• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan Gaya Berjalan

Dalam dokumen Skripsi Heri Bab 1 2 3 (Halaman 24-33)

C. Faktor – faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Jatuh Pada Lansia

1. Gangguan Gaya Berjalan

Salah satu bentuk aplikasi fungsional dari gerak tubuh adalah pola jalan. Keseimbangan, kekuatan dan fleksibelitas diperlukan untuk mempertahankan postur tubuh yang baik. Ketiga elemen itu merupakan dasar untuk mewujudkan pola jalan yang baik setiap individu.

Gangguan gaya berjalan dapat disebabkan oleh gangguan muskuloskeletal dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis.

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencapai pergerakan normal yaitu :

a. Penyokong anti gravitasi pada posisi tegak, kontrol keseimbangan dan pergerakan melangkah ke depan.

b. Posisi tegak karena pusat gravitasi berada di vertebra sakral 2 anterosuperior.

c. Posisi tegak membutuhkan sedikit energi untuk menjaga keseimbangan saat berdiri. Stabilitas mekanik dipertahankan sepanjang jalur gravitasi yang melewati dasar penyangga diantara kedua kaki.

Selain pergerakan normal, juga harus diperhatikan terkait dengan mekanisme pergerakan maju ( Darmojo, 2004 ) yaitu :

a. Berhubungan dengan fiksasi dan elevasi dari pelvis otot abduktor paha.

b. Badan dimiringkan ke depan.

c. Kaki yang berayun dan fleksi serta panggul sedikit berputar keluar, lutut fleksi dan kaki dorso fleksi.

d. Tumit menyentuh lantai.

e. Rotasi eksternal dan dorsofleksi tungkai yang bergeser ke pusat gravitasi di depan.

f. Rotasi lengan dan bahu berguna untuk keseimbangan gerakan pelvis dan ekstermitas bawah.

Dampak dari pergerakan maju akan menghasilkan pola jalan. Pada lansia ada beberapa perubahan yang mungkin menjadi, diantaranya sebagai berikut :

a. Kecepatan berjalan tetap stabil sampai umur 70 tahun, kemudian dalam tiap dekade menurun kecepatan menurun 15 % untuk kecepatan berjalan biasa dan 20% untuk kecepatan berjalan maksimal. Uniknya, dari penelitian tidak adanya perubahan cadence ( ritme berjalan ) walaupun menurun kecepatan iramanya. b. Peningkatan waktu fase berdiri dengan dua kaki ( double stance phase ) sehingga menurunkan momentum pada fase mengayun kaki dan berakibat langkah menjadi pendek.

c. Berjalan dengan ibu jari kaki deviasi ke arah lateral sekitar 5%, Merupakan adaptasi tubuh agar didapati keseimbangan lateral atau

dicurigai adanya kelemahan pada otot panggul yang bertugas melakukan rotasi interna.

d. Pergerakan sendi berubah seiring dengan umur, contohnya ankle plantar fleksor menurun walaupun kemampuan maksimal dari ankle plantar dorsofleksi tidak berubah.

e. Panjang langkah berkurang pada orang tua, mungkin otot betis pada lansia yang berkurang kekuatannya dan tidak bisa menghasilkan plantar fleksi yang optimal, bisa juga disebabkan karena berkurangnya keseimbangan dan kontrol tubuh yang jelek pada fase single stance. Bisa juga karena rasa aman yang didapat ketika berjalan dengan langkah pendek.

f. Sedikit adanya rigiditas pada anggota gerak, terutama anggota gerak atas lebih dari anggota gerak bawah. Rigiditas akan hilang apabila tubuh bergerak.

g. Gerakan otomatis menurun, amplitude dan kecepatan berkurang, seperti hilangnya ayunan tangan saat berjalan.

h. Penurunan rotasi badan, terjadi karena efek sekunder kekakuan sendi.

i. Penurunan ayunan tungkai saat fase mengayun.

j. Penurunan sudut antara tumit dan lantai, itu mungkin disebabkan lemahnya fleksibilitas plantar flekstor.

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak langkah yang pendek dan penurunan irama. Kaki tidak dapat menapak dengan kuat dan lebih cenderung gampang goyang ( postural sway ). Perlambatan reaksi mengakibatkan lansia susah atau terhambat mengantisipasi bila terjadi gangguan seperti terpeleset, tersandung, kejadian tiba – tiba sehingga memudahkan jatuh. Ada beberapa gaya berjalan yang sering ditemukan pada lansia ( Darmojo, 2004 ) :

a. Gangguan gaya berjalan hemiplegic ( Hemiplegic gait )

Pada hemiplatik terdapat kelemahan dan spasstitas ekstermitas unilateral dengan fleksi pada ekstermitas atas dan ekstermitas bawah dalam keadaan ekstensi. Ekstermitas bawah dalam ekstensi sehingga mengakibatkan kaki “ memanjang”. Pasien harus menganyunkan sambil memutar kakinya untuk melangka ke depan. Jenis gangguan berjalan ini ditemukan pada tipe Upper Motor Neuron ( UMN ).

b. Gangguan gaya berjalan diplegik ( Diplegic Gait )

Terdapat spastisitas ekstermitas bawah lebih berat disbanding ekstermitas atas. Pangkal paha dan atas lutut dalam keadaan fleksi dan adduksi dengan pergelangan kaki dalam keadaan ekstensi dan rotasi interna. Jika lansia berjalan kedua ekstermitas bawah dalam keadaan melingkar. Jenis gangguan berjalan ini biasanya dijumpai pada lest periventrikular bilateral.

Ekstermitas bawah lebih lumpuh dibanding dengan ekstermitas bawah letaknya dekat ventrikel otak.

c. Gangguan gaya berjalan neuropathy ( Neuropathic Gait )

Ganggan gaya berjalan jenis ini biasanya ditemukan di penyakit saraf perifer. Karena terjadi kelemahan dalam dorsofleksi kaki, maka pasien harus mengangkat kakinya lebih tinggi untuk menghindari pergesaran ujung jari kaki dengan kaki.

d. Gangguan gaya berjalan Miopathy ( Myopathic Gait )

Dengan adanya gangguan otot, otot – otot proxsimal pelvic grildle ( tulang pelvis yang menyokong pergerakan ekstermitas bawah ) menjadi lemah. Oleh karena itu, terjadi ketidakseimbangan pelvis bila melangkah ke depan, sehingga pelvis miring ke kaki sebelahnya, akibatnya terjadi gangguan dalam berjalan.

e. Gangguan gaya berjalan Parkinson ( Parkinson Gait )

Terjadi rigiditas dan bradikinesia dalam berjalan akibat gangguan di ganglia basalis. Tubuh membungkuk ke depan, langkah memendek, lamban dan terseret disertai dengan ekspresi wajah seperti topeng.

Langkah berjalan menjadi lebar, tidak stabil dan mendadak, akibatnya badan memutar ke samping dan jika berat badan pasien akan jatuh. Jenis gangguan berjalan ini dijumpai pada gangguan cerebellum.

2. Demensia

Demensia adalah suatu sindrom klinik yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan ingatan atau sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari – hari ( Darmojo, 2004 ).

Demensia adalah keadaan ketika seseorang mengalami kemunduran kognitif yang sedemikian beratnya sehingga menggangu aktifitas hidup sehari – hari dan aktivitas sosial. Kemunduran kognitif pada demensia biasanya diawali dengan kemunduran memori atau daya ingat. Demensia terutama yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer berkaitan erat dengan usia lanjut ( Nugroho, 2008 ).

Pada umumnya , angka kejadian penyakit Alzheimer sangat berkitan dengan usia. Semakin tua populasinya, semakin tinggi angka kejadiannya. Angka prevalansi akan bertambah dua kali lipat pada setiap pertumbahan lima tahun setelah usia 65 tahun. 5 % dari seluruh populasi usia 65 tahun di negara barat adalah penderita penyakit Alzheimer, 16 % terdapat pada kelompok usia 85 tahun, dan 32 % terdapat pada kelompok usia 90 tahun ( Nugroho, 2008 ).

Stadium demensia Alzheimer, dapat berlangsung dalam tiga stadium : a. Stadium awal

Gejala stadium awal sering diabaikan dan disalahartikan sebagai usia lanjut sebagi bagian normal dari proses otak menua, oleh para professional, anggota keluarga dan orang terdekat penyandang demensia. Karena proses penyakit berjalan lambat, sulit sekali untuk menentukan kapan proses ini dimulai. Klien menunjukan gejala sebagai berikut :

1. Kesulitan dalam berbahasa

2. Mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna 3. Disorientasi waktu dan tempat

4. Sering tersesat di tempat yang biasa dikenal 5. Kesulitan membuat keputusan

6. Kehilangan inisiatif dan motivasi 7. Menunjukan gejala, depresi dan agitasi 8. Kehilangan minat dalam hobi dan aktifitas b. Stadium Menengah

Proses penyakit berlanjut dan masalah menjadi semakin nyata.Pada stadium ini, kliem mengalami kesulitan melakukan aktifitas kehidupan sehari- hari dan menunjukan gejala seperti berikut :

1. Sangat mudah lupa, terutama untuk peristiwa yang baru dan nama orang

2. Tidak dapat mengelola kehidupan sendiri tanpa timbul masalah 3. Tidak dapat memasak, membersihkan rumah, ataupun berbelanja. 4. Sangat bergantung pada orang lain

5. Semakin sulit berbicara

6. Membutuhkan bantuan untuk kebersihan diri ( ke toilet, mandi, dan berpakaian ).

7. Senang mengembara atau ‘ngeluyur’ tanpa tujuan. Ngeluyur ini bisa berupa :

a.Cheking : berulang kali mencari pemberi asuhan b.Trailing : terus membuntuti pemberi asuhan c.Pottering : terus berkeliling rumah

8. Terjadi perubahan pelaku 9. Adanya gangguan kepribadian

10. Sering tersesat walaupun jalan tersebut telah dikenal 11. Dapat juga menunjukkan adanya halusinasi

c. Stadium Lanjut

Pada stadium ini terjadi :

2. Tidak mengenali lagi anggota keluarga 3. Sukar memahami dan menilai masalah

4. Tidak mampu menemukan jalan disekitar rumah sendiri 5. Kesulitan berjalan

6. Mengalami inkontinesia

7. Menunjukkan prilaku tidak wajar di masyarakat

8. Akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur. 3. Lingkungan

Lingkungan merupakan suatu keadaan atau kondisi baik bersifat mendukung atau berbahaya yang dapat mempengaruhi jatuh pada lansia. Faktor lingkungan yang belum dikenal mempunyai risiko terhadap roboh sebesar 22% ( Probosuseno,2006 ).

Lingkungan yang sering dihubungkan dengan jatuh pada lansia antara lain alat-alat atau perlengkapan rumah tangga yang sudah tua atau tergeletak di bawah, tempat tidur tidak stabil atau kamar mandi yang rendah dan licin, tempat berpegangan yang tidak kuat atau tidak mudah dipegang, lantai tidak datar licin atau menurun, karpet yang tidak dilem dengan baik, keset yang tebal atau menekuk pinggirnya, dan benda benda alas lantai yang licin mudah tergeser, lantai licin atau basah, penerangan yang tidak baik ( kurang atau

menyilaukan ) alat bantu jalan yang tidak tepat ukuran, berat, maupun cara penggunannya.

Kejadian jatuh pada lansia sekitar 10% terjadi ditangga dengan kejadian jatuh saat turun tangga lebih banyak dibanding saat naik, yang lainnya terjadi karena tersandung atau menabrak benda perlengkapan rumah tangga, lantai yang licin atau tidak rata dan penerangan yang kurang.

Dalam dokumen Skripsi Heri Bab 1 2 3 (Halaman 24-33)

Dokumen terkait