksasin (13,7%), gentamisin (7%). Ceftriaxone merupakan antibiotika yang paling sering diresepkan karena ceftriaxone memiliki spektrum yang luas dan efektif untuk pengobatan infeksi yang disebabkan oleh berbagai bakteri dari gram positif dan gram negatif (McEvoy, 2004).
Setiap antibiotik yang diresepkan oleh dokter dapat digolongkan dalam tiga tipe, yaitu terapi, profilaksis, dan unknown. Pemberian antibiotik tanpa adanya gejala klinis infeksi yang diberikan setengah sampai satu jam sebelum tindakan bedah disebut profilaksis. Peresepan untuk profilaksis diberi label ADP (Antimicrobial Drug Prophylaxis). Pemberian antibiotik
tipe terapi dapat dibedakan menjadi ADE (Antimicrobial Drug Empiric therapy) merupakan
terapi yang digunakan pada 72 jam pertama perawatan dan belum terdapat hasil kultur,
ADET (Antimicrobial Drug Extended Empiric therapy) merupakan terapi empirik luas tanpa
diagnosis definitif yang merupakan kelanjutan dari ADE dan ADD (Antimicrobial Drug
Documented therapy) merupakan terapi yang diberikan setelah diagnosis definitif tegak/setelah hasil pemeriksaan mikrobiologi keluar.
Berdasarkan jenis terapi tersebut, antibiotika digunakan sebagai terapi profilaksis, empiris dan definitif. Penggunaan antibiotika terbesar sebagai terapi empiris diperpanjang ADET (38%), selanjutnya sebagai terapi empiris ADE (33,8%), definitif (14.4%) dan profilaksis (13.7%). Tingginya penggunaan antibiotika secara empiris dikarenakan tidak semua penyakit dilakukan kultur.
Pasien dengan jaminan juga tidak dapat langsung melakukan pengujian kultur, sehingga banyak pengujian yang tertunda menunggu proses persetujuan pengajuan jaminan. Selain itu pengujian kultur membutuhkan waktu empat sampai tujuh hari, sementara
yang paling tepat berdasarkan gambaran klinik pasien, perkiraan kuman penyebab dan pola kepekaannya.
Antibiotika yang paling banyak digunakan sebagai terapi empiris, terapi profilaksis dan definitif adalah ceftriaxone (tabel 4.2). Pedoman Penggunaan Antibiotika RSUP H. Adam Malik tahun 2012 menyebutkan, pemilihan ceftriaxone sebagai terapi profilaksis karena konsentrasi yang tinggi dalam jaringan dan darah (90-120ug/mL). Berdasarkan
literatur Drug Information, sefalosforin generasi kedua dan ketiga, tidak lebih baik
dibandingkan dengan generasi pertama. Karena pertimbangan biaya dan kekhawatiran tentang potensi munculnya resistensi akibat penggunaan anti infeksi spektrum luas (McEvoy, 2004).
Tingginya penggunaan ceftriaxone sebagai terapi definitif, bertentangan pula dengan aturan PERMENKES RI. Berdasarkan PERMENKES RI No. 2406 tahun 2011, yang menyatakan penggunaan antibiotika untuk terapi definitif sebaiknya mengutamakan pemilihan antibiotik dengan spektrum sempit.
Penggunaan antibiotika yang sama terlalu sering sebaiknya dihindari, hal ini dipertegas oleh Setiabudy yang menyatakan antimikroba mutakhir misalnya sefalosforin generasi ketiga, fluorokuinolon, aminoglikosida, seyogyanya tidak terlalu sering digunakan untuk keperluan rutin agar menjaga ketersediaan antimikroba efektif bila timbul masalah resistensi. Penggunaan antibiotika secara empiris dan profilaksis umumnya mengacu pada Pedoman Penggunaan Antbiotik RSUP H. Adam Malik tahun 2009.
Hasil evaluasi terhadap antibiotika berdasarkan kategori Gyssens memperlihatkan
bahwa sebagian besar antibiotika tergolong tidak rasional (kategori I-V) sebesar 50,7% sedangkan 47,5% termasuk pada kategori 0 atau rasional (Tabel 4.2).
Antibiotika yang dinyatakan rasional berdasarkan Gyssens dkk tahun 2001 akan
sejalan dengan Setiabudy yang menyatakan jika hasil senstivitas menunjukkan ada antimikroba lain yang lebih efektif, sedangkan dengan antimikroba semula gejala klinik penyakit menunjukkan perbaikan yang meyakinkan, antimikroba semula tersebut sebaiknya diteruskan. Oleh sebab itu, peneliti memberikan kategori rasional pada kasus ini.
Penggunaan antibiotika yang tidak sensitif namun memberikan dampak klinis yang baik seharusnya perlu ditindak lanjuti. Berdasarkan PERMENKES RI no 2406 tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik evaluasi penggunaan antibiotika empiris dapat dilakukan seperti pada tabel berikut:
Tabel 4.3 Evaluasi Penggunaan Antibiotika Empiris
Hasil
Kultur Klinis Sensitivitas Tindak lanjut
+ Membaik Sesuai
Lakukan sesuai prinsip "De-Eskalasi"
(penggunaan antibiotik spektrum luas untuk terapi inisial dilanjutkan dengan penggunaan antibiotik dengan spektrum lebih
sempit)
+ Membaik/Tetap Tidak
Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Memburuk/Tetap Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
+ Memburuk Tidak
Sesuai Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Membaik 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi
- Tetap/Memburuk 0 Evaluasi Diagnosis dan Terapi
Ketidaktepatan penggunaan antibiotika sebagian besar merupakan kategori IVA (adanya pilihan antibiotika lain yang lebih efektif) yaitu sebesar 18,3%. Dalam hal ini, masalah yang ditemukan adalah pengobatan atau pemilihan antibiotika yang diberikan tidak sesuai dengan hasil kultur. Meskipun hasil kultur menunjukkan bakteri resisten, namun penggunaan antibiotika tersebut terus dilanjutkan. Selain itu, juga ditemukan sensitivitas bakteri yang ditunjukkan pada pola kuman Rindu B terhadap antbiotika tertentu dinyatakan 100% tidak sensitif. Namun tetap saja penggunaan antibiotika tersebut diteruskan.
antibiotika lain sebab tidak semua antibiotika terdaftar dalam formularium penyedia yang digunakan pasien.
Sebagian besar antibiotika yang digunakan pada kategori ini adalah ceftriaxone. Pada kategori ini terdapat 39 regimen ketidaktepatan penggunaan ceftriaxone disebabkan regimen tersebut digunakan sebagai antibiotika profilaksis. Sesuai dengan PERMENKES RI NO.2406 tahun 2011 yang menyatakan secara tegas bahwa “tidak dianjurkan menggunakan sefalosforin generasi III dan IV, golongan karbapenem, dan kuinolon untuk profilaksis bedah”. Dikarenakan ceftriaxone merupakan antibiotika golongan sefalosforin generasi III maka regimen tersebut tidak tepat karena masih ada pilihan antibiotika lain yang lebih efektif.
Ketidaktepatan penggunaan antibiotika selanjutnya merupakan kategori IIIA (penggunaan antibiotika terlalu lama), yaitu sebesar (16,9%). Masalah yang ditemukan adalah dosis antibiotika yang diberikan secara empiris terlalu lama tanpa ditemukan adanya pemeriksaan kultur sebagai terapi definitif.
Ketidaktepatan berikutnya adalah penggunaan antibiotika merupakan kategori IIIB (penggunaan antibiotika terlalu singkat), yaitu sebesar (14,4%). Masalah yang ditemukan adalah dosis antibiotika yang diberikan terlalu singkat. Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotika yang tidak berkesinambungan, adanya pergantian dosis di hari berikutnya menyebabkan penggunaan regimen terhitung terlalu singkat.
Permasalahan dalam penentuan interval (IIB) menyebabkan ketidaktepatan penggunan antibiotika berikutnya. Sedangkan data tidak lengkap (kategori VI) yang dalam hal ini dikarenakan adanya lembaran rekam medis yang hilang, penulisan rekam medis yang tidak berkesinambungan serta penulisan demografi pasien yang tidak lengkap mengingat penelitian ini juga dilakukan secara retrospektif.
BAB V