• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Pendidikan Religiositas Bersama Pak Sartana

Model Pendidikan Agama untuk Masyarakat Majemuk yang Diajukan Masyarakat

B. Pendidikan Religiositas Kasus SMA BOPKRI I Jogjakarta 1 Konteks Pendidikan Religiositas di SMU BOPKRI I

B.3. Gambaran Pendidikan Religiositas Bersama Pak Sartana

“Mengapa Agama Tidak Satu Saja?” Pertanyaan di atas muncul di sebuah kelas yang sangat bergairah saat pelajaran agama. Kelas itu sedang berdiskusi dengan tema kitab suci agama-agama. Pertanyaan semacam ini dalam pelajaran agama, mungkin terasa aneh di kelas- kelas lain di sekolah yang lain. Tapi di kelas itu, pertanyaan ini tidak menjadi suatu yang asing, bahkan wajar karena masih banyak pertanyaan atau ungkapan-ungkapan yang lahir dari suatu cara berpikir yang boleh dibilang tidak biasa dalam soal agama. Pertanyaan atau ungkapan

74

Tabitha Christiany adalah Dosen Fakultas Teologi UKDW, selama ini mengembangkan sekaligus mengajar Pendidikan Agama Kristen tidak hanya pada mahasiswa teologi UKDW tapi juga dalam berbagai penataran, seminar mengenai pendidikan agama Kristen. Mendapat gelar doktor dalam bidang Pendidikan Agama Kristen.

75

Ulasan pada bagian potret ini pernah dimuat dalam kolom didaktika harian “Kompas” 24 November 2004

senada hanya bisa muncul dalam situasi yang memungkinkan, yaitu ketika para siswa diberi kesempatan berpikir alternatif dari cara-cara berpikir yang biasa dikembangkan dalam pelajaran agama apapun.

Di kelas satu dan kelas tiga SMU BOBKRI I Jogjakarta ini sejak tiga tahun lalu, siswa tidak dilibatkan dalam perdebatan mana dulu yang harus diprioritas antara hak menerima pelajaran agama sesuai yang dianut siswa, atau hak berkaitan dengan otonomi yayasan untuk membuat aturan di sekolah. Adalah Pak Sartana, guru agama yang mencoba mempraktekkan model pembelajaran alternatif bagi sekolah-sekolah yang mempunyai persoalan berkaitan dengan keragaman agama yang dianut siswa-siswinya. Ia bukan tidak mengalami hambatan untuk mengusung gagasan dan model pendidikan agama seperti ini. Pendidik sekaligus pengamat masalah-masalah pendidikan ini pun harus berjuang meyakinkan pihak Kepala Sekolah dan Guru-Guru maupun siswa yang sudah terbiasa dengan cara model pelajaran agama yang terpisah-pisah sesuai dengan kelompok agama siswa. Beruntung bahwa sebelumnya, pihak yayasan telah menghapus ketentuan yang mewajibkan siswa mengikuti pelajaran agama Kristen apa pun agama yang dianut siswa, sehingga peluang untuk mencoba model pendidikan agama alternatif ini bisa diwujudkan.

Pelajaran agama di kelas satu dan kelas tiga SMU BOBKRI I Jogjakarta, siswa-siswa tidak dipisahkan dalam kelompok-kelompok sesuai agama yang dianut mereka. Bukan mata pelajaran Agama Kristen yang diajarkan, meski sekolah ini milik Yayasan dengan latar belakang agama Kristen Protestan. Mengingat sekolah ini menerima siswa yang beragama apa saja yang ada dalam masyarakat, pelajaran agama diselenggarakan dengan memperkenalkan beberapa aspek dalam agama-agama yang dianut siswa-siswa yang beragam itu secara bersama-sama. Para siswa, apa pun agamanya mempelajari sejarah, pokok-pokok ajaran, ritual atau cara beribadat dan tentang tokoh-tokoh dan kitab-kitab suci agama Hindu, Budha, Kristen, Islam, Konghuchu bahkan Sinto, hingga agama-agama suku. Ada buku yang dijadikan bahan bacaan yang mendukung model alternatif pelajaran agama seperti ini: Pendidikan Religiositas, Mewujudkan Hi-dup Beriman dalam Masyarakat, sebuah buku yang diterbitkan oleh Majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang.

Di awal tahun ajaran, siswa telah membentuk kelompok-kelompok tetap dalam pelajaran agama untuk membahas jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan suatu materi yang dirumuskan oleh moderator atau yang dirumuskan secara bersama para siswa sendiri dalam

pelajaran agama. Setiap siswa mendapat giliran menjadi moderator yang bertugas bukan hanya memimpin jalannya diskusi, tetapi juga harus mampu merumuskan pertanyaan dari materi yang telah dia pelajari, untuk kemudian dibagikan pada kelompok-kelompok secara acak, selanjutnya didiskusikan dan dibahas kembali di kelas. Moderator diberi kewenangan besar oleh Guru untuk berkreasi agar seluruh siswa bisa berdiskusi secara aktif.

Kebersamaan dalam perbedaan untuk mempelajari beragam agama ini terseleng-gara, bukan lantaran ada latar belakang yang bersifat teknis saja, misalnya pihak sekolah tidak ingin repot harus menyediakan guru agama sebanyak agama-agama yang dianut siswa-siswanya. Tidak bisa disangkal, pilihan model belajar agama seperti ini mempunyai signifikansi lain, yaitu untuk mengajak siswa menghadapi realitas keragaman dalam masyarakat dengan santun dan adil, tanpa beban-beban batin yang muncul karena pra-sangka dan salah pengertian antar kelompok keagamaan. Para siswa tidak hanya belajar tentang apa dan bagaimana itu agama-agama, tetapi juga tentang nilai menghormati perbedaan dengan membangun pengertian yang mendalam, sehingga muncul rasa asih karena pengertian itu.

Belajar agama-agama yang berbeda yang dilakukan oleh siswa dari berbagai agama seperti ini barangkali sulit dibayangkan oleh masyarakat yang terbiasa dengan model pembelajaran agama standar di sekolah-sekolah di Indonesia; suatu agama hanya untuk diketahui dan dipelajari oleh pemeluknya saja. Pertanyaan yang sering muncul dari kelompok masyarakat yang konservatif dalam soal keagamaan adalah, bagaimana mung-kin membahas suatu agama yang didalamnya terdapat keyakinan yang berbeda-beda secara bersama-sama, dengan sungguh- sungguh meyakinkan? Apakah tidak ada reduksi ‘keimanan’ dan apakah hal itu tidak menimbulkan persoalan identitas?

Banyak siswa yang merasa, pelajaran agama dengan model pembelajaran sebagai-mana diampu oleh Pak Sartana, menjadi arena refreshing. Para siswa itu tampak sangat lincah. Tidak tampak sedikit pun guratan kebosanan di wajah mereka. Dalam sikap duduk yang santai di kursi yang ditata melingkar, atau di lain hari terkadang pelajaran di kelas diselenggarakan dengan cara lesehan beralas karpet, keseriusan tampak jelas menggum-pal di kepala anak-anak muda yang sangat segar ini tanpa membuang ekspresi khas remaja, usil dengan berbagai banyolan dan olok- olok. Ketika membahas soal ‘Ajaran Agama membawa Kemerdekaan Sejati’ misalnya, bukan hanya nama-nama seperi Sidharta, Yesus, Nabi Muhammad atau Gandhi saja yang muncul, ada pula nama orang-orang yang dekat dengan kehidupan mereka seperti David Beckham atau Inul.

Maka tidak heran ketika banyak teman seusia mereka sangat jengah bila diajak bicara tentang agama, mereka justru bersedia menguras perhatian untuk mendiskusikannya.

Pelajaran agama (-agama) di kelas Pak Sartana jauh dari perbincangan normatif. Di luar materi yang membahas pengetahuan agama-agama, pelajaran ini menjadi ‘forum curhat resmi’. Para siswa bisa spontan mengeluarkan berbagai unek-unek mereka tentang kehidupan mereka yang sangat pribadi sekali pun. Ketika membahas soal penderitaan manusia bukan hanya tentang penderitaan Nabi Ayub, penderitan seorang Ibu membe-sarkan anak atau persoalan kesenjangan sosial, atau hal-hal monoton yang sering dibahas dalam renungan-renungan tentang solidaritas sosial. Persoalan diputus pacar, kehausan karena main bola saat bulan puasa, soal hubungan dengan orang tua atau kesulitan diterima oleh orang-orang sekitar adalah hal-hal yang mendaratkan bahasa agama yang melangit bagi para siswa. Tentu saja bukan hanya komentar yang bijak, gurauan-gurauan pun tumpah di forum yang diformat menjadi milik mereka.

Para siswa merumuskan persoalan yang dihadapi dalam pengalaman hidupnya sendiri dalam ragam pola berpikir yang sempat mereka temui. Berbagai aspek keagamaan dimaknai sesuai dengan karakter yang tumbuh sebagai hasil temuan mereka sehari yang dipenuhi banyak pertanyaan. Bagi para siswa di sini, berpikir tentang agama tidak bisa lepas dari persoalan mereka yang hidup di tengah berbagai perubahan sosial dan batas-batas identitas yang makin lentur dan menipis.

Di Kelas Agama dengan model belajar alternatif ini seorang siswa yang berasal dari latar budaya dan agama yang berbeda bisa menerangkan secara sangat berempati tentang simbol, maupun konsistensi pemaknaan simbol dari kelompok agama lain. Misal-nya ketika ada pertanyaan tentang mengapa ada perempuan muslim berjilbab tetapi mela-kukan hal yang jelas- jelas dilarang oleh agamanya. Di mana letak kesalahan orang itu dalam memahami agama. Sebagian siswa berpendapat bahwa orang yang menggunakan simbol-simbol agama, mesti mempunyai cara hidup sesuai dengan ajaran agama tersebut. Tetapi seorang siswa berujar, “Orang-orang berjilbab yang seperti itu, sebagaimana orang-orang Katolik yang tiap minggu mendapat hosti, atau mereka yang menggunakan anting atau liontin salib, harus punya takaran kepantasan, pantas tidak dia melakukan ini atau itu. Kita tidak bisa menilai soal dosa, tetapi ada banyak hal supaya orang bisa berperilaku sesuai ajaran agamanya”, demikian menurut remaja putri yang tampak masih sangat belia.

Active learning, adalah prinsip yang hendak digalakan di kelas Pak Sartana, yang menekankan pentingnya menumbuhkan kemampuan siswa untuk merumuskan perta-nyaan, menemukan jawaban dan merefleksikan dalam kehidupan mereka. Dalam prinsip ini perlu ada keyakinan bahwa semua siswa pada dasarnya cerdas, apa pun pola pikirnya. Kepercayaan yang diberikan ini akan menumbuhkan rasa percaya diri yang kuat, se-hingga siswa mampu menawarkan pemikiran alternatif, dan dengan demikian mereka makin merasa eksis, sesuatu yang sangat penting dalam proses pertumbuhan kepribadian.

Di kelas pelajaran agama yang plural ini, para siswa seolah diajak memasuki mi-niatur kehidupan bersama dalam masyarakat. Di sana tidaklah mungkin memaparkan ke-unggulan salah satu agama dari yang lain, sama tidak mungkinnya memperbincangkan kejelekan suatu agama menurut sudut pandang agama lain. Persoalan identitas pun men-jadi bukan sesuatu yang dipuja. Tidak mungkin bukan karena tidak ada kesempatan, te-tapi pertimbangan adanya tuntutan untuk menumbuhkan rasa hormat dan asih pada se-mua orang yang berbeda, termasuk beda agama ini, mau tidak mau membutuhkan format pelajaran tertentu yang menempatkan semua agama dan keyakinan berdiri sejajar. Cara berfikir yang menempatkan agama-agama dalam posisi sejajar seperti ini bagi sebagian generasi orang tuanya barangkali tidak memuaskan, kurang berkobar-kobar, kalau tidak bisa dikatakan kurang fanatik. Tetapi inilah salah satu alternatif bagi suatu kebutuhan dalam masyarakat yang plural yang mungkin untuk direalisasikan.

Dokumen terkait