• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian di RS Fatmawati Jakarta

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Gambaran Karakteristik Subjek Penelitian di RS Fatmawati Jakarta

Subjek penelitian ini berjumlah 29 pasien dan merupakan pasien osteoporosis yang telah terdiagnosis melalui pemeriksaan DXA atau radiologi yang berasal dari poliklinik orthopaedi, penyakit dalam, dan rehabilitasi medik

Tabel 4.1. Gambaran Pasien Osteoporosis di RS Fatmawati Jakarta Periode Januari 2011 – Juli 2014.

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Poli Orthopaedi 9 31.0

Penyakit Dalam 14 48.3

Rehabilitasi Medik 6 20.7

Total 29 100

Berdasarkan tabel di atas, pasien osteoporosis di RSUP Fatmawati terbanyak berasal dari poli Penyakit Dalam yaitu sebanyak 14 pasien (48,3%).

33

Tabel 4.2. Gambaran Pasien Osteoporosis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari 2011 – Juli 2014 Berdasarkan Usia.

Variabel Kategori Median (Min-Max) Frekuensi Persentase (%) Usia 71 (21 - 83) < 25 1 3.4 25 – 29 0 0 30 – 34 1 3.4 35 – 39 0 0 40 – 44 0 0 45 – 49 0 0 50 – 54 1 3.4 55 – 59 2 6.9 60 – 64 6 20.7 65 – 69 2 6.9  70 16 55.2 Total 29 100

Dari hasil penelitian pasien osteoporosis dengan karakteristik usia pada tabel 4.2, didapatkan usia terendah 21 tahun dan usia tertinggi 83 tahun, dengan median atau nilai tengahnya adalah 71 tahun. Pasien osteoporosis terbnyak pada kategori usia  70 tahun. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Bogor dan salah satu perusahaan di Indonesia pada tahun 2005 di 16 wilayah di Indonesia, pasien osteoporosis terbanyak ditemukan pada usia > 70 tahun, yaitu sebesar 53,1%. [21] Berbeda sedikit dengan penlitian Li Ninghua (2002) di China bahwa angka kejadian osteoporosis teringgi pada wanita dengan usia > 60 tahun. [14] Dikatakan dalam penelitian yang dilakukan oleh Poole KES (2006) bahwa menurunnya massa tulang berhubungan dengan usia dimulai pada dekade keempat atau kelima kehidupan. [20] Penambahan usia berhubungan kehilangan massa tulang dan tulang menajdi lebih rapuh. Hal ini disebabkan semakin meningkatnya usia proses demineralisasi akan semakin cepat terjadi, selain itu kecepatan sintesis protein terutama serat kolagen akan semakin menurun, sehingga tulang menjadi lebih ringan dan rapuh. [9] Selain itu, pada pasien berusia lanjut, terjadi defisiensi vitamin D dan penurunan absorpsi kalsium

pada usus sehingga dapat meningkatkan kadar hormon PTH dan menginduksi peningkatan reabsopsi kalsium dari tulang. [28]

Tabel 4.3. Gambaran Pasien Osteoporosis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari 2011 – Juli 2014 Berdasarkan Jenis Kelamin. Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

JenisKelamin Perempuan 25 86.2

Laki-laki 4 13.8

Total 29 100

Berdasarkan tabel 4.3, didapatkan pasien osteoporosis dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, yaitu sebanyak 25 pasien (86,2%). Hal ini sesuai dengan penelitian dan teori yang ada yang mengatakan bahwa jenis kelamin perempuan terutama ketika menginjak fase menopause merupakan faktor risiko osteoporosis. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Fatmah (2008) pada lansia etnis Jawa, persentase perempuan osteoporosis dua kali lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki, dengan masing-masing persentase perempuan (63,7%) dan laki-laki (36,3%). [21] Penelitian lain dilakukan oleh Tarek Fawzy, et al (2011) di Ajman, UAE menyatakan bahwa penderita osteoporosis terbanyak adalah perempuan (87,1%) dengan perbandingan perempuan dan laki laki = 1 : 6,7. [29] Peyman Hadji, et al (2013) di Jerman menyatakan bahwa dari 240.657 kasus osteoporosis, pasien osteoporosis berumur di atas 50 tahun lebih banyak berjenis kelamin perempuan (24%) dibandingkan laki-laki. [30]

Berdasarkan teori yang dikemukakan pada buku Principles of Anatomy and Physiology, wanita cenderung memiliki risiko osteoporosis dikarenakan ukuran dari tulang wanita yang lebih kecil dibandingkan dengan tulang pria dan wanita akan mengalami fase menopause yaitu produksi estrogen akan menurun secara tajam, sedangkan pada pria, testosteron akan berkurang sedikit demi sedikit dan secara bertahap. [9] Estrogen secara normal menekan produksi RANKL dan

35

osteoblastik yang berperan untuk menginduksi apoptosis osteoklas. Kejadian ini yang menyebabkan proses resorpsi dan deposisi tulang berjalan dengan seimbang. Ketika seorang perempuan mengalami menopause, kadar estrogen tubuh menurun drastis, proses tersebut ikut berkurang sehingga proses reabsorpsi tulang menjadi lebih dominan. Selain itu dengan menurunnya kadar estrogen maka sitokin proinflamsi yang berperan dalam proses reabsorpsi tulang seperti IL-1, IL-6, TNF-α dan M-CSF kadarnya akan meningkat.[31]

Peter (2013) dalam An Increasingly Important Issue for Both Young and Aging Citizens menyatakan bahwa ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki yang terkena osteoporosis dikarenakan tiga faktor, 1) Perempuan mencapai massa tulang puncak yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, 2) Perempuan mengalami fase menopause, dan 3) Pada hampir semua populasi, perempuan memiliki ekspektasi usia harapan hidup lebih panjang dibandingkan pria sehingga semakin tua umur perempuan angka kejadian osteoporosis akan semakin meningkat. [32] Hal ini sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kemenkes RI tahun 2010 pada gambar berikut. [6]

Tabel 4.4. Gambaran Pasien Osteoporosis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari 2011 – Juli 2014 Berdasarkan Tingkat Pendidikan.

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%)

Pendidikan Tidak Pernah sekolah 1 3.4

SD 1 3.4

SLTP 4 13.8

SLTA 12 41.4

UNIV 11 37.9

Total 29 100

Pada tabel 4.4, Pasien osteoporosis berdasarkan tingkat pendidikan, didapatkan tingkat pendidikan tertinggi pada pasien osteoporosis adalah SLTA (41,4%) dan terendah pada pasien yang tidak pernah sekolah dan SD (3,4%). Hal ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Aleem Mardas K. et al di Babylon Iraq (2013) yang menyatakan bahwa penderita osteoporosis terbanyak adalah pada kategori orang yang tidak dapat membaca atau tidak pernah sekolah. Pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa pasien yang memiliki tingkat pendidikan rendah (tidak pernah sekolah) secara signifikan meningkatkan risiko osteoporosis 3.57 kali dibandingkan pasien dengan edukasi yang tinggi.[33]

Tabel 4.5. Tingkat Pendidikan Penduduk DKI Jakarta tahun 2004

Sumber : Laporan Hasil Riset Kesehatan dasar (RISKESDAS) Provinsi DKI JakartaTahun 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. 2009

37

Jika dilihat dari tingkat pendidikan penduduk DKI Jakarta pada tahun 2004, seperti tertera pada tabel di atas, mayoritas masyarakat DKI Jakarta berpendidikan SMA/Aliyah/SMEA. [34] Hal ini memungkinkan bahwa pasien osteoporosis yang datang ke tempat pelayanan kesehatan mayoritas adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan SLTA.

Pendidikan yang dicapai seseorang merupakan faktor yang menentukan pendapatan dan pekerjaan, serta penanda penting untuk status sosio-ekonomi. Pendapatan dan status sosio-ekonomi menentukan pajanan lingkungan, sosial, gaya hidup, tingkah laku, pola makan, dan nutrisi, meskipun pengaruhnya berbeda pada kelompok populasi yang berbeda. [35] Penelitian yang dilakukan oleh Suzanne C (2005) menyatakan bahwa terdapat perbedaan aktivitas fisik diantara kelompok tingkat pendidikan, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin jarang seseorang menghabiskan waktu untuk berjalan dan melakukan aktivitas fisik yang menggunakan beban tubuh. [36]

Tabel 4.6. Gambaran Pasien Osteoporosis di RSUP Fatmawati Jakarta Periode Januari 2011 – Juli 2014 Berdasarkan Indeks Massa Tubuh.

Variabel Kategori Frekuensi Persentase (%) Indeks Massa Tubuh Underweight 4 13.8 Normal 20 69.0 Overweight 3 10.3 Obesitas 2 6.9 Total 29 100

Berdasarkan tabel 4.6, dilihat dari indeks massa tubuh pasien osteoporosis didapatkan pasien osteoporosis terbanyak terdapat pada kategori Normal yaitu sebanyak 20 pasien (69,0%).

Indeks massa tubuh merupakan pengukuran antropometri untuk mengetahui status nutrisi, komposisi tubuh dan sel lemak tubuh. Indeks massa tubuh dapat menjadi tidak valid terhadap orang-orang tertentu seperti atlet dan orang dengan

aktivitas tinggi, selain itu pada orang tua indeks massa tubuh dapat menjadi rancu karena banyak penyakit yang dapat menyebabkan penurunan berat badan. Selain itu, indeks massa tubuh juga dikaitkan dengan banyak penyakit, salah satunya adalah osteoporosis. Indeks massa tubuh telah lama dikaitkan sebagai faktor risiko osteoporosis. Berdasarkan teori yang ada, bahwa indeks massa tubuh yang tinggi sebagai faktor protektif terhdap kejadian fraktur osteoporosis. BMI > 25kg/m2 memiliki kejadian rendah terjadinya osteoporosis. Diduga bahwa peningkatan berat badan yang mempengaruhi indeks massa tubuh disebabkan oleh massa lemak yang besar dimana lemak mempengaruhi tulang secara makroskopik.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarek Fawzy, et al (2011) mengenai hubungan antara indeks massa tubuh dan kepadatan mineral tulang pada pasien yang diperiksa dengan DXA di Ajman, UAE bahwa kepadatan tulang rendah pada 82,4% orang dengan indeks massa tubuh yang normal.[29] Selain itu penelitian yang dilakukan oleh AleemMardas K. (2013) mendukung hasil penelitian ini, dimana penderita osteoporosis terbanyak adalah pada kategori pasien dengan indeks massa tubuh normal (<25.0).[33] Penelitian Saravi, et al (2013) melaporkan bahwa tidak ada efek signifikan antara berat badan dan indeks massa tubuh, dimana 76,2% pasien dengan osteoporosis dan osteopenia memiliki indeks massa tubuh yang normal.[25]

Tabel 4.7 Status Gizi Dewasa (di atas 18 tahun) berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) Penduduk DKI Jakarta

Kategori Persentase (%)

Kurus 9.7

Normal 61.8

Berat badan lebih 12.3

Obesitas 16.2

Sumber : Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas 2010

Jika dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh Badan Litbangkes, Kemenkes RI, Riskesdas 2010. Status Gizi Dewasa (di atas 18 tahun) berdasarkan

39

Indeks Massa Tubuh (IMT) penduduk DKI Jakarta seperti terlihat pada tabel di atas. Mayoritas penduduk DKI Jakarta memiliki indeks massa tubuh dalam kategori normal yang memungkinkan pasien yang datang ke pusat kesehatan lebih banyak dengan indeks massa tubuh normal [37]

Dokumen terkait