• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 4. PEMBAHASAN

4.2 Penggunaan Gaya Bahasa Jokowi Saat Kampanye Pilpres

4.2.1 Gaya Bahasa Retoris

Gaya bahasa retoris yang ditemukan dalam penelitian ini adalah gaya bahasa litotes, gaya bahasa eufimisme, dan gaya bahasa hiperbola. Berikut ini merupakan data beserta penjelasan mengenai gaya bahasa Jokowi yang ditemukan dalm penelitian.

Konteks: Debat capres cawapres 9 Juni 2014 di Gedung Balai Sarbini Jakarta, dihadiri oleh Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK serta moderator Zainal Abidin Mochtar dengan tema pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan negara hukum, pada segmen ketiga moderator memberikan pertanyaan terkait dengan tema debat.

Tuturan:

Ya tradisi yang baru ini harus kita mulai bahwa yang menjadi capres tidak harus ketua umum partai, seperti saya dan Pak JK bukan ketua umum partai.

Data di atas merupakan gaya bahasa litotes. Jokowi berusaha merendahkan diri dan memperjelas kedudukan dia di partai pengusungnya. Jokowi tanpa ragu mengakui bahwa dia bukan ketua partai. Namun dalam konteks kalimat di atas selain merendahkan diri, Jokowi juga mampu menumbuhkan efek bahwa Jokowi

dan JK mempunyai kemampuan sehingga mereka dipercaya menjadi capres dan cawapres meskipun bukan ketua partai.

Konteks: Debat capres cawapres 9 Juni 2014 di Gedung Balai Sarbini Jakarta, dihadiri oleh Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK serta moderator Zainal Abidin Mochtar dengan tema pembangunan demokrasi, pemerintahan yang bersih, dan negara hukum, pada segmen keenam yakni penyampaian pernyataan penutup.

Tuturan:

Sesuai dengan pengalaman yang telah kita lakukan, pengalaman yang kita buktikan apabila rakyat memberikan kepercayaan kepada kami, apabila rakyat memberikan amanah kepada kami, maka kami akan bekerja keras, bekerja sangat keras, bekerja siang malam, agar demokrasi berjalan lebih baik, pemerintah yang bersih bia kita hadirkan, kepastian hukum yang tegas bisa kita berikan.

Data di atas merupakan gaya bahasa hiperbola yakni ditandai dengan penggunaan klausa maka kami akan bekerja keras, bekerja sangat keras, bekerja siang malam. Klausa tersebut mengisyaratkan bahwa kami dalam artian Jokowi- JK akan bekerja tanpa henti, tanpa istirahat untuk Indonesia. Klausa tersebut termasuk hiperbola sebab melebih-lebihkan kenyataan karena tak ada seseorang yang mampu bekerja terus menerus siang dan malam. Gaya bahasa hiperbola digunakan Jokowi untuk meyakinkan masyarakat bahwa Jokowi-JK tidak akan main-main untuk mengabdikan diri kepada Indonesia.

Konteks: Debat capres 15 Juni 2014 di Hotel Melia-Jakarta dihadiri Oleh Prabowo dan Jokowi, moderator debat Ahmad Erani Yustika dengan tema pembangunan ekonomi dan kesejahteraan sosial, pada segmen keempat dengan menanggapi jawaban dari pasangan capres dan cawapres yang lain. Tuturan:

Untuk masalah kemiskinan memang harus kita berani memberikan program-program khusus kepada masyarakat yang masih kurang beruntung.

Data di atas merupakan penggunaan gaya bahasa eufimisme. Jokowi menggunukan frasa kurang beruntung yang bermakna miskin. Gaya bahasa eufimisme ini digunakan untuk menimbulkan kesopanan yang dibangun Jokowi karena dia tidak serta merta langsung berkata masyarakat miskin guna lebih menarik perhatian masyarakat. Jokowi selalu membangun citra positif dalam

menyebutkan suatu hal yang cenderung tidak sopan dengan memilih gaya bahasa yang tepat agar tidak timbul hal yang menyakitkan di hati masyarakat.

Konteks: Debat capres 22 Juni 2014 di Kemayoran-Jakarta, dihadiri Oleh Prabowo dan Jokowi, moderator debat Hikmahanto Juwana, dengan tema politik internasional dan ketahanan nasional, pada segmen ketiga yakni menjawab pertanyaan yang sama dari moderator.

Tuturan:

Itulah saya kira diplomasi yang ingin kita kedepenkan baik mengenai tapal batas, baik mengenai pencari suaka semuanya kita lakukan lewat diplomasi dan tanpa befikiran bahwa kita ingin mengedepankan lewat senjata atau lewat perang.

Data di atas merupakan gaya bahasa eufimisme yang di tandai dengan frasa pencari suaka. Frasa pencari suaka berarti orang-orang yang menumpang hidup. Frasa tersebut Jokowi gunakan untuk memberikan efek sopan dalam penyebutan TKI atau TKW yang pada sejatinya dimaksudkan Jokowi. Hal tersebut bertujuan tidak lain untuk menumbuhkan kesopanan Jokowi di hapadan masyarakat Indonesia guna menimbulkan rasa perhatian dengan bahasa-bahasa yang tidak kasar.

Konteks: Kampanye Jokowi di Pondok Pesantren (Ponpes) Bustanul Ulum, 12 Juni 2015, ditemani Politisi Partai Nasdem Akbar Faisal dan Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Ja'far, dan tim sukses Jokowi-JK Teten Masduki, serta Pengasuh Ponpes Bustanul Ulum K.H Didi Hudaya Buchori di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Tuturan:

Bapak saya itu, Almarhum Bapak saya itu berasal dari desa di dekat Solo, 30 km dari solo. Nama desanya itu Kecamatan Ngundangrejo, nama ndeso banget, di Karang Anyar, Kabupatennya Karang Anyar. Ibu saya asalnya juga dari Boyolali, kira-kira 40 km dari Kota Solo. Bukan di kotanya, tapi di plosoknya, namanya Desa Gumukrejo, kan juga nama ndeso sekali. Wajah saya kan juga wajah ndeso. Meskipun tadi Kiai Didi juga menyampaikan, tapi lebih ganteng Kiai. Kan Kelihatan masak sepeti ini orang Singapura.

Data di atas merupakan gaya bahasa litotes. Jokowi menjelaskan asal daerah kedua orang tuanya dan dirinya sendiri. Penggunaan kata ndeso pada konteks kalimat di atas juga merupakan penekanan bahwa Jokowi berasal dari kaum bawah tidak serta merta berasal dari keluarga yang berada. Jokowi berusaha merendahkan diri di depan masyarakat yang hadiri di Ponpes Butanul Ulum untuk

menarik perhatian masyrakat bahwa Jokowi juga sebelumnya adalah masyarakat dari ekonomi kelas rendah. Hal tersebut Jokowi gunakan untuk memberikan penjelasan bahwa Jokowi pasti memperhatikan masyarakat ekonomi kelas rendah karena Jokowi sebelumnya juga pernah menjadi bagian dari kategori tersebut.

Dokumen terkait