• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanian merupakan salah satu sektor yang mempunyai peranan penting dalam struktur perekonomian di Kabupaten Ermera. Hal ini ditandai dengan pemanfaatan lahan oleh sektor pertanian dan jumlah rumah tangga yang bermata pencaharian di sektor pertanian. Sebagai daerah pertanian, ada sejumlah tanaman tropis dapat berkembang baik di Kabupaten Ermera seperti tanaman padi, palawija, hortikultura dan perkebunan. Tanaman perkebunan khususnya tanaman kopi merupakan komoditas yang secara historis banyak diusahakan sebagai sumber pendapatan petani dan keluarganya. Mayoritas rumah tangga (27%) di Kabupaten Ermera menggantungkan hidupnya pada usahatani kopi, disamping tanaman pertanian lain, peternakan dan buruh.

Penggunaan lahan di Kabupaten Ermera, Timor-Leste didominasi oleh sektor pertanian dengan luas 53,435.01 hektar atau sekitar 71 persen dari total wilayah Kabupaten Ermera. Hal ini menandakan bahwa pemanfaatan lahan untuk pertanian di Kabupaten Ermera cukup tinggi. Adapun penggunaan lahan menurut peruntukkannya seperti pada Tabel 4.

Tabel 4 Pemanfaatan lahan di Kabupaten Ermera, 2013

No Penggunaan Lahan Luas Lahan (ha) Persen (%)

1 Perkebunan kopi 19201.00 35.94

2 Sawah 2163.55 4.05

3 Ladang (kebun) 14417.00 26.98

4 Kolam (perikanan) 24.06 0.05

5 Hutan dan rawa 12253.00 22.93

6 Pekarangan 5376.40 10.05

Total 53435.01 100

Sumber: Dinas Pertanian Kabupaten Ermera, 2014

Dari tabel terlihat bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang mendominasi dalam pemanfaatan lahan di Kabupaten Ermera dengan perkebunan sebagai sub-sektor paling luas (35.94%), diikuti hutan dan rawa (22.93%) sedangkan pemanfaatan lahan paling sempit adalah perikanan darat atau kolam ikan air tawar (0.05%). Hal Ini mengindikasikan bahwa pertanian menjadi sektor yang sangat dominan dalam pemanfaatkan lahan dan juga sangat penting bagi perekonomian masyarakat di kabupaten ini. Sementara areal kopi yang berkembang di Kabupaten Ermera hingga akhir tahun 2013 adalah 31616 ha dengan produksi 3615 ton (produktivitas = 171 kilogram). Hal ini menunjukkan bahwa telah ada perluasan areal dari tahun ke tahun tapi masih dengan tingkat produktivitas lahan yang jauh dari produksi potensial karena tanaman kopi yang tidak produktif juga masih mendominasi.

29 Karakteristik Usaha Tani Kopi Organik

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan lahan atau kebun kopi oleh petani masih relatih kecil yaitu antara satu hingga dua hektar (52%), dimana kebun yang paling luas adalah 11 hektar. Pada umumnya petani di wilayah ini menanam kopi di pekarangan dan juga di lereng-lereng bukit di bawah pohon pelindung sengon (Paraserinthes falcataria) dengan jarak tanam yang tidak seragam sehingga sulit dalam menentukan luas kebun yang sebenarnya. Untuk mengetahui dan menghitung luas lahan kebun kopi dilakukan dengan menjumlahkan luasan semua kebun kopi yang dimiliki petani. Semakin luas kebun kopi yang dimiliki petani semakin baik pula tingkat ekonomi petani dan sebaliknya. Hal ini tercermin dari maksimum produksi yang dicapai petani kopi (772.09 kilogram) pada lahan kopi diatas dua hektar (13%). Sementara petani dengan luas lahan di atas 2 hektar adalah 19 persen dengan produksi kopi diatas 750 kilogram.

Bibit yang berkualitas dapat memberi hasil yang baik. Pada umumnya petani di Kabupaten Ermera memperoleh bibit kopi dan juga bibit pohon penaung secara gratis dari pemerintah, koperasi dan lembaga swadaya masyarakat. Namun demikian ada sebagian petani juga yang memproduksi bibit secara mandiri. Salah satu tujuan dari produksi benih di pusat-pusat pembibitan pemerintah dan koperasi adalah guna menjamin kualitas benih itu sendiri. Dari kelima kecamatan yang menjadi tempat dilakukan penelitian ini telah dibangun pusat pembibitan yang dapat memproduksi bibit kopi dan pohon pelindung setiap tahunnya. Adapun rata- rata kapasitas produksi benih di setiap pusat pembibitan adalah 500 ribu bibit.

Pemeliharaan kebun kopi mutlak dilakukan untuk menjamin produksi yang cukup, seperti kebersihan kebun atau pembersihan gulma, pemangkasan, pemupukan dan pengendalian hama dan penyakit. Semua kegiatan pemeliharaan ini diharuskan untuk mengikuti sistem organik yakni tidak menggunakan pupuk dan perstisida anorganik, dan hanya menggunakan pupuk kompos dan pengendalian hama dengan menjaga kebersihan kebun. Hama utama yang selalu menyerang tanaman kopi rakyat adalah hama penggerek buah (Hypothenemus hampei) dengan ciri-ciri buah berlubang yang berdampak pada penyusutan berat buah.. Upaya untuk pengendalian hama ini adalah dengan memanen dan memungut semua buah kopi pada awal dan akhir musim panen.

Usaha tani kopi di wilayah penelitian ini telah lama dikembangkan dan menjadi usaha utama sebagian besar petani (92%) sebagai sumber pendapatan keluarga. Kabupaten ini merupakan wilayah yang secara topografis cocok untuk tanaman kopi khususnya tanaman kopi arabika dilihat dari ketinggian tempat dari permukaan laut (altitude) yakni umumnya berada pada ketinggian di atas 800 meter dari permukaan laut, kecuali sebagian wilayah di Kecamatan Hatulia dan Railaco yang menanam kopi robusta karena berada pada ketinggian kurang dari 700 meter dari permukaan laut dengan suhu udara yang relatif panas.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lahan yang digunakan oleh petani untuk usaha tani kopi adalah milik sendiri. Produksi kopi oleh petani responden pada umumnya masih dibawah produksi potensialnya. Produksi rata- rata adalah 288.8 kilogram kopi bersih (green beans) tiap hektarnya, oleh karena itu bila dalam pengembangannya dapat menerapkan teknologi secara baik dan tepat akan dapat meningkatkan produksi yang pada gilirannya juga akan

30

meningkatkan pendapatan petani dan keluarganya. Walaupun tidak diperoleh data yang pasti tentang tanaman kopi yang sudah tidak produktif (tanaman tidak menghaslkan) tetapi tanaman kopi yang dipanen oleh petani responden selama ini banyak yang sudah termasuk tanaman kopi tidak produktif karena sudah berumur diatas 20 tahun. Untuk itu sebagian petani telah dilakukan rejuvenasi atau peremajaan pada tanaman kopi yang sudah tidak produktif.

Pemanenan kopi pada di wilayah penelitian ini dilakukan secara manual yaitu dengan cara memetik buah yang telah masak yang ditandai dengan warna merah. Kopi pada umumnya tidak berbunga secara serentak dalam setahun, sehingga waktu panen pun tidak dapat dilakukan secara serentak tapi melalui berapa tahapan seperti pemetikan selektif terhadap buah masak yang dikenal dengan pemetikan awal, pemetikan setengah selektif terhadap dompolan buah masak atau puncak pemetikan, pemetikan secara lelesan terhadap buah yang gugur karena terlambat pemetikannya serta pemetikan secara racutan atau rampasan yaitu pemetikan seluruh buah yang ada atau dikenal panen akhir.

Hampir seluruh responden (86%) menjual kopi arabika dalam bentuk kopi glondong sedangkan kopi robusta semua dijual dalam bentuk kopi tanduk. Waktu panen kopi wilayah ini dimulai pada awal bulan mei hingga bulan oktober tergantung dari ketinggian tempat serta jenis kopi. Puncak pemanenan jenis kopi arabika pada umumnya pada bulan agustus sedangkan jenis robusta pada bulan oktober. Petani responden sebanyak 32 persen memperoleh hasil panen kurang dari 250 kilogram kopi bersih, sedangkan 19 persen petani responden dapat memproduksi lebih dari 570 kilogram kopi bersih dan selebihnya (39%) dengan produksi rata-rata 500 kilogram kopi bersih.

Pengolahan kopi pada prinsipnya adalah memisahkan biji kopi dari daging buah, kulit tanduk (parchment) dan kulit ari (silver skin). Secara umum dikenal dua cara pengolahan yakni pengolahan kering (dry process) dan pengolahan basah (wet process). Kedua cara pengolahan ini dikenal oleh seluruh petani responden tapi pengolahan basah menjadi pilihan mereka karena para pembeli lebih memilih kopi melalui process basah dengan fermentasi. Mayoritas petani responden (61%) melakukan pengolahan kopi dengan cara pengolahan basah (wet process) sebelum dijual dalam bentuk kopi tanduk (parchment). Semua responden menyatakan bahwa penggunaan mesin pengupas kopi buah merah dengan cara fermentasi memiliki kelebihan yaitu dapat menjual kopinya dengan nilai yang lebih tinggi dan dapat menggunakan kulit merah sebagai pupuk kompos yang dekat dengan usahatani mereka. Namun demikian petani responden sebanyak 39 persen tidak melakukan pengolahan karena keterbatasan waktu dan keinginan segera memperoleh uang untuk kebutuhan keluarga yang mendesak. Sedangkan sebanyak 47 persen petani responden memilih menjual kopi dalam bentuk glondong dan kopi tanduk.

Dalam melakukan pengolahan kopi beberapa kegiatan pokok antara lain adalah sortasi buah merah, pulping, fermentasi, pencucian, penjemuran dan penyimpanan. Sortasi buah bertujuan untuk memisahkan kopi buah merah yang baik dengan kopi yang inferior atau buah hijau dengan tangan atau dengan air, sedangkan pulping adalah untuk memisahkan biji dari daging dan kulit buah. Fermentasi menjadi sangat penting karena bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir (mucilage). Proses fermentasi yang baik akan mempercepat proses pengeringan. Proses fermentasi dilakukan dalam keranjang-keranjang berlapis

31 plastik atau daun pisang atau dalam bak-bak semen yang dibangun oleh pemerintah di wilayahnya. Lama proses fermentasi adalah 12-24 jam tergantung dari ketinggian tempat. Pada wilayah yang memiliki suhu lebih dingin seperti Kecamatan Letefoho, lama fermentasi bisa 24 jam sedang di Kecamatan Railaco dengan suhu yang lebih panas lama fermentasi bisa kurang dari 24 jam.

Pencucian dan penjemuran yang baik dapat menghasilkan buah tanduk yang baik dan bermutu. Setelah fermentasi proses pencucian dilakukan dengan tangan (hand washing) hingga terasa kesat (tidak licin), agar tidak kumal. Pencucian yang kurang baik dengan meninggalkan sebagian lendir dapat mengakibatkan waktu jemur yang lebih lama dengan mutu kopi tanduk yang rendah karena tidak bersih. Sementara pengeringan bertujuan untuk menurunkan kandungan air dari rata-rata 54 persen ke 10 persen. Pada umumnya petani menggunakan tikar, terpal dan lantai untuk menjemur kopi di daerah ini. Setelah proses penjemuran, kopi yang sudah kering disimpan dalam karung untuk dipasarkan atau dijual. Sebanyak 61 persen petani responden melakukan proses pengolahan, fermentasi, pencucian, penjemuran dan penyimpanan.

Penjualan kopi oleh petani di wilayah penelitian adalah dalam bentuk kopi glondong atau buah merah dan kopi tanduk. Oleh karena adanya keterbatasan ekonomi dan kebutuhan keluarga yang mendesak, terdapat petani (39%) menjual semua kopi dalam bentuk kopi glondong, sedangkan petani responden (14%) tidak menjual dalam bentuk kopi glondong dan 47 persen menjual kopi dalam bentuk kopi glondong dan tanduk. Harga penjualan kopi glondong umumnya dibawah satu dolar Amerika. Lebih dari separoh petani responden (52%), menjual kopi pada kisaran harga 0.31 – 0.35 dolar Amerika. Petani responden (4%) mampu menjual kopi pada di atas 0.40 dolar Amerika sedang petani responden (12%) menjual pada harga di bawah 0.25 dolar Amerika. Harga kopi tanduk lebih tinggi dari kopi glondong karena telah melalui proses pengolahan. Banyak petani responden (55%) dapat menjual kopi tanduk pada kisaran harga 1.0 – 1.5 dolar Amerika. Pada penjualan kopi tanduk sebanyak 55 persen petani responden menjual kopi pada kisaran harga 1.0 - 1.5 dolar Amerika, sedangkan yang dapat menjual di atas dua dolar hanya 2 persen petani responden.

Permasalahan umum yang mengakibatkan produksi dan produktivitas kopi di wilayah penelitian ini masih jauh dari potensi produksi di antaranya adalah (1) tanaman kopi umumnya sudah tua (> 24 tahun), ( 2) status kepemilikan lahan belum jelas sehingga kurang adanya perhatian dalam melakukan pemeliharaan yang baik (3) kepemilikan lahan sempit dan ketergantungan yang besar pada kopi sehingga sulit bagi petani untuk melakukan peremajaan (rejuvinasi) (4) terbatasnya pengetahuan petani tentang pengelolaan usaha tani yang baik (5) modal yang terbatas sehingga petani tidak mampu membeli sarana dan prasarana yang dibutuhkan (6) organisasi kelompok tani yang belum berfungsi secara baik dan berkelanjutan. Permasalahan pada usahatani yang dihadapi petani adalah hama penggerek buah kopi dan penyakit gall rust yang menyerang pohon sengon sebagai pelindung kopi di wilayah ini. Pada kegiatan pengolahan hasil adalah terbatasnya fasilitas pengolahan kopi buah merah seperti mesin pengupas, tempat fermentasi, tempat penjemuran dan infrastruktur jalan yang sangat jelek sehingga menyulitkan dalam pengangkutan hasil. Adapun karakteristik usahatani kopi organik oleh petani responden di Kabupaten Ermera, Tahun 2013, dapat dilihat pada Tabel 5.

32

Tabel 5 Sebaran petani berdasarkan karakteristik usaha tani kopi organik di Kabupaten Ermera, 2013

No Karakteristik usaha tani Jumlah petani

% Minimal Maksimal

1 Pemilikan luas kebun kopi < 1 ha 1 – 2 ha >2 ha 17 52 31 17 52 31 0.50 1.00 3.00 0.75 2.00 11.00

2 Jumlah panen per musim < 250 kg 250 - 500 kg 501 – 750 kg > 750 kg 32 26 13 19 32 26 13 19 26.50 250.00 512.50 762.50 247.00 494.80 722.90 4150.00 3 Penjualan kopi Glondong Tanduk

Tanduk dan golndong

39 14 47 39 14 47 4 Harga kopi glondong (USD)

<0.25 - 0.30 0.31- 0.35 > 0.35 23 52 24 23 52 24 5 Harga kopi tanduk (USD)

≥ 1.50 1.60 – 2.00 2.1 – 2.50 60 9 2 60 9 2 6 Jenis kopi yang ditanam

Arabika Robusta

Arabika dan Robusta

84 3 13 84 3 13 Sumber: diolah dari data primer

Peranan pemerintah Timor-Leste dalam menciptakan kondisi yang lebih baik dalam mempertahankan status kopi organik sebagai komoditas non migas utama selama ini sangat penting. Sangat disadari bahwasanya hanya dengan segi kualitas dan kuantitas semata sangat sulit untuk bersaing dengan negara-negara produsen besar di pasar internasional. Lembaga sertifikasi oragnik yang selama ini memberi sertifikat adalah SKAL, Fair Trade dan Coffee Practice, untuk Coperativa Café Timor, National Autstralian Sustainable Agriculture Association (NASSA) dari Australia, Sativa dari Portugal serta JAS Organik dari Jepang. Selain itu, program-program seperti produksi bibit yang berkualitas, peremajaan (rejuvinasi) tanaman kopi yang tua, pembangunan fasilitas pengolahan basah (wet

33 process), serta penyuluhan yang efektif. Dengan beberapa terobosan yang diuraikan di atas diharapkan ada peningkatan produksi maupun kualitas kopi yang dihasilkan oleh petani yang pada gilirannya dapat meningkatkan pendapatan petani kopi. Kelembagaan atau institusi yang terkait secara langsung dengan usaha tani kopi adalah kementerian pertanian, direktorat nasional tanaman perkebunan dan agribisnis, direktorat pertanian kabupaten dan pemerintah daerah Kabupaten Ermera.

Karakteristik Petani Responden

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa petani responden di wilayah Kabupaten Ermera sebagian besar ( 92%) adalah umur produktif yakni berusia 15 sampai 65 tahun, dengan tingkat pendidikan formal yang sangat rendah, yakni dengan lama pendidkan formal hingga 6 tahun (sekolah dasar) sebesar 74 persen. Tingkat pendidikan formal kurang dari 3 tahun adalah 48 persen, pendidkan formal 9 tahun (SMP) sebesar 25 persen sedangkan menengah dan tinggi hanya 15 persen saja. Usia dan tingkat pendidkan berpengaruh terhadap proses difusi inovasi dan teknologi. Hal ini mengindikasikan bahwa ada potensi sumber daya manusia produktif yang cukup sebagai modal untuk pengembangan kopi di wilayah ini di masa yang akan datang disamping pengalaman berusahatani kopi di atas 10 tahun sebesar 91 persen. Pengalaman berusahatani kopi oleh petani di daerah cukup tinggi ini sangat terkait dengan awal pengembamgan kopi di Timor- Leste yakni sekitar tahun 1950-an. Ketiga faktor di atas memegang peranan penting dalam upaya pengembangan kopi organik di Kabupaten Ermera baik dari segi produksi (kuantitas), kualitas maupun produktivitasnya. Oleh karena umur yang produktif, pengalaman yang cukup serta pendidikan yang memadai akan menjadikan petani berada pada kondisi yang tidak ragu dalam mengambil keputusan yang terkait dengan usahatani kopi yang dimilikinya.

Status usahatani sebagai mata pencaharian utama atau sampingan daripada petani ikut mempengaruhi sikap petani di dalam pengalokasian sumberdaya. Pada usahatani yang menjadi mata pencarian utama, petani cenderung memberi prioritas serta alokasi sumberdaya yang lebih besar di banding usaha sampingan. Pada Tabel 6 menunjukkan bahwa hampir semua petani kopi reponden (92%) di wilayah ini dengan mata pencarian utama pada usaha tani kopi sementara 8 persen dengan usahatani kopi sebagai usaha sampingan karena sebagai pegawai negeri, pegawai swasta dan berdagang. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas kopi merupakan sumber pendapatan utama untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan keluarga di daerah ini.

Dengan demikian petani kopi pada umumnya selalu memberi perhatian yang besar pada seluruh aktivitas yang berkaitan dengan produksi kopi yang dimilikinya. Usaha sampingan yang dimiliki oleh petani kopi adalah usaha ternak, tanaman hortikultura, tanaman cengkeh, vanili, tanaman palawija dan juga berdagang. Walaupun pendapatan dari usaha sampingan ini tidak sebesar usahatani kopi tapi penting juga sebagai sumber pendapatan lain dari keluarga tani. Hal ini juga mempertegas bahwa sejauh ini Kabupaten Ermera adalah sebagai sentra produksi utama kopi di Timor-Leste dengan jumlah petani kopi yang lebih banyak dibanding sentra produksi lainnya. Informasi detail tentang karakteristik petani kopi organik di Kabupaten Ermera, disajikan pada Tabel 6.

34

Tabel 6 Sebaran petani berdasarkan karakteristik petani organik di Kabupaten Ermera, 2013

No Karakteristik petani Jumlah

petani Persen (%) Min Mak 1 Umur a.15- 65 tahun b. > 65 tahun 92 8 92 8 18 72 2 Lama Pendidikan < 3 tahun 3-6 tahun 7- 9 tahun >10 tahun 48 26 10 15 48 26 10 15 0 15 3 Pengalaman Berusahatani < 10 tahun 10 – 20 tahun 21 - 30 tahun >30 tahun 8 32 22 28 8 32 22 28 2 10 22 35 7 20 30 65

4 Hasil Panen kopi bersih (kg)

< 200 200 – 400 > 400 24 28 48 26 26 26 26.5 208.5 419.8 200 400 4150

5. Kartu anggota kopi organik

Ada

Ikut pelatihan kopi organik Pernah diinspeksi tim sertifikasi

54 32 19 54 32 19

6 Usaha tani kopi sebagai mata

pencaharian utama Ya Tidak 92 8 92 8

7 Jumlah tanggungan keluarga

< 4 4 – 6 >6 9 38 53 9 38 53 2 4 7 3 6 9 Sumber: diolah dari data primer

Hampir seluruh petani responden memiliki lahan kopi di atas satu hektar (87%) dan hanya sebagian kecil memiliki lahan kurang dari satu hektar (7%). Namun demikian pemilikan lahan kopi dengan luasan satu hingga dua hektar merupakan jumlah terbanyak (52%), sedangkan ada juga petani yang memiliki lahan hingga 11 hektar dan rata-rata luas lahan kopi yang dimiliki adalah 2.06 hentar. Luas lahan yang dimiliki petani secara tidak langsung terkait dengan tingkat pendapatan dari hasil penjualan kopi. Luas lahan menentukan jumlah kopi yang dapat dihasilkan. Dengan demikian petani dengan luas areal kopi yang besar akan menghasilkan produksi yang lebih tinggi tapi tentu dengan penerapan teknologi yang tepat pula. Rata-rata produksi kopi di Timor-Leste adalah 286.87 kilogram per hektar, namun dalam penelitian sebelumnya ditemukan bahwa produktivitas lahan petani responden hanya sebesar 195.8 kilogram kopi bersih. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada peningkatan produktivitas lahan kopi petani.

35 Dari Tabel 6 juga menunjukkan bahwa jumlah responden dengan produksi rendah (<200 kg) dan produksi sedang (200 – 400 kg) ada 26 persen sedangkan produksi tinggi (>400 kg) adalah 48 persen. Dengan demikian persentase petani dengan produksi tinggi lebih besar dari kedua kelompok petani produksi rendah. Hampir seluruh produksi kopi Timor-Leste dapat diekpor ke bebagai negara, seperti Amerika Serikat, beberapa negara di Eropa, Australia, Selandia Baru, Jepang dan China. Banyak persyaratan yang perlu dipenuhi agar memperoleh sertifikat, utamanya adalah tidak menggunakan pestisida dan pupuk anorganik dalam pengelolaan usahatani kopi. Petani sebagai pelaku utama dalam usaha tani kopi perlu memperoleh pelatihan pengelolaan usahatani dengan sistem organik. Dalam penelitian menunjukkan bahwa banyak petani kopi (68%) tidak pernah mengikuti pelatihan tentang usahatani kopi organik. Namun lebih dari separoh (54%) petani responden memiliki kartu organik dari CCT/NCBA), dan 19 persen pernah didatangi oleh tim inspeksi organik.

Karakteristik Lembaga Pemasaran

Lembaga pemasaran kopi organik adalah lembaga atau perantara yang melakukan kegiatan ekonomi dengan menyalurkan barang dan jasa dari produsen sampai kepada konsumen. Dalam penelitian ini lembaga yang terlibat dalam pemasaran kopi adalah pedagang perantara yang berjumlah 5 orang dan pedagang besar atau eksportir sebanyak 4 orang (lembaga), sehingga jumlah pedagang yang menjadi responden adalah 9 orang. Beberapa faktor yang menjadi informasi deskripsi statistik terhadap karakteristik pedagang perantara responden adalah umur, pendidikan, pengalaman dalam dagang kopi, jumlah tanggungan keluarga, kepemilikan fasilitas dagang seperti kantor, gudang, lantai jemur atau fasilitas penjemuran kopi dan instalasi pengolahan.

Pada tabel 7, menunjukkan bahwa rata-rata tingkat pendidikan formal yang dicapai oleh pedagang perantara kopi di daerah ini adalah sekolah menengah pertama (SMP) sedangkan pedagang besar dengan pendidikan formal dari diploma tiga (D3) hingga magister. Tingkat pendidikan seseorang sangat menentukan kemampuan seseorang untuk memperoleh informasi atau menerima inovasi baru. Oleh karena itu dari segi faktor pendidikan formal yang ada, para pedagang perantara sebagai responden sudah mempunyai kemampuan yang cukup untuk mencari informasi dan melakukan analisis maupun perhitungan dalam melakukan kegiatan ekonomi sebagai pedagang perantara, sedangkan pedagang besar memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi sehingga lebih mampu dalam mencari informasi serta lebih responsif terhadap perkembangan perdagangan yang ditekuninya

Kisaran umur menentukan tingkat produktivitas seseorang dalam bekerja. Tingkat umur yang yang produktif adalah pada kisaran 15 – 55 tahun. Semua pedagang reponden baik pedagang perantara maupun pedagang besar rata-rata berusia produktif yakni masing-masing pedagang perantara 48.5 tahun dan pedagang besar 44 tahun. Dengan demikian tingkat produktivitas kerja kedua lembaga pemasaran masih dapat meningkat di masa yang akan datang. Sementara pengalaman usaha sebagai pedagang perantara maupun sebagai eksportir kopi organik rata-rata di atas sepuluh tahun yakni masing-masing pedagang perantara 12 tahun dan pedagang besar 22.5 tahun. Informasi detail disajikan dalam Tabel 7.

36

Tabel 7 Sebaran pedagang berdasarkan karakteristik lembaga pemasaran kopi organik di Kabupaten Ermera, 2013

No Karakteristik Kisaran Pedagang

Perantara (PP)

Pedagang Besar (PB)

1 Umur (tahun) 25 – 70 48.5 44.0

2 Pendididkan (tahun) 6 – 22 9.0 14.0

3 Pengalaman dagang (tahun) 7 – 25 12.0 22.5

4 Tanggungan Keluarga (orang)

3 – 12 8.1 3.0

5 Dagang (orang) 4.0 4.0

6 Dagang dan tani (orang) 1.0 1.0

7 Kepemilikan fasilitas (lantai jemur, gudang ,pabrik) (jumlah)

1 - 3 2.0 3.0

Sumber: diolah dari data primer

.

Melihat lamanya kedua lembaga pemasaran berkecimpung dalam perdagangan kopi, pedagang besar mempunyai keberanian lebih dalam mengambil keputusan yang terkait dengan perniagaan kopi karena mempunyai pengalaman lebih banyak dibanding pengalaman yang dimilki pedagang perantara. Selain melakukan kegiatan pokok sebagai pedagang kopi organik, rata-rata sebesar 40 persen responden baik pedagang perantara maupun pedagang besar melakukan kegiatan lain yaitu usaha tani. Sehingga hanya rata-rata 60 persen dari responden pedagang perantara maupun pedagang besar yang bekerja murni pada kegiatan perdagangan kopi organik.

Jumlah tanggungan keluarga berbanding lurus dengan biaya yang dibutuhkan sebuah keluarga, semakin besar jumlah anggota keluarga yang menjadi tanggungan semakin banyak biaya yang dialokasikan. Semua pedagang responden memiliki tanggungan keluarga yaitu rata-rata tanggungan keluarga

Dokumen terkait