• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PEMBAHASAN

5.2. Gambaran Karakteritik Pekerja Anak

5.2.1. Gambaran Karakteristik Pekerja Anak Menurut Informan

Dalam beberapa ketentuan hukum, manusia disebut juga sebagai anak dengan pengukuran/batasan usia. Kondisi ini tercermin dari perbedaan batasan usia , menurut Konvensi Hak Anak (KHA), maupun UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut KHA defenisi anak secara umum adalah manusia yang umurnya belum 18 tahun.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan 5 orang informan menunjukkan bahwa semua anak berusia dibawah 18 tahun pada saat bekerja. Penyampaian informan mengenai umur informan mulai bekerja mulai berbeda-beda

dan rata-rata mulai bekerja pada saat SD dan SMP, seperti yang diutarakan informan berikut,

Kelas 6 kak.... waktu itu masih sekolah

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan lainnya,

Udah lama kak, mulainya kemaren dari kelas 2 SMP itu lah kak....

Dari pernyataan informan dapat dilihat bahwa informan bekerja pada usia sekolah. Kondisi ini dapat berpengaruh negatif terhadap pendidikan anak atau bahkan terabaikan akibat anak memilih bekerja daripada sekolah. Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan kepala sekolah bahwa anak bekerja setelah putus sekolah yaitu saat usia sekolah,

Gak ada saya rasa yang masih sekolah, semua putus sekolah baru bekerjaan..

Bekerjanya anak diusia sekolah juga sangat berpengaruh dengan kehidupan orang tua pada saat kecil, bisa saja hal ini sudah menjadi hal biasa dan sudah turun temurun, seperti yang diungkapkan orang tua pekerja anak berikut,

Ya dulu korjo la, waktu kecil susah ya korjo, bisa makan aja dulu udah hebat, anak awak dicarikan duit buat sekolah malah milih tak sekolah lagi malah jadi anak itik ikut-ikut kawannya, ya cemana mau dibilang awak pun dulu kek gitu, bapaknya pun juga gak tamat sekolah, di sini semua kurasa kek gitu la, makanya banyak anak yang korjo.

(korjo = kerja)

Putus sekolah dan bekerja bukanlah suatu masalah lagi bagi pekerja anak, karen pendidikan belum menjadi prioritas. Keadaan ini mengindikasikan kurangnya kesadaran orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Pendidikan masyarakat di lokasi penelitian ini adalah menengah ke bawah, bahkan hampir semua anak putus sekolah. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pendidikan tersebut juga tercermin dari pandangan masyarakat bahwa dengan hasil laut saja sudah bisa hidup

tanpa harus sekolah tinggi-tinggi. Orang tua enggan untuk menyekolahkan anak karena tuntutan biaya relatif tinggi.

b. Bekerja Karena Disuruh Orang Tua

Semakin rendahnya pendapatan perkapita penduduk dalam suatu negara dapat menyebabkan semakin banyaknya anak-anak yang putus sekolah. Hal ini terkadang membuat orang tua berpikir untuk menyuruh anaknya bekerja demi menambah penghasilan keluarga.

Berdasarkan wawancara mendalam yang dilakukan dengan 5 orang informan diketahui bahwa 4 orang informan mengatakan bekerja karena kemauan sendiri, seperti yang diutarakan oleh informan berikut,

Ga ada kak.. memang udah mau sendiri aja... kan niatnya udah mau nyari duit aja...

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan lainnya, Mau sendiri la kak....

Hal ini juga sama bila pernyataan pekerja anak di atas dibandingkan dengan pernyataan pekerja anak pada saat Focussed Discussion Group (Diskusi Kelompok Terfokus), dari wawancara yang dilakukan dengan 6 orang informan pekerja anak diketahui bahwa 6 orang informan mengatakan bekerja karena kemauan sendiri, seperti yang diutarakan oleh informan berikut,

Ingin sendiri kak...bekerja sendiri

Pernyataan ini sesuai dengan pernyataan orang tua pekerja anak bahwa anak bekerja atas kemauan sendiri,

Ya gak di ajar…orang dia sendiri yang mau nyari duit, awak maunya dia suruh sekolah dia gak mau

Tetapi ada juga informan yang mengatakan, terkadang orang tuanya yang menyuruh informan untuk bekerja seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Kadang disuruh juga kak.. sama orang tua….

Dari pernyataan pada wawancara mendalam, Focussed Discussion Group dan pernyataan orang tua pekerja anak dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja anak bekerja atas kemauan sendiri, tanpa ada paksaan dari orang tua.

c. Bekerja Membantu Orang Tua.

Pada umumnya orang tua ingin agar anaknya dapat sekolah dengan tujuan agar mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya. Tetapi tidak sedikit juga orang tua yang lebih memilih anaknya untuk bekerja karena alasan perekonomian. Banyak juga pekerja anak yang memutuskan bekerja dengan alasan memang membantu orang tuanya, seperti yang dikemukakan oleh informan berikut,

Ia kak.. kan niatnya memang mau bantuin orang tua... Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan berikut,

Ya lah kak...., bantu nenek la,

Tetapi ada juga informan yang sengaja berhenti sekolah dan bekerja dengan tujuan memiliki penghasilan sendiri seperti yang dikemukakan oleh informan berikut,

Gak la kak..., untuk sendiri aja....

Dari pernyataan pekerja anak sebagian besar sesuai dengan pernyataan orang tua bahwa anak bekerja untuk dirinya sendiri,seperti pernyataan orang tua berikut,

Untuk dia aja la, paling gajinya berapa la, buat dia merokok aja udah berapa, ya kadang kasi jajan buat adekya..

Hanya sebagian kecil yang bekerja membantu orang tua, seperti pernyataan orang tua berikut :

Ya kalau ada duitnya dibantu juga…

Sebagian terbesar anak-anak di Indonesia khususnya yang berada di desa-desa masih terbelenggu oleh nilai-nilai dominannya (Dominat Values) yang secara cultural (culturally rootet) bekerja untuk membantu kehidupan keluarga, baik di sector public (pada umumnya laki-laki) maupun yang disektor domestik (pada umumnya perempuan). Keadaan anak yang bekerja di desa-desa membantu kehidupan orang tua merupakan suatu pemandangan yang umum, bahkan pada remaja pun telah keluar dari desanya untuk sekolah dan bekerja sebagai usaha untuk membiayai sekolah (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1998).

Diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20-25 persen bagi ekonomi keluarga. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika banyak orangtua dengan ekonomi pas-pasan merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan. Kenyataan ini menyebabkan anak-anak tersebut semakin terkekang dalam dunia kerja yang penuh dengan ketidakpastian. Efek lebih lanjut adalah ketidaksiapan anak dalam menghadapi masa depan. Pendidikan yang rendah dan kepribadian yang belum matang akan membuat mereka tidak memiliki posisi tawar yang tinggi dalam dunia kerja atau lingkungan sosial. Mereka akhirnya berfungsi sebagai pelestari siklus kemiskinan keluarganya. Dengan kata lain, tidak ada mobilitas vertikal yang dialami sang anak dalam perjalanan hidupnya (Ghufran, 2009).

d. Penyebab Pekerja Anak Tidak Sekolah dan Memutuskan Bekerja

Pada umumnya ada 2 faktor yang menyebabkan anak putus sekolah bisa berasal dari internal maupun eksternal sang anak. Kondisi pribadi anak yang memang tidak memiliki niat untuk sekolah atau karena adanya interfensi dari orang tua baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja seperti perlakuan kasar, pertengkaran orang tua maupun perceraian yang dapat mengganggu kondisi psikologis anak seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Karena orang tua ku corainya kak... jadi siapa lah yang mau bayarin aku sekolah lagi.... ya udah la... kerja aja lah aku

(corai = cerai)

Hubungan kemiskinan dengan perginya anak bekerja bukanlah hubungan yang sederhana. Diantaranyan terdapat faktor-faktor intermediate seperti harmoni keluarga, kemampuan pengasuhan anak dan langkanya dukungan keluarga (family support) pada saat krisis keluarga di rumah (Tauran, 2000).

Selain faktor lingkungan keluarga, faktor lingkungan sekolah juga dapat mempengaruhi anak untuk putus sekolah dan bekerja, seperti yang diungkapkan informan berikut :

waktu saya sekolah dulu kena...kena...kena marah aja sama guru masalah apa la kak…

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan pada Focussed Discussion Group (Diskusi Kelompok Terfokus) berikut,

Ada, masalah sedikit la,,,gara-gara mencari kopah...karna mengajak mencari kopah pas-pas belajar diajaknya ke pantai...jadi jarang sekolah, gara-gara itu la berenti trus...

(kopah = kepah, sejenis kerang)

Ada masalah kak...berantam aja saban hari kak, jadi bosan...bapak disuruhnya keluar...keluar....

(saban hari = tiap hari)

Selain itu juga masalah ekonomi tidak luput dari penyebab anak memilih bekerja dari pada bersekolah seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Karena gak ada uang kak... ga cukup lagi katanya kalau di tambah biaya aku sekolah lagi. Ya udah la... ga usah aja lah aku sekolah

Hal yang sama juga dinyatakan pekerja anak pada saat Focussed Discussion Group (Diskusi Kelompok Terfokus) bahwa bekerja karena faktor ekonomi, hal

tersebut dapat dilihat pada pernyataan informan berikut,

Masalah biaya la kak, gak ada biaya untuk sekolah,...lagi pun gak mood lagi kak untuk sekolah....

Sebagian besar anak putus sekolah karena faktor ekonomi yaitu tidak ada biaya untuk sekolah, hal ini sesuai dengan pernyataan orang tua pekerja anak, sebagai berikut,

Itu la, karna orang tua pisah, tergantung sama biaya juga, sama dia kek dibilang frustasi la gitu, suntuk ngadapi orang tua kek gini, makanya dia putus sekolah.

(ngadapi = menghadapi)

Hal yang sama juga diungkapkan orang tua pekerja anak, Sebabnya dia putus sekolah kurang mampu lah..

Pernyataan tersebut juga sesuai dengan pernyatan kepala sekolah,

Gak ada saya rasa yang masih sekolah, semua putus sekolah baru bekerja...Yaa..masalahnya kadang-kadang tergantung dari ekonomi keluarganya, yang kedua keenaan mencari uang, nilainya itu sangat besar jadi yang ketiganya pergaulannya. Ya itu aja.

Dari pernyataan pekerja anak baik pada saat wawancara mendalam dan Focussed Discussion Group di atas dapat dilihat bahwa masalah ekonomi bukan satu-

satunya masalah yang menyebabkan anak putus sekolah dan memilih untuk bekerja, faktor keluarga dan pengaruh lingkungan juga menjadi penyebab anak putus sekolah dan bekerja.

Anak-anak yang masuk ke pasar kerja menjadi pekerja anak merupakan rasionalisasi untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga yang dilanda kemiskinan. Konstalasi ini menjadi legitimasi mempekerjakan anak-anak, bahkan dengan pekerjaan yang eksploitatif, upah murah, dan pekerjaan yang berbahaya (Ghufran, 2009).

e. Jenis Pekerjaan yang Dikerjakan Pekerja Anak

  Jenis pekerjaan yang dilakukan anak-anak di pesisir antara lain mencari lorjuk (karang lorjuk), mengupas kerang, membelek ikan (membelah ikan) dan mencari ikan di laut. Jenis pekerjaan anak pada dasarnya mempunyai keterkaitan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan orang tua maupun teman-temannya. Jenis pekerjaan yang ada keterkaitannya dengan pekerjaan orang tua adalah membelek ikan dan mencari ikan di laut (Yanuar, 2006)

Untuk pekerja anak yang bekerja di desa Bogak pada umumnya nelayan, pembersih kapal dan membersihkan ikan seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Hal mengenai pekerjaan informan yang lainnya juga diungkapkan oleh informan berikut,

Kerja digudang apa ikan, membelek ikan itu la kerjaku... (membelek ikan = membelah ikan)

Pekerjaan lain juga diungkapkan informan berikut,

Aku cuma jadi anak itik ajanya kak....kerjaanku cuma bersih-bersihin sampan itu aja kak....

(anak itik = anak yang bekerja membersihkan / mencuci sampan)

Berdasarkan ungkapan pekerja anak tersebut, jenis pekerjaan anak dapat dikelompokkan dalam kategori pekerjaan yang relatif berat (berbahaya) dan pekerjaan yang ringan atau kondusif untuk perkembangan anak. Pekerjaan yang relatif tidak berbahaya adalah jenis pekerjaan yang lebih banyak dilakukan di darat seperti memilih ikan, membelek ikan, menjemur ikan di gudang ikan, sedangkan pekerjaan yang relatif berat dan beresiko adalah pekerjaan yang dilakukan di tengah laut seperti nelayan.

Pekerja anak pada umumnya bekerja di berbagai bidang pekerjaan, baik sektor formal maupun informal. Pada umumnya mereka yang bekerja di pabrik konveksi, rokok, dan sebagai pembantu rumah tangga adalah anak perempuan; sedangkan mereka yang bekerja di sektor-sektor informal adalah anak laki-laki yang umumnya telah putus sekolah. Sektor-sektor bidang pekerja anak pada umumnya merupakan bidang-bidang marginal dan tidak memerlukan keterampilan khusus, seperti menjadi pembantu rumah tangga, buruh pabrik, buruh pada jermal-jermal, penjual koran, kuli angkut, penjual kaki lima, prostitusi, dan pekerjaan seadanya (serabutan) lainnya (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,1998).

f. Cara Pekerja Anak Memperoleh Pekerjaan

Berbagai cara dapat dilakukan oleh informan untuk mendapatkan pekerjaannya. Salah satunya langsung ditawari oleh juragan, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Ditawari kerja sama juragannya... ya udah kerja disitu la aku...

Hal lain diungkapkan informan lain bahwa informan mendapatkan kerja dengan mendatangi juragan lalu ditawari kerja, seperti yang diungkapkan informan berikut,

Saya datangi yang punya kapal, juragan itu.. ditawarinya aku kerja disitu kak....

Hal yang sama juga diungkapkan informan berikut,

Datang kegudangnya kak... pertamanya mau liat-liat aja... trus dikasi aku

kerjaan, kalau banyak ikannya, ya dibelek   

(dibelek = dibelah)

Dari pernyataan informan dapat dilihat bahwa sebagian besar pekerja anak memperoleh pekerjaan dengan mendatangi juragan, Hal ini sesuai dengan pernyataan juragan berikut,

Kan kemaren dia datang... nanya kerjaan... nyari kerja gitu la... ya udah... kusuruh ajalah kerja disini....

Hal yang sama juga diungkapkan juragan berikut,

Kebanyaan kalo anak-anak itu mandaftar sendiri, karena kan dia yang pertama untuk jajan dia sehari-hari yang keduanya ya dia itu dibilangkan segala apa kan membutuhkan ekonomi apa lagi yang di tepi pantai ini memang ekonomi yang dikejar utama.

  Ekonomi pembangunan kapitalis ketika memasuki wilayah-wilayah sumberdaya, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia, akan melihat sumberdaya tersebut sebagai potensi ekonomi yang harus dioptimalkan

pemanfataannya secara ekonomi. Karena itu, pemanfaatan tenaga anak sebagai sumberdaya adalah pilihan ekonomis (murah). Pekerja anak mudah direkrut dan tidak sulit dipecat karena sifat bergantung dan tidak berdaya mereka (Ghufran, 2009)

g. Hubungan Pekerja Anak dengan Pemilik Tempat Bekerja

Pada dasarnya hubungan yang terbangun antara pemilik tempat bekerja dengan para pekerja adalah hubungan antara pegawai dengan bos yang didasari atas pekerjaan. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga pekerjaan di dapat karena adanya hubungan keluarga antara pekerja anak dengan pemilik tempat usaha seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Katanya memang masih ada hubungan sodara kami kak... Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan berikut,

Saudara memang kami kak....

Hubungan persaudaraan yang dimiliki oleh pekerja anak dengan pemilik tempat usaha juga dapat menjadi daya tarik bagi pekerja anak untuk bekerja di tempat tersebut.

h. Pekerjaan yang Dilakukan Pekerja Anak Berbahaya Bagi Kesehatannya Setiap pekerjaan apabila tidak mengikuti prosedur dan tata cara juga dapat berbahaya bagi kesehatan. Bukan hanya untuk orang dewasa, hal yang sama juga berlaku untuk pekerja anak. Tetapi tidak semua orang dapat memahami masalah kesehatan yang dapat dideritanya yang diakibatkan oleh pekerjaannya, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Gak... mana ada bahayanya kalau cuma kerja kayak gitu aja.... makanya hati-hati lah kitanya kak....

(kayak = seperti)

Tetapi ada juga informan yang memahami bahaya kesehatan yang dapat dideritanya akibat pekerjaannya seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Bahaya la kak, kalau boat tu tenggelam mati la kak. Kadang kita kena batu kan sakit-sakit la kak badan kita, kadang balek kita ada yang sakit

pingggang la, sakit tangan...Pernah kak,kaki ini la, kejepit batu karna narik-narik ikan tu, boatnya jalan, patah la bisa kaki kita tu

(balek = kembali, pulang)

Hal yang sama juga diungkapkan informan berikut,

Ada kak waktu ngengkol mesin.. kan kalau salah-salah bisa bahaya juga itu kan kak....

Hal yang sama juga diungkapkan informan pada Focussed Discussion Group (Diskusi Kelompok Terfokus), seperti pernyataan berikut,

Ada bahaya la kak..kena angin, kena ombak, segala macam la kak...banyak la kak gangguan di laut kak...

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan berikut,

Gitu la...ke laut juga kak...matanya gak ada tidur, mengantuk sajo..badan mencari uang kek gitu la kak..tak ada brontinya ke laut, poning kepala... (bronti = berhenti ; poning = pening)

Dari pernyataan tersebut diketahi bahwa pekerja anak terutama yang bekerja sebagai nelayan sangat rentan terhadap gangguan kesehatan, bahkan keselamatan nyawa menjadi taruhannya.

Dapat diketahui bahwa pekerja anak tahu bahwa pekerjaan yang dilakukannya berbahaya bagi kesehatan. seperti penggunaan alat kompresor yang digunakan nelayan pada saat menangkap ikan. Keteledoran, kelalaian dalam penggunaan alat atau gelombang air dapat mempengaruhi fungsi alat yang berakibat fatal bagi

penggunanya. Resiko lainnya adalah terserang penyakit pernafasan, biasanya mereka terserang penyakit paru-paru yang disebabkan oleh terpaan angin laut yang kencang, gangguan kesehatan lainnya akibat kelehahan dan kurang istirahat.

Orang tua pekerja anak pun mengetahui hal tersebut, seperti yang diungkapkan orang tua pekerja anak berikut,

Ke laut ikut orang...bahaya kali la dek, kalo tenggelam cemana, angin koncang bisa tenggelam la, apalagi ombak besar, pasang tinggi, makanya orang gak kelaut kalo kek gitu...

(koncang = kencang)

Masalah kesehatan yang dialami pekerja anak menunjukkan bahwa hak anak atas kesehatan terabaikan, dengan usianya yang masih anak-anak seharusnya anak memperoleh hak untuk bisa memperoleh kesehatan dan kelangsungan hidup.

Tinjauan tentang jenis pekerjaan anak dapat dilihat dari aspek resiko terhadap anak atas pekerjaannya, apakah pekerjaan yang dilakukan anak tersebut beresiko (berat dan membahayakan) karena fisiknya yang masih relatif lemah, berpengaruh buruk terhadap masa depan anak, atau pekerjaan tersebut mempunyai unsur positif bagi perkembangan anak (sebagai wahana pendidikan dan latihan bagi anak). Pekerjaan anak dipandang berat jika sifat atau kondisinya dapat membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak.

Sebagaimana dikemukakan Ronald D Subida MD dan Ray U Angluben R (1997), terdapat dua hal yang menjadi dasar kekhawatiran terhadap berlangsungnya fenomena pekerja anak mengingat kondisi anak-anak sangatlah berbeda dengan kondisi orang dewasa. Hal yang pertama menyangkut kondisi fisiknya. Sekalipun anak-anak dan orang dewasa sama-sama dapat beresiko terhadap hal-hal yang

membahayakan diri mereka ketika bekerja, respon tubuh anak-anak terhadap resiko tersebut berbeda dengan orang dewasa sebab ukuran, bentuk, fisik, mental dan sosial mereka tidak sama. Pada anak-anak terdapat potensi berlangsungnya akumulasi dampak yang mereka alami ketika bekerja atau pun efek-efek yang mereka alami yang baru muncul saat mereka dewasa atau pada perkembangannya kemudian. Hal kedua menyangkut kondisi mental anak. Perkembangan mental anak-anak berlangsung hingga tahapan dewasa mereka. Oleh karena itu, perkembangan mental anak yang belum sempurna karena usianya yang masih muda dapat menyebabkan anak-anak tidak mampu secara psikologis dan emosional untuk mengatasi situasi sulit atau pun kondisi eksploitatif yang dapat terjadi saat anak bekerja (Edy, 2000).

i. Jumlah Hari dan Jam Kerja Pekerja Anak

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk mempekerjakan anak kecil dengan gaji yang kecil, dan dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka. Anak yang berusia di bawah 18 tahun di Indonesia, dilarang di pekerjakan (Undang-Undang Ketenagakerjaan RI No.13 Tahun 2003). Namun dalam undang- undang tersebut, anak-anak boleh dipekerjakan dengan adanya ketentuan bahwa pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan:

a. Izin tertulis dari orang tua atau wali

b. Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali c. Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam

d. Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah e. Keselamatan dan kesehatan kerja

f. Adanya hubungan kerja yang jelas, dan

g. Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Berkaitan dengan konsep pekerja anak, Indikator Kesejahteraan Rakyat 1996 (Irwanto, 1996) memberi batasan bahwa yang termasuk ke dalam pekerja anak adalah penduduk yang berusia 10-14 tahun yang melakukan kegiatan untuk memperoleh pendapatan atau penghasilan minimal 1 jam dalam seminggu (Edy, 2000).

Berdasarkan pernyataan informan dapat diketahui bahwa pekerjaan yang mereka lakukan melampaui batas ketentuan dan kemampuan anak, seperti yang diungkapkan informan berikut,

...seminggu 5 hari la...

Tergantung kalau ikannya banyak kadang sampe 1 harian... (sampe = sampai)

Tetapi kebanyakan informan juga tidak bekerja seharian atau penuh waktu seperti peraturan pada umumnya, seperti yang diungkapkan oleh informan berikut,

Paling 2 hari aja dalam satu minggu....

Hal yang sama juga diungkapkan oleh informan berikut, 3 hari aja aku kerjanya kak...

2 jam, pagi sama sore kerjanya...

Maraknya pekerja anak pada sektor informal yang sering luput dari pengawasan pemerintah, menyebabkan banyak temuan tentang upah yang sangat minim, jam kerja yang panjang dan melelahkan, serta tanpa mekanisme perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) (Ghufran, 2009).

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hari dan jam kerja anak tidak tentu, namun dilihat secara kasar bahwa jumlah jam kerja anak melebihi batas

maksimum anak bekerja yaitu, maksimal 3 jam, dalam penelitian ini rata-rata anak bekerja di atas 3 jam seperti pekerjaan kelaut yang butuh waktu dari subuh hingga petang, pekerjaan memilih dan membelah ikan yang kadang memerlukan waktu sampai seharian, begitu juga dengan pekerjaan mencuci boat penangkap ikan yang memerlukan waktu 4 jam 1 hari yaitu 2 jam pada pagi hari dan 2 jam pada sore hari. Dari kondisi di atas jelas bahwa anak tidak punya waktu untuk sekolah yang biasa dilakukan pada pagi hingga siang hari, sedangkan anak bekerja dari pagi hingga sore hari. Dilihat dari aspek kesehatan sangat mengganggu perkembangan anak untuk

Dokumen terkait