• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

F. Pembahasan

1. Gambaran Tingkat Dukungan Ibu Terhadap

Intrafamilial pada Anak

Berdasarkan dari analisis deskriptif data yang diperoleh, diketahui

mean empirik (51,01) lebih tinggi dari mean teoritiknya (42). Selain itu, dari perhitungan uji-t menunjukkan bahwa nilai t hitung sebesar 20,867 dengan signifikansi 0,00 (p<0,05). Hal ini menandakan bahwa ketika ibu diandaikan anaknya mengalami kekerasan seksual intrafailial cenderung memiliki tingkat dukungan yang tinggi secara signifikan. Hal tersebut jika dilihat dari faktor penentu dukungan dapat disebabkan oleh jalinan yang terbangun antara ibu dan anak. Dapat dilihat dari peran yang dimiliki ibu dalam keluarga yaitu sebagai pengatur rumah tangga (Kartono & Kartini,

1992). Disini, ibu memiliki tanggung jawab terhadap apapun yang terjadi dalam keluarga termasuk berkewajiban dalam hal pengasuhan anak. Maka ibu cenderung memiliki kontak yang lebih tinggi pada anak, hal ini yang menyebabkan dukungan ibu pada anak cenderung tinggi. Ditambahkan pula, dengan adanya sifat keibuan yang terkait dengan relasi ibu dan anak menyebabkan munculnya keinginan melindungi dari ibu ketika anak dihadapkan dalam masalah.

Dari hasil survei juga diketahui bahwa secara kognitif ibu berpikir pelaku (suami/ayah dari anak) tidak memiliki moral, sebab tidak mampu mempertimbangkan tindakan tersebut benar atau salah. Disamping itu, secara afektif mereka merasakan kemarahan pada suami sekaligus kasihan pada anak. Anak dipandang sebagai korban pelecehan/kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayahnya. Hal ini diduga turut menyebabkan tingkat dukungan ibu terhadap anak menjadi tinggi.

Hasil temuan ini tidak sesuai dengan dengan temuan Pintello & Zuravin (2001), yang menyatakan bahwa ketika pelaku kekerasan saat ini adalah pasangan ibu menyebabkan ibu kurang dapat mendukung anak. Ketidaksamaan hasil penelitian ini disebabkan oleh adanya perbedaan budaya dalam hal pengasuhan anak. Di Indonesia, tampaknya ibu benar- benar menyadari tanggung jawab dari perannya sebagai seorang ibu untuk mendidik dan memberikan rasa aman bagi anak (Kartini & Kartono,

1992), sedangkan di Barat anak telah dibiasakan mandiri sejak kecil.Hal ini yang menyebabkan ibu di Indonesia cenderung lebih mendukung anak.

Meski tidak sesuai dengan penemuan Pintelo & Zuravin, hasil penelitian ini menyumbangkan informasi penting bahwa ibu mampu diandalkan sebagai tempat pengungkapan atas pengalaman kekerasan seksual anak karena diketahui tingkat dukungan yang dimiliki ibu adalah tinggi ketika kekerasan seksual terjadi khususnya dalam bentuk

intrafamilial abuse.Hal ini disebabkan sebagian besar ibu yang menjadi subjek penelitian telah bekerja dan berpenghasilan sendiri, sehingga jika pada akhirnya ibu memilih berpisah dengan pelaku kekerasan membuat ibu lebih siap untuk menanggung kebutuhan hidup anak dan hal ini pula yang menyebabkan tingkat dukungan ibu terhadap anak menjadi tinggi.

2. Perbedaan Tingkat Dukungan Ibu Terhadap Kekerasan Seksual

Intrafamilial pada Anak Ditinjau dari Usia, Jenis Kelamin, Hubungan

Anak dengan Pelaku Kekerasan, dan Sejarah Kekerasan Seksual pada

Ibu

Peneliti berusaha melihat perbedaan tingkat dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual ditinjau dari usia anak, jenis kelamin anak, serta hubungan anak dengan pelaku kekerasan, sejarah kekerasan seksual pada ibu. Akan tetapi, hasil analisis secara kuantitatif menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara keempat hal tersebut.

Secara lebih mendalam jika dilihat dari usia anak, ibu akan cenderung memberikan dukungan yang sama pada anak usia remaja atau usia lebih muda. Dalam penelitian ini, usia anak diwakilkan dengan usia 6 tahun dan remaja 15 tahun. Tidak ada perbedaan tingkat dukungan ibu ditinjau dari usia anak melengkapi temuan awal yang dilakukan Roshental et al. (2003). Dalam penelitiannya ia menemukan tidak ada perbedaan kepuasaan anak terhadap dukungan dari pengasuhnya pada kasus kekerasan seksual anak, hal itu dikuatkan dengan penelitian ini yang menemukan bahwa dukungan ibu memang tidak berbeda jika ditinjau dari usia anak.

Jika sebelumnya, dalam review Ullman (2003) disebutkan bahwa anak remaja lebih memilih mengungkapkan pengalamannya pada orang lain di luar anggota keluarga, hasil penelitian ini dapat membantu menunjukkan bahwa ibu dapat diandalkan sebagai tempat pengungkapan kekerasan seksual anak baik yang terjadi pada anak remaja atau yang lebih muda, dikarenakan ibu memiliki tingkat dukungan yang tinggi.

Di sisi lain, temuan Collings & Payne, Elliot & Carnes, Salt et. al

dalam Roshental et al. (2003) menunjukkan hasil yang bertentangan. Remaja akan lebih sedikit menerima dukungan dari pengasuhnya dibandingkan dengan anak. Hal tersebut terjadi karena anak remaja dilihat dapat bertanggung jawab atas kejadian pelecehan/ kekerasan seksual tersebut. Sesuai dengan hal itu, hasil dari survei yang dianalisis secara kualitatif dalam penelitian ini menunjukkan data yang mendukung temuan tersebut. 5,6%

subjek dalam penelitian ini cenderung menyalahkan korban anak 15 tahun dengan mempertanyakan tidak adanya perlawanan dari anak ketika peristiwa itu terjadi. Mereka juga mempertanyakan alasan anak mau diperlakukan secara demikian. Menurut mereka anak terlalu polos. Hal ini mungkin dikarenakan ibu (subjek penelitian) memiliki pemahaman bahwa perkembangan kognitif anak usia 15 tahun sudah lebih baik daripada anak yang lebih muda. Anak remaja dapat berfikir secara logis dan abstrak, wawasan berpikirnya lebih luas, termasuk wawasan tentang moralitas (Piaget, dalam Santrock, 2007).

Selanjutnya terkait dengan tingkat dukungan ibu ditinjau dari jenis kelamin anak. Penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual baik laki-laki maupun perempuan.Tidak adanya perbedaan tersebut dapat diamati secara lebih dalam melalui hasil survei bahwa ibu menyadari anak sebagai korban kekerasan seksual dari ayah. Baik pada kasus anak laki- laki dan perempuan, sebanyak 43,37% subjek merasakan emosi yang negatif terhadap pelaku kekerasan atau ayah dari anak. Emosi tersebut muncul dalam bentuk kemarahan, rasa jengkel, sakit hati dan tidak terima atas perlakuan pelaku. Selanjutnya, sebanyak 32,43% subjek akan mengambil tindakan untuk memberikan sanksi bagi pelaku sebagai upaya untuk melindungi anak. Sanksi tersebut diantaranya adalah dengan melaporkan pelaku kekerasan ke pihak yang berwajib atau menceraikannya. Hal ini sesuai dengan penelitian Adam

Tucker, Everson et al., dan Heriot dalam Smith (2010) yang menyatakan dukungan ibu terhadap anak dapat berupa tindakan memisahkan anak dari pelaku kekerasan. Dalam hal ini diwujudkan sebagai kesediaan ibu menceraikan suami atau ayah dari anak. Hal ini sekaligus menandakan bahwa memang tidak perbedaan tingkat dukungan ibu pada anak perempuan atau laki-laki.

Di sisi lain, hasil penelitian ini kurang sesuai dengan pendapat Elliot & Carnes (2001) yang menyebutkan dalam temuan sebelumnya secara umum korban laki-laki lebih banyak mendapatkan dukungan dari ibu. Akan tetapi hasil penelitian ini memberikan informasi yang berbeda bahwa pada anak laki-laki dan perempuan tingkat dukungan ibu adalah sama. Seperti yang terdapat dalam Rogers dan Davies (2007) bahwa anak laki-laki lebih jarang bersedia mengungkapkan pengalaman kekerasannya. Jika memang yang dikhawatirkan adalah kurangnya dukungan dari ibu, hasil penelitian dapat menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dukungan pada anak laki-laki dan perempuan, maka semestinya kekhawatiran tersebut dihilangkan.

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi tingkat dukungan ibu terhadap anak yang mengalami kekerasan seksual adalah hubungan anak dengan pelaku kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat dukungan ibu ditinjau dari hubungan anak dengan pelaku kekerasan baik ayah tiri maupun ayah kandung. Hasil ini memperkuat temuan Everson et al. (1989) yang menegaskan bahwa ibu cukup mendukung anak mereka ketika

pelaku kekerasan adalah pasangan ibu saat ini (tanpa menghiraukan pelaku adalah ayah tiri atau pun ayah kandung anak).

Tidak adanya perbedaan tingkat dukungan ibu terhadap anak terkait dengan hubungan anak dengan pelaku kekerasan, kemungkinan disebabkan oleh rasa tidak terima ibu dengan tindakan yang dilakukan ayah pada anak. Rasa tidak terima tersebut muncul sebab peran seorang ayah (baik ayah kandung atau ayah tiri) dalam keluarga semestinya melindungi dan mendidik anaknya sehingga dapat berkembang secara optimal. Tetapi, yang terjadi dalam kasus ini, ayah di nilai melakukan hal yang tidak baik dan tidak benar pada anak, sehingga ibu merasa harus mendukung anak daripada suaminya.

Leifer et al. (2001) pernah juga menyatakan bahwa kurangnya dukungan ibu terhadap anak dapat terjadi ketika ibu secara finansial masih tergantung dengan pelaku. Akan tetapi, dalam penelitian ini jika dilihat dari data pribadi subjek diketahui bahwa subjek penelitian sebagian besar adalah para ibu yang bekerja dan berpenghasilan sendiri, sehingga mereka tidak sepenuhnya bergantung secara ekonomi dengan suami. Hal ini diduga juga menyebabkan tidak adanya perbedaan dukungan ibu ditinjau dari hubungan anak dengan pelaku kekerasan. Oleh karena itu, jika pada akhirnya ibu memilih berpisah karena suami telah melakukan kekerasan seksual terhadap anaknya, ibu merasa lebih siap untuk menanggung kebutuhan hidup anak dengan penghasilan yang ia miliki sendiri.

Di sisi lain, hasil penelitian ini tidak mendukung temuan awal Faller (dalam Elliot & Carnes, 2001) yang menyatakan bahwa adanya perbedaan tingkat dukungan ibu terhadap anak ditinjau dari hubungan anak dengan pelaku kekerasan. Dalam penemuannya, dijelaskan bahwa ibu kurang dapat melindungi anak ketika pelaku kekerasan seksual adalah ayah kandung dibandingkan ketika pelaku kekerasan adalah ayah tiri.

Dari hasil survei, ketika diamati secara lebih mendalam, ternyata ditemukan perbedaan reaksi ibu terhadap pelaku kekerasan ayah kandung atau ayah tiri. Terlihat bahwa lebih banyak ibu yaitu 48,98% yang merasakan emosi negatif (marah, jengkel, sakit hati, dan tidak terima) ketika anak mengalami kekerasan dari ayah tiri sedangkan prosentase emosi ketika pelaku ayah kandung lebih sedikit, yaitu 37,77%. Hal ini juga terkait tindakan yang diambil ibu untuk memberikan sanksi pada pelaku. Ketika pelaku ayah tiri, 39,07% subjek akan mengambil tindakan melaporkan ke pihak yang berwajib, menghakimi dan menceraikannya. Di sisi lain, ketika pelaku kekerasan ayah kandung, tindakan tersebut hanya akan dilakukan oleh 33,29% ibu.

Dari uraian diatas diketahui bahwa meskipun tidak ada perbedaan tingkat dukungan ibu terhadap anak ditinjau dari hubungan anak dengan pelaku kekerasan tetapi hasil analisis secara kualitatif menunjukkan perbedaan prosentase reaksi ketika pelaku ayah kandung dan ayah tiri.

Selanjutnya terkait dengan sejarah kekerasan seksual pada ibu. Dari hasil analisis kuantitatif diketahui bahwa ibu yang pernah mengalami atau pun

yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual memiliki tingkat dukungan yang sama terhadap anak yang pernah mengalami kekerasan seksual. Hal ini disebabkan oleh peran yang dimiliki ibu terhadap anak. Kartono & Kartini (1992) menyebutkan bahwa ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan baik, menciptakan iklim yang gembira, dan memberikan rasa aman terhadap anak. Oleh karena itu, ketika anak mengalami kekerasan secara seksual oleh ayahnya, ibu menyadari perannya untuk melindungi anak dari peristiwa traumatis tersebut.

Dokumen terkait