• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yatim Mandiri Semarang

Dalam bab ini menguraikan tentang : A. Profil LAZ Yatim Mandiri Semarang: (1) Sejarah Singkat LAZ Yatim Mandiri Semarang, (2) Latar Belakang Berdirinya Yatim Mandiri, (3) Visi dan Misi LAZ Yatim Mandiri Semarang, (4) Struktur LAZ Yatim Mandiri, (5) Program Kerja LAZ Yatim Mandiri Semarang, (6) Prestasi LAZ Yatim Mandiri, (7) Legalitas LAZ Yatim Mandiri, (8) Latar Belakang Berdirinya Program MEC, (9) Tujuan Program Mandiri Entrepreneur Center (MEC) (10) Keunggulan MEC. (B) Proses Sosialisasi dan Rekruitmen Anggota Program MEC. (C) Pelaksanaan Program Mandiri Entrepreneur Center (MEC) di Lembaga Amil Zakat Yatim Mandiri Semarang,

BAB IV : Pendayagunaan ZIS dalam Pemberdayaan Anak Yatim melalui Program Mandiri Entrepreneur Center (MEC) di LAZ Yatim Mandiri Semarang. Dalam bab ini menguraikan tentang : (1) Analisis Pendayagunaan ZIS dalam Pemberdayaan Anak

Yatim melalui Program Mandiri Entrepreneur Center (MEC) di LAZ Yatim Mandiri Semarang, (2) Analisis Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Pemberdayaan Anak Yatim melalui Program Mandiri Entrepreneur Center (MEC) di LAZ Yatim Mandiri Semarang.

BAB V : Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan, saran dan penutup.

BAB II

PENDAYAGUNAAN ZIS DAN PEMBERDAYAAN

MUSTAHIQ PERSPEKTIF TEORITIS

A. Tinjauan Teoritis Pendayagunaan ZIS 1. Pengertian Pendayagunaan

Pendayagunaan berasal dari kata “Guna” yang berarti manfaat. Adapun pengertian pendayagunaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

a. Pengusahaan agar mampu mendatangkan hasil dan manfaat b. Pengusahaan agar mampu menjalankan tugas dengan baik.

Maka pendayagunaan adalah cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar dan lebih baik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005: 189).

Sedangkan pendayagunaan menurut para ahli adalah sebagai berikut: Menurut Asnaini (2008: 134) pendayagunaan zakat adalah mendistribusikan dana zakat kepada para mustahiq dengan cara produktif.

Zakat diberikan sebagai modal usaha, yang akan mengembangkan usahanya itu agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sepanjang hayat. Menurut Masdar (2004: 8) pendayagunaan adalah cara atau usaha distribusi dana lokasi dana zakat agar dapat menghasilkan manfaat bagi kehidupan. Pendayagunaan zakat berarti usaha untuk kegiatan yang saling berkaitan dalam menciptakan tujuan tertentu dari pengguna hasil

zakat secara baik, tepat dan terarah sesuai dengan tujuan zakat itu disyari‟atkan.

Dalam UU No. 23 Tahun 2011 pasal 27 tentang pendayagunaan zakat yaitu:

a. Zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dalam rangka penanganan fakir miskin dan peningkatan kualitas umat. b. Pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana di

maksud pada ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi.

c. Ketentuan lebih lanjut tentang pendayagunaan zakat untuk usaha produktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan menteri.

Maka dapat disimpulkan bahwa pendayagunaan adalah bagaimana cara atau usaha dalam mendatangkan hasil dan manfaat yang lebih besar serta lebih baik.

Agar pendayagunaan zakat dapat benar-benar sampai kepada orang-orang yang berhak menerimanya, proses pendayagunaan zakat perlu melibatkan manajemen. Artinya, proses penyaluran zakat kepada orang yang berhak menerimanya tidak boleh dilakukan secara dadakan, tanpa di-manage dengan baik. Oleh karena itu, dalam proses manajemen pendayagunaan zakat aspek-aspek yang harus diperhatikan diantaranya adalah perencanaan pendayagunaan zakat, pengorganisasian pendayagunaan zakat, pelaksanaan pendayagunaan zakat, dan evaluasi keberhasilan (Hasan, 2011: 89).

Pada sisi pendayagunaan, transparansi laporan perlu disampaikan kepada muzakki secara mendetil. Hal seperti ini, dianggap sangat penting dalam rangka meningkatkan kepercayaan muzakki terhadap pendayagunaan zakat oleh lembaga zakat. Proses pendayagunaan perlu diketahui secara transparan oleh muzakki, karena keberhasilan amil dalam mendayagunakan zakat tidak terlepas dari muzakki. Artinya, keberhasilan pengelolaan zakat bukan semata-mata faktor intern lembaga zakat, tetapi karena adanya hubungan yang relatif baik antara muzakki dengan lembaga zakat.

Kegiatan pendayagunaan zakat yang dapat diakses dan dirasakan oleh masyarakat, secara tidak langsung merupakan bentuk transparansi lembaga pengelola zakat. Karena itu, lembaga pengelola zakat dituntut memberikan pendayagunaan zakat secara berdayaguna kepada masyarakat. Kegiatan ini bertujuan agar masyarakat bisa menikmati secara langsung implikasi dari pendayagunaan zakat, sehingga masyarakat bisa menilai sendiri eksistensi lembaga pengelola zakat (Hasan, 2011: 96-97).

Transparansi diartikan penyampaian laporan secara terbuka kepada semua pihak. Transparan merupakan sifat terbuka dalam suatu pengelolaan melalui penyertaan semua unsur dalam pengambilan keputusan dan proses pelaksanaan kegiatan. Transparansi suatu pengelolaan dengan sendirinya sudah mencakup akuntabilitas suatu lembaga pengelola zakat, karena

kesiapan lembaga zakat untuk transparan merupakan salah satu indikator dari pertanggungjawabannya (Hasan, 2011: 93).

Transparansi dalam pendayagunaan zakat dapat dilakukan dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk transparansi terhadap personal dan kedua dalam bentuk transparansi terhadap publik. Bentuk pertama dilakukan terhadap person-person yang menjadi mitra kita (muzakki kita). Transparansi seperti ini perlu dilakukan, untuk meningkatkan kepercayaan muzakki terhadap lembaga zakat yang kita kelola. Karena dengan memberikan laporan secara transparan terhadap muzakki, maka muzakki akan merasa memiliki lembaga zakat yang menjadi mitra. Demikian juga, dia merasa harta zakatnya benar-benar telah sampai kepada para mustahiq. 2. Prinsip Pokok Penyaluran Zakat

Pengelolaan zakat “berasaskan syariat Islam” merupakan salah satu kata kunci dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat yang perlu dipahami dan dilaksanakan oleh seluruh amil zakat. Zakat harus didistribusikan dan didayagunakan atas dasar beberapa prinsip syariah sesuai QS At-Taubah ayat 60 dan beberapa Hadis Rasulullah SAW sebagai sumber hukum. Ijtihad dalam fiqih zakat hanya dilakukan dalam interpretasi mustahiq menurut kondisi setempat.

Dalam melaksanakan pendistribusian dan pendayagunaan zakat amil zakat wajib menerapkan prinsip kewilayahan, artinya zakat yang dihimpun di suatu daerah diberikan kepada mustahiq di daerah tersebut. Hal ini sesuai Hadis Rasulullah pada waktu

mengurus Mu‟adz bin Jabal ke Yaman dan member tugas untuk memungut zakat dari penduduk setempat. Pengelolaan zakat sesuai prinsip syariah tidak mengenal model sentralisasi pengumpulan zakat dalam arti zakat dari suatu daerah dihimpun secara sentral ke pusat.

Sejalan dengan prinsip syariah, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat menetapkan dalam pasal 25 dan 26 bahwa zakat wajib didistribusikan kepada mustahiq sesuai dengan syariat Islam, dan pendistribusian zakat dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan, keadilan, dan kewilayahan.

Pendistribusian dan pendayagunaan zakat perlu memperhatikan skala prioritas, yakni mendahulukan kelompok mustahiq yang paling memerlukan. Para ulama sepakat bahwa fakir dan miskin harus menjadi prioritas utama dalam pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Karena tujuan strategis pengelola zakat adalah untuk mengatasi masalah kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan di kalangan umat Islam (Hafidhuddin, 2013: 152-155).

3. Bentuk dan Sifat Pendayagunaan

Ada dua bentuk penyaluran dana zakat antara lain : (1). Bentuk sesaat, dalam hal ini berarti bahwa zakat hanya diberikan kepada seseorang satu kali atau sesaat saja. Dalam hal ini juga berarti bahwa penyaluran kepada mustahiq tidak disertai target terjadinya kemandirian ekonomi dalam diri mustahiq. Hal ini

dikarenakan mustahiq yang bersangkutan tidak mungkin lagi mandiri, seperti pada diri orang tua yang sudah jompo, orang cacat. Sifat bantuan sesaat ini idealnya adalah hibah. (2). Bentuk Pemberdayaan, merupakan penyaluran zakat yang disertai target merubah keadaan penerima dari kondisi kategori mustahiq menjadi kategori muzakki. Target ini adalah target besar yang tidak dapat dengan mudah dan dalam waktu yang singkat. Untuk itu, penyaluran zakat harus disertai dengan pemahaman yang utuh terhadap permasalahan yang ada pada penerima. Apabila permasalahannya adalah permasalahan kemiskinan, harus diketahui penyebab kemiskinan tersebut sehingga tidak dapat mencari solusi yang tepat demi tercapainya target yang telah dicanangkan.

Menurut Widodo (2001: 41), bahwa bentuk dan sifat pendayagunaan terdiri dari tiga yaitu : 1). Hibah, Zakat pada asalnya harus diberikan berupa hibah artinya tidak ada ikatan antara pengelola dengan mustahiq setelah penyerahan zakat. 2). Dana bergulir, zakat dapat diberikan berupa dana bergulir oleh pengelola kepada mustahiq dengan catatan harus qardhul hasan, artinya tidak boleh ada kelebihan yang harus diberikan oleh mustahiq kepada pengelola ketika pengembalian pinjaman tersebut. Jumlah pengembalian sama dengan jumlah yang dipinjamkan. 3). Pembiayaan, Penyaluran zakat oleh pengelola kepada mustahiq tidak boleh dilakukan berupa pembiayaan, artinya tidak boleh ada ikatan seperti shahibul ma'al dengan mudharib dalam penyaluran zakat.

4. Pemanfaatan Dana ZIS

Menurut M.Daud Ali (1988: 62-63) pemanfaatan dana zakat dapat dikategorikan sebagai berikut :

a. Pendayagunaan yang konsumtif dan tradisional sifatnya dalam kategori ini penyaluran diberikan kepada orang yang berhak menerimanya untuk dimanfaatkan langsung oleh yang bersangkutan seperti: zakat fitrah yang diberikan pada fakir miskin untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari atau zakat harta yang di berikan kepada korban bencana alam. b. Pendayagunaan yang konsumtif kreatif, maksudnya

penyaluran dalam bentuk alat-alat sekolah atau beasiswa dan lain-lain.

c. Pendayagunaan produktif tradisional, maksudnya penyaluran dalam bentuk barang-barang produktif, misalnya kambing, sapi, alat-alat pertukangan, mesin jahit, dan sebagainya. Tujuan dari kategori ini adalah untuk menciptakan suatu usaha atau memberikan lapangan kerja bagi fakir-miskin. d. Pendayagunaan produktif kreatif, pendayagunaan ini

mewujudkan dalam bentuk modal yang dapat dipergunakan baik untuk membangun sebuah proyek sosial maupun untuk membantu atau menambah modal seorang pedagang atau pengusaha kecil .

e. Pendayagunaan Dana Zakat

Pembicaraan tentang sistem pendayagunaan zakat, berarti membicarakan usaha atau kegiatan yang saling berkaitan

dalam menciptakan tujuan tertentu dari penggunaan hasil zakat secara baik, tepat dan terarah sesuai dengan tujuan zakat itu disyariatkan.

Pemanfaatan dana zakat baik kepada mustahiq konsumtif maupun kepada mustahiq produktif perlu mempertimbangkan faktor-faktor pemerataan (al-tamim) dan penyamaan (at-taswziyah). Di samping faktor tersebut, juga perlu memperhatikan tingkat kebutuhan yang nyata dari kelompok-kelompok mustahiq zakat, kemampuan penggunaan dana zakat, dan kondisi mustahiq, sehingga mengarah kepada peningkatan kesejahteraan. Khususnya kepada mustahiq produktif pemanfaatan dana zakat diarahkan agar pada gilirannya yang bersangkutan tidak lagi menjadi penerima zakat, tetapi akan menjadi pembayar zakat (Hasan, 2011: 88). B. Tinjauan Tentang Zakat, Infaq dan Ṣadaqah

1. Pengertian Zakat

Zakat diwajibkan pada tahun kedua Hijriah. Ibadah ini disyariatkan untuk menyucikan jiwa dan harta sebagai bentuk muamalah kepada Allah dan sesama manusia. Imam Nawawi berpendapat bahwa zakat akan menambah banyak sisa harta yang dizakati, membuat lebih berarti, dan melindungi kekayaan dari kebinasaan (Mu‟is, 2011: 21).

Zakat menurut bahasa, berarti nama’ berarti kusuburan, thaharah berarti kesucian, barakah berarti keberkatan dan berarti juga tazkiyah tathhir yang artinya mensucikan. Syara’ memakai kata tersebut untuk kedua arti ini. Pertama, dengan zakat

diharapkan akan mendatangkan kesuburan pahala. Karenanya dinamakanlah “harta yang dikeluarkan itu” dengan zakat. Kedua, zakat merupakan suatu kenyataan jiwa yang suci dari kikir dan dosa.

Abu Hasan Al-Wahidi mengatakan bahwa zakat mensucikan harta dan memperbaikinya, serta menyuburkannya. Menurut pendapat yang lebih nyata, zakat itu bermakna kesuburan dan penambahan serta perbaikan (Ash-Shiddieqy, 2012: 3-4).

Imam Asy Syarkhasi al Hanafi dalam kitabnya Al Mabsuth mengatakan bahwa dari segi bahasa „zakat‟ adalah tumbuh dan berkembang. Disebut “zakat”, karena sesungguhnya ia menjadi sebab bertambahnya harta di mana Allat Ta‟ala menggantinya di dunia dan pahala di akhirat (Arifin, 2011: 4).

Menurut Yusuf Qardhawi, dalam al-Quran kata zakat disebut sebanyak 30 (tiga puluh) kali. Sebanyak 8 (delapan) kali terdapat di dalam surat makkiyah dan sebanyak 24 kali terdapat dalam surat madaniyah. Kata zakat dalam bentuk ma’rifat disebutkan 30 (tiga puluh) kali di dalam al-Quran, di antaranya 27 kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak di dalam satu ayat, yaitu surat al-Mu‟minun (23): 1-4 (Hasan, 2011: 1).

Imam-imam mazhab seperti Malikiyah, Hanafiyah, Syafi‟iyah dan Hambali memiliki titik tekan yang sama dalam memaknai zakat. Malikiyah memaknai zakat sebagai

mengeluarkan sebagaian harta tertentu ketika telah sampai nisab kepada mustahiq, jika telah sempurna kepemilikannya dari halnya kecuali pada harta tambang dan hasil pertanian. Zakat bagi kelompok Hanafiyah adalah harta tertentu yang dikeluarkan menurut ketentuan syara’ untuk memperoleh ridha Allah Swt. Kelompok Syafi‟iyah memaknai zakat sebagai sebutan yang disandarkan kepada apa yang dikeluarkan dari harta (zakat mal) atau badan (zakat fitrah) kepada pihak tertentu. Sedangkan bagi kelompok Hambali zakat merupakan suatu hak yang diwajibkan pada harta tertentu di berikan kepada golongan pada zakat tertentu pula (Muhammad & HM, 2011: 12).

Sementara secara terminologis, Sayyid Sabiq mendefinisikannya sebagai suatu predikat untuk jenis barang yang dikeluarkan manusia, sebagai hak Allah, untuk dibagi-bagikan kepada fakir-miskin. Definisi serupa juga dikemukakan oleh Muhammad Zuhri al-Ghamrani, yakni bentuk predikat untuk suatu barang dalam kadar tertentu yang dikeluarkan guna mensucikan harta dan jasmani manusia (Djamal, 2002: 16), sesuai dengan firman Allah: “Ambillah zakat dari harta benda mereka untuk membersihkan dan mensucikan mereka” (Q.S. al-Taubat: 103).

Sedangkan menurut Taqiyuddin Abu Bakar mendefinisikan zakat sebagai berikut: “Sejumlah harta tertentu yang diserahkan kepada orang-orang yang berhak dengan syarta-syarat tertentu”. Rumusan definisi tersebut, bila dihubungkan dengan pengertian secara kebahasaan menunjukkan bahwa harta

yang dikeluarkan untuk berzakat akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang dan bertambah, suci dan baik (Hasan, 2011: 2).

Sedangkan secara terminologis di dalam fikih, zakat adalah sebutan atau nama bagi sejumlah harta tertentu yang diwajibkan Allah Swt. supaya diserahkan kepada orang-orang yang berhak (mustahiq) oleh orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat (muzakki) (Khasanah, 2010: 34).

Menurut Syara’, zakat adalah memberikan (menyerahkan) sebagian harta tertentu untuk orang tertentu yang telah ditentukan syara’ dengan niat karena Allah (Ridwan, 2013: 140).

Zakat merupakan al-‘ibadah al-maaliyah al-ijtimaa’iyah (ibadah di bidang harta yang memiliki nilai sosial). Meskipun tergolong ibadah mahdhah dalam tata cara perhitungan dan pembagiannya, nilai sosial dalam ibadah zakat begitu kental sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan sekelompok orang yang bertugas mengelola segala aspek perzakatan, tidak diserahkan pada individu masing-masing (Ridwan, 2011: 141).

Al-Mawardi dalam kitab Al-Hawi berkata:

Artinya: “Zakat merupakan sebutan untuk pengambilan tertentu dari harta tertentu , menurut sifat-sifat tertentu untuk diberikan kepada golongan tertentu.”

Berdasarkan keterangan di atas, zakat dapat dikatakan sebagai penjaminan sosial bagi kelompok masyarakat du’afa. Jadi, zakat adalah merupakan ibadah yang memiliki peran strategis dalam konteks, jangan hendaknya harta itu hanya berputar di antara

orang kaya saja, melainkan berputar juga di kalangan du’afa yang berfungsi sebagai ekonomi keumatan yang akan memberikan dampak kemakmuran bagi orang banyak (Zuhri, 2012: 5), sesuai petunjuk distribusi zakat dalam al-Qur‟an surat at-Taubah: 60. Zakat diwajibkan kepada seseorang bila:

a. Orang tersebut beragama Islam

b. Dia adalah orang merdeka, bukan budak

c. Dia memiliki kekayaan yang mencapai nishab, yang merupakan jumlah minimal kekayaan yang harus dizakati. d. Kekayaan tersebut harus:

1) Sepenuhnya milik sendiri setelah dikurangi utang

2) Kelebihan dari kebutuhan primer yang dia perlukan (pakaian, rumah dan alat rumah tangga, mobil, perlatan dan lain-lain ysng digunakan sendiri

3) Kekayaan ini dimiliki selama setahun penanggalan Islam, yaitu melewati haul

4) Bersifat produktif dan si pemilik memperoleh laba darinya (al-Syaikh, 2008: 55).

2. Pengertian Infaq dan Ṣadaqah

Infaq berasal dari kata nafaqa, yang berarti telah lewat, berlalu, habis, mengeluarkan isi, menghabiskan miliknya, atau belanja (Ridwan, 2013: 143). Kata infaq dapat berarti mendermakan atau memberikan rezeki (karunia Allah SWT) atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan karena Allah semata. Dari dasar al-Qur‟an, perintah infaq

mengandung dua dimensi, yaitu: 1) infaq diwajibkan secara bersama-sama dan 2) infaq sunah yang sukarela (Suyitno, 2005: 12).

Dalam al-Qur‟an dapat dilihat dalam surat al-Baqarah : 195































Artinya: Infakkan olehmu pada jalan Allah, jangan kamu campakkan dengan tangan-tanganmu kedalam kebinasaan, dan berbuat ihsanlah kamu, bahwa Allah mengasihi orang-orang yang berbuat ihsan.

Infaq adalah pengeluaran sukarela yang dilakukan oleh seseorang, setiap kali ia memperoleh rezeki, sebanyak yang dikehendakinya sendiri. (Ali, 1988: 23).

Abdul Jabbar dan Buspida Chaniago menulis bahwa infaq adalah mengeluarkan nafkah wajib untuk kepentingan keluarga secara rutin atau untuk kepentingan umum yang bersifat insidentil dan temporal (sewaktu-waktu) sesuai dengan kemampuan dan keadaan yang menghendaki. Alasan yang menjadikan infaq adalah wajib terletak pada esensi infaq yang disebutkan dalam al-Qur‟an secara bersamaan dengan kata shalat dan zakat. Perbedaan dengan zakat hanya dinilai dari waktu pengeluarannya. Zakat ada batasan dan musiman, sedangkan infaq diberikan bisa terus-menerus tanpa batas bergantung dengan keadaan.

Ketegasan hal tersebut juga ditulis Robinson Malian, et al, dengan konsep dasar bahwa istilah infaq berarti mengeluarkan sebagian dari harta atau pendapatan/penghasilan untuk sesuatu kepentingan yang diperintahkan ajaran Islam.

Menurut Robinson Malian (2004: 3-4) jika zakat ada nishabnya, sedangkan infaq tidak ada nishabnya. Infaq dikeluarkan oleh setiap yang beriman, baik yang berpenghasilan tinggi maupun rendah, apakah di saat ia lapang maupun sempit (surat Ali Imron: 134). Jika zakat harus diberikan kepada mustahiq tertentu (delapan asnaf), maka infaq boleh diberikan kepada siapa pun juga, misalnya untuk kedua orang tua, anak yatim, dan sebagainya (Al-Baqarah: 215).

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa infaq pada dasarnya sama dengan zakat yang diwajibkan atas kekayaan umat. Zakat diberikan dengan ketentuan kadar, jenis dan jumlah yang permanen sampai hari akhir, sedangkan infaq tidak ditentukan kadar dan jumlahnya dan dapat terus berkembang dan berubah menurut kepentingan maslahah mursalah secara demokratis.

Sedangkan ṣadaqah berarti mendermakan sesuatu kepada orang lain. ṣadaqah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, maksudnya ṣadaqah merupakan wujud dari ketaqwaan seseorang, bahwa orang yang berṣadaqah adalah orang yang membenarkan pengakuannya sebagai orang yang bertaqwa melalui amal perbuatan positif kepada sesamanya, baik berupa derma atau yang lain (Budiman, 2012: 34).

Dalam istilah syari‟at Islam, ṣadaqah (dalam bahasa Indonesia sedekah) sama dengan pengertian infaq, termasuk juga hukum dan ketentuan-ketentuannya. Sisi perbedaan hanya terletak pada bendanya. Artinya, infaq (infak) berkaitan dengan materi, sedangkan ṣadaqah (sedekah) berkaitan dengan materi dan non materi, baik dalam bentuk pemberian benda atau uang, tenaga atau jasa, menahan diri untuk tidak berbuat kejahatan, mengucapkan takbir, tahmid, tahlil, bahkan yang paling sederhana adalah tersenyum kepada orang lain dengan ikhlas.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ṣadakah adalah keseluruhan amal kebaikan yang dilakukan setiap muslim untuk menciptakan kesejahteraan sesama umat manusia, termasuk untuk kelestarian lingkungan hidup dan alam semesta ciptaan ilahi guna memperoleh hidayah dan ridha Allah SWT (Suyitno, 2005: 15-16). Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Lail ayat 5-7:























Artinya : “Maka barang siapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga), maka akan Kami mudahkan baginya jalan menuju kemudahan (kebahagiaan).”(Depag RI, 2002: 596)

3. Kedudukan Zakat dalam Islam

Salah satu mukjizat agama Islam juga salah satu yang menunjukkan agama ini dari Allah Swt dan sebagai syariah penutup yang abadi, bahwa agama Islam sudah berabad-abad dan memberi perhatian dalam mengatasi kemiskinan, tanpa paksaan dari fakir miskin secara pribadi maupun kelompok ketika menuntut haknya. Perhatian yang begitu mulia ini juga bukan hal baru dalam ajaran Islam, tetapi merupakan asas istimewa dan prinsip kuat dari Agama Islam, tetapi merupakan asas istimewa dan prinsip kuat dari agama Islam. Karena itu, tidaklah heran jika zakat yang dijadikan Allah sebagai jaminan hak fakir miskin pada harta umat menjadi pilar atau rukun ketiga dalam Islam, syiar terbesarnya, dan ibadah tertingginya.

Dalam hadis Ibnu Umar yang masyhur mutafak alaih dinyatakan bahwa Nabi Saw. Bersabda: “Islam itu dibangun di atas lima perkara, syahadat bahwasannya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadan dan berhaji ke Baitullah bagi yang mampu perjalanannya”.

Al Qur‟anul Karim menjadikan zakat berikut taubat dari syirik dan mendirikan shalat sebagai pertanda masuk Islam, mencapai persuadaraan sesame muslim, dan bergabungnya dalam masyarakat muslim (Qardhawi, 2010: 88-89).

Zakat (termasuk juga Infaq dan ṣadakah) adalah suatu konsepsi ajaran Islam yang mendorong orang Islam untuk

mengasihi sesama (compassion), mewujudkan keadilan sosial (social justice), serta berbagi dan mendayakan masyarakat, selanjutnya untuk mengentaskan kemiskinan (to relieve the poor) (Arifin, 2011: 27).

Orientasi zakat memiliki tujuan yang sangat jelas, yakni memberdayakan kaum yang masih tertinggal serta mencukupi kebutuhan sosial kaum yang membutuhkan. Kesinambungan konsep ini terintegrasi melalui lembaga amil atau badan yang mengurusi zakat (Ridwan, 2004: 190).

Zakat adalah sebuah kewajiban individu (fardhu ‘ain), yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim yang memiliki harta tertentu diambil oleh para petugas zakat.

Zakat adalah al-ibadah al-maaliyah al-ijtima’iyyah, yaitu ibadah bidang harta yang memiliki posisi serta kedudukan yang sangat penting dan strategis dalam meningkatkan kesejahteraan umat untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari pemenuhan kebutuhan ekonomi, kesehatan, dan lain-lain. Zakat juga memiliki fungsi untuk mendorong kejujuran dalam melakukan kegiatan ekonomi. Zakat juga bisa digunakan untuk mengoptimalkan kegiatan dakwah penegakan kalimatullah. Sebagaimana firman Allah QS. Al-Baqarah ayat 273:

                  

            

Artinya: (Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang

Dokumen terkait