• Tidak ada hasil yang ditemukan

Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) merupakan lembaga usaha berbentuk koperasi yang didirikan pada tahun 1989, dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai Departemen Kehutanan (DEPHUT) khususnya di bidang perumahaan dan kendaraan roda dua. Sampai saat ini, jumlah debitur telah mencapai sekitar 15.000 orang atau kurang lebih 36% pegawai negeri sipil DEPHUT telah menikmati fasilitas dari KPWN. Kebijakan penghentian pembangunan rumah dinas di tengah pesatnya pembangunan ekonomi dan terus bertambahnya jumlah pegawai memang menjadi masalah tersendiri. Padahal, rumah adalah kebutuhan primer yang paling sulit dipenuhi oleh PNS dibandingkan kebutuhan lainnya, sandang dan pangan. Itu sebabnya tak jarang terdengar kasus-kasus menyedihkan yang menima PNS yang telah purna tugas tapi tidak bisa memiliki rumah.

Departemen kehutanan sendiri sedikit beruntung karena ada Yayasan Sarana Wana Jaya (SWJ). Yayasan yang di dirikan mantan menteri kehutanan DR Suedjarwo ini berusaha membantu meringankan beban dengan menyediakan rumah bagi karyawan kehutanan. Departemen Kehutanan. Dari sini, mereka mengikat kerjasama dengan Bank BTN untuk membangun perumahan melalui kredit konstruksi.Tahun 1986, yayasan SWJ juga membantu perumahan karyawan Dephut di Kompleks perumahan Selakopi, Bogor. Berbeda dengan perumahan Cileduk Jakarta, dimana

membangun rumah. Dengan demikian, perkankian kredit pun dilakukan antara karyawan Departemen Kehutanan dengan yayasan SWJ.

Selain di JABOTABEK, aktivitas bantuan pembangunan perumahan dilakukan yayasan SWJ di sejumlah daerah. Aktivitas itu antara lain tercatat di Nusa Tenggara Barat, Irian Jaya dan Timor-Timur. Namun kemampuan yayasan ini memang terbatas, sehingga sebagian besar karyawan di daerah lain belum dapat memiliki rumah tinggal. Apalagi yayasan SWJ juga tidak hanya berfokus pada pengadaan rumah, melainkan memiliki kegiatan lain juga yang harus dipikirkan.

Kondisi ini yang dilihat dan ditangkap dengan empati oleh Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap saat itu. Sebagai pimpinan, dia merasakan masih ada yang kurang. PNS sebagai “Prajurit Lapangan” ternyata masih jauh dari kesejahteraan. Tolak ukur paling sederhana adalah soal kepemilikan rumah yang jadi kebutuhan primer, terutama untuk golongan I dan II.

Bahkan, untuk petugas penyuluh yang harus aktif menjadi juru penerang ke pelosok, ternyata banyak yang tidak memiliki sarana dasar transportasi. Jangankan obil, sepeda motor pun banyak yang tidak punya. Padahal, dari tangan mereka seluruh kebijakan di pusat harus bisa sampai dan terwujud dalam praktik di lapangan.

Dalam konteks itu, Hasjrul Harahap juga melihat konsep rumah dinas punya kelemahan, terutama kerelaan para penghuninya. Sebagai rumah dinas, yang terkait dengan jabatan, harusnya fasilitas itu dimiliki bergulir. Namun dalam praktik selama ini, ternyata sulit untuk mengeluarkan karyawan yang sudah terlanjur menempati rumah tersebut kendati sudah pensiun atau bukan lagi PNS.

Keperihatinan Hasjrul Harahap ini kemudian disampaikan dalam sebuah kesempatan makan siang yang biasa dilakukan bersama pejabat eselon I Departemen Kehutanan di lantai IV samping ruang kerjanya. Intinya, bagaimana membantu

memberikan kesejahteraan bagi golongan I dan II PNS Departemen Kehutanan untuk memiliki fasilitas dasar perumahan dan sepeda motor.

Asumsi dasarnya, bagaimana PNS golongan I dan II sebagai ujung tombak di lapangan bisa bekerja dengan tenang dan cepat tiba di kantr jika tidak punya rumah dan kendaraan? Kondisi ini bisa berpengaruh lebih lanjut ke kinerja karyawan. Untuk membeli rumah, juga bukan perkara mudah. Jangankan untuk mencicil, untuk membayar uang muka saja mereka sudah tidak sanggup mengingat kecilnya pendapatan dari gaji mereka.

Berangkat dari “diskusi makan siang” itulah kemudian lahir gagasan membentuk lembaga yang bisa memberi bantuan kredit perumahan golongan I dan II. Gagasan ini terinspirasi ketika Hasjrul Harahap diundang menyaksikan peresmian rumah sederhana bagi prajurit ABRI yang dibangun oleh koperasi mereka. Pemikiran sederhananya, jika ABRI mampu, mengapa Departemen Kehutanan tidak ?

Apalagi Departemen Kehutanan memiliki Dana Reboisasi (DR). Setidaknya, karena ini untuk kesejahteraan pegawai, bisa saja lembaga yang akan dibentuk itu memperoleh pinjaman yang diambil dari bunganya DR untuk modal pengembangannya ke depan.

Gagasan itulah yang kemudian dicoba dibahas lebih mendalam dan serius. Pada hari Rabu, tanggal 14 Januari 1989 di VIP room lantai 4 Gedung Manggala Wanabakti akhirnya digelar rapat yang dipimpin oleh Staff Ahli Menteri (SAM), Ir Triyono.

Rapat dihadiri langsung oleh Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap dan pejabat eselon I dan II. Dalam kesempatan itu, Hasjrul memberi pengarahan tentang peluang memberi pinjaman pembelian rumah dan sepeda motor yang dananya dari “cucunya” DR demi kesejahteraan pegawai golongan I dan II. Istilah “cucu” DR muncul karena

yang dipinjam adalah penerimaan bunga dari bunga jasa giro DR yang disimpan di perbankan nasional.

Dalam rapat ini berkembang berbagai hal. Namun, yang paling krusial adalah mencari bentuk badan hukum yang pas untuk menyalurkan bantuan pinjaman serta memperoleh permodalan. Rapat kemudian membahas satu persatu tawaran bentuk badan hukum, mulai dari yayasan, kopereasi sampai preseroan.

Ketika membahas badan hukum berbentuk yayasan, rapat menilai kurang pas karena sudah ada yayasan SWJ yang dipimpin oleh mantan Menteri Kehutanan Soedjarwo. Apalagi, yayasan SWJ sudah lebih dulu dibentuk dan telah membangun Gedung Manggala Wanabakti, bahkan juga sudah membangun perumahan bagi pejabat Departemen Kehutanan serta karyawan di banyak daerah.

Untuk menghindari tumpang tindih antara yayasan SWJ dengan lembaga baru yang digagas oleh Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap, maka rapat menimbang perlu dibentuk badan hukum yang berbeda.

Di sisi lain, ketika membahas badan hukum berbentuk perseroan rapat mengakui akan sulit dipertanggungjawabkan. Alasannya, Departemen Kehutanan tidak boleh memiliki Perseroan Terbatas (PT). Itu sebabnya, rapat menolak jika badan hukum lembaga yang akan dibentuk adalah perseroan karena akan sulit dipertanggungjawabkan. Apalagi, lembaga itu akan mengusahakan perumahan dan motor, sehingga jauh dari kepentingan Departemen Kehutanan.

Itu sebabnya, peserta rapatpun lebih banyak memilih badan hukum koperasi seperti yang diinginkan oleh Hasjrul Harahap. Koperasi memang sedang menjadi tren sebagai bentuk ekonomi kerakyatan dan berkembang dimana-mana. Tak hanya di instansi pemerintah, bahkan di perusahaan dan pabrik-pabrik swastapun banyak yang mendirikan koperasi.

Salah satu yang paling menonjol saat itu, baik di instansi pemerintahan maupun swasta, adalah lahirnya koperasi karyawan (KOPKAR). Sebut saja Koperasi Karyawan Dephut (KOPKARHUT), Koperasi Pegawai Negeri Silva Lestari Kehutanan Sumatera Selatan, Koperasi Mitra Karsa badan Litbang Kehutanan Bogor, Koperasi Pegawai Negeri Bina Silva Sejahtera Kanwil Dephut Jawa Tengah, dan Koperasi Pegawai Kanwil Dephut Jabar Wana Mekar dan sebagainya.

Yang paling menarik, dengan berbadan hukum koperasi, banyak kemudahan untuk mendapatkan beragam fasilitas, apakah dari pemerintah atau perusahaan swasta. Bahkan, pemerintah pun sampai mengeluarkan kebijakan agar BUMN dan swasta besar menyisihkan minimal 5% dari keuntungannya untuk koperasi.

Jadi, tidak heran jika masyarakat berbondong-bondong membentuk koperasi. Apalagi, syarat mendirikan koperasi juga tidak sulit. Dengan 20 orang yang mempunyai tujuan samam, mereka boleh mendirikan badan hukum dari departemen koperasi. Contohnya, suatu desa yang terdiri dari petani jika mempunyai anggota 20 orang bisa membentuk Koperasi unit Desa (KUD). Begitu juga KANWIL Kehutanan Propinsi Jawa Tengah di Semarang. Dengan 20 Karyawannya lalu mendirikan koperasi primer.

Tidak heran dengan kemudahaan itu mengakibatkan dalam suatu instansi, hanya berbeda direktorat pun, muncul sejumlah koperasi primer. Ini juga terjadi di Departemen Kehutanan, banyak koperasi primer yang dilindungi Undang-Undang No.12/1967 tentang pokok-pokok koperasi.

Berdasarkan UU tersebut, koperasi terdiri dari koperasi primer, sekunder dan induk koperasi. Jika koperasi primer bisa dibentuk hanya oleh 20 orang dengan tujuan yang sama, maka koperasi sekunder adalah gabungan sejumlah koperasi primer yang

lazim disebut koperasi skunder. Yang membedakan kopearsi sekunder dan koperasi primer adalah cakupan wilayah kerja. Wilayah kerja koperasi sekunder minimal di tingkat kabupaten atau tingkat propinsi bahkan seluruh Indonesia.

Syarat untuk membentuk pusat koperasi (Koperasi Sekunder) minimal harus memilki 5 koperasi primer sebagai anggota, contoh koperasi sekunder adalah Pusat Koperasi Unit Desa (PUSKUD), Pusat Koperasi Pedagang Pasar (PUSKOPPAS), Pusat Koperasi Pegawai Negeri (PKPN).

Sedangkan koperasi di tingkat nasional adalah induk koperasi. Syarat membentuk induk koperasi minimal harus mempunyai anggota tiga koperasi sekunder (pusat). Contoh induk koperasi Unit Desa (InKUD), Induk Koperasi Pegawai Negeri (IKPN).

Setelah seluruh peserta rapat setuju dengan badan hukum koperasi, maka rapat pada hari rabu itu membuat keputusan penting dalam sejarah lahirnya Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara atau disingkat KPWN. Pemilihan nama ini didasarkan pada keinginan pimpinan Departemen Kehutanan untuk mensejahterakan karyawan dengan memiliki rumah.

Dari hasil pemufakatan, rapat tanggal 14 Januari 1989 itu juga memutuskan menunjuk tiga orang menjadi formatur untuk menyusun kepengurusan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara. Selain menyusun kepengurusan, formatur bertugas menyiapkan Badan Hukum (BH), Anggaran Dasar (AD), dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sesuai dengan amanat UU Koperasi No.12/1967.

Dokumen terkait