• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) telah di kenal di Indonesia sejak awal abad ke-19 dan sering disebut singkong atau ketela pohon. Sebagai bahan pangan utama di Indonesia, ubi kayu menduduki tempat ketiga setelah padi dan jagung (Affandi, 1906 dalam Setyono, dkk., 1990).

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), karena sifat-sifatnya yang mudah dan mampu berproduksi tinggi sekalipun ditanam di tanah kering, ubi kayu dapat berperan sebagai sumber bahan pangan yang murah dan mudah didapat, terurama oleh penduduk pedesaan dan daerah pegunungan terpencil yang di tempat itu bahan makanan yang lebih mahal dan bergizi harganya tidak terjangkau oleh penduduk.

Klasifikasi tanaman singkong adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Euphorbiales

Famili : Euphorbiaceae Genus : Manihot

Spesies : Manihot utilissima Pohl.; Manihot esculenta Crantz sin (Prihatman, 2000 dalam Wahyu 2008).

Ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, seperti warna daging, rasa daging, dan besar kadar racun sianida dalam umbi. Berdasarkan warna daging umbi, ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) dibedakan menjadi dua macam, yaitu ubi kayu kuning dan ubi kayu putih. Berdasarkan rasa umbinya, ubi kayu dibedakan menjadi dua golongan, yaitu ubi kayu pahit dan ubi kayu manis. Rasa pahit ubi disebabkan oleh kandungan asam sianida dalam umbi. Semakin besar kandungan asam sianida, maka rasanya akan semakin pahit (Winarno, 1981).

Nilai nutrisi singkong dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Nilai Nutrisi Singkong (per 100 gram Porsi Makanan)

Nutrisi Singkong

Komponen Utama Mineral

Air, 59.68 g Energi, 160 kcal Energi, 669 kj Protein, 1.36 g Total lemak, 0.28 g Karbohirat, 38.05 g Serat, 1.8 g Ampas, 0.62 g Kalsium, Ca, 16 mg Besi, Fe, 0.27 mg Magnesium, Mg, 21 mg Phospor, P, 27 mg Potassium, K, 271 mg Sodium, Na, 14 mg Seng, Zn, 0.34 mg Tembaga, Cu, 0.1 mg Mangan, Mn, 0.384 mg Selenium, Se, 0.7 mcg

Asam Amino Vitamin

Tryptophan, 0.019 g Threonine, 0.028 g Isoleucine, 0.027 g Leucine, 0.039 g Lysine, 0.044 g Methionine, 0.011 g Cystine, 0.028 g Phenylalanine, 0.026 g Tyrosine, 0.017 g Valine, 0.035 g Arginine, 0.137 g Histidine, 0.02 g Vitamin C, 20.6 mg Thiamin, 0.087 mg Riboflavin, 0.048 mg Niacin, 0.854 mg Asam Pantothenic, 0.107 mg Vitamin B-6, 0.088 mg Folate, 27 mcg Vitamin B-12, 0 mcg Vitamin A, 25 IU

Vitamin A, RE, 2 mcg_RE Vitamin E, 0.19 mg_ATE

Alanine, 0.038 g Asam Aspartic, 0.079 g Asam Glutamic, 0.206 g Glycine, 0.028 g Proline, 0.033 g Serine, 0.033 g Sumber: Anonimf, 2009

Pati singkong mengandung 83% amilopektin (Chan, 1983 dalam Wahyu, 2008). Menurut Kearsley and Dziedzic (1995) dalam Hidayat (2008), dibandingkan pati lainnya, pati ubi kayu mengandung amilopektin yang tinggi (87%). Sedangkan menurut Ceballos (2007), singkong tradisional memiliki kandungan amilosa antara 17-25%.

Gaplek adalah salah satu produk usaha pengawetan untuk memperpanjang masa simpan ubi kayu. Ubi kayu segar biasanya hanya memiliki masa simpan selama 2-3 hari saja. Gaplek pada pengertian umum adalah hasil pengeringan dari ubi kayu segar yang telah dikupas kulitnya dan dicuci. Biasanya pengeringan tersebut dilakukan dengan cara penjemuran di bawah sinar matahari. Gaplek yang dihasilkan biasanya berwarna putih sampai putih kekuning-kuningan, berbau agak asam dan mempunyai kadar air 10-12% (Yulineri, dkk., 1997).

Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah dulu menjadi bentuk lain yang lebih awet, seperti gaplek, tapioka, tapai, peuyeum, keripik singkong dan lain-lain (Anonim, 2000). Gaplek merupakan ubi kayu yang telah dikupas kulitnya, kemudian dibelah menurut sumbunya menjadi dua atau empat, kemudian dijemur. Penjemuran dapat dilakukan dengan cara bahan ditempatkan di atas atap, dijemur di atas tanah dengan alas ataupun tidak dan digantung. Dari gaplek ubi kayu dapat dibuat tiwul, gatot dan dan macam-macam panganan lainnya (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Menurut Hastuti dan Rahardjo (1983), gaplek ialah ubi kayu tak berkulit yang dikeringkan. Sesuai dengan bentukya, gaplek ini ada yang berasal dari ubi kayu yang utuh, yang dibelah, ada yang berasal dari irisan ubi maupun serutan ubi. Gaplek umumnya berwarna putih kotor dibagian

luarnya dan putih kekuningan serta bersih di bagian dalamnya. Gaplek terutama mengandung zat pati seperti halnya beras. Tetapi berbeda dengan beras, jagung dan padi-padian lain, gaplek hanya memiliki kadar protein yang sangat rendah. Damarjati dan Widowati (1993), menyatakan bahwa gaplek yang dibuat secara tradisional mempunyai mutu yang rendah (berwarna coklat kehitaman), cepat diserang serangga dan hanya mempunyai masa simpan selama 1-2 bulan.

Persyaratan mutu gaplek dapat dilihat pada Tabel 2.7 di bawah ini.

Tabel 2.7 Persyaratan Mutu/ Kualitas Gaplek Singkong (dalam persen) Jenis mutu Kadar air

Maks (%) Kadar pati maks (%) Kadar serat Maks (%) Kadar kotoran maks (%) Mutu I 14 70 4 4 Mutu II 14 68 5 5,5 Mutu III 15 65 6 7 Sumber : Hastuti, 1983

Ampas tapioka dalam medium limbah cair tapioka dapat digunakan sebagai sumber karbon pengganti tepung beras untuk produksi angkak oleh M. purpureus, dalam sistem fermentasi cair. Bahkan mampu meningkatkan intensitas pignen merah yang dihasilkan (Jenie, dkk., 1994). 4. Angkak

Angkak adalah produk fermentasi beras menggunakan kapang Monascus sp. Angkak berasal dari China. Pembuatan pertama dilakukan oleh dinasti Ming yang berkuasa pada abad ke-14 sampai abad ke-17. Dalam teks tradisional The Anchient Chinese Pharmacopoenia disebutkan bahwa angkak digunakan sebagai obat untuk melancarkan pencernaan dan sirkulasi darah. Di beberapa negara Asia seperti Taiwan, Jepang, Korea dan Hongkong, angkak diproduksi untuk keperluan sebagai pewarna alami makanan (Ardiansyah, 2005).

Menurut Rahayu, dkk. (1993), angkak merupakan hasil fermentasi beras menggunakan jamur Monascus purpureus yang menghasilkan pigmen merah dan kuning. Pigmen yang dihasilkan mempunyai kestabilan

yang tinggi, mudah dicerna dan tidak beracun. Produk ini mula-mula berasl dari cina, kemudian disebarluaskan oleh para pembuat “rice wine” ke taiwan. Angkak banyak dikenal dengan nama anka, red rice, chinnese red rice, ankak, angquac, beni koji dan aga koji.

Mikroorganisme yang berperan dalam fermentasi angkak adalah Monascus purpureus (Steinkraus, 1996). Menurut Hesseltine (1965) dalam Rahayu, dkk. (1993), jamur Monascus purpureus diklasifikasikan sebagai berikut :

Divisio : Amastigomycotina Sub Divisio : Ascomycotina Classis : Ascomycetes Sub Classis : Plectomycetidae Ordo : Eurotiales Familia : Monascaceae Genus : Monascus

Melalui proses fermentasi fasa padat dengan menggunakan kapang dari Monascus, yang terkadang disebut kapang merah, beras yang semula putih bersih akan berubah menjadi merah. Bulir-bulir beras yang tadinya berwarna putih akan diselimuti pigmen merah yang dihasilkan selama fermentasi. Metabolit yang terbentuk selama proses fermentasi umumnya berupa senyawa-senyawa poliketida seperti monascin, ankaflavin, rubropuctatin dan monascorubrin yang merupakan pigmen warna. Selain itu, proses fermentasi juga menghasilkan beberapa senyawa metabolit sekunder bentuk poliketida lain seperti monakolin K yang identik dengan lovastatin atau mevinolin serta senyawa monakolin lainnya (Tisnadjaja, 2006).

Salah satu fenomena unik dari jamur M. purpureus adalah kemampuan untuk menghasilkan cairan granular melalui ujung hifa. Pada saat jamur masih muda, cairan yang dikeluarkan tidak berwarna tetapi cairan tersebut secara perlahan-lahan berubah menjadi merah kekuningan

atau merah oranye. Produksi pigmen angkak tersebut tidak hanya terdapat pada cairan yang dikeluarkan tetapi juga pada bagian dalam hifa. Warna merah tersebut mampu mendifusi ke dalam substrat. Warna merah tersebut terdiri dari dua macam pigmen, yang merah yaitu monascorubrin (C22H24O5) dan kuning yaitu monascoflavin (C17H22O4) (Steinkraus, 1983 dalam Rahayu, dkk., 1993).

Menurut Suwanto (1985) dalam Kasim, dkk. (2005), terdapat enam komponen utama dari pigmen yang dihasilkan oleh M. purpureus. Keenam pigmen tersebut adalah rubropunktatin (merah), monaskorubrin (merah), monaskin (kuning), ankaflavin (kuning), rubropunktamin (ungu) dan monaskorubramin (ungu).

Angkak dibuat dari beras sebagai substrat dengan fermentasi padat. Beras yang digunakan adalah beras pera karena memiliki kadar amilosa tinggi tetapi rendah amilopektin. Dengan memasukkan sekitar 25 gram nasi ke dalam cawan petri, yang kemudian disterilisasi menggunakan otoklaf pada suhu 121oC selama 15 menit, sterilisasi ini dilakukan. Usai tahap ini, didinginkan hingga 36oC, kemudian diinokulasi dengan 2 gram inokulum Monascus purpureus. Setelah itu, campurkan diaduk hingga rata dan diinkubasikan pada suhu 27-32oC selama 14 hari. Selama masa inkubasi, kapang Monascus purpureus akan tumbuh dan berkembang biak dengan cepat, menutupi permukaan beras dengan pigmen merah (Astawan, 2006).

Menurut Hesseltine (1965) dalam Steinkraus (1996), pembuatan angkak dalam skala laboratorium dapat dilakukan dengan memasukkan 50 gram beras dan air sebanyak 30 ml ke dalam gelas beker yang tertutup guna mencegah terjadinya kontaminasi yang dapat terjadi karena udara. Atau dapat dilakukan dengan mencuci beras tersebut, kemudian dilakukan perendaman selama 24 jam dan ditiriskan. Selanjutnya gelas beker yang berisi beras disterilkan dengan autoklaf hingga diperoleh beras yang steril dan didinginkan pada suhu kamar. Kemudian dilakukan inokulasi dengan menambahkan 5 ml inokulum berupa suspensi askospora dari kultur M.

purpureus berumur 25 hari yang ditumbuhkan pada media Sabaround’s agar, media yang sangat baik bagi pertumbuhan dan produksi pigmen. Inkubasi dilakukan pada suhu 25-30oC. Selama inkubasi, beras menjadi memerah dan menghasilkan panas. Pada saat itu, sebaiknya dilakukan pengadukan sehingga uap air yang ada tidak mengendap dan pada akhir fermentasi bisa diperoleh biji angkak yang tidak melekat satu sama lain. Selanjutnya dilakukan pengeringan angkak pada suhu 40oC (Sooksan and Gongsakdi, 1982 dalam Steinkraus, 1996).

5. Antioksidan

Antioksidan merupakan zat yang berfungsi melindungi tubuh dari serangan radikal bebas. Yang termasuk ke dalam golongan zat ini antara lain vitamin, polipenol, karotin dan mineral (Anonim, 2008). Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat spesies oksigen reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga radikal bebas sehingga antioksidan dapat mencegah penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan radikal bebas seperti arsinogenesis, kardiovaskuler dan penuaan (Halliwell and Gutteridge, 2000 dalam Rohman dan Riyanto, 2005).

Antioksidan alam telah lama diketahui menguntungkan untuk dipergunakan dalam bahan pangan karena umumnya derajat toksisitasnya rendah, sedangkan antioksidan sintetik banyak digunakan pada bahan non pangan (Cahyadi, 2006). Menurut Santoso (2006), antioksidan dalam kaitan ini adalah substansi atau senyawa yang ditambahkan dalam lemak atau pangan berlemak untuk mencegah oksidasi sehingga memperpanjang daya simpannya. Idealnya, antioksidan yang digunakan dalam pangan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) tidak memberikan efek yang secara fisiologi berbahaya; (2) tidak memberikan flavor, bau atau warna yang tidak dikehendaki pada pangan yang diawetkan; (3) efektif pada konsentrasi rendah; (4) larut dalam lemak atau minyak; (5) bertahan

sehingga memberikan perlindungan pada pangan; (6) mudah tersedia dan cukup murah.

Radikal bebas adalah molekul yang sangat reaktif karena memiliki elektron yang tidak berpasangan dalam orbital luarnya sehingga dapat bereaksi dengan molekul sel tubuh dengan cara mengikat elektron molekul sel tersebut (Amrun dan Umiyah, 2005). Karena secara kimia molekulnya tidak lengkap, radikal bebas cenderung mengambil partikel sel dari molekul lain, yang kemudian menimbulkan senyawa tidak normal dan memulai reaksi berantai yang dapat merusak sel-sel penting dalam tubuh (Anonima, 2009).

Menurut Sianturi (2006), polusi udara, asap rokok, alkohol, emisi kendaraan bermotor, dan sinar ultraviolet yang berlebihan adalah faktor-faktor eksternal yang memacu pertumbuhan radikal bebas di dalam tubuh manusia. Anonima (2009) menambahkan jika di suatu tempat terjadi reaksi oksidasi dimana reaksi tersebut menghasilkan hasil samping berupa radikal bebas (·OH) maka tanpa adanya kehadiran antioksidan, radikal bebas ini akan menyerang molekul-molekul lain disekitarnya. Hasil reaksi ini akan dapat menghasilkan radikal bebas lain yang siap menyerang molekul lainnya lagi. Akhirnya akan terbentuk reaksi berantai yang sangat membahayakan. Berbeda halnya bila terdapat antioksidan. Radikal bebas akan segera bereaksi dengan antioksidan membentuk molekul yang stabil dan tidak berbahaya.

Penambahan antioksidan (AH) primer dengan konsentrasi rendah pada lipida dapat menghambat atau mencegah reaksi autooksidasi lemak dan minyak. Penambahan tersebut dapat menghalangi reaksi oksidasi pada tahap inisiasi maupun propagasi (reaksi 1). Radikal-radikal antioksidan (A*) yang terbentuk pada reaksi tersebut relatif stabil dan tidak mempunyai cukup energi untuk dapat bereaksi dengan molekul lipida lain dan membentuk radikal lipida baru (Gordon, 1990 dalam Ardiansyah, 2008).

Radikallipida

Propagasi : ROO* + AH ---> ROOH + A*

Reaksi 1. Penghambatan antioksidan primer terhadap radikal lipida (Gordon, 1990 dalam Ardiansyah, 2008).

Besarnya konsentrasi antioksidan yang ditambahkan dapat berpengaruh pada laju oksidasi. Pada konsentrasi tinggi, aktivitas antioksidan grup fenolik sering lenyap bahkan antioksidan tersebut menjadi prooksidan (Reaksi 2). Pengaruh jumlah konsentrasi pada laju oksidasi tergantung pada struktur antioksidan, kondisi dan sampel yang akan diuji.

AH + O2 ---> A* + HOO*

AH + ROOH ---> RO* + H2O + A*

Reaksi 2. Antioksidan bertindak sebagai prooksidan pada konsentrasi tinggi (Gordon, 1990 dalam Ardiansyah, 2008).

Uji DPPH adalah suatu metode kolorimetri yang efektif dan cepat untuk memperkirakan aktivitas antiradikal. Uji kimia ini secara luas digunakan dalam penelitian produk alami untuk isolasi antioksidan fitokimia dan untuk menguji seberapa besar kapasitas ekstrak dan senyawa murni dalam menyerap radikal bebas. Radikal DPPH adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen tidak stabil dengan

absorbansi kuat pada λ max 517 nm dan berwarna ungu gelap. Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH tersebut akan tereduksi dan warnanya akan berubah menjadi kuning. Perubahan tersebut dapat diukur dengan spektrofotometer dan diplotkan terhadap konsentrasi (Reynertson, 2007 dalam Sa’ad, 2009).

Gambar 2.1 Reaksi Antara Radikal DPPH (C18H12N5O6) dengan Antioksidan

Mekanisme reaksi penangkapan radikal DPPH oleh antioksidan adalah DPPH + AH ® DPPH-H + A. Reaksi yang cepat dari radikal DPPH terjadi dengan beberapa fenol, misalnya α-tokoferol tetapi reaksi sekunder lambat menyebabkan penurunan absorbansi yang progresif sehingga keadaan steady state tidak akan dicapai untuk beberapa jam. Kebanyakan penelitian yang menggunakan metode DPPH melaporkan aktivitas scavengingnya setelah reaksi 15 atau 30 menit (Pokorny et al., 2001).

Dalam uji DPPH, kemampuan scavenging terhadap DPPH dilakukan dengan mengamati penurunan absorbansi pada 515-517 nm. Penurunan absorbansi terjadi karena penambahan elektron dari senyawa antioksidan pada elektron yang tidak berpasangan pada gugus nitrogen dalam struktur senyawa DPPH. Larutan DPPH berwarna ungu. Intensitas warna ungu akan menurun ketika radikal DPPH tersebut berikatan dengan hidrogen. Semakin kuat aktivitas antioksidan sampel maka akan semakin besar penurunan intensitas warna ungunya (Osawa dan Namiki, 1981). 6. Antikolesterol (Lovastatin)

Kolesterol adalah molekul biologis yang berperan sangat penting dalam sintesis membran sel, prekusor sintesis hormon steroid, hormon korteks adrenal dan sintesis asam-asam empedu dan vitamin D. Kolesterol terdiri atas high density cholesterol (HDL), low density cholesterol (LDL)

dan trigliserida. HDL bertugas untuk membawa kolesterol dari aliran darah ke hati. LDL bertugas membawa kolesterol kembali ke aliran darah. Kolesterol dapat berasal dari dua sumber yaitu eksogen (makanan) atau endogen (disintesis dalam tubuh). Hiperkolesterolemia disebabkan kadar kolesterol melebihi 239 mg/mL dalam darah (Aryantha, dkk., 2004).

Lovastatin adalah suatu pro-drug, yang di dalam tubuh akan segera terhidrolisis menghasilkan suatu senyawa yang dapat menghambat kerja dari HMG-CoA reduktase, yaitu sebuah enzim yang mengkatalisis perubahan HMG-CoA menjadi mevalonat, yang merupakan sebuah tahap penting dalam biosintesis kolesterol. Hambatan enzim ini meningkatkan densitas reseptor LDL dalam sel hati sehingga terjadi penurunan LDL kolesterol. Aktivitas lovastatin ini memiliki arti penting secara medis sebagai obat anti hiperkolesterolemia (Hardmann et al., 1996 dalam Nauli dan Udin, 2006).

Formula empiris dari lovastatin adalah C24H36O5 dengan berat molekul 404.55 g/mol. Lovastatin hadir dalam bentuk lakton non aktif dan asam hidroksi terbuka aktif semi polar dan larut baik dalam etanol (Albert,1989 dalam Aryantha, dkk., 2004). Bentuk aktif dari lovastatin adalah dalam bentuk asam hidroksi terbuka karena dapat berperan sebagai inhibitor kompetitif HMG-CoA. Lovastatin tidak larut dalam air, larut sebagian dalam etanol, metanol, asetonitril, etil asetat dan larut sempurna dalam kloroform. Lovastatin mempunyai titik leleh 174,5 oC, rotasi optik pada konsentrasi 0,5 gram dalam 100 ml asetonitril sebesar 325o. Lovastatin mempunyai serapan maksimum sinar ultraviolet pada λ

235,238, dan 247 nm (Saimee, 2003 dalam Aryantha, dkk., 2004).

Monascus juga menghasilkan beberapa zat antihiperkolesterolemia berupa senyawa statin, yang diberi nama monakolin J, K dan L. Senyawa yang paling potensial adalah monakolin K atau mevinolin atau lovastatin, yaitu senyawa hipolipidemik yang menginhibisi kerja HMG-CoA reduktase. Enzim ini berperan dalam metabolisme HMG-CoA menjadi asam mevalonat (Blanc et al., 1998; Z. Hai, 1998; Keane, 1999 dalam

Wibowo, dkk., 2006). Endo et al. (1976) dalam Aryantha, dkk. (2004), menemukan bahwa secara alami kapang Monascus menghasilkan senyawa yang menghambat biosintesis kolesterol dan disebut lovastatin (mevanolin, monakolin K).

Prinsip kerja lovastatin terhadap HMG-CoA reduktase sama dengan prinsip kerja inhibitor kompetitif enzim. HMG-CoA reduktase dilambangkan sebagai enzim utama. Lovastatin sebagai inhibitor kompetitif dan HMG-CoA sebagai substrat. HMG-CoA reduktase adalah enzim utama yang mendukung sintesis kolesterol di organ hati dengan cara berikatan dengan mengubah HMG-CoA menjadi mevalonat. Ketika lovastatin hadir dalam bentuk asam hidroksi terbuka dengan konsentrasi lebih dari konsentrasi substrat (HMG-CoA) maka HMG-CoA reduktase akan lebih cenderung berikatan dengan lovastatin sehingga jumlah dan frekuensi sintesis kolesterol tereduksi (Omura, 1992 dalam Aryantha, dkk., 2004).

Gambar 2.2 Rumus Bangun dari Lovastatin (C24H36O5)

Dibanding penurun kolesterol lainnya (pengikat asam empedu, asam nikotinat, asam fibrat, penghambat absorpsi kolesterol), statin memiliki efek penurunan LDL-C terbesar. Sehingga statin dijadikan obat utama untuk mengatasi hiperkolesterolemia. Saat ini, tersedia beberapa statin di pasaran, yaitu simvastatin, lovastatin, pravastatin, fluvastatin, atorvastatin, dan rosuvastatin (Amita, 2006).

Dokumen terkait