B. Sistem Pengukuran Kinerja
1. Gambaran mengenai sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output dan
outcome (kuantitas, kualitas, dan kehematan)
2. Gambaran mengenai langkah-langkah yang dilaksanakan dalam menghasilkan barang atau jasa (frekuensi proses, ketaatan terhadap jadwal dan ketaatan terhadap ketentuan/standar)
3. Gambaran mengenai output dalam bentuk barang atau jasa yang dihasilkan dari suatu kegiatan (kuantitas, kualitas, dan efisiensi)
4. Gambaran mengenai hasil aktual atau yang diharapkan dari barang atau jasa yang dihasilkan (peningkatan kuantitas, perbaikan proses, peningkatan efisiensi,
peningkatan kualitas, perubahan perilaku, peningkatan efektivitas, dan peningkatan pendapatan)
5. Gambaran mengenai akibat langsung atau tidak langsung dari tercapainya tujuan. lndikator dampak adalah indikator outcome pada tingkat yang lebih tinggi .
Menentukan indikator kinerja suatu organisasi memerlukan suatu proses langsung yang meliputi penyaringan yang berulang-ulang, kerjasama, dan pengembangan konsensus serta pemikiran yang hati-hati. Penetapannya wajib menggunakan prinsip kehati-hatian, kecermatan, keterbukaan, dan transparansi guna menghasilkan informasi kinerja yang handal. Indikator kinerja pada setiap tingkatan organisasi meliputi indikator keluaran (output) dan hasil (outcome). Pada petunjuk penyusunan indikator kinerja utama yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN), indikator kinerja ditentukan dengan tatanan sebagai berikut: Pada tingkat kementerian Negara/Departemen/Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya menggunakan indikator hasil (outcome) sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsinya. Pada organisasi setingkat eselon I menggunakan indikator hasil (outcome) dan atau keluaran (output) yang setingkat lebih tinggi dari keluaran (output) kerja di bawahnya. Pada organisasi setingkat eselon II/ kerja mandiri sekurang-kurangnya menggunakan indikator keluaran (output).
Dengan memperhatikan persyaratan dan kriteria indikator kinerja, maka langkah-langkah yang umum dalam penentuan Indikator kinerja organisasi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap pertama, klarifikasi apa yang menjadi kinerja utama, pernyataan hasil
(result statement) atau tujuan/sasaran yang ingin capai. Suatu indikator kinerja yang baik, diawali dengan suatu pernyataan hasil yang dapat dimengerti atau dipahami orang banyak. Untuk dapat menghasilkan pernyataan hasil yang baik dan dapat dimengerti/dipahami orang banyak, perlu diperhatikan hal-ha1 sebagai berikut:
1. Secara hati-hati tentukan hasil yang akan dicapai. 2. Hindari pernyataan hasil yang terlalu luas/makro. 3. Pastikan jenis perubahan yang dimaksudkan. 4. Pastikan dimana perubahan akan terjadi.
5. ldentifikasikan target khusus perubahan dengan lebih cepat.
Tahap kedua, menyusun daftar awal Indikator Kinerja Utama. Terdapat
beberapa jenis indikator kinerja yang dapat digunakan untuk mengukur suatu
outcome, namun dari indikator-indikator kinerja tersebut biasanya hanya beberapa
indikator saja yang dapat digunakan dengan tepat. Daftar awal indikator kinerja ini disusun setelah mengidentifikasikan kebutuhan-kebutuhan akan informasi kinerja dan kewajiban-kewajiban pelaporan akuntabilitas, dengan memperhatikan hal-ha1 yang diuraikan di dalam kerangka kerja penyusunan indikator kinerja di atas. Proses identifikasi dapat dimulai dari hal-ha1 yang terkecil, misalnya pada tingkat kegiatan. Penyusunan daftar awal indikator kinerja ini paling tidak sudah dapat menyebut nama atau judul indikator dan untuk apa indikator itu diperlukan (rasional, atau alasan mengapa diperlukan). Dalam menyusun daftar awal indikator kinerja, perlu dilakukan hal-ha1 sebagai berikut:
1. Brainstorming internal oleh tim perumus.
2. Konsultasi dengan para ahli di bidang yang sedang dibahas.
3. Menggunakan pengalaman pihak lain dengan kegiatan yang sama atau sejenis.
Tahap ketiga, melakukan penilaian setiap IKU yang terdapat dalam daftar awal
indikator kinerja. Setelah berhasil membuat daftar awal IKU, langkah selanjutnya adalah melakukan evaluasi setiap indikator yang tercantum dalam daftar awal indikator kinerja. Evaluasi dilakukan dengan membandingkan setiap indikator kinerja dalam daftar dengan kriterianya. Dengan skala yang sederhana, misalnya satu sampai lima, setiap indikator kinerja yang dievaluasi dapat ditetapkan nilainya. Pemberian nilai ini akan memberikan pemahaman yang menyeluruh terhadap kepentingan masing-masing indikator yang dievaluasi dan membantu proses pemilihan indikator yang paling tepat. Pendekatan dengan metode ini harus diterapkan secara fleksibel dan dengan pertimbangan yang matang, karena setiap kriteria tidak memiliki bobot yang sama.
Tahap keempat, memilih IKU. Sumber data kinerja tahap akhir dari proses ini
adalah memilih IKU. Indikator-indikator kinerja tersebut, harus disusun dalam suatu set indikator yang optimal yang dapat memenuhi kebutuhan manajemen, yaitu informasi yang berguna dengan biaya yang wajar. Dalam pemilihan ini harus selektif. Pilihlah indikator kinerja yang dapat mewakili dimensi yang paling rnendasar dan penting dari setiap tujuan/sasaran. Kerangka kerja penyusunan seperangkat IKU merupakan keseluruhan pola tindak mulai dari identifikasi dan pengumpulan sejumlah
indikator pada daftar awal (list) yang diusulkan sampai pada penilaian, seleksi pemilihan, penentuan pemilihan, penetapan resmi dan pengorganisasian penerapannya. Kerangka kerja ini merupakan inti dari petunjuk ini agar dapat dihasilkan indikator-indikator yang baik dalam proses ini.
Pencetus dan ahli Balanced Scorecard yaitu Kaplan dan Norton telah menganjurkan bahwa penggunaan IKU tidak boleh lebih dari 20 parameter. Adapun Hope dan Fraser (Moeheriono, 2011) menganjurkan kurang dari 10 parameter. Moeheriono (2011) dalam bukunya “Indikator Kinerja Utama” mengatakan bahwa dalam pemerintahan penilaian kinerja sangat berguna untuk menilai kuantitas, kualitas, dan efisiensi pelayanan dan motivasi birokrat pelaksana untuk melakukan pekerjaan lebih baik lagi. Organisasi publik memiliki stakeholder yang lebih banyak dan kompleks dari pada organisasi privat atau swasta. Stakeholder organisasi publik seringkali memiliki kepentingan yang berbenturan satu sama lainnya. Akibatnya ukuran kinerja organisasi publik di mata para stakeholder akhirnya juga berbeda-beda. Banyak birokrasi menempatkan pencapaian target sebagai ukuran kinerja, sedangkan masyarakat sebagai pengguna jasa, lebih suka kualitas layanan sebagai ukuran kinerja.
Ada tiga konsep yang dapat digunakan mengukur kinerja organisasi publik (Moeheriono, 2011) yaitu:
1. Responsivitas (responsiveness), yaitu menggambarkan kemampuan organisasi publik dalam menjalankan misi dan tujuannya adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
2. Responsibilitas (responsibility), yaitu pelaksanaan kegiatan organisasi publik dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan secara implisit maupun eksplisit.
3. Akuntabilitas (accountability), yaitu menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik yang diharapkan dari masyarakat, bisa berupa penilaian dari wakil rakyat, pejabat, dan masyarakat.
Pemerintah telah menyusun alat ukur untuk mengukur kinerja pelayanan publik secara eksternal melalui keputusan Menpan nomor 25/KEP/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Pelayanan Instansi Pemerintah. Berdasarkan keputusan tersebut terdapat 14 indikator kriteria pengukuran kinerja organisasi, yaitu:
1. Prosedur Pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan.
2. Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya.
3. Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung jawabnya). 4. Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang berlaku.
5. Tanggung jawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan.
6. Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan ketrampilan yang dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada masyarakat. 7. Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam waktu
yang telah ditentukan oleh penyelenggara pelayanan.
8. Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani.
9. Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling menghargai dan menghormati.
10. Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya biaya yang ditetapkan oleh pelayanan.
11. Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan biaya yang telah ditetapkan.
12. Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
13. Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima pelayanan.
14. Keamanan Pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap risiko-risiko yang diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
C. Aplikasi Sistem Pengukuran Kinerja 1. Aspek Pengukuran Kinerja Organisasi
Dari beberapa sistem pengukuran yang dibuat para pakar tersebut terlihat aspek pengukuran kinerja yang bervariasi. Beberapa contoh aspek pengukuran kinerja pada sistem pengukuran kinerja yang dibuat para pakar dapat dilihat pada Tabel 3.
Perbedaan jumlah dan jenis tinjauan aspek dalam sistem pengukuran kinerja yang telah ada memberikan informasi bahwa aspek pengukuran kinerja tergantung dari sifat, maksud/tujuan pendirian, visi dan misi serta kebutuhan organisasi. Organisasi non profit berbeda dengan organisasi yang berorientasi pada profit. Meskipun aspeknya dapat sama tetapi tinjauannya dapat berbeda seperti aspek keuangan. Aspek keuangan pada organisasi non profit meninjau efisiensi kegiatan, sedangkan aspek keuangan pada organisasi profit menekankan pada penjualan dan laba.
Tabel 3 Aspek Pengukuran Kinerja
Sistem Pengukuran Kinerja Aspek Pengukuran Kinerja
Balance Scorecard 1. Financial
2. Internal Business Processes 3. Learning & Growth
4. Customer
Integrated Performance Measurement System (IPMS)
1. Bisnis induk 2. bisnis 3. Proses bisnis 4. Aktivitas
Performance Prism 1. Stakeholder Satisfaction
2. Pelanggan 3. Karyawan 4. Pemilik Modal
5. Supplier
6. Pemerintah dan masyarakat 7. Rencana Strategis
8. Proses
9. Capabilities
Sistem Pengukuran Kinerja Aspek Pengukuran Kinerja
Strategic Management Analysis and Reporting Technique (SMART)
1. Keuangan 2. Pasar 3. Produktivitas 4. Fleksibilitas 5. Pelanggan 6. Biaya 7. Waktu Proses 8. Pengiriman 9. Kualitas
Malcolm Baldrige National Quality Award (MBNQA) / Malcolm Baldrige Criteria for Performance Exellence (MBCfPE)
1. Kepemimpinan 2. Perencanaan Strategis 3. Fokus Pasar dan Pelanggan
4. Pengukuran, Analisis dan Manajemen Pengetahuan
5. Fokus Sumber Daya Manusia 6. Manajemen Proses
7. Keunggulan Kinerja. Organisasi Non profit
(Moheriono,2011)
1. Pengurus, Pembina, Penasehat Yayasan 2. Keuangan
3. Pelayanan
4. Hubungan Internal Manajemen Kinerja koorporasi dan
Organisasi (Wibisono, 2011) 1. Investor 2. Pelanggan 3. Pemerintah 4. Komas 5. Pegawai Aspek Pengukuran Kinerja (David
Parmenter dalam Moheriono, 2011)
1. Keuangan 2. Pelanggan 3. Internal
4. Pembelajaran dan pertumbuhan 5. Lingkungan komas
6. Kepuasan karyawan