• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gangguan perfusi jaringan serebral

Dalam dokumen Sistem Neurologi Pada Anak (Revisi 2) (Halaman 31-40)

Gangguan perfusi jaringan serebral adalah suatu keadaan dimana individu mengalami penurunan aliran darah sehingga menurunnya jumlah nutrisi dan oksigen ke otak.

2) Kelebihan volume cairan

Kelebihan volume cairan adalah kondisi ketika individu mengalami atau beresiko mengalami kelebihan cairan intraseluler atau interstisial.

3) Gangguan pertukaran gas

Gangguan pertukaran gas adalah kondisi ketika individu mengalami penurunan aliran gas (oksigen dan karbondioksida) yang actual atau potensial antara alveoli paru dan sistem vaskuler (Carpenito, 2009).

4) Pola nafas tidak efektif

Pola nafas tidak efektif adalah suatu kondisi tidak adekuatnya ventilasi yang disebabkan perubahan pola nafas.

5) Penurunan curah jantung

Penurunan curah jantung adalah keadaan ketika individu mengalami penurunan jumlah darah yang dipompakan oleh jantung sehingga menyebabkan gangguan fungsi jantung (Carpenito, 2009).

6) Gangguan rasa nyaman: nyeri

Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang sangat singkat dan berakhir kurang darri 6 bulan , sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka (Asmadi, 2008). 7) Bersihan jalan nafas tidak efektif

Bersihan jalan nafas tidak efektuf adalah kondisi dimana individu tidak mampu untuk batuk secraa efektif.

8) Takut

Tampilan atau respon intelektual terhadap suatu stimulus yang mengancam (Stuart & Laraia, 2005).

9) Resiko infeksi

Risiko infeksi adalah kondisi individu yang berisiko tinggi tertular agen infeksius dari individu lain maupun dari suatu prosedur infasif (Carpenito, 2009).

10) Resiko pertumbuhan dan perkembangan terhambat

Pertumbuhan dan perkembangan terhambat adalah suatu keadaan yang dimiliki oleh seseorang, atauyang berisiko, dengan kemampuan yang terganggu dalam melakukan tugas-nya sesuai dengan kelompok usianya atau gangguan pertumbuhan (Carpenito & Moyet, 2008).

11) Kurang pengetahuan orang tua

Kurang pengetahuan adalah kondisi ketika individu atau kelompok tidak memiliki cukup pengetahuan kognitif atau ketterampilan psikomotor terkait kondisi atau rencana tindakan tertentu (Carpenito, 2009).

c. Penatalaksanaan gangguan neurologis akibat trauma pada anak

Menurut Schwartz (2004) prioritas awal adalah perlindungan terhadap jalan nafas, pemeliharaan perfusi jaringan yang adekuat, dan penilaian status neurologis secara cepat.

1) Jika mengalami obstruksi jalan nafas, ditangani dengan cara menyesuaikan posisi kepala, leher, dan mandibula secara benar untuk menyingkirkan jaringan lunak dan lidah dari saluran nafas. Kemungkinan indikasi untuk intubasi endotrakeal

a) Obstruksi jalan nafas atas yang tidak dapat diatasi dengan mengatur posisi jalan nafas

b) Laju pernafasan atau irama pernafasan yang abnormal c) Hilangnya reflex proteksi pada jalan nafas

d) Trauma lain yang terjadi bersamaan, seperti: instabilitas dinding dada dan kontusio pulmonary

e) Tanda-tanda peningkatan TIK

2) Instabilitas vertebra servikal merupakan bagian evaluasi jalan nafas. Cervical collar sebaiknya digunakan bersama dengan imoblisasi sisi atau imobilisasi manual yang sebaiknya dilakukan sebelum diperoleh kejelasan secara radiografik.

3) Jika pasien memiliki jalan nafas atas bersih tetapi memiliki suara nafas yang menurun mungkin mengalami satu atau banyak cedera berikut ini:

a) Pneumotoraks diatasi dengan pemasangan selang dada.

b) Kontusio pulmonary diatasi dengan pemberian oksigen dan jika perlu diberikan ventilasi tekanan positif.

c) Flail chest terjadi pada saat dua atau lebih iga patah dua tempat atau lebih. Hal ini tidak memungkinkan pergerakan dinding dada saat inspirasi. Kelainan ini diatasi dengan merekatkan bagian dada yang patah ke dinding dada;

d) Depresi sistem saraf pusat, hipopnea atau bradipnea sentral berkaitan dengan peningkatan tekanan intracranial atau gangguan jalur nafas.

4) Sirkulasi

Rumus untuk mengetahui pengaruh cedera kepala terhadap perfusi otak (tekanan perfusi otak) adalah: Tekanan perfusi otak (TPO) = tekanan arteri

rata-rata (TAR) - tekanan intracranial (TIK).

Tujuan penanganan adalah ntuk memaksimalkan tekanan arteri rata-rata meminimalkan tekanan intracranial. Seperti pada trauma, syok sebaiknya segera diatasi tanpa memperhatikan tekanan intracranial. Kurangnya perfusi ke otak dapat menyebabkan kerusakan sel neuron yang ireversibel. Gamabran awal syok pada korban trauma tidak dapat dianggap sekunder akibat cedera medulla spinalis (syok neurogenik) dan harus diperlakukan sebagai syok hipovolemik sampai terbukti sebaliknya. Pemberian kristaloid sperti larutan

ringer laktat, atau koloid, seperti whole blood, sebaiknya berdasarkan pada denyut jantung pasien, perfusi kulit, dan keluaran urin.

5) Disabilitas neurologic

Skala koma Glasgow (GCS), pemeriksaan pupil, dan reflek muntah sebaiknya diperiksa relatif awal pada proses evaluasi untuk menentukan adanya herniasi otak seperti halnya perlu tidaknya melakukan intubasi endotrakeal.

Penatalaksanaan gangguan neurologis akibat trauma pada anak 1) Pernapasan

Pada pasien cedera kepala dengan kesadaran menurun tidak dapat dipertahankan jala napas adekuat. Mulut dan farings dapat tersumbat oleh sekresi sisa muntah dan bekuan darah. Lesi di batang otak dapat pula mengganggu pusat pernapasan sehingga pernapasan menjadi tidak adekuat. Oleh karena itu menjaga jalan napas serta ventilasi yang efektif sangat penting pada pasien dengan cedera kepala.

2) Mempertahankan perfusi otak

Tekanan perfusi otak dipengaruhi oleh tekanan darah arterial dan tekanan intrakranial (tekanan perfusi serebral tekanan darah arterial-tekanan intrakranial). Oleh karena itu pada cedera kepala tekanandarah dicegah jangan sampai menurun. Jika terdapat syok dan perdarahan harus segera diatasi. Dan bila didapat tekanan intrakranial yang meningkat harus dicegah.

3) Edema otak

Bila terdapat tanda-tanda edema otak, maka harus diberikan obat untuk mengurangi edema otak tersebut.

4) Cairan dan elektrolit

Pasien dengan kesadaran menurun atau pasien dengan muntah, pemberian cairan dan elektrolit melalui infus merupakan hal yang penting. Harus diukur input dan output cairan, sebab hidrasi yang berlebihan dapat memperburuk edema. Keadaan dehidrasi harus dikoreksi

5) Nutrisi

Pada pasien dengan cedera kepala kebutuhan kalori dapat meningkat karena terdapat keadan katabolik. Bila perlu diberi makanan melalui sonde lambung

6) Pasien yang gelisah

Pada pasien yang gelisah dapat diberi obat penenang misalnya haloperidol. Untuk nyeri kepala dapat diberi analgetik. Pemberian sedatif dapat mengganggu penilaian tingkat kesadaran

7) Hiperpireksia

Suhu tubuh pasien harus dijaga jangan sampai terjadi hiperpireksia. Biasanya hiperpireksia terjadi segera setelah trauma kemungkinan disebabkan oleh gangguan hipotalamus.

8) Bangkitan kejang

Bila terjadi bangkitan kejang dapat diatasi dengan pemberian diazepam intravena dengan dosis 0.3 mg/koagulan BB dengan maksimal 5 mg untuk anak kurang 5 tahun dan 10 mg untuk anak yang lebih besar Operasi Pada sebagian kecil pasien dibutuhkan tindakan operasi, misalnya pada hematoma subdural dan hematoma epidural.

Jika anak mengalami trauma kepala berat

Menurut Insley (2003) penatalaksanaannya harus dikoordinasikan dengan tim bedah saraf, anestesi, dan tim rawat intensif.

1) Jika kejang harus diatasi dengan cepat dan obat pilihan pertamanya adalah fenitoin yang tidak mendepresi tingkat kesadarn (20 mg/ kg dapat diberikan intravena dalam 20 menit). Diazepam dapat menyebabkan ddepresi pernfaasan. Sebgaai alternative gunakan thiopental dan ventilasi.

2) Hematom intracranial harus dicurigai hingga terbukti yang lain pada trauma kepala yang makin memburuk, sangat mungkin terjadi fraktur tulang tengkorak.

3) Bila terjadi kenaikan tekanan intracranial berikan terapi spesifik untuk edema otak meliputi hiperventilasi adan obat osmotic seperti manitol intravena.

4) Indikasi pembedahan

Segera hanya pada hematom intracranial dan perdarahan kulit kepala. Fraktur tulang yang bersifat majemuk dank arena penekanan, perlu dilakukan pembedahan tetapi hal tersebut biasanya dapat direncanakan dalam 24-48 jam setelah terjadi cedera.

4. Gangguan neurologis akibat infeksi a. Pengkajian

1) Pengkajian fisik

Observasi

Pengkajian pada anak bergantung pada usia anak dan luas penyebaran infeksi. pada anak manifestasi klinis yang timbul bisa sakit secara tiba-tiba, anak menjadi rewel, anak bisa menjadi agresif atau mengantuk, stupor atau koma, pada gangguan gastrointestinal seperti muntah dan diare.

Pada bayi, manifestasi klinis biasanya tampak pada umur 3 bulan sampai 2 tahun saat observasi bisa ditemukan nafsu makan berkurang, rewel, mudah lelaha, kejang-kejang, dan menagis meraung-raung. Pada bayi, hasil observasi hanya bisa terlihat pada umur 3 bulan sampai 2 tahun biayanya sering terlihat nafsu makan menurun, muntah, rewel, mudah lelah, kejang dan menangis meraung-meraung. Pada neonatus biasanya masih sukar untuk diketahui karena manifestasi klinisnya tidak jelas dan tidak spesifik, namun biasanya menolak untuk makan, kemampuan untuk menetek kurang,muntah , diare, tonus otot lemah, pergerakan dan kekuatan menangis melemah, pada kasus yang lebih lanjut terjadi hipotermia/demam, ikterus, rewel, frekuensi nafas tidak teratur/apnea, sianosis, penurunan berat badan.

Palpasi

Saat palpasi pada anak, bisa dingin dan sianosis serta suhu tubuh terasa panas. Saat difleksikan terdapat tahanan, kaku pada leher, tanda kernik dan brudzinski positif. Pada bayi tanda yang khas saat dipalpasi adalah menonjolnya fontanel.

2) Pengkajian labor dan diagnostik

a) Tes mikroskopik darah lengkap untuk melihat patogen penginfeksi apakah bakteri atau organisme lain serta pH darah sebagai tanda dari alkalosis, acidosis dan respiratory sufficiency;

b) Tes urin untuk melihat osmolarity, kultur dan spesific gravity;

c) Fungsi lumbar untuk menunjukkan sampel cairan serebral sehingga diketahui patogen penyebab infeksi dan penyakit yang diderita

(meningitis, ensephalitis dan reye’s sindrom) dengan menilai kadar protein, glukosa dan sel darah putih;

d) MRI atau CT untuk mengkonfirmasi adanya efusi pada subdural, edema pada serebral maupun hidrosepalus;

e) Tes fungsi hati untuk memastikan penyakit sindrom reye’s;

f) Electroensephalography; untuk menilai frekuensi gelombang otak, dimana pada penderita ensefalitris akan ditemukan perlambatan difusi. g) Nasopharingeal dan stool swabs untuk menilai adanya eterovirus.

b. Masalah keperawatan 1) Resiko infeksi

Risiko infeksi adalah kondisi individu yang berisiko tinggi tertular agen infeksius dari individu lain maupun dari suatu prosedur invasif

2) Resiko gangguan integritas kulit

Resiko gangguan integritas kulit adalah kondisi individu yang berisiko mengalami kerusakan jaringan integument, kornea, atau membrane mukosa pada tubuh (Carpenito, 2009).

3) Nyeri akut

Nyeri akut adalah nyeri yang dirasakan dalam waktu yang sangat singkat dan berakhir kurang darr 6 bulan , sumber dan daerah nyeri diketahui dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti 4) Gangguan perfusi jaringan

Keadaan dimana individu mengalami atau beresiko mengalami suatu penurunan dalam nutrisi dan pernafasan pada tingkat selular disebabkan suatu penurunan dalam suplai darah kapiler.

5) Resiko peningkatan TIK

Peningkatan tekanan intracranial atau TIK (intracranial pressure,

ICP) didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis.

6) Hipertermi

Hipertemi adalah dimana keadaan individu beresiko untuk mengalami kenaikan suhu tubuh terus menerus lebih tinggi dari 37,8%per oral atau 38,8 per rectal.

7) Kurang pengetahuan orang tua

Kurang pengetahuan adalah kondisi ketika individu atau kelompok tidak memiliki cukup pengetahuan kognitif atau ketterampilan psikomotor terkait kondisi atau rencana tindakan tertentu (Capernito, 2009).

8) Gangguan komunikasi verbal

Gangguan komunikasi verbal adalah suatu keadaan pengalaman seseorang atau berisiko untuk kesulitan bertukar pikiran, ide, keinginan, atau kebutuhan dengan orang lain (Carpenito & Moyet, 2008).

c. Prinsip penatalaksanaan 1) Mandiri

- Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan dengan sedikit bantal, hindari pengunaan bantal yang tinggi dikepala

- Observasi tingkat kesadaran dengan GCS

- Memonitor suhu setiap 1 sampai 2 jam dan sesuai kebutuhan. Amati adanya penurunan kesadaran dan muntah.

- Kaji tanda-tanda vital terutama suhu tubuh 2) Kolaborasi

- Tentukan patogen penyebab infeksi

- Jika bakteri, berikan anti biotik sesuai jenis bakteri tersebut seperti  Sefalosporin generasi ketiga

 Amfisilin 150-200 mg (400 mg)/kg BB/24 jam, IV, 4-6 x sehari  Kloromfenikol 50 mg/kg BB/24 jam IV 4 x sehari

 Antikonvulsan seperti Diazepam IV; 0,2-0,5 mg/kg BB/ dosis, atau rectal 0,4-0,6 mg/kgBB, atau feniton 5 mg/kg BB/24 jam, 3x sehari atau fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24 jam, 3 sehari

- Jika virus, tindakan bisa berupa paliative dan suportive

 Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1 ½ tahun

 Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1x sehari selama 1 tahun  Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama

1 bulan

- Jika belum di ketahui patogen penyebab infeksi, berikan antibiotik seperti perawatan pada agen penyebab bakteri

- Pemberian O2 sesuai indikasi

- Pemberian cairan intravena sesuai indikasi - Pemberian analgesik untuk nyeri kepala

- Antiperitik: parasetamol/ asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.

DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Teknik prosedural keperawatan: Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar. Jakarta: Salemba medika.

Capernito, L.J. (2009). Diagnosis keperawatan: Aplikasi pada praktik klinis. Jakarta: EGC. Capernito, L.J., & Moyet. (2008). Nursing diagnosis: Application and clinical practtice.

Wolters Kluwer: USA.

Cupp, C. (2010). Reye’s syndrome. Diperoleh dari web

www.gulfportmemorial.com/workfiles/memorialnews/HYReyes.pdf pada tanggal 22 Maret 2013

Engel, J. (2008). Seri pedoman praktis pengkajian pediatrik edisi 4. Jakarta: EGC. Insley, J. (2003). Vademode pediatric. Jakarta: EGC

James, S.R., & Aswhill, J.W. (2007). Nursing care of children: principles & practice. Elsevier: Saunders.

Muscary, M.E. (2005). Panduan belajar: Keperawatan pediatrik. Jakarta : EGC.

Potts, N. L & Mandleco, B. L. (2007). Pediatric nursing: caring for children ang their families, second edition. Canada: Thomson.

Saharso, D., Herjana, A.Y., & Emy. (2005). Lokakarya tumbuh kembang anak:

Pemeriksaan neurologis pada bayi dan anak. Surabaya: FK Unair

Schwartz, M.W. (2004). Pedoman klinis pediatri. Jakarta: EGC.

Tunkel, et.al. (2008). The Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by

the Infectious Diseases Society of America. Diperoleh dari www.idsociety.org/uploadedFiles/.../Guidelines.../Encephalitis.pdf pada tanggal 22 Maret 2013.

Dalam dokumen Sistem Neurologi Pada Anak (Revisi 2) (Halaman 31-40)

Dokumen terkait