• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

A. Latar Belakang Eksternal

2. Gambaran Umum Kehidupan Politik

Secara historis, bangsa Indonesia mengenal tiga tahap periodisasi politik, yaitu Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Sudah tentu tokoh sentral Orde Lama adalah Soekarno yang pertama kali menghadapi tantangan mewujudkan secara nyata wawasan negara kebangsaan modern Indonesia. Dalam banyak hal Soekarno berhasil menghantarkan Indonesia bersatu dan tumbuh menjadi negara yang mampu membangun kerjasama secara kokoh di kalangan bangsa-bangsa baru. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa kegagalan Bung Karno dalam membangun pemerintahannya adalah perannya dalam melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pertarungan segitiga antara Soekarno, tentara dan PKI semakin memanas. Puncak dari persaingan itu adalah terjadinya Gerakan Tiga Puluh September (Gestapu) PKI yang menewaskan tujuh orang jenderal.134

Soeharto sebagai tokoh sentral Orde Baru muncul dengan rezim politik baru yang bercorak semi militeristik. Soeharto mencoba mengatasi persoalan

133 A. Nur Alam Bakhtir, 99 Keistimewaan Gus Dur (Jakarta: Kultura Gaung Persada

Press, 2008), h. 121.

134 Khamami Zada, Neraca Gus Dur di Panggung Kekuasaan (Jakarta:

warisan Bung Karno dengan menggabungkan antara pandangan hirarkis militer dengan pola ketaatan garis komando atasan kepada bawahan. Sistem yang dibangun Soeharto ternyata berhasil selama tiga dasawarsa, meskipun sifatnya sangat eksklusif, yaitu mengutamakan Jawa dan militer. Sistem tersebut kemudian ditentang karena banyak kalangan merasa dimarginalkan, baik dari sudut keagamaan, kedaerahan, kesukuan, demografis dan sebagainya. Dengan sistem tersebut, Soeharto dapat dikatakan tidak berhasil membangun negara modern Indonesia, meskipun pada sisi lain ia dipandang berhasil.

Munculnya rezim baru di bawah komando Soeharto telah mengganti paradigma dominan ”Politik sebagai panglima” menjadi ”Ekonomi sebagai panglima.” Politik mendapat stigma paling kotor semasa awal konsolidasi kekuasaan rezim Soeharto. Demi kelancaran dan stabilitas nasional, rezim Soeharto mencoba membatasi seluruh gerakan yang berbau politik ideologis. Soeharto memproteksi kekuasaan dengan cara memanfaatkan kekuatan yang ada. Seluruh institusi yang terkait erat dengan keseharian masyarakat dilembagakan di bawah kekuasaan Soeharto. Untuk mengontrol institusi keagamaan dibentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI), untuk mengendalikan pers dibentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), untuk mengontrol buruh dibentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), aktivis pemuda disatukan dalam wadah Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).135

Memasuki periode 1990-an rezim Soeharto mulai menghadapi suatu arus titik balik. Konstelasi domestik dan internasional yang mulai memperlihatkan perubahan, menyebabkan cara-cara tradisional represif tidak lagi efektif dan populer sebagai pengendalian. Salah satu yang dilakukan Soeharto untuk mencari dukungan massa adalah dengan memberikan kesan demokratisasi dan keterbukaan politik meskipun secara

kenyataan negara tetap melakukan kontrol dan kendali atas kebijakan yang dikeluarkan.

Sebagai contoh adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Meskipun inisiatif pembentukan Komnas HAM di bawah kendali, namun pada akhirnya institusi tersebut menjadi bumerang. Intitusi tersebut bukan bergerak untuk kepentingan rezim berkuasa, tetapi sebaliknya berperan mengkritik terhadap jalannya kekuasaan. Singkatnya, inisiatif kebijakan yang dilakukan negara akhirnya berujung kepada kontradiksi yang mengakibatkan kekuasaan politik Soeharto menjadi keropos.136

Perlu dipahami bahwa salah satu hal yang menonjol dalam perkembangan politik selama Orde baru adalah semakin mekar dan kokohnya kekuatan negara di Indonesia. Negara menjelma menjadi suatu

supra institusi. Demikian besarnya kekuatan negara, sehingga mampu menyerap hampir semua kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, bahkan sampai dalam pengertian konstitusional.137

Sejak paruh kedua dekade 1980-an terjadi perubahan-perubahan politik yang cukup siginifikan. Kalangan muslimin yang sebelumnya termarginalkan mulai masuk ke tengah kekuasaan. Pada saat yang sama proses demokratisasi kelihatan menemukan momentum baru. Beberapa katub yang selama ini tertutup, pelan-pelan mulai terbuka sehingga mendorong semakin banyaknya muncul gerakan prodemokrasi.138

Dari sekian banyak organisasi nonpemerintah yang menunjukkan sikap konfrontatif terhadap rezim Soeharto adalah Forum Demokrasi

136 Ibid., h. 18.

137 Fachri Ali, Golongan Agama dan Etika Kekuasaan, Keharusan Demokratisasi

dalam Islam Indonesia (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 232.

138 Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani: Gagasan, Fakta dan Tantangan

(Fordem). Forum tersebut didirikan oleh Gus Dur pada bulan April 1991 yang melibatkan 45 aktivis terkemuka. Kegiatan mereka sulit ditolerir penguasa, sehingga tidak jarang mereka harus main kucing-kucingan sebelum melaksanakan aktivitas.

Pada masa Orde Baru, terdapat berbagai penafsiran tentang sikap politik Gus Dur dalam menilai keberadaa pemerintah Orde Baru. Satu sisi Gus Dur mengkritik pemerintah, pada sisi lain pemerintah dipujinya. Menurut Kuntowijoyo, Gus Dur pernah memperlihatkan sikap seolah-olah mengamini perlakuan pemerintah yang represif. Sikap itu diperlihatkannya setelah insiden Tanjung Priok yang banyak memakan korban. Respon Gus Dur terhadap kejadian tersebut dinilai oleh beberapa kelompok Islam termasuk Kuntowijoyo sebagai hal yang menyakitkan. Apalagi setelah beberapa waktu setelah itu, terlihat sikap Gus Dur yang paling mesra kepada L.B. Moerdani yang diduga sebagai otak terjadinya peristiwa berdarah tersebut.139

Berakhirnya kekuasaan Soeharto secara dramatis pada bulan Mei 1998 segera diikuti perubahan politik yang sangat potensial bagi penciptaan masyarakat demokratis. Era tri partai berakhir dengan pemberian kebebasan kepada masyarakat untuk mendirikan partai sehingga muncul 100 partai meskipun akhirnya yang dinyatakan lulus verifikasi hanya 48 partai.

Pengalaman perjalanan sejarah panjang politik bangsa Indonesia selama setengah abad cukup menjadi pelajaran bagi setiap elemen bangsa. Upaya untuk melakukan penataan kembali sistem kehidupan berbangsa secara mendasar perlu dilakukan terus dengan mencari rumusan baru. Hal itu sangat diharapkan seluruh masyarakat sehingga bisa menjamin tegaknya demokrasi, keadilan, HAM, toleransi serta pluralisme.

139 Kuntowijoyo, Islam: Demokrasi Atas Bawah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),

Kondisi politik yang terjadi di Indonesia ternyata turut mewarnai corak pemikiran Gus Dur. Sampai terpilih sebagai seorang presiden, Gus Dur tetap aktif dalam kegiatan advokasi masyarakat dan menjabat ketua umum Forum Demokrasi. Sebagai seorang aktivis, Gus Dur sudah lama terlibat dalam perjuangan demokrasi di Tanah Air. Ia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang begitu gigih mendorong proses demokratisasi dari bawah (grass root). Sumbangan terpenting Gus Dur adalah kerja-kerja pemberdayaan masyarakat di lapisan bawah melalui berbagai instrumen sosial, terutama lembaga pendidikan (pesantren) dan lembaga sosial ekonomi. Gus Dur menggunakan pendekatan cultural politics dalam meretas jalan demokrasi yang bertumpu pada perkuatan lembaga-lembaga sosial non- negara yang ada di masyarakat.

Dokumen terkait