METODE PELISANAN DAN METODE PENAFSIRAN KH. SYA’RONI
A. Metode Pelisanan dalam Pengajian Tafsir Surat Al-Fāti ḥ ah
2. Gaya Bahasa dalam Pengajian Tafsir Surat Al-Fāti ḥ ah
Bahasa Jawa diketahui memiliki tingkatan (unggah-ungguh) dimana tingkat kehalusan dan kekasaran diksinya bergantung pada pihak-pihak yang berdialog.164 Sejauh pengamatan penulis, bahasa yang digunakan Kiai Sya‟roni ketika menyampaikan pengajian tafsir memakai bahasa Jawa
Kromo (halus) meskipun terkadang memakai bahasa Jawa Ngoko (kasar)
dan bahasa Indonesia.
Penggunaan tutur bahasa yang demikian ini berpengaruh besar kepada diri Kiai Sya‟roni ketika menafsirkan surat al-Fātiḥ ah. Hal ini terlihat dari dialektika bahasa penafsiran ketika pengajian berlangsung. Dalam pengamatan penulis, setidaknya terdapat beberapa model dialek yang mengandung tingkatan bahasa dalam penafsiran surat al-Fātiḥ ah. Pertama adalah dialektika dengan tutur bahasa kromo. Jika dalam dialek Jawa, tutur bahasa kromo digunakan untuk berkomunikasi dengan seseorang yang mempunyai strata atau kedudukan yang lebih tinggi, entah itu dari segi usia atau pangkat. Hal yang sama dilakukan oleh Kiai Sya‟roni ketika memunculkan dialek ini ketika menafsirkan dalam pengajiannya.
Penafsiran yang dilakukan oleh Kiai Sya‟roni juga banyak dipengaruhi unsur lokalitas yang masih melekat dengan bahasa Jawa yang disesuaikan dengan audiensnya. Lokalitas dengan bahasa Jawa Kromo
163Wawancara pribadi dengan M. Yusrul Hana, Kudus, 31 Januari 2018.
sangat kental ketika Kiai Sya‟roni dalam mukadimahnya ngendikan (berkata):165
“Sakderenge mahos tafsir, perlu penjelasan. Kulo insyaAllah bade
ngawiti mahos tafsir mulai surat al-Fātiḥ ah. Sakderengipun, kulo
saben-saben mahos temtu hadiah Fātiḥ ah, mangke lajeng qori’ mahos Qur’an.
Niki tujuanipun saben-saben mahos Fātiḥ ah hadiahe dateng kanjeng Nabi,
wa ālihῑ , wa aṣ ḥ ābihῑ , poro nabi-nabi, poro wali-wali, Mbah Sunan
Kudus lan keluarga kito sing mpun sumare. Mangke sampean nek nuju mahos Fātiḥ ah atine krentek sampean katutke keluarga-keluarga jenengan,
Mbah buyut-buyut sing mpun sumare dikatutke fatihahe, niki nomer setunggal. Nomer kalih, kenging nopo ingkang di wahos Qur’an? Niki perlu keterangan. Qur’an niku nek di wahos lafale sampun ngasilake ganjaran, senajan dereng ngertos maknane. Niki kangge masjid Menoro sampean niati darusan. Sampean niati darusan. Pengertian darusan niku sing mahos setunggal, sanese mirengake. Hikmah lan asrore darusan ageng sanget dibutuhake kangge masyarkat.”
Terjemahannya:
“Sebelum membaca tafsir, perlu penjelasan. Saya insyAllah mau mengawali membaca tafsir mulai surat al-Fātiḥ ah. Sebelumnya, saya setiap membaca tentu ada hadiah al-Fātiḥ ahnya, kemudian sang qāri’ membaca al-Qur‟an. Ini bertujuan setiap membaca al-Fātiḥ ah hadiahnya untuk Nabi Muhammad Saw. para keluarganya, sahabat-sahabatnya, para nabi, para wali, Mbah Sunan Kudus dan keluarga kita yang sudah mendahului kita (meninggal). Nanti ketika kamu membaca al-Fātiḥ ah, hatimu bergumam kamu ikutkan keluargamu, mbah buyut kamu ikutkan al-Fātiḥ ah, ini yang pertama. Yang kedua, kenapa yang dibaca al-Qur‟an? Ini perlu penjelasan. Al-Qur‟an itu kalau dibaca lafadznya sudah menghasilkan pahala, meski belum tahu artinya. Ini untuk audiens masjid Menara, kamu niati darusan. Kamu niati darusan. Artinya darusan itu yang membaca satu orang, yang lainnya mendengarkan. Karena hikmah dan rahasia-rahasia darusan sangat besar sekali dibutuhkan oleh masyarakat.”
Pilihan bahasa yang digunakan Kiai Sya‟roni ketika menjelaskan kepada audiensnya dirasa sangat tepat. Hal ini menunjukkan Kiai Sya‟roni yang lahir di kawasan pesisir Pulau Jawa ketika berdakwah melalui pengajian, bahasa yang digunakan untuk menyampaikan penjelasannya
165Audio isi kandungan surat al-Fātiḥah oleh KH. Sya‟roni Ahmadi pada pengajian
menggunakan bahasa Jawa. Pilihan Kiai Sya‟roni dalam memilih bahasa Jawa sebagai bahasa utama ketika menafsirkan tentu melalui pertimbangan.
Pertama, bahasa Jawa merupakan bahasa ibu penafsir yang digunakan
sehari-hari, meskipun Kiai Sya‟roni juga memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa Indonesia maupun bahasa Arab. Kedua, pengajian tafsir tersebut memang ditujukan kepada masyarakat pesisir dan komunitas pesantren yang juga akrab dengan tulisan Arab dan bahasa Jawa. Karena yang hendak disapa Kiai Sya‟roni adalah audiens dengan karakter di atas, maka penggunaan bahasa Jawa sangat tepat.
Pengajian tafsir dengan menggunakan bahasa Jawa menjadi eksklusif. Hal tersebut hanya dipahami oleh orang-orang yang familiar dengan bahasa Jawa dan santri. Ini berarti, tidak setiap orang mampu mengakses bahasa dengan karakter tersebut. Tetapi dari sudut pandang hermeneutik, orang tidak akan meragukan otentisitas dan validitas gagasan yang dituangkan pengarangnya, karena bahasa yang digunakan adalah bahasa yang sangat dikuasainya dan dipahami oleh masyarakat sekitarnya.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan oleh Nabi Muhammad Saw. ketika berdakwah, yakni Bahasa Arab. Terbukti pada kelahiran Nabi Muhammad Saw. di Makkah dan berbahasa Arab, maka al-Qur‟an yang diturunkan di tanah Arab menggunakan bahasa Arab. Jadi, berbahasa Jawa merupakan bagian dari upaya menafsirkan dan membumikan al-Qur‟an dari bahasa langit (Arab dan Makkah) ke dalam bahasa bumi (Jawa) agar mudah
dipahami. Selain karena bahasa Jawa merupakan bahasa lokal, juga menjadi bagian dari budaya.
Selain penggunaan bahasa Jawa Kromo, Kiai Sya‟roni juga menggunakan bahasa Jawa Ngoko (kasar) yang terkadang dicampur dengan Jawa Kromo (halus). Misalnya ketika ia menerangkan dan mengutip hadis Nabi Saw. terhadap orang yang suka darusan:166
Penafsiran Kiai Sya‟roni:
“Ora ono pinarakan golongan masyarakat teng gene setunggal tempat
baitulloh tegese mesjid neng kono doh moco Qur’an di darus. Wong sing seneng gawene ‘darusan’ diparingi Alloh macem papat: setunggal,
diparingi ati ayem, tentrem lan padang atine; nomer kalih, dirohmati Gusti Alloh, tegese ‘dipernahno’ (sing apik-apik) karo Gusti Alloh; nomer tigo, dijogo malaikat, awake dijogo malaikat songko gangguan; nomer sekawan, dipamer-pamerke Gusti Alloh nek kalangane poro malaikat mergo barang apik.”
Terjemahannya:
“Tidaklah duduk suatu kaum di dalam rumah dari rumah-rumah Allah, mereka dalam keadaan membaca kitab Allah dan diantara mereka mempelajarinya kecuali turun atas mereka ketenangan, kasih sayang menyelimuti mereka, malaikat mengelilingi mereka dan Allah menyebut mereka pada makhluk yang ada di sisi-Nya.” Intinya orang yang suka “darusan” dikasih Allah pertama, hatinya tentram, damai, dan terang. Kemudian kedua, di limpahi kasih sayang yang berlimpah, ketiga dijaga oleh para malaikat, dan keempat dipamerkan Allah di hadapan para malaikat”.
166
Penggunaan diksi yang berbeda membuat penulis berasumsi bahwa Kiai Sya‟roni selalu mencoba memahamkan audiensnya. Karena, terkadang ada beberapa audiens yang tidak memahami bahasa Jawa Kromo baik kromo
inggil maupun kromo alus, maka solusi Kiai Sya‟roni adalah
mencampurkan antara bahasa Jawa Kromo, ngoko, dan bahasa Indonesia pada setiap penafsirannya. Kenyataan ini tidak bisa dilepaskan dari konteks basis sosial-budaya penafsir serta audiens yang menjadi subjek dimana tradisi tafsir lisan dilakukan.