• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

LANDASAN TEOR

D. Gambaran Tipe Marital Power Pada Perkawinan Antara Suku Minangkabau dengan Suku Lain

Perkawinan bukan hanya sebagai penyatuan dua individu, melainkan penyatuan dua keluarga. Setiap keluarga memiliki latar belakang budaya sendiri yang menentukan pikiran, perasaan, dan perilaku yang berbeda. Indonesia terdiri dari beragam latar belakang budaya, yang biasa dikenal dengan suku. Menurut data statistik terakhir, suku di Indonesia mencapai 1.128 suku. Berbagai suku di Indonesia ini tidak hanya mendiami daerah asalnya saja. Misalnya saja suku

Minangkabau yang hampir sebagian dari keseluruhan anggota masyarakatnya hidup di perantauan (Sjarifoedin, 2011).

Bertemunya suku yang berlainan di satu daerah akan memunculkan isu baru dalam perkawinan, yaitu perkawinan antarkelompok etnis, seperti yang terjadi di Amerika Serikat antara suku Irish dengan suku Latin (Egelman, 2004). Setiap suku memiliki karakteristik berbeda. Latar belakang suku yang berbeda akan melahirkan pola pikir, perasaan, dan perilaku yang berbeda. Misalnya saja suku yang memiliki sistem kekerabatan bilateral akan lebih menonjolkan keluarga inti mereka. Namun, pada suku yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal, seperti suku Minangkabau, peran keluarga inti tidak terlalu penting, karena suami hanyalah seorang tamu dalam keluarga besar istri mereka. Kekuasaan seorang suami pada suku Minangkabau dibatasi oleh kekuasaan saudara laki-laki dari istri (mamak) (Chairiyah, 2008).

Perkawinan akan membentuk sebuah keluarga. Proses-proses sosial yang terjadi di kehidupan masyarakat dapat juga tergambar dari sebuah keluarga, salah satunya adalah kekuasaan. Kekuasaan didefinisikan sebagai situasi dimana seseorang memiliki pengaruh terhadap perilaku dan emosi orang lain (Winter, 1973, dalam Scanzoni dan Letha, 1976). Kekuasaanterdapat di dalam kelompok dan organisasi sosial serta di berbagai hubungan intim. Kekuasaan di dalam hubungan perkawinan disebut marital power. Marital power memiliki 4 tipe berbeda, yaitu male-dominant, female-dominant, egalitarian, dan anarchic

Kekuasaan dalam perkawinan tidak dapat dilihat hanya melalui pengambilan keputusan akhir saja. Terdapat tiga komponen yang dapat menggambarkan kekuasaan dalam perkawinan secara menyeluruh, yaitu authority

yang menunjukkan siapa yang memiliki hak untuk mengambil keputusan menurut norma budaya dan sosial; decision making yang menunjukkan siapa yang paling sering melakukan pengambilan keputusan dalam perkawinan; dan influence yang menunjukkan kemampuan pasangan dalam memaksakan sudut pandangnya kepada pasangannya.

Seseorang dalam hubungan perkawinannya dapat memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dari pasangannya tergantung dari sumber-sumber kekuasaan yang dimilikinya. DeGenova (2008) mengidentifikasi sepuluh sumber marital power,

yaitu norma budaya, norma gender, sumber daya ekonomi, pendidikan dan pengetahuan, perbedaan personal, kemampuan komunikasi, faktor emosional, postur dan kekuatan tubuh, kondisi hidup, serta anak.

Salah satu sumber kekuasaan dalam sebuah perkawinan adalah norma budaya (DeGenova, 2008). Beberapa budaya menganggap laki-laki sebagai pemegang otoritas dan figur kekuasaan dalam keluarga dan meyakini bahwa perempuan harus tunduk kepada laki-laki (patriarchal). Sementara pada budaya lainnya, keluarga menempatkan perempuan sebagai kepala keluarganya

(matriarchal) dimana perempuan membantu dalam hal pengasuhan anak dan pemenuhan kebutuhan ekonomisehingga mereka memiliki kekuasaan dan tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki (Burton, 1995, dalam Mabry et.al., 2007). Latar belakang budaya seseorang akan mempengaruhi pikiran,

perasaan, dan perilaku seseorang. Secara tidak langsung, norma budaya ini akan mempengaruhi sumber-sumber marital power lainnya.

Suku Minangkabau merupakan satu-satunya suku di Indonesia yang memiliki sistem kekerabatan matrilineal. Dalam budaya Minangkabau, seorang suami dalam sebuah perkawinan hanyalah dianggap sebagai tamu. Seorang suami memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk kemenakannya sehingga dalam rumah tangga akhirnya memang perempuanlah (istri) yang memelihara dan mengendalikan harta pusaka keluarga. Perempuan pula yang melaksanakan segala kegiatan upacara-upacara adat di kalangan kerabatnya (Chairiyah, 2008).

Sistem budaya ini tidak hanya menjadi sebuah aturan saja, melainkan kecenderungan yang paling dalam dari diri setiap orang Minangkabau (Sjarifoedin, 2011). Perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain dapat mengaburkan sistem budaya ini karena adanya warna budaya lain dalam perkawinan tersebut. Sistem budaya matrilineal tidak akan ditemukan pada suku selain suku Minangkabau karena suku selain Minangkabau memiliki sistem kekerabatan patrilineal atau bilateral. Dalam patrilineal, suami dipandang sebagai kepala keluarga, sementara dalam bilateral, suami dan istri cenderung memiliki peran yang sama (Hadikususma, 1987; Oemarsalim, 2000).

Sistem budaya matrilineal ini mempengaruhi sistem pewarisan dalam keluarga Minangkabau (Chairiyah, 2008). Harta pusaka tinggi, seperti sawah, ladang dan gelar pusaka kaum, akan diwariskan kepada perempuan. Harta pusaka rendah yang merupakan hasil usaha dalam perkawinan nantinya juga cenderung diwariskan kepada anak perempuan. Hal ini menunjukkan salah satu implikasi

norma budaya terhadap sumber marital power lainnya, yaitu sumber daya ekonomi. Pihak yang memiliki kontrol terhadap sumber daya bernilai yang dibutuhkan oleh anggota keluarga, khususnya uang dan properti, merupakan pihak yang memiliki kontrol terhadap anggota keluarga itu (deTurck & Miller, dalam DeGenova, 2008). Sistem pewarisan seperti yang diuraikan di atas membuat perempuan Minangkabau memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap sumber daya ekonomi dalam keluarga. Secara teoritis, pihak yang memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap sumber daya ekonomi akan memiliki kekuasaan yang lebih besar pula dalam perkawinannya. Namun jika salah satu pasangan berasal dari suku selain Minangkabau maka akses dan kontrol sumber daya ekonomi bisa saja berubah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Blood dan Wolfe (1960) ditemukan bahwa distribusi marital power bergantung pada sumber daya bernilai yang diberikan oleh istri atau suami dalam perkawinan tersebut (Blood & Wolfe, dalam Yount, 2005). Pada masyarakat Minangkabau, distribusi sumber daya yang bernilai dipengaruhi oleh norma budayanya, dimana perempuan memiliki akses dan kontrol yang lebih besar terhadap sumber daya seperti gelar pusaka kaum, sawah, ladang, dan rumah gadang. Pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, terdapat budaya lain yang mewarnai perkawinan sehingga akses dan kontrol terhadap sumber daya belum tentu berada pada pihak perempuan (istri).

Hasil penelitian lainnya lebih menyoroti konteks budaya dimana perkawinan itu terjadi (Rodman, dalam Kulik, 1999). Perempuan memiliki

kekuasaan yang lebih tinggi (female-dominant) di dalam budaya yang memiliki karakteristik matrilokal dan sistem kekerabatan matrilineal (Warner, Lee & Lee, dalam Ponzetti, 2003). Sistem matrilineal dan matrilokal tampaknya belum akan meluntur sama sekali, walau kondisi-kondisi sosial lainnya sudah banyak yang berubah. Untuk dapat menjalankan sistem matrilineal dan matrilokal ini dengan baik maka mereka yang akan menjalankannya haruslah orang Minangkabau itu sendiri (Sjarifoedin, 2011). Pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain, terdapat satu pihak yang bukan orang Minangkabau. Oleh karena itu, sistem matrilineal dan matrilokal ini belum tentu dapat dipertahankan dan dijalankan dengan baik.

Berdasarkan uraian di atas, budaya perkawinan pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain belum tentu dapat mempertahankan sistem matrilineal dan matrilokal tersebut sehingga sumber kekuasaan tidak lagi berpihak pada istri. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk melihat tipe marital power yang cenderung terbentuk pada perkawinan antara suku Minangkabau dengan suku lain berdasarkan sumber-sumber marital power yang mempengaruhinya.

BAB III

Dokumen terkait