• Tidak ada hasil yang ditemukan

DOLOPO KABUPATEN MADIUN

A. Gambaran Umum Desa Dolopo

Sesuai dengan penelitian yang diangkat, penulis akan memaparkan tentang pelaksanaan mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih di Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun. Sebelum penulis memaparkan tentang mitos ini, terlebih dulu penulis akan memaparkan gambaran umum Desa Dolopo, sebagai tempat di mana mitos ini dilakukan. 1. Keadaan Geografis

Secara geografis, desa Dolopo terletak di kawasan Madiun bagian selatan, tepatnya di kecamatan Dolopo, kabupaten Madiun dengan luas sekitar 377.114 Ha. Terletak di koordinat bujur 111.527978, koordinat lintang -7.756046, ketinggian 166 M DPL. Kode PUM 3519022009.

Adapun desa Dolopo ini mempunyai batas-batas wilayah pemerintahan sebagai berikut:67

a. Sebelah Utara : Desa Slambur Kecamatan Geger b. Sebelah Timur : Desa Candimulyo

c. Sebelah Selatan : Desa Glonggong

d. Sebelah Barat : Kelurahan Bangunsari, Desa Doho

67

2. Kondisi Penduduk

Berdasarkan profil Desa Dolopo yang terbaru (tahun 2017) disebutkan bahwa jumlah kepala keluarga (KK) yang tinggal di daerah ini terdapat 2.926 kk. Rinciannya sebagai berikut:

a. Jumlah laki-laki 4.466 orang

b. Jumlah perempuan 4.532 orang

c. Jumlah total (a+b) 8.998 orang

d. Jumlah kepala keluarga 2.926 KK e. Kepadatan Penduduk (c / Luas Desa) 238 Orang / km

3. Kondisi Keagamaan

Dari hasil penelitian yang diperoleh dalam skala mayoritas penduduk desa Dolopo kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun ialah pemeluk agama Islam. Apabila ada yang bergama selain Islam, mereka itu hanyalah sebagai pendatang dan sedikit sekali yang sebagai penduduk asli yang menetap. Meskipun ada beberapa non Islam yang menetap, tetapi hal tersebut tidak mempengaruhi kerukunan antarwarga. Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kebupaten Madiun tetap menjaga kerukunan antar umat beragama. Di sisi lain, adanya keragaman agama juga sedikit banyak mempengaruhi kebudayaan masyarakat. Di dalam agama Islam sendiri pula tidak terlepas dari beberapa golongan organisasi keagamaan.

Berikut ini data kepercayaan (agama) masyarakat di Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun:

Agama Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang) 1. Islam 4.428 4.492 2. Kristen 31 32 3. Katholik 7 8 4. Hindu 0 0 5. Budha 0 0 6. Khonghucu 0 0

7. Kepercayaan Kepada Tuhan YME

0 0

8. Aliran Kepercayaan lainnya 0 0

Jumlah 4.466 4.532

4. Kondisi Pendidikan

Sebagian besar pendidikan masyarakat desa Dolopo ialah lulusan SLTA/Sederajat, karena menurut masyarakat pendidikan merupakan sebuah kebutuhan yang penting bgai kehidupan di masa depan. Hal ini terbukti dengan banyaknya bangunan sekolah yang didirikan di desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun.

Pendidikan dirasa penting bagi masyarakat Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun. Hal ini terbukti dengan seiring berkembangnya zaman, mulai banyak masyarakat yang menempuh pendidikan sampai di tingkat perguruan tinggi. Tapi, tidak menutup kemungkinan pula masih banyak yang belum mengenyam pendidikan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis di desa Dolopo ini diperoleh data tentang tingkat pendidikan masyarakat di desa Dolopo kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun sebagai berikut:

Status Pendidikan L P Jumlah Persentase

Tidak/Belum Sekolah 805 769 1574 16,67% Tidak Tamat SD/Sederajat 981 1161 2142 22,69%

Tamat SD/Sederajat 482 544 1026 10,87% SLTP/Sederajat 880 854 1734 18,37% SLTA/Sederajat 1258 1146 2404 25,47% Diploma I/II 11 16 27 0,28% Akademi/Diploma III 46 64 110 1,16% Diploma IV/Strata I 184 215 399 4,22% Strata II 17 4 21 0,22% 5. Kondisi Ekonomi

Secara umum, sebagian besar penduduk desa Dolopo dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-sehari dengan bertumpu pada bidang pekerjaan swasta. Adapun jumlah penduduk berdasarkan jenis pekerjaannya ialah sebagai berikut:68

Jenis Pekerjaan Laki-laki (Orang) Perempuan (Orang) 1. Petani 491 449 2. Buruh tani 5 3

3. Buruh migran perempuan 0 174

68

4. Buruh migran laki-laki 73 0

5. Pegawai Negeri Sipil 93 61

6. Pengrajin industri rumah tangga 1 0

7. Pedagang keliling 37 71 8. Peternak 2 1 9. Dokter swasta 1 2 10.Bidan swasta 0 3 11.Pensiunan TNI/POLRI 55 27 12.Wiraswasta 1.996 1.698 13.TNI 28 0 14.Pedagang 42 79 15.Kepolisian 21 0 Jumlah 2845 2568

Jumlah Total Penduduk 8.998

B. Pandangan Masyarakat Terhadap Mitos Larangan Perkawinan Ngelewati Segoro Getih di Ds. Dolopo Kec. Dolopo Kab. Madiun

Mitos yang berlaku di Pulau Jawa, khususnya di Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun ini merupakan mitos larangan perkawinan yang disebut masyarakat dengan nama Ngelewati Seogoro Getih. Meskipun dengan seiringnya berkembangnya zaman dan jarak daerah yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, masyarakat ada juga yang menamainya berbeda, seperti Ngelangkahi Segoro Getih atau Nyeberangi Segoro Getih. Biarpun penamaannya berbeda, akan tetapi yang lebih sering

Secara bahasa, mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih ini terdiri dari tiga kata berbahasa Jawa. Tiga kata berbahasa Jawa itu ialah

ngelewati, seogoro, dan getih. Bahasa Indonesia menafsirkan kata

ngelewati” ialah kata dalam bahasa Jawa yang artinya “melewati.” Kata “segoro” dalam bahasa Indonesia berarti “samudra” dan kata “getih” memiliki arti “darah.” Sehingga, apabila kalimat tersebut diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia, maka artinya: “melewati samudra darah.”

Masyarakat Desa Dolopo memaknai mitos tersebut sebagai larangan perkawinan yang mana secara definitif ialah ketika sebuah perkawinan akan dilangsungkan, maka rumah calon mempelai laki-laki tidak boleh melewati rumah kelahiran orangtua calon mempelai perempuan. Hal ini berdasarkan hasil wawancara yang penulis kutip dari beberapa narasumber. Narasumber-narasumber tersebut menjelaskan demikian:

“Ngelangkahi utawa Ngelewati Segoro Getih kui artine omahe calon bojone sing wedok ngelewati omahe kelahiran ibuke sing wedok. Misale, omahe sampean neng dusun Sidorejo, terus omah kelahiran ibuke sampean neng Asem Payung, gek omahe calone sampean neng Sumber Soko. Kui diarani Ngelewati Segoro Getih. Omahe calonne sampean ngelewati getihe wongtuomu, ngelewati ari-arine, ngelewati leluhure, ngelewati mbah-mbahe biyen sing ngelahirke wongtuomu neng kunu, Le. Dadi, menurute wong Jowo, ngunu kui dilarang. Gak oleh. Amargo garai kenek bencana. Nah, kui ibarate koyok ringkel.

Wis kedaden neng omah-omah.”69

Dari hasil wawancara ini bisa penulis simpulkan bahwa mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih itu terjadi jika rumah calon mempelai laki-laki melewati tempat kelahiran orangtua calon mempelai

69

perempuan. Menurut masyarakat Desa Dolopo hal tersebut dilarang, karena dapat mendatangkan berbagai macam bencana. Bencana yang sering terjadi adalah kematian anggota keluarga dari pasangan perempuan. Mitos ini tumbuh karena kepercayaan dari para leluhur atau nenek moyang masyarakat Jawa yang sering menemui seseorang yang meninggal. Setelah diamati, ternyata penyebab meninggalnya seseorang tersebut karena rumah pasangannya melewati tempat kelahiran orangtuanya. Hal itu berjalan terus-menerus dan secara turun-temurun. Karena banyaknya kejadian, maka masyarakat percaya bahwa perkawinan semacam itu merupakan sebuah perkawinan yang harus dijauhi demi kelanggengan dan kebahagiaan pasangan dan keluarganya pasca menikah kelak.

Pengertian mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih yang dipaparkan oleh Bapak Kadimin juga sama dengan pengertian yang disampaikan oleh Bapak Huda.

“Ngelewati Segoro Getih kui larangan perkawinan sing ora ngolehi pasangan setri nikah karo pasangan jaler sing omahe pasangan jaler

ngelewati omah kelahiranne ibune sing setri.”70

Bapak Wawan, selaku masyarakat setempat juga menyampaikan hal yang sama terkait dengan pengertian mitos larangan perkawinan ini.

“Adat sing ngelarang perkawinan antara pasangan wedok kambek pasangan lanang sing omahe nyeberangi panggon kelahiranne ibune sing wedok. Menurut masyarakat kui gak oleh.”71

70

Bpk. Huda, Hasil Wawancara, 9 Oktober 2018.

71

Jadi, dari tiga pemaparan yang disampaikan oleh tiga narasumber tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pengertian. Semuanya sepakat bahwa pengertian mitos larangan perkawinan tersebut terjadi karena rumah pasangan calon mempelai laki-laki melewati tempat kelahiran dari ibu calon mempelai perempuan. Bahkan, Bapak Kadimin, sesepuh, juga mem-berikan contoh yang kongkrit.

Menurut sejarahnya, mitos larangan perkawinan ini bermula dari kepercayaan nenek moyang masyarakat di tanah Jawa yang menyelidiki secara tidak langsung terkait penyebab kematian masyarakat. Banyaknya masyarakat yang meninggal diselidiki oleh para sesepuh dan menghasilkan kesimpulan bahwa pada zaman dahulu, banyak perkawinan yang diadakan antara pasangan calon mempelai laki-laki dengan calon mempelai perempuan yang mana rumah calon mempelai laki-laki melewati tempat kelahiran ibu calon mempelai perempuan.

“Biyen, poro sesepuh kui kaget, amargo akeh dulur-dulure sing ninggal. Terus, sesepuh-sesepuh, para leluhur kui ngamati nek tibake, wong-wong sing ninggal kui akeh-akeh sing ngelakoni larangan kawin Ngelewati Segoro Getih. Yo mergo kui mau, Le. Gon lahire wongtuone ibarate dilewati, iso kedaden molo. Akhire wong-wong podo percoyo nek kui dadi penyebabe.”72

Perihal batasan daerah yang tergolong mitos larangan perkawinan ini, Bapak Kadimin dengan Bapak Huda menyampaikan pendapat yang sama. Menurut Bapak Kadimin, batasan daerah yang dapat digolongkan ngelewati (melewati) tempat kelahiran ibu hanya sampai pada antar desa.

72

“Batasane yo antar deso. Misale deso Dolopo karo Glonggong, utowo Doho. Nek biyen, kan, wong-wong ora dolan adoh-adoh, amergo sik numpak sepeda unto. Cah-cah enom dolane sik cidek-cidekan. Gak enek pagelaran musik lan liyane. Wong biyen urung pati kenal hiburan, paling kenale gur dangdutan. Opo maneh saiki soyo akeh perayaan. Paling-paling metu yo mergo enek dangdutan opo wayangan. Nek ngopi, paling yo sik cedak, disambi macul. Dadi

batesane mung neng deso.”73

Bapak Huda menanggapi dengan argumen bahwa larangan perkawinan ini hanya sampai antar desa. Alasannya karena sangat sedikit masyarakat yang mengalami Ngelewati Segoro Getih di antar kota. Hal itu menjadi kepercayaan turun-temurun bahwa larangan ini hanya antar desa, bukan antar kota maupun kabupaten.

“Batasan larangan Ngelewati Segoro Getih kui antar deso. Amergo kebanyakan masyarakat sing ngalami Ngelewati Segoro Getih niku geh antar deso. Gak ono sing kedaden antar kuto utawa antar

kabupaten. Nek antar dusun yo biso.”74

Berdasarkan pemaparan kedua narasumber di atas, dapat kita pahami bahwa batasan larangan yang termasuk Ngelewati Segoro Getih hanya sampai pada antar desa, misalnya desa Dolopo dengan desa Doho, desa Doho dengan desa Golonggong, dan lain-lain. Alasannya karena musibah yang ditimbulkan akibat melanggar pada zaman dahulu hanya terjadi antar desa.

73

Bpk. Kadimin, Hasil Wawancara, 10 Oktober 2018.

74

C. Kepatuhan Masyarakat Tentang Mitos Larangan Perkawinan Ngelewati Segoro Getih di Ds. Dolopo. Kec. Dolopo Kab. Madiun

Selayaknya sebuah adat, tentu masyarakat memberikan penjabaran perihal kepatuhannya terhadap adat tersebut, tak terkecuali dengan adat larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih di Desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun. Dari sini, penulis berupaya untuk mencari informasi tentang alasan mengapa masyarakat mematuhi larangan per-kawinan Ngelewati Segoro Getih tersebut.

Ternyata, masyarakat menganggap bahwa larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih ini dipatuhi karena beberapa sebab, salah satunya untuk menghormati kepercayaan leluhur terdahulu, sebagaimana yang penulis kutip dari apa yang disampaikan oleh Bapak H. Jauhari.

“Ya, patuh. Lha wong iku warisan leluhur. Sopo sing arep ngurpi adat Jowo, Ngelewati Segoro Getih nek ora wong-wonge dewe. Masyarakat iku pancen ngewanti-wanti yen arep nyelenggaraake nikahan. Ngelewati Segoro Getih sak mestine dadi adat sing ora bakal dilalekake. Tetap dipatuhe. Amergi kui bagian dari adat istiadat, ciri

khas kepercayaan neng kene.”75

Hal senada juga dipaparkan oleh Bapak Wawan. Menurutnya, adat istiadat (kebiasaan) ini dipatuhi untuk menghormati leluhur (nenek moyang). Sebab, merekalah yang lebih dulu memercayai kebiasaan yang sering dilakukan ini; adat istiadat. Sehingga, mereka (nenek moyang) menurunkan kepercayaan ini kepada anak cucunya.

75

“Iku, kan, wis dadi kebiasaan poro sesepuh-pini sepuh, leluhur. Wongtuo sing luwih ngerti. Sing ngelahirake awake dewe. Wis semestine adewe ngelakoni dawuhe. Kebiasaan taat dumateng dawuhe lan kebiasaan wongtuo-wongtuo pancen wis enek awit

mbiyen. Podo karo adat Ngelewati Segoro getih iki.”76

Selain itu, keluarga bapak H. Jauhari—dalam sesi wawancara yang dilakukan oleh penulis, beliau menuturkan bahwa alasan utama memercayai tradisi tersebut hanya sebagai pencegahan terhadap bencana atau malapetaka yang terjadi—selain menghormati ada istiadat.

“Mergo wedi ae, nek kenek molo. Senajan ge ngurupi tradisi. Adat istiadat neng Jowo, kan, akeh. Koyok Weton Jodoh, Nikah Siji karo Telu, Nikah neng wulan Suro. Eneke adat ngunu ket zaman wongtuo. Lan ora mung siji, ora gur keluargaku tok sing percoyo, keluarga liyane pun yo ngunu wi. Dadi, sak jane mung nyegah molo. Piye ben

ora kenek bencana.”77

Dari sini dapat kita pahami bahwa salah satu alasan keluarga bapak H. Jauhari yang masih mempertahankan adat istiadat (kebiasaan) dari larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih ialah untuk mencegah bencana, musibah, malapetaka atau hal-hal buruk yang dipercayai bakal terjadi.

Bapak Huda juga mengungkapkan hal yang sama. Masyarakat takut ditimpa bencana yang terjadi tatkala melanggar mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih di desa Dolopo Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun tersebut.

76

Bapak Wawan, Hasil Wawancara, 8 Desember 2018.

77

“Wedi molo bencana. Mbak Siti Nur Jannah pernah ngelanggar mitos niku. Rong tahun selanjute, ibune ninggal. Masyarakat percados nek larangan niku dilanggar, salah sijine keluarga mesti ninggal. Lan

biasane ibune. Koyok almarhummah ibune mbak Siti. 78

Dengan kejadian meninggalnya ibu dari pelanggar, maka masyarakat semakin memercayai mitos tersebut, di luar mereka yang tidak percaya. Hal senada juga dijelaskan oleh Bapak Wawan berdasarkan hasil wawancara.

“Biasane wongtuone sing ninggal. Akeh-akeh ibune. Soale, omahe

calon sing lanang ngelangkahi kelahirane ibune calone sing wedok.

Dadi masyarakat percoyo nek molone ngunu kui.”79

Jika disangkut-pautkan dengan agama Islam, agama masyarakat yang memercayai adat tersebut, menurut penuturan bapak K.H. Abdul Aziz dan bapak Huda (modin), menyatakan:

“Syariat kui gak kenal karo adat Jowo. Kejobo adat sing enek maslahahe lan dadi peraturan bersama. Dadi, kui gur sesuai pora karo nilai-nilai maslahah. Lewat ‘urf, syariat ngehalalke adat atas dasar sing tak sebutne kui mau. Tapi, ngunu kui yo enek syarat-syarate. Ora sekabehe adat sing iso didadekne hukum.80

Hal senada juga dipaparkan oleh modin di desa Dolopo. Bapak Huda, melalui wawancara yang penulis lakukan, menjelaskan beberapa hal di bawah ini terkait dengan hubungan agama Islam dengan adat tersebut:

78

Bpk. Huda, Hasil Wawancara, 9 Oktober 2018.

79

Bpk. Wawan, Hasil Wawancara, 11 Oktober 2018.

80

“Neng agomo larangan ngunu kui gak enek. Soale, aturan agomo Islam kui sifate umum, ora gur ngatur neng siji daerah tok, tapi kabeh, kabeh dunyo. Dadi, gak enek aturane neng Islam. Kui gur kepercayaan masyarakat tok. Neng masyarakat pun yo gak enek

hukumane.”81

Adanya kepercayaan terhadap sanksi pelanggaran itulah yang membuat masyarakat semakin mematuhi adat istiadat (kebiasaan) tentang mitos larangan perkawinan Ngelewati Segoro Getih. Masyarakat mengaku takut dengan musibah yang melanda tatkala melanggar kepercayaan.

“Aku wedi nek kedaden, wongtuoku ninggal. Kui koyo pagebluk cilik.

Sing ngelanggar, ibune bakal ninggal.”82

Pemaparan dari Bapak H. Jauhari, yang putrinya melanggar, juga senada. Bapak H. Jauhari mematuhi adat istiadat (kebiasaan) Ngelewati Segoro Getih sedangkan putrinya, Siti Nur Jannah tidak. Adanya kesenjangan itu membuat putrinya membawa perselisihan ini ke pengadilan agama untuk memohon wali adhal. Pihak bapak Siti Nur Jannah, Bapak H. Jauhari menjelaskan bahwa kejadian itu memang menimpa putrinya. Ia mengaku tidak tega melihat putrinya mengalami hal demikian. Tetapi, ia juga takut akan mitos tersebut benar-benar menimpa keluarganya. Pada keadaan tersebut, terjadilah dilematik. Di sisi lain, Bapak Jauhari juga memarahi kelakuan putrinya yang tidak memercayai adat kebiasaan (tradisi) terkait

81

Bapak Huda, Hasil Wawancara, 9 Oktober 2018.

82

dengan mitos perkawinan Ngelewati Segoro Getih. Bahkan, ibunya pernah stres gara-gara keputusan putrinya ini. Bpk. H. Jauhari menjelaskan:

“Sak jane yo mangkel. Ibuke wis ngelarang goro-goro kenek adat Ngelewati Segoro Getih. Siti karo Ibuke sempet padu. Malah, pernah satru, ora omong-omongan. Tapi, yo piye maneh? anakku wis tresno. Sakjane ibuke mung wedi nek kenek molo. Urung maneh, tonggo-tonggo yo podo ngerasani. Kan, dadi pekewuh. Akhire, Siti gowo

perkoro iki neng pengadilan. Diurus dadi wali hakim.”83

Akhirnya, karena keputusannya ini, Siti Nur Jannah tetap kawin dengan perantara wali hakim. Perkawinannya berjalan lancar tanpa ada halangan apa pun. Tetapi, selama dua tahun kemudian, ibu Siti Nur Jannah meninggal karena sakit. Hal ini membuat pikiran Siti Nur Jannah merasa terbebani, selain pandangan buruk yang diterima dari beberapa tetangganya—

sebab, keluarga mereka tidak harmonis karena kontradiktif terhadap adat. Dua faktor yang penulis sebutkan di ataslah yang mendasari kepatuhan masyarakat terhadap mitos ini—menghormati adat istiadat (kebiasaan) dari leluhur (nenek moyang) dan ketakutan jika hal tersebut—

Ngelewati Segoro Getih dan musibah—menimpa keluarganya. Masyarakat

kini telah menggunakan beberapa cara supaya kejadian tersebut tidak terulang lagi. Salah satunya yang disampaikan oleh Bapak H. Jauhari.

“Ngewanti-wanti sak durunge nikah. Koyo piye calonne; bebet, bibit,

bobot. Wongtuo kudu ngontrol anakke. Sopo ae sing cedak karo

anakke. Ojo diumbar ora karuwan.”84

83

Bpk. H. Jauhari, Hasil Wawancara, 17 Oktober 2018.

84

Beberapa masyarakat memang tak ingin kejadian yang dialami oleh keluarga Bapak H. Jauhari menimpa diri mereka. Jikalaupun hal itu terjadi, masyarakat tetap memercayai akan adanya musibah. Sebagian memang melakukan aturan ketat terhadap keluarganya sendiri. Meninggalnya Ibu dari Siti Nur Jannah kian meyakinkan kebenaran musibah tersebut. Lantas, masyarakat memiliki caranya tersendiri untuk menghindari musibah. Seperti yang disampaikan oleh Bapak H. Jauhari, yaitu dengan memerhatikan anaknya, mempertimbangkan calonnya pasangan anaknya sebelum menikah, bahkan selama mengenal anaknya.

BAB IV

Dokumen terkait